Sabtu, 04 Agustus 2018

Bahasan Artikel Transformasi Si Jagoan Property (Intiland Property) tulisan oleh Sudarmadi



Artikel:
Transformasi Si Jagoan Properti (Intiland Property)
Thursday, April 15th, 2010 oleh : Sudarmadi  web: www.swa.co.id

Belajar dari badai krismon, ia menata usahanya. Sejumlah langkah tranformasi pun dilakukan. Tujuannya: perusahaan semakin tertata, risiko bisnis berkurang dan kinerja usaha semakin baik.
Siapa sih pebisnis Indonesia yang tak kenal Grup Dharmala di awal 1990-an? Grup yang dikibarkan keluarga Gondokusumo ini sangat moncer dan dikenal sebagai konglomerasi dengan banyak tentakel mulai dari properti, perbankan, hingga manufaktur. Sebagaimana Grup Ciputra dan Grup Lippo, Dharmala saat itu dikenal kalangan dunia bisnis sebagai konglomerasi papan atas.
Namun, pamor bisnis keluarga ini kemudian meredup seiring dengan terpaan badai krisis moneter 1998 yang juga merobohkan banyak konglomerasi lain. Praktis, sejak krismon, tinggal bisnis properti yang masih bisa bertahan dan menjadi andalan keluarga Dharmala. Itu pun selama hampir 10 tahun ini tak terlalu agresif. Dari waktu krisis 1998 sampai 2006, bisnis properti yang diwadahi PT Dharmala Intiland tetap beroperasi dan karyawannya pun tetap bekerja, hanya saja kurang maksimal. “Kalau orang Jawa bilang kami ini merasa masih digandolin terus karena proses restrukturisasi utang yang tidak selesai-selesai,” ungkap Hendro S. Gondokusumo, putra dinasti Dharmala yang sejak awal mengendalikan bisnis properti Grup.
Bagi pengusaha properti seperti Hendro, krismon 1998 merupakan prahara yang sangat mengerikan. Krisis yang dilihatnya hanya pernah terjadi di Indonesia di mana kurs rupiah terhadap dolar AS terdepresiasi sangat tinggi, dari Rp 2.000 per US$ menjadi Rp 17.000 per US$. “Waktu itu saya sampai cerita ke teman-teman saya bahwa sebelum krisis anak saya dua, dan saat krisis anak saya menjadi tiba-tiba menjadi 15. Bagaimana tidak, income saya rupiah sementara kedua anak saya sekolah di luar negeri, jadi biaya sekolah anak saya menjadi sangat besar,” ujar Hendro mengenang sambil tertawa.
Tak pelak lagi, bisnis properti Hendro saat itu pun mengalami kesulitan karena pihaknya memiliki pinjaman dalam bentuk US$ ke bank luar negeri. “Kami meminjam dalam US$ agar bunganya murah. Tidak tahunya terjadi crash. Utang kita menjadi berkali-kali lipat,” katanya. Beruntung, ia pelan-pelan bisa meyakinkan kreditor sehingga utangnya bisa direstrukturisasi. “Kami pelan-pelan melakukan settlement,” katanya. Proses restrukturisasi itu secara formal juga diselesaikan dengan masuknya Truss Investment Partners Pte. Ltd. dan Strands Investment Ltd. sebagai pemegang saham Intiland — masing-masing 37,07 % dan 33,16 %.
Yang menarik, selesainya proses restruksisasi itu kemudian dijadikan momentum untuk mentransformasi bisnis. Tak mengherankan, sejak 2007 terus dilakukan sejumlah langkah terobosan perbaikan untuk mengerek kinerja. Tujuannya, agar manajemen perusahaan semakin tertata, risiko bisnis berkurang dan performance usaha semakin baik. Secara simbolis, wujud transformasi itu juga dilakukan dengan mengganti nama perusahaan dari PT Dharmala Intiland menjadi PT Intiland Development.
Langkah transformasi pertama yang dilakukan adalah pada aspek SDM. Pemegang saham Intiland sadar betul bahwa kunci sukses bisnisnya ada pada SDM. Hendro menerangkan, sejak transformasi dilakukan tahun 2007, manajemen atau board of directors (BOD) Intiland lebih banyak diisi para profesional muda. Para profesional senior yang dulu berkecimpung sebagian ditarik menjadi komisaris di anak-anak usaha Intiland. “Di operation kami terus merekrut yang muda-muda,” ujar Hendro seraya menjelaskan, kini Intiland memiliki 1.300 karyawan.
Komitmen transformasi itu antara lain juga ditunjukkan Hendro dengan lengser dari posisi presdir dan kemudian menyerahkannya ke ekspatriat asal Singapura, Lennard Ho Kian Guan. Hendro sejak 2007 memilih duduk sebagai Wakil Presiden Komisaris Intiland.
Lennard merupakan profesional murni perwakilan Truss dan Strands. Lennard, MBA dari Univesity of British Columbia, pada dasarnya seorang investment banker dan tak punya pengalaman di bidang properti. “Saya tanya Pak Hendro, ‘Apa Anda yakin dengan rencana ini? Saya tidak tahu apa-apa soal properti!’ Tapi Pak Hendro mengatakan dirinya tidak butuh orang yang mengerti properti, tetapi yang mengerti finance,” Lennard yang mantan investment banker HSBC ini mengenang. Praktis, sejak didapuk menjadi komandan Intiland, Lennard bahu-membahu dengan Hendro untuk memimpin proses transformasi Intiland.
Di antara tranformasi penting yang dilakukan adalah penataan fokus bisnis. Hendro mengungkapkan, dulu Intiland bak sebuah supermarket. Menyediakan apa saja. Serba ada. Dengan adanya transformasi, lalu dilakukan restrukturisasi dan pemilihan fokus bisnis. “Aset-aset yang tidak produktif, aset yang mahal tapi income-nya sedikit (low yield) seperti gedung sewa dan aset yang tidak terpakai, semuanya akan dijual dan diganti. Intiland akan lebih banyak di properti yang dijual, kecuali bisnis hotel,” kata Hendro.
Tak mengherankan, dalam dua tahun terakhir Lennard dan timnya terus melakukan review secara menyeluruh terhadap aset-aset Intiland. Review dilakukan dengan pertimbangan kontribusi revenue dari masing-masing aset. “Kami mendivestasikan aset-aset yang low yielding, aset non core, aset yang sudah mature dan sudah tidak produktif,” Lennard kembali menegaskan. Ia mencontohkan Taman Semanan yang sebelumnya merupakan salah satu bisnis utama Intiland kini juga akan dilepas terkait berbagai langkah transformasi.
Pertimbangan strategi divestasi aset ini simpel saja. Dalam pandangan Lennard, untuk menangani landbank properti seluas 5 hektare dengan penghasilan yang kecil dan lahan 100 ha kenyataannya butuh SDM dalam jumlah sama. Makanya, lebih baik aset lama yang kecil itu dilepas agar efisien. “Sebenarnya sayang dijual, tapi ini langkah strategis kalau mau benar-benar transformasi.”
Intinya, Intiland melakukan restrukturisasi secara besar-besaran dalam hal produk. Selama ini kontributor terbesar terhadap pendapatan Intiland adalah bisnis township, landed residential dan highrisk building. Intiland sendiri dikenal sebagai pemilik dan pengelola berbagai gedung perkantoran, selain pengembang perumahan, apartemen dan kawasan industri. Produk yang dipasarkannya antara lain One Park Residences (apartemen), Talaga bestari (perumahan 146 ha), Pantai Mutiara (perumahan 100 ha), Regatta (apartemen di atas laut, 10 menara), Kawasan Industri Ngoro-Mojokerto, dan Perumahan Graha Family Surabaya.
Tak hanya itu tranformasi yang dilakukan. Pola manajemen aset pun diubah. “Dulu produk-produk Intiland dikelola berdasarkan wilayah regionalnya. Tapi sekarang distrukturkan berdasarkan product line,” kata Lennard. Maklum, selama puluhan tahun Intiland memang menggarap properti di dua wilayah, yakni Jabotabek dan Surabaya. Pengelolaaan usaha juga dibagi dua divisi sesuai dengan wilayahnya: Jabotabek atau Surabaya. Jangan heran, saat itu ada direktur Surabaya dan direktur Jabotabek. Nah, sekarang pengelolaannya berdasarkan lini produk, bukan lokasinya di Jakarta atau Subaraya.
Alasan perubahan strategi ini sangat strategis. Yang dibutuhkan ialah kompetensi berdasarkan pengelolaan produk, bukan wilayah. Hal ini sangat penting untuk kejelasan arah pengembangan SDM. Diharapkan nanti ada SDM yang menguasai bidang pemasaran township, atau perumahan, atau kawasan industri, dll. Bukan menguasai wilayah Jakarta atau Surabaya. “Para investor pun tentu akan lebih mudah memahami kinerja dan arah perusahaan bila disajikan dalam perfomance produk jika dibading berdasarkan regional,” Lennard menegaskan salah satu program radikal yang dijalankannya.
Maka, sejak Lennard masuk, pembagian divisi Jabotabek dan divisi Surabaya ditiadakan. Lalu, dikembangkan struktur manajemen baru berdasarkan lini produk. Saat ini manajemen Intiland membagi lini produknya menjadi tiga besar. Pertama, township residential dan highrise. Kedua, hotel. Ketiga, office building. Jelas, ketiga jenis lini produk ini membutuhkan cara pengelolaan dan pemasaran yang berbeda sehingga masing-masing juga menuntut kualifikasi SDM yang berbeda.
Hotel memang terbilang bisnis baru bagi Intiland – walau sebenarnya perusahaan ini sebenarnya pernah mengoperasikan Hotel Bromo dan Hotel Arawas. Penetrasi ke bisnis hotel merupakan bagian dari proses transformasi. Diam-diam mereka telah memutuskan mengembangkan chain hotel dengan mendirikan jaringan Whiz Hotel. Intiland sebagai operator. Segmen hotel bintang dua plus ini akan dikembangkan di berbagai kota dan rencananya dalam lima tahun ke depan sudah akan membangun 60 hotel Whiz.
Tak berhenti di situ. Perubahan besar juga ada dari sisi proses bisnis. Kini di Intiland telah diimplementasi model manajemen risiko yang lebih terukur. Pada 1997 dibentuk risk management committee untuk menangani project assessment dan studi kelayakan. Adanya komite manajemen risiko ini juga untuk memenuhi unsur GCG. Sebelumnya, aktivitas assessment dan kelayakan dikelola langsung oleh Hendro dengan gaya entrepreneurship-nya. Sejak Lennard bergabung, komite manajemen risiko ini menangani setiap proyek secara independen sebelum proyek tersebut dibahas di level BOD.
Untuk itu, Lennard pun mengajak salah seorang rekannya, konsultan dari Singapura, untuk bergabung dengan Intiland dan memperkenalkan lebih dalam soal manajemen risiko dan project assessment. Rekan Lennard itu, Joshua Ang, membawa banyak template perihal manajemen risiko. “Ini salah satu hal critical yang kami lakukan,” ujarnya.
Sesungguhnya implementasi manajemen risiko juga bagian dari tranformasi Intiland agar memiliki model manajemen professional-entrepreneurship. Lennard melihat Intiland merupakan perusahaan publik sehingga mesti dijalankan profesional. Namun, di sisi lain Intiland merupakan perusahaan properti yang di dalamnya elemen entrepreneurial sangat penting, terutama untuk pencarian lokasi yang potensial digarap. “Pak Hendro sebagai founder memang kaya entrepreneurship. Kami mengusung risk management committee untuk membantu Pak Hendro mengasah entrepreneurship-nya agar lebih dapat diterima secara profesional. Agar entrepreneurship-nya accountable. Ini sebuah critical combination,” Lennard merinci strateginya.
Pernyataan Lennard diamini Hendro. Diakuinya, dulu ide-ide tentang penentuan lokasi dan semacamnya selalu datang dari dirinya. Sekarang dirinya sudah dibantu tim riset. “Dulu kami tidak pakai riset, langsung feeling. Sekarang data banyak, jadi kami minta mereka yang muda-muda untuk memperlihatkan data pada kami, baru kami putuskan bersama,” Hendro menjelaskan.
Dari sisi positioning produk properti yang dipasarkan, Intiland tampaknya tetap memilih tidak membuat produk yang sasarannya massal. “Kami ingin menjadi seperti butik. Karena itu, konsisten dalam hal desain yang bagus dan lain dari yang lain,” kata Hendro tegas. Bagi Intiland, sudah cukup jika bisa menggarap dan memuaskan 5%-10% pasar. “Kami tidak akan fight yang di 90%,” tambahnya.
Keunikan dan keberanian membuat terobosan tetap menjadi salah satu prinsip yang bakal diusung Intiland. Di Surabaya, sebut contoh, Intiland sukses mengibarkan perumahan paling elite: Graha Famili. Sampai sekarang Graha Famili sanggup menjadi barometer properti Surabaya. Padahal sejarahnya, banyak yang menyangsingkan kesuksesan proyek ini karena lokasinya di Surabaya bagian barat. “Saat itu yang berkembang Surabaya bagian timur. Bagian barat waktu itu masih kosong,” ujar Hendro mengenang.
Contoh lain, gedung Intiland Tower (dulu Wisma Dharmala Sakti) yang cukup unik dan berdiri sejak 1985. Saat itu Intiland telah berani menggunakan arsitektur yang berbeda sehingga sampai sekarang masih eksis. Okupansinya selalu di atas 90%. “Kami juga perusahaan yang pertama membuat reklamasi pantai (Pantai Mutiara) untuk perumahan,” kata Hendro. Perbaikan yang kini dilakukan Intiland di antaranya memasukkan konsep green dalam bisnis. “Karena itu, sekarang Intiland selalu berusaha ada unsur green tersebut pada proyek-proyek baru meskipun penerapan konsep green tersebut belum bisa full.”
Yang menarik, Intiland masih akan mempraktikkan nilai-nilai lama yang dianggapnya masih relevan. Contohnya, konsep feng shui. Hendro masih selalu menanamkan value feng shui kepada stafnya. Ia mengakui, anak-anak muda sering tidak memperhatikan soal ini padahal menurutnya feng shui penting diperhatikan karena produk Intiland adalah produk yang akan dijual. “Saya selalu katakan pada mereka, tidak ada salahnya memperhatikan feng shui. Karena kalau empat dari 10 pembeli produk Intiland mengerti feng shui, mereka akan lebih yakin dan lebih mantap dalam membeli,” katanya. “Kalau kita beli rumah untuk sendiri, kita tidak percaya feng shui itu go ahead ya, tapi sekarang hampir di setiap stasiun TV ada pembahasan soal feng shui,” ujar Hendro yang biasa mengundang ahli feng shui Kanada dalam setiap proyek barunya.

Kini Intiland sedang berupaya memperkukuh proses transformasinya dengan melakukan right issue untuk menggalang tambahan dana modal. Right issue ini akan meningkatkan secara signifikan aset yang akan disuntikkan ke Intiland untuk membeli landbank. “Dengan adanya right issue tersebut, pangsa pasar, likuiditas dan cash untuk funding juga semakin kuat. Market capitalization Intiland akan meningkat dari Rp 3,7 triliun menjadi Rp 6,3 triliun,” ujar Theresia Rustandi, Sekretaris Korporat PT Intiland Development Tbk.
Kini Intiland sudah menyiapkan pula sejumlah produk baru yang sebagian akan didanai dari right issue. Contohnya, perumahan menengah-atas Graha Natura di Surabaya Barat seluas 100 ha, superblok di Daan Mogot-Jakarta Barat, serta sebuah proyek yang lokasinya di belakang Grand Indonesia, Jakarta Pusat. Juga, ada Pinang Residences (Surabaya). Yang lain, gedung perkantoran dan apartemen di Jl. T.B. Simatupang Jakarta seluas 7 ha serta perumahan di Tangerang (500 ha) dan Banten (1.000 ha).
Yang jelas, untuk menyukseskan program tranformasi, pemilik Intiland terus memperkuat tim SDM dengan tenaga muda. Sekarang di jajaran direksi Intiland lebih banyak profesional muda. Hal ini agar ada regenerasi yang berkelanjutan di Intiland sehingga bisnis dapat bertahan hingga jangka panjang. “Pelan-pelan saya serahkan kepada profesional. Kalau saya pegangi sendiri terus perusahaan ini, maka tidak bisa besar. Banyak kan perusahaan yang seperti itu?” ungkap Hendro. Sekarang ia terus mendidik generasi muda agar memiliki jiwa entrepreneur.
Lidya Suwandi, analis PT Danareksa Sekuritas, mengamati selama ini Intiland banyak bermain di Surabaya, tetapi sekarang makin aktif di Jakarta. Lidya mengakui, saham Intiland semakin aktif saat beredar rencana right issue. Dengan kapitalisasi pasar yang semakin besar, saham memang dapat menjadi lebih likuid, karena jumlah saham yang beredar juga semakin banyak. Ia melihat, dengan right issue, kapitalisasi pasar Intiland akan menjadi sekitar Rp 5 tiliun sehingga akan bersaing dengan saham PT Ciputra Development Tbk. (CTRA), PT Lippo Karawaci Tbk. (LPKR), PT Bumi Serpong Damai Tbk. (BSDE) dan PT Bakrieland Development Tbk. (ELTY).
Dari segi fundamental secara umum, Lidya melihat prospek industri properti di Indonesia terbilang masih baik. Tahun 2009 orang masih ragu-ragu membeli produk properti, sedangkan tahun ini mereka sudah lebih yakin. Suku bunga bank mulai turun. “Sekarang recovery telah dialami hampir semua industri termasuk consumer goods, tidak hanya properti,” ujarnya. Dengan proyek yang terletak di lokasi strategis dan memiliki akses yang baik, pengembang pun menjadi lebih percaya diri untuk menaikkan harga jual. Berbagai kondisi itu pula yang menurut Lidya mendukung perusahaan-perusahaan properti seperti Intiland bisa memperoleh margin keuntungan yang lebih baik tahun ini.
Lennard sadar bahwa proses transformasi di perusahaannya tentu tak akan bisa diselesaikan dalam waktu sekejap. “Kami butuh waktu. Di perusahaan mana pun transformasi dilakukan dalam jangka waktu lama,” katanya. Kendati demikian, ia percaya diri, melalui berbagai upaya yang dilakukan, Intiland akan sanggup menjadi pemain properti 3 besar yang listing di BEI, dari aspek kapitalisasi pasar, revenue dan profitabilitas. Target itu direncanakan dapat dicapai dalam 3-5 tahun mendatang.

Tahun 2010 pendapatan Intiland ditargetkan menjadi Rp 1,2 triliun rupiah, naik empat kali lipat dibandingkan 2009 yang berkisar Rp 300 miliar. Optimisme tersebut didukung realisasi pendapatan perseroan hingga kuartal I/2010. Total pendapatan Intiland dalam tiga bulan pertama 2010 telah melampaui total pendapatan sepanjang 2009.“Kami telah melakukan berbagai hal dan kami cukup percaya diri untuk mencapai itu posisi itu,” ujar Lennard.
Bagaimana perjalanan transformasi jagoan properti ini masih ditunggu kelanjutannya. Namun, melihat apa yang dilakukan, tampaknya ia telah meniti rel yang semestinya sebagai perusahaan yang berupaya lebih fokus dan terkelola dari sisi risiko. ©

Langkah Transformasi Intiland
Menata fokus bisnis; dari “supermarket” menjadi fokus.
Merestrukturisasi bisnis: mendivestasi aset non core, tidak produktif dan low yield.
Lebih banyak merekrut profesional muda.
Mengubah pola manajemen aset; dulu regional-based kini lini produk.
Menerapkan model manajemen professional-entrepreneurship. Mendirikan risk management committee untuk menangani project assessment dan studi kelayakan.

Hendro Gondokusumo,
Penyelamat Bisnis Dinasti Dharmala
Dari sekian bidang bisnis yang dulu pernah dikembangkan Grup Dharmala, praktis tinggal bisnis properti yang kini bisa dibanggakan. Semua itu tak lepas dari sosok Hendro Gondokusumo. Hendro lahir di Malang, Jawa Timur, 1950 sebagai anak ketiga dari delapan bersaudara. Pada usia 17 tahun, Hendro sudah tinggal di Jakarta, mulai ikut ayah dan pamannya berdagang. Jenis usaha keluarga Gondokusumo waktu itu berdagang hasil bumi, tetapi Hendro mengaku tidak tertarik pada bisnis itu. Sejak awal ia punya passion di bisnis properti. Karena itu pula, dari dulu unit bisnis properti Grup Dharmala dikendalikannya.
Founder PT Intiland Development ini dikenal sebagai entrepreneur yang inovatif dan berani. Di antaranya, membangun proyek reklamasi Pantai Mutiara yang merupakan hal pertama di Asia Tenggara. Regatta, proyek apartemen di atas pantai itu, terdiri dari 10 menara, didesain oleh konsultan yang mengembangkan Burj Al Arab milik Kesultanan Dubai.
Lennard Ho Kian Guan, Presdir PT Intiland Development Tbk., melihat Hendro sebagai pengusaha cerdas yang punya spirit entrepreneurship tinggi. “Beliau selalu tepat janji kalau mengatakan sesuatu. Itu sudah saya amati sejak saya masih di bank,” kata Lennard. Sementara Theresia Rustandi, Sekretaris Korporat PT Intiland Development Tbk, yang telah hampir 15 tahun berkarier di Intiland, melihat Hendro sebagai entrepreneur tulen. “Beliau entrepreneur banget ya. Instingnya benar-benar jalan,” ujarnya.
Selain itu, Hendro pun sangat piawai mengelola karyawan. Contohnya, sewaktu krismon banyak karyawan menganggur karena properti sepi. “Ketika itu beliau mengalokasikan SDM untuk hal-hal positif. Pak Hendro menawarkan kepada para karyawan agar mengelola unit-unit bisnis sendiri supaya survive,” kata Theresia mengenang. Hendro memberi masukan ke para karyawan agar mendirikan usaha. Ia bahkan membantu permodalan. Theresia sendiri saat itu mendirikan sekolah anak-anak pra-TK bersama beberapa temannya. “Kami diberi aktivitas oleh Pak Hendro, dan bahkan kami diberi modal. Ada juga yang mendirikan perusahaan trading, hidroponik, dan sebagainya. Jadi, kami tidak hanya berdiam diri, kami juga mengelola unit bisnis sendiri. Itu suatu hal yang luar biasa,” jelasnya.
Kini, selepas badai 1998, Hendro menata usahanya, berupaya menegakkan kembali kerajaan yang sempat porak-poranda. ®

Analisa:
Intiland (Dharmala) melakukan segmen pasar khusus pada property sejak terkena krisi ekonomi pada tahun 1997. Pola segmentasi yang dilakukan Hendro Gondokusumamampu memulihkan Intiland dari krisis secara bertahap. Karena bermain pada satu bidang saja prefensi  yang dilakukan oleh Intiland menjadi prefensi honogen. Ceruk (niche) terhadap property ini dilakukan namun tetap melakukan variasi dalam hal property, seperti pembangunan apartemen, perumahan, maupun perhotelan.
Intiland mencoba melakukan cutomerization terhadap usahanya perumahan mewahnya di Surabaya, sehinggan perumahan tersebut sampai sekarang terkenal dengan kawasan perumahan mewah. Intiland mencoba menggabungkan keinginan orang mampu pada umumnya dengan dicoba diwujudkan dalam perumahan tersebut.
Sasaran Intiland dalam property ini terdiri dari berbagai macam kalangan. Apartemen dan hotel diarahkan kepada kelompok Young Digerati, yakni kelompok muda atau pasangan muda yang kaya, terbiasa dengan teknologi, dan suka dengan daerah urban. Kemudian Beltway boomers, segemen terbesar dari Baby boomer. Segmen tersebut merupakan segmen yang sudah menapaki usia dewasa, mapan, tinggal di kawasan urban atau dikawasan pinggir kota yang nyaman dan hommy. Dalam hal ini apaetemen atau rumah menjadi pilihannya. Kemudian yang terakhiradalah the cosmopolitan, pendatang yang datang dengan sejuta mimpi dan bekerja keras untuk berhasil. Mereka memposisikn diri tinggal dipinggir kota, sehingga rumah menjadi tawaran bagi segemen tersebut.
Dalam sumber daya, Intiland menyasar pada kelompok konsumen yang bersumber daya tinggi yakni penemu, yakni kunsumen yang dikategorisasikan berhasil, modern, aktif dalam pergerakannya, selera yang tinggi. Konsumen model beiini akan menjadi target utama untuk memasuki rumah di kawasan urban  dan apartemen. Target lainnya adalah konsumen dengan tipikal pemikir. Tipikal ini adalah orang-orang yang matang, puas, dan reflektif yang termotivasi terhadap sesuatu tujuan yang bahagia, seperti keluarga yang bahagia dan nyaman. Tipikal model ini yang mencari durabilitas dan fungsional akan disasarkan pada rumah dikawasan pinggir kota. Untuk kategori pencapai, yakni tipikal orang berhasil,berorientasi pada tujuan, yang focus dan keluarga serta kesukaan pada barang mewah akan diplotkan untuk penawaran rumah pinggir kota dan rumah kawasan urban. Orang yang mengalami, dimana tipikal tersebut tipikal yang muda, kaya, mencari kesenangan,suka berfoya-foya akan di bentukkan pada hotel dan apartemen.
 Intiland melakukan segmentasi pasar berdasarkan lima criteria kunci. Yang pertama adalah Terukur. Pada kiteria ini, kuran, daya beli, dan karakteristik segmen dapat diukur. Ketika menemukan pelanggan yang sudah bias dipastikan masuk dalam segmen apa,akan mudah bagi Intiland masuk untuk melakukan promosi, seperti segmen untuk manajer-manajer muda. Criteria kedua adalah criteria substansial. Criteria ini merupakan criteria dimana memiliki tempat engan pelanggan yang besar. Dan menguntungkan untuk dilayani. Hal ini dapat dicontohkan seperti karyawan-karyawan pada perusahaan yang memiliki penghasilan diatas rata-rata lingkungan dan memiliki tingkatgaya hidup yang bagus. Pada criteria ini, pelanggan dibidik pada pelanggan yang dapat diakses. Pelanggan potensial adalah pelanggan yang dapat diakses baik melalui ponsel, email, atau sarana-sarana lain dan pelanggan tersebut menjanjikan. Pada criteria dapat didifferensiasi, pelanggan dapat dibedakan pada tempat-tempat yang sesuai untuk investasi, ketika bias melakukan segmentasi, maka differensiasi yang dilakukan Intiland akan tepat sasaran. Ketika keseriusan tersebut ada, criteria terakhir adalah pelanggan tersebut bias ditindaklanjti untuk dilakukan proses lebih lanjut.
Ketika Intiland membidik Hotel dan apartemen, Intiland akan membidik pelanggan pada taraf segmen super, karena segmen super inilah, yang lebih dapat untuk diajak bersama-sama bermain pada area eksklusif tanpa terkendala oleh dana.
 

Tidak ada komentar: