Sejarah Pupuk
kaltim
Pupuk Kaltim
bermula dari proyek pupuk lepas pantai di atas dua kapal milik Pertamina yang
kemudian sesuai Keppres No. 43/1975 proyek tersebut dialihkan ke darat.
Kemudian melalui Keppres No. 39/1976, Pertamina menyerahkan pengelolaannya
kepada Departemen Perindustrian.
Pada tanggal 7
Desember 1977, Pupuk Kaltim resmi berdiri. Proses pembangunan pabrik
dilaksanakan pada tahun 1979. Untuk mendukung proses produksi, pabrik juga
telah dilengkapi berbagai fasilitas. Bahan baku utama pabrik yang berlokasi di
Bontang ini adalah gas alam yang disalurkan melalui pipa sepanjang 60 kilometer
yang terentang antara Bontang dan Muara Badak.
Selain
memproduksi 2,98 juta ton Urea dan 1,85 juta ton Amoniak per tahun, Pupuk
Kaltim juga menghasilkan produk lain, seperti pupuk NPK Pelangi dan Zeorganik.
Pupuk Kaltim juga terus berupaya mengembangkan segmen pasar perusahaan yang
meliputi sektor industri, perkebunan, pemenuhan kebutuhan pupuk untuk sektor
tanaman pangan domestik dan ekspor.
Sebagai sebuah perusahaan industri strategis yang menjadi tumpuan
Program Ketahanan Pangan Nasional, Pupuk Kaltim selalu berusaha mengembangkan
setiap peluang agar mampu menjaga keberlangsungan perusahaan. Didukung empat
unit pabrik Amoniak dan lima unit pabrik Urea yang terletak di area seluas
kurang lebih 493 hektar, Pupuk Kaltim bertekad untuk mewujudkan sebuah kawasan
industri yang maju dan berwawasan lingkungan.
Saat ini, PT Pupuk Kalimantan Timur, Tbk
memiliki 5 pabrik yaitu Kaltim-1, Kaltim-2, Kaltim-3, Kaltim-4, dan Popka. Pada
tahun 1979 pembangunan pabrik Kaltim-1 mulai dilaksanakan dan masa operasi
komersial dimulai padatahun 1987. Pabrik Kaltim-2 mulai dibangunpada awal tahun
1982 dan diselesaikan 3 bulanlebih cepat dari jadwal yang ditetapkan.
PabrikKaltim-1 dan pabrik Kaltim-2 diresmikan olehPresiden Soeharto pada
tanggal 28 Oktober1984. Sedangkan pabrik Kaltim-3 dibanguntahun 1986 dan
diresmikan pada tanggal 4 April 1989. Selain itu dibangun pula unit pembuatan
urea formaldehyde (UFC-85) dengan
kapasitas 13.000 ton per tahun yang
bertujuan untuk meningkatkan kualitas pupuk urea yang dihasilkan.
Pada tanggal 20 November 1996 dibangun pabrik
urea unit IV (POPKA) yang bertujuan untuk meningkatkan nilai tambah bagi
amoniak sisa (Ammonia excess) dan gas CO2 yang terbuang ke atmosfir guna
menghasilkan produk urea granul. Proyek dengan kapasitas produksi 570.000 ton
per tahun ini dimulai pada tanggal 20 November 1996 dan selesai pada tanggal 12
April 1999. Nilai investasi proyek tersebut sebesar USD 44 juta dan Rp 139 milyar.
Sedangkan Kaltim-4 mulai dibangun padatahun
1999 dengan kapasitas 570.000 ton urea granul dan 330.000 ton amoniak pertahun.
Pembangunan pabrik urea selesai pada pertengahan tahun 2002 sedangkan pabrik amoniak
selesai awal tahun 2003.
Pemegang Saham Shareholders
Sesuai dengan Rapat Umum Pemegang Saham
Komposisi Pemegang Saham (RUPS)
• PT Pupuk Sriwidjaja (Persero) 99,99%
• YKHT Karyawan PT Pupuk Kaltim Tbk 0,01%
Misi Pupuk Kaltim
- Menyediakan kebutuhan pupuk, khususnya untuk Dalam negeri dalam rangka menunjang Program Ketahanan Pangan Nasional
- Memberikan keuntungan dan manfaat bagi Pemegang saham dan Stakeholders lainnya
- Peduli pada masyarakat lingkungan (Community Development)
Visi pupuk kaltim :
Menjadi Perusahaan kelas dunia di bidang industry pupuk dan kimia
Motto pupuk kaltim
Kami hadir dalam
semangat pionir
kami kuat ditempa oleh tantangan
kami kuat ditempa oleh tantangan
Kami maju dengan karya bermutu
Sektoral And
Industry Environment
PT. Pupuk
Kalimantan Timur Tbk. merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang didirikan pada
tanggal 7 Desember 1977 dengan tujuan utama untuk melaksanakan serta mendukung
kebijakan Pemerintah dalam pengembangan industri dan ekonomi nasional,
khususnya sektor industri pupuk dan industri kimia. Pada awalnya PT. Pupuk
Kalimantan Timur di beri tugas untuk meneruskan pembangunan pabrik Amoniak dan
Urea yang semula akan dibangun oleh Pertamina dengan konsep semula berada
diatas dua kapal terapung yang digandengkan jadi satu dengan offsite
facilities.
Setelah
meninjau dan menilai kembali studi pembangunan pabrik terapung ini akan
mengalami kendala operasional maka diputuskan bahwa pembanguan proyek ini dilanjutkan
sebagai pabrik di darat yang kemudian disebut sebagai pabrik Kaltim-1. Pabrik
PT Pupuk Kaltim Tbk. berlokasi di wilayah kota Bontang ± 122 Km sebelah utara Samarinda
ibu kota Propinsi Kalimantan Timur, terletak pada 0-10’-46.9 Lintang Utara dan
117-29’-30.6 Bujur Timur. Menempati areal seluas 493 Ha.
Industri ini
mengoperasikan 3 unit pabrik amoniak dan 4 unit pabrik urea dengan total kapasitas
produksi per tahun 1.320.000 ton amoniak dan 2.410.000 ton urea, dan sejak
tahun 2003 yang lalu PT. Pupuk Kaltim mengoperasikan lagi satu unit pabrik
amoniak dan urea atau pabrik Kaltim-4 sehingga kapasitas total menjadi
1.650.000 ton amoniak dan 3 juta ton urea setahunnya. Pendirian perusahaan ini
dituangkan dalam Akte Notaris Yanuar Hamid SH, Nomor 15 tanggal 7 Desember 1977
dengan pengesahan Menteri Kehakiman No. Y.A.S/5/11 tanggal 16 Januari 1979.
PT. Pupuk
kaltim Tbk. Dalam upaya mengendalikan mutu produksi dan pengelolaan Keselamatan
& Kesehatan Kerja serta Lingkungan telah berhasil mempertahankan sertifikat
ISO 9002 (untuk mutu), bendera emas SMK3 (untuk K3), dan sertifikat ISO 14001
(untuk lingkungan) selama 6 tahun.
Dalam pabrik
Kaltim-1 ini yang dibangun adalah pabrik amoniak dengan kapasitas produksi
1.500 ton sehari. Sebanyak 1000 ton dipergunakan untuk bahan baku pabrik urea.
Sedang pabrik ureanya sendiri mempunyai kapasitas produksi 1.700 ton per hari.
Pabrik urea dibangun dengan proses Stamicarbon
dan amoniak dengan proses Lurgi.
Mulai tahun 1995 pabrik Kaltim-1 ditingkatkan kapasitasnya menjadi 1.800 ton
per hari untuk pabrik amoniak dan 2.250 ton urea per hari termasuk 500 ton urea
melt per hari untuk pabrik melamin.
Bahan baku
yang dipakai adalah gas bumi dan udara serta uap air yang dibangkitkan dari air
laut. Gas bumi ini diperoleh dari ladang-ladang pengeboran di Attaka dan Handil
dengan melewati kompresor di Tanjung Santan dan melalui pipa di bawah tanah
sepanjang 56 km gas dilalirkan ke PT. Pupuk Kaltim. Guna memenuhi kebutuhan
penyediaan pupuk Nasional maka pada tahun 1982 telah mulai dibangun pabrik
Kaltim-2. Pabrik ini dirancang dengan kapasitas terpasang 1.500 ton amoniak per
hari dan 1.725 ton pupuk urea per hari. Proses yang digunakan adalah proses Kellog “semi low enegy process” untuk pabrik amoniaknya, dan menggunakan
proses Stamicarbon “stripping process” untuk pabrik ureanya.
Kemudian dalam rangka pengembangan perusahaan didukung oleh tersedianya bahan
baku gas bumi
yang cukup
melimpah di Kalimantan Timur maka pada tahun 1985 dibangun pabrik Kaltim-3
dengan kapasitas terpasang 1.000 ton amoniak perhari dan 1.725 ton urea per hari
dengan proses Topsoe untuk pabrik
amoniak dan proses Stamicarbon juga
untuk pabrik ureanya. Pabrik Pupuk urea ini pada kegiatan prosesnya dalam
keadaan beroperasi normal mengeluarkan air limbah masih dibawah baku mutu air
limbah (BMAL) menurut SK. Gubernur Kaltim No. 26 tahun 2002 dengan batasan
Beban NH3-N maksimum 0,75 kg NH3-N/ton produk. Oleh karena didalam proses
pembuatan amoniak/urea dikenal sistim In
Plant Treatment maka beban NH3-N didalam air limbah masih dapat di
minimalkan agar memenuhi Baku Mutu Air Limbah (BMAL). Dalam keadaan abnormal,
air limbah tersebut diamankan dulu kedalam kolam stabilisasi sebelum dibuang ke
lingkungan. Yang dimaksud keadaan abnormal disini adalah terjadinya keadaan
darurat, proses shut down serta pada
saat ada program pemeriksaan tanki amoniak sehingga perlu pengosongan tanki
atau pada saat initial start-up.
Karena pabrik
Kaltim-1, Kaltim-2 dan Kaltim-3 sudah beroperasi lebih dari 15 tahun ditambah
adanya 3 pabrik amoniak, 2 pabrik urea dan 1 pabrik melamin maka kandungan NH4+
didalam air laut sekitar Pupuk Kaltim
secara kumulatif diperkirakan bertambah.
Oleh karena itu manajemen PT. Pupuk Kaltim berpikir untuk melakukan daur
ulang semua air limbah semaksimal mungkin. Hal ini tertuang dalam Program Kerja
Perusahaan untuk tahun 2003/2004 yaitu melalui Program Perbaikkan Mutu
Lingkungan Laut Ambien (P2ML2A), dengan melakukan upaya mereduksi sumber
pencemar yang mengandung amoniak. Usaha-usaha tersebut adalah : melakukan
pemantauan secara intensif terhadap semua sumber air limbah dari peralatan,
mengevaluasi dan memberikan rekomendasi untuk menyiapkan upaya segregasi, stripping, biotechnology, purifikasi
yang dilanjutkan dengan daur ulang, sehingga secara bertahap pabrik Kaltim-1,
Kaltim-2 dan Kaltim-3 dapat mengikuti Program Peringkat Nasional.
Program
Peringkat adalah penilaian kinerja pabrik terhadap buangan limbahnya dan sekaligus
penilaian terhadap bantuan kemasyarakatannya. Dalam kasus ini utamanya adalah
program penilaian terhadap kinerja air limbah. Dalam penelitian ini ruang
lingkupnya hanya untuk pabrik Kaltim-1, Kaltim-2 dan
Kaltim-3 saja
sebab ketiga pabrik tersebut yang memberikan andil pembuangan limbah cair yang
mengandung amoniak dengan beban yang paling besar dan belum dilakukan segregasi
terhadap air limbah yang mengandung parameter non amoniak.
Permasalahan
yang sebenarnya adalah bahwa belum pernah dilakukan penelitian mengenai sampai
seberapa jauh hubungan beban air limbah terhadap perencanaan yang perlu
dilakukan oleh Managemen PT. Pupuk Kaltim, demikian juga tentang kinerja air
limbah rata-rata setiap tahunnya, sehingga dapat di programkan pengelolaan
terpadu antara ketiga pabrik untuk air limbah yang mengandung amoniak secara
efisien, dalam pengertian menghasilkan benefit
bagi perusahaan.
Perlu
kebijakan yang terpadu untuk memperkuat struktur industri pupuk dalam
negeri.Industri pupuk harus diperkuat di hulu, di sini kita juga bicara tentang
energi yakni minyak dan gas sebagai bahan baku utama yang otomatis terkait erat
dengan kebijakan energi nasional.
Apalagi industri
pupuk merupakan industri padat modal berteknologi tinggi dan penuh dengan
risiko khususnya di sektor hulu. harus ada perlakuan khusus yang memungkinkan
sektor hulu industri tersebut tumbuh secara berkelanjutan. Harus ada kebijakan
industri secara nasional yang siap menjamin dalam jangka panjang.
Selama ini
kebijakan industri pupuk melibatkan banyak instansi baik dari sisi tata niaga
maupun industrinya. Sejumlah instansi yang terlibat dalam kebijakan industri
pupuk di antaranya Kementerian Koordinator Perekonomian, Kementerian ESDM, BP
Migas, Kementerian Keuangan, Kementerian Negara BUMN, Kementerian
Perindustrian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Pertanian, dan para
produsen pupuk.
Instansi-instansi
tersebut dinilai harus bersinergi untuk menghasilkan kebijakan industri pupuk
yang terpadu. Saat ini pabrik pupuk menghadapi berbagai persoalan di antaranya
cadangan gas bumi makin berkurang, sedangkan kontrak LNG tetap dipertahankan,
sehingga pabrik tidak dapat beroperasi optimal.
Harga gas bumi
ditetapkan dalam dolar AS sementara penjualan pupuk yang dilakukan penyebaran
di dalam negeri ditetapkan dengan dalam Rupiah, sebagian besar pabrik pupuk
menggunakan teknologi yang sudah lama sehingga konsumsi pemakaian bahan baku menjadi
tinggi, sebagian besar pabrik sudah berusia rata-rata di atas 20 tahun.
Kemampuan
pemupukan dana internal terbatas, sehingga tidak memiliki dana cukup untuk
pemeliharaan maupun penggantian pabrik dan bahan baku pupuk non urea
(Superphos, ZA dan NPK/Phonska) masih dilakukan impor.
Penetapan
jumlah pupuk bersubsidi masih tergantung pada alokasi anggaran subsidi dan
ketersediaan pupuk untuk kebutuhan perkebunan (PBS-PBN) belum mencukupi (belum
lagi persoalan data kebutuhan riil pupuk yang masih lemah).
Tata niaga pupuk mengalami kendala dalam hal pelaksanaan kebijakan
ekspor, walaupun kebutuhan dalam negeri sudah terpenuhi dan stok melampaui
ketentuan. Produsen diwajibkan menjamin stok pupuk bersubsidi, namun kebijakan
kompensasi pembiayaan terhadap stok pupuk bersubsidi yang belum tersalurkan
belum dibuat. Disparitas harga pupuk bersubsidi dan non subsidi (kebun,
industri, maupun ekspor) dinilai dapat berakibat distribusi pupuk bersubsidi
tidak tepat sasaran semakin memberatkan pihak produsen.
Produk utama
Pupuk Kaltim adalah urea dan amoniak. Pupuk Kaltim pun memproduksi produk lain
seperti NPK Pelangi dan Zeorganik. Merek dagang yang digunakan untuk pupuk Urea
adalah Mandau dan Daun Buah. Produk ini dipasarkan ke berbagai sektor, yaitu
sektor tanaman pangan untuk urea bersubsidi dan sektor nonsubsidi yang meliputi
pasar perkebunan dan industri.
Untuk distribusi
urea bersubsidi pelaksanaannya telah diatur oleh pemerintah melalui Kementerian
Perdagangan dan Kementerian Pertanian. Data mengenai jumlah kebutuhan pupuk
nasional diperbaharui secara berkala dan menjadi patokan dalam pelaksanaan
tugas distribusi pupuk bersubsidi. Wilayah tanggung jawab Pupuk Kaltim meliputi
dua per tiga wilayah Indonesia, antara lain 14 propinsi di kawasan timur
Indonesia dan 28 kota/kabupaten di Jawa Timur.
Untuk
pemasaran luar negeri, Pupuk Kaltim adalah salah satu pemain utama di Asia
Pasifik. Pupuk Kaltim pun telah merambah pasar Amerika Utara dan Amerika
Selatan. Berikut ini data selengkapnya:
Tabel Pemasaran Pupuk Kaltim (dalam Ton)
|
2006
|
2007
|
2008
|
|
Urea
|
Bersubsidi
|
1.610.089
|
1.850.813
|
1.819.344
|
Nonsubsidi
|
832.643
|
559.375
|
454.827,483
|
|
Ekspor
|
0
|
108.471
|
0
|
|
Amoniak
|
Dalam negeri
|
105.000
|
95.975
|
78.810
|
Ekspor
|
204.129
|
235.540
|
138.850
|
|
NPK Pelangi
|
Bersubsidi
|
0
|
737,85
|
1048
|
Nonsubsidi
|
11.570
|
17.443
|
35.890
|
Penjualan ke sektor perkebunan dan sektor industri adalah murni
bisnis. Harga juga ditentukan oleh mekanisme pasar. Penjualan di sektor
industri dan pertanian ini memberi kontribusi yang sangat signifikan bagi
kinerja keuangan dari perolehan laba perusahaan karena marjin keuntungan yang
diperoleh dari sektor ini cukup tinggi.
Produksi pupuk urea diproyeksikan akan mencapai 7,137 juta ton pada
tahun 2011, atau naik enam persen dari angka tahun lalu yang sebanyak 6,6 juta
ton. Kebutuhan pupuk urea pada 2011 diproyeksi sebanyak 5,1 juta ton, produksi
pupuk NPK juga diproyeksikan akan mencapai 2,805 juta ton pada tahun 2011. Kementerian
Perindustrian (Kemenperin) mencatat, realisasi penyerapan pupuk hingga November
2010 adalah 5,9 juta ton. Di mana penyerapan pupuk di sektor pertanian sebesar
4,5 juta ton, industri sebesar 614.650 ton dan sektor perkebunan sebesar
750.700 ton. Salah satu produsen pupuk yang akan melakukan ekspansi adalah PT
Pupuk Kalimantan Timur V (PKT V) di Bontang yang akan membangun pabrik pupuk
baru senilai USD828,6 juta. Sementara itu, terkait program revitalisasi
industri pupuk nasional, pemerintah akan mengganti tujuh pabrik pupuk yang
sudah tua dan mengembangkan pupuk majemuk (NPK). Tujuh pabrik yang sudah tua
itu adalah tiga unit milik Pusri, satu unit milik PT Petrokimia Gresik, satu
unit milik PT Pupuk Kalimantan Timur (PKT), satu unit milik PT Pupuk Kujang dan
satu pabrik milik PT Pupuk Iskandar Muda (PIM). Namun, selama empat tahun ke
depan, pemerintah hanya fokus pada restrukturisasi tiga pabrik pupuk,
yakni milik pabrik pupuk Kujang, pabrik PKT dan pabrik Pusri. Pembangunan
pabrik pupuk tersebut masih terhambat oleh suplai gas. Pabrik pupuk urea butuh
gas. Sementara gas sekarang ini terbatas, Kaltim V sudah ada kontrak dengan
East Kal sebanyak 85 mmscfd (standar metrik kaki kubik per hari) tapi hanya
untuk lima tahun. Kebutuhan pasokan gas bumi untuk sektor pupuk di dalam negeri
saat ini berkisar 800–850 mmscfd dan diproyeksikan akan terus meningkat.
Kelangkaan pupuk saat ini merupakan hal yang
biasa, terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kelangkaan pupuk ini disebabkan
karena adanya kerusakan di salah satu unit urea PT. Petrokimia Gresik (Petro)
dan di saat bersamaan, kedua daerah tersebut sedang menghadapi masa tanam yang
tentu membutuhkan pupuk dalam jumlah besar. Pemerintah telah meminta kepada
produsen pupuk lainnya seperti PT. Kalimantan Timur (PKT) untuk memasok pupuk
di kedua daerah tersebut.
Salah satu
masalah yang dihadapi oleh pabrik pupuk sekarang adalah ketersediaan gas
sebagai bahan
baku pupuk urea. Gas merupakan unsur terbesar dari stuktur biaya produksi
urea yaitu
sekitar 50%-60%. Ketersediaan gas dengan harga yang terjangkau merupakan hal
yang mutlak bagi kelangsungan hidup pabrik pupuk. Isu gas merupakan isu vital bagi industri
pupuk nasional, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Akibat
ketidaktersediaan gas ini, sejumlah pabrik pupuk kini sudah tidak beroperasi
lagi. PT. Asean Aceh Fertilizer (AAF), misalnya, sejak tahun 2000 tidak
beroperasi karena tidak ada pasokan gas yang akhirnya dilikuidasi. PT. Pupuk
Iskandar Muda (PIM) juga sudah setahun ini tidak beroperasi karena hal yang
sama. PIM diperkirakan baru bisa beroperasi lagi pada 15 April ini setelah ada
kebijakan swap gas dari PKT. Diperkirakan kemampuan suplainya turun 5 mmscfd
per bulan. Karena harga gas untuk PKT berlaku sistem formula, dengan harga
minyak sekitar $55/barrel dan harga jual ekspor urea dan amoniak yang tinggi,
maka harga gas yang harus dibayar PKT kini sekitar $3/mmbtu. Harga yang cukup
tinggi untuk sebuah pabrik pupuk.
Bisa saja
industri pupuk membeli harga gas sesuai dengan harga di pasar. Namun, hal ini
menjadi tidak bisa diwujudkan karena harga jual pupuk telah ditetapkan pemerintah
melalui harga eceran tertinggi (HET). HET Pupuk diatur dalam Surat Keputusan
Menteri Pertanian (Mentan) No.107/Kepts/SR.130/2/2004 yaitu sebesar Rp1.050/kg
urea (atau sekitar $100/ton). Padahal, kini harga gas dan biaya lainnya terus
meningkat seiring dengan perkembangan kenaikan harga BBM dan inflasi.
Industri pupuk
yang hanya sanggup membeli gas sekitar $2,0 per mmbtu, kalah bersaing
dibandingkan dengan harga yang ditawarkan PLN, PGN, dan untuk LNG yang bisa
membayar lebih dari $2 per mmbtu. Tingginya harga gas dan biaya produksi
lainnya serta transportasi, sementara HET tidak berubah, telah menyebabkan
produsen pupuk sebagai perusahaan yang dituntut untuk memperoleh laba mengalami
opportunity loss cukup besar.
Harga pupuk di
luar negeri bisa mencapai US$250/ton. Disparitas harga yang begitu tinggi
antara harga jual domestik dengan harga ekspor, disamping menimbulkan
opportunity loss bagi produsen pupuk juga telah merangsang penyelundupan ke
luar negeri.
Untuk
mengurangi kerugian yang dialami produsen pupuk, pemerintah memberikan subsidi
dengan pola subsidi harga gas. Perhitungan subsidi gas diatur dalam SK Menteri
Keuangan No. 356/KMK.06/2003. Menurut SK No.356/2003 ini, besaran subsidi untuk
urea
dihitung
berdasarkan harga gas, dengan rumus: harga gas sesuai kontrak US$/mmbtu dikurangi harga gas yang menjadi beban
produsen pupuk US$/mmbtu) dikalikan volume pemanfaatan gas. Produsen pupuk
tetap membayar gas dengan harga sesuai kontrak, sedangkan selisihnya dibiayai
APBN.
Mekanisme
subsidi harga gas ini memiliki kelemahan mendasar yaitu mengabaikan aspek biaya
lainnya di luar biaya gas. Padahal, biaya gas hanya salah satu komponen biaya
yang dikeluarkan oleh produsen pupuk agar pupuk tersebut sampai ke petani.
Selain gas, masih terdapat biaya transportasi dan biaya operasi lainnya
(seperti transprotasi dan BBM) yang terus bergerak naik, sementara harga jual
produknya tidak beranjak naik.
Pola Subsidi Pupuk Berlaku Saat Ini
1.
Subsidi Pupuk hanya untuk
Petani, harga urea Rp1.050/kg (HET). Harga urea untuk ekspor dan industri
sesuai harga pasar dan tidak disubsidi.
2.
Harga gas didasarkan hasil
kesepakatan dengan KPS (Kontrak). Pembayaran gas oleh produsen pupuk ke KPS
sama dengan harga kontrak (full payment). Selisihnya antara harga kontrak dan
harga menurut kemampuan atau beban produsen pupuk disubsidi APBN.
3.
Skema pembayaran subsidi, BUMN
Pupuk menerima pengembalian subsidi dengan cara:
•
Jumlah urea yang dijual ke
petani dihitung (=A, ton); dihitung jumlah gas untuk menghasilkan A ton pupuk ke petani
tersebut (=B, mmbtu);
•
Pemerintah mengembalikan
selisih harga gas, jumlah gas untuk memproduksi urea yang dijual ke petani (=B)
dihargai sebesar US$1/mmbtu;
•
Jika harga gas US$2.4/mmbtu,
Pemerintah mengembalikan = (2.4-1) US$/mmbtu x B mmbtu;
•
Turunnya dana subsidi selisih
harga gas tersebut ke produsen pupuk rata-rata setahun;
•
Pembayaran dari Kementerian
Keuangan ke produsen pupuk dibagi dalam dua tahap. Tahap pertama dibayarkan 90% segera setelah klaim, sisanya
10% dibayar setelah adanya audit BPK tahun berjalan (1 tahun).
(Sumber:
diolah dari berbagai sumber)
Permasalahan
perpupukan lainnya yang perlu mendapat perhatian adalah tata niaga. Tata niaga
pupuk selalu mengalami perubahan dari tahun ke tahun. Regulatornya pun berasal
dari berbagai
instansi, yaitu Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, dan Kementerian
Perindustrian. Kementerian Pertanian menetapkan besarnya kebutuhan pupuk
bersubsidi untuk setiap daerah setiap tahunnya serta menentukan HET pupuk.
Mentan telah mengeluarkan Peraturan Mentan Pertanian (Permentan) No.
505/Kpts/sr.130/12/2005 tentang Kebutuhan dan HET Pupuk Bersubsidi untuk Sektor
Pertanian Tahun Anggaran 2006 yang kemudian direvisi dengan Permentan No.
04/permentan/sr.130/2/2006 tanggal 20 Februari 2006.
Kementerian
Perdagangan dan Kementerian Perindustrian mengatur tentang Pengadaan dan
Penyaluran Pupuk Bersubsidi Untuk Sektor Pertanian atau yang kemudian dikenal
dengan rayonisasi pemasaran pupuk bersubsidi. Rayonisasi ini sudah berkali-kali
dirubah yaitu dimulai dari SK Menperindag No. 70/MPP/Kep/2/2003 yang direvisi
dengan 306/MPP/Kep/4/2003 dan diubah lagi dengan SK Menperindag No.
356/MPP/Kep/5/2004.
Terakhir, pengaturan perdagangan pupuk berada di Kementerian
Perdagangan
dan diatur dengan Peraturan Menteri Perdagangan No. 03/M-Dag/Per/2/2006 tentang
Pengadaan dan Penyaluran Pupuk Bersubsidi. Namun, intinya tidak berubah yaitu
masalah wilayah pemasaran pupuk bersubsidi ditentukan oleh pemerintah.
Berbagai
regulasi ini diarahkan untuk menjaga kepastian, baik atas harga, kebutuhan, serta
wilayah pemasaran pupuk bersubsidi. Dengan adanya regulasi ini diharapkan bisa
memberikan jaminan baik kepada petani (berupa harga serta pasokan) maupun
produsen pupuk (berupa kepastian wilayah pemasaran yang menjadi tanggung
jawabnya).
Karena kurang
koordinasi antar instansi, justru regulasi-regulasi ini menghambat proses distribusi
pupuk secara baik, terutama jika terjadi kelangkaan pupuk seperti saat ini.
Pertama, Kementerian
Perdagangan melalui Permentan No. 505/Kpts/SR.130/12/2005 telah menetapkan
jumlah kebutuhan pupuk untuk setiap wilayah (Propinsi). Tentunya, Kementerian
Pertanian memiliki dasar perhitungan sehingga bisa menetapkan jumlah kebutuhan
pupuk untuk setiap daerah setiap tahunnya. Permentan 505/2005 menyebutkan,
kebutuhan pupuk bersubsidi tahun 2006 untuk urea sebanyak 4,3 juta ton. Tetapi,
permintaan riil diatas dari yang telah ditentukan Kementerian Pertanian.
Praktis ada
gap antara permintaan dengan keputusan Kementerian Pertanian. Menurut Kementerian
Pertanian, ketimpangan itu terjadi karena penggunaan pupuk oleh petani melebihi
dosis anjuran dari Kementerian Pertanian.
Sesuai dengan
Peraturan Presiden (Perpres) No. 77/2005 tentang Penetapan Pupuk Bersubsidi
Sebagai Barang Dalam Pengawasan, jika permintaan yang melebihi alokasi kuota
seperti yang ditetapkan dalam Permentan No. 505/2005 tersebut dipenuhi,
produsen pupuk bisa dianggap menyelewengkan pupuk yang tentunya bisa ada
konsekuensi hukum tersendiri.
Kalaupun
Perpres 77/2005 ini dapat dikesampingkan, produsen pupuk, tidak bisa begitu
saja diminta menutupi kekurangan ini. Ini mengingat, sebagai perusahaan yang
harus laba, sementara menjual pupuk bersubsidi sesungguhnya merugikan (HET
terlalu kecil dan pola subsidi tidak menguntungkan). Di samping itu, karena
besarnya subsidi dihitung berdasarkan pada jumlah kebutuhan pupuk yang telah
ditentukan Kementerian Pertanian, atas kelebihan tersebut, produsen pupuk
terkait tidak mendapatkan subsidi. Nah, kalau disuruh memasok pupuk dengan
harga HET, lalu siapa yang menanggung kerugian. Produsen pupuk, bisa saja
memasok pupuk dengan HET yang ditentukan. Namun, diperlukan ”kerelaan” dari
pemilik (Kementerian BUMN) bahwa target laba yang ditentukan dalam Rencana
Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP) akan tidak tercapai.
Kedua, kalau
mencermati Permendag 03/2006, sesungguhnya dapat ditemukan banyak kelemahan.
Kelemahan pertama, pembagian rayonisasi bagi setiap produsen pupuk yang
ditentukan Permendag 03/2006 terlihat ”jomplang” dan terkesan tidak adil.
Sebagai contoh, ada pabrik pupuk yang memiliki kapasitas produksi terbatas,
tetapi diminta memasok pupuk di dalam negeri dalam jumlah yang sangat besar. Di
sisi lain, ada pabrik pupuk yang memiliki kapasitas produksi sangat besar,
namun kewajiban domestiknya sangat kecil.
Situasi ini,
jelas merugikan produsen pupuk tertentu. Sebab, bila produsen pupuk dengan
kapasitas terbatas diminta komitmen memasok pupuk domestik dalam jumlah yang
sangat besar, itu artinya pemerintah tidak memberikan peluang kepada perusahaan
tersebut untuk melakukan ekspor. Padahal, ekspor pupuk sangat dibutuhkan untuk
mendapatkan keuntungan yang dapat digunakan untuk mengkompensasi atas kerugian
yang ditimbulkan akibat memasok pupuk di dalam negeri dengan harga HET.
Kelemahan
kedua, Permendag 03/2006 ini juga kurang memperhatikan alokasi subsidi yang
telah ditentukan UU APBN 2006 dan juga mengabaikan RAKP perusahaan. Ini
terlihat, dalam konsideran Permedag 03/2006, ternyata tidak merujuk pada UU
APBN. Padahal, UU APBN 2006 telah menentukan mengenai besarnya subsidi setiap
produsen pupuk. Dengan sistem rayonisasi yang ditentukan Permendag 03/2006,
sangat mungkin terjadi alokasi subsidi pupuk untuk setiap produsen pupuk dalam
APBN 2006 akan dilanggar.
Kelemahan
ketiga, dalam kondisi bila terjadi kelangkaan, sesungguhnya produsen lain dapat
memasok pupuk ke wilayah yang mengalami kekurangan pasokan tersebut. Namun,
Permendag
03/2006 menyebutkan, realokasi pasokan ditetapkan oleh Dirjen Perdagangan
Dalam Negeri, Kementerian
Perdagangan setelah mendapatkan rekomendasi dari Direktur Jenderal Industri
Agro dan Kimia, Kementerian Perindustrian.
Rekomendasi
Mengingat
permasalahan yang dihadapi industri pupuk begitu kompleks. Terdapat beberapa
solusi yang ditawarkan untuk menyelesaikan masalah perpupukan tersebut.
Pertama,
terkait dengan masalah gas, langkah yang diperlukan adalah adanya kebijakan
energi yang berpihak kepada industri dalam negeri, terutama industri pupuk. Kebijakan
pemerintah yang kini melakukan reorientasi penggunaan energi seperti tertuang
dalam Perpres No. 5/2006 tentang Kebijakan Energi Nasional dirasa sudah tepat.
Dalam Perpres itu, Presiden RI telah memerintahkan kepada Menteri Energi dan
Sumber Daya Mineral untuk menetapkan Blueprint Pengelolaan Energi Nasional yang
harus memuat (a) adanya jaminan keamanan pasokan energi dalam negeri; (b)
kewajiban pelayanan publik (public service obligation); (c) pengelolaan sumber
daya energi dan pemanfaatannya. Tentunya, kebijakan ini harus dijabarkan hingga
detail, termasuk menyangkut potensi gas yang ada serta indentifikasi kebutuhan
industri dalam negeri (termasuk pupuk) akan pasokan gas. Agar dalam setiap
kerja sama eksplorasi gas, misalnya KPS atas Blok Cepu dan KPS Blok A di NAD
perlu ada klausul agar prioritas pemanfaatan gas diarahkan untuk memenuhi
kebutuhan dalam negeri, termasuk industri pupuk.
UU No. 22/2001
tentang Minyak dan Gas Bumi harus direvisi, terutama yang menyangkut kewajiban
pemenuhan hasil produksi migas maksimal 25% untuk memenuhi kebutuhan dalam
negeri (Pasal 22). Kemudian, kita juga memerlukan UU Energi yang membedakan
harga gas untuk feed stock dan untuk keperluan energi.
Kedua, pola
subsidi harga gas perlu dilihat lagi efektivitasnya. Ini mengingat, subsidi
harga gas tidak bisa mencerminkan biaya produksi serta biaya-operasional
lainnya. Perlu dipertimbangkan untuk mengganti pola subsidi harga gas dengan
subsidi harga produk. Dengan pola ini, subsidi memang betul-betul mencerminkan
biaya yang dikeluarkan untuk mengirim pupuk sampai ke petani. Namun sebelumnya,
audit atas struktur biaya produksi dan operasional produsen pupuk harus
dilakukan. Ini mengingat, dalam beberapa kasus dapat dijumpai adanya
biaya-biaya yang tidak relevan dengan operasional produsen pupuk dan jumlahnya
cukup besar, tetapi dimasukkan dalam biaya operasional perusahaan.
Ketiga,
terkait dengan tata niaga, koordinasi antarinstansi menjadi sangat penting.
Sesungguhnya, kalau fungsi holding BUMN pupuk berjalan baik, regulasi yang
rumit di atas tidak diperlukan lagi. Kebijakan pengaturan pemasaran pupuk,
semestinya cukup ditangani holding, tanpa harus diatur Deperindag. Pemerintah
cukup mewajibkan kepada holding agar kebutuhan dalam negeri jangan sampai tidak
tercukupi. Dengan diserahkannya ke holding, integrasi antara kebutuhan
korporasi serta kewajiban pemasaran domestik (PSO oriented) dapat diatur secara
fleksibel, sehingga fairness diantara produsen pupuk dapat dijaga.
Dengan melihat
fungsi holding saat ini yang tidak berjalan, ide pembentukan holding baru yaitu
PT. Pupuk Indonesia yang digulirkan Kementerian BUMN mutlak diperlukan. Dengan
dibentuknya holding baru ini, kebijakan pemasaran dapat dipusatkan di tingkat
holding sehingga pemasaran lebih terfokus dan terarah.
Keempat, di
atas disebutkan bahwa terjadinya kelebihan permintaan pupuk oleh petani dari
jumlah kebutuhan yang ditentukan Deptan disebabkan karena petani tidak mengindahkan
anjuran Deptan mengenai dosis penggunaan pupuk. Faknya ini memperlihatkan bahwa
persepsi petani bahwa semakin banyak urea disebar akan bisa meningkatkan
produktivitas adalah keliru. Padahal, urea itu hanya untuk batang dan daun,
yang berarti masih dibutuhkan TSP/SP-36 untuk akar dan KCL untuk bunga dan
buah. Melihat kondisi ini, pengembangan pupuk majemuk (NPK) mutlak diperlukan.
Data menunjukkan, negara yang petaninya menggunakan NPK, produktivitasnya jauh
melebihi petani Indonesia.
Untuk dapat
menjalankan semua ini, jelas dibutuhkan kemauan politik yang kuat dari berbagai
pihak. Penulis melihat, kinilah saat yang tepat untuk menata kembali kebijakan
perpupukan nasional dalam rangka mendukung ketahanan pangan. Terlebih lagi,
Presiden RI saat ini terlihat memiliki komitmen kuat untuk menata kembali
kebijakan di sektor pangan dan energi. Ini merupakan momentum yang baik bagi
kita untuk fokus membenahi hal-hal yang selama ini keliru yang menimpa industri
pupuk nasional.
Sumber
Maju dengan
Berwawasan Lingkungan
Faisal Basri: Kebijakan
Industri Pupuk Perlu Terpadu
(*)http://www.pupukkaltim.com/ina/news/index.php?act=news_detail&p_id=981
Pemain Utama di
Asia Pasifik
Tabel Pemasaran Pupuk Kaltim (dalam Ton)
Produksi Pupuk Urea Naik
6%
Senin, 3 Januari
2011 09:22 wib
(Sandra Karina/Koran SI/ade) http://economy.okezone.com/read/2011/01/03/320/409682/produksi-pupuk-urea-naik-6
Membedah Masalah Perpupukan
Nasional∗∗∗∗
Oleh Sunarsip∗∗
Tidak ada komentar:
Posting Komentar