Artikel :
Usung Lokalitas, Gaet Popularitas
Thursday, December
10th, 2009 oleh : Henni T. Soelaeman, Ahmad Yasir Saputra, dan Dumaria
Manurung web : www.swa.co.id
Dari sebuah stasiun radio bercitarasa Betawi, Bens Radio telah
berkembang menjadi 13 radio lokal yang merentang dari Banten, Jawa Tengah,
Sumatera Selatan, sampai Kepulauan Riau. Strategi mengangkat nilai-nilai etnik
dan budaya lokal menjadikan Bens Radio meraih pendengar terbanyak.
Biem Triani Benjamin berbeda jauh dari gambaran sosok orang Betawi
umumnya yang kerap distereotipkan sebagai doyan nongkrong, cuma menjual tanah
warisan, dan sekolah ala kadarnya. Pria berusia 45 tahun ini justru tampil
sebaliknya. Pendidikannya sampai perguruan tinggi, yang ditempuhnya di negeri
Barack Obama. Dia juga bukan pengangguran yang bermalas-malasan. Dia malah
sukses membangun imperium bisnis yang diwariskan orang tuanya, seniman Betawi
yang sangat ternama: Benjamin Sjuaeb (almarhum). Dan bahkan di tangannya,
bisnis yang didirikan sang ayah kini telah beranak pinak, merambah berbagai
daerah dengan omset miliaran rupiah. Di bawah kendali Etnikom, kini ada 13
radio dalam jaringannya, yang membentang dari Banten, Jawa Tengah (Cirebon),
Lampung, Sumatera Selatan, hingga Kepulauan Riau.
Semua itu berawal dari Bens Radio, yang dibesut Biem bersama sang
ayah tahun 1989. Stasiun radio ini mengudara dengan mengangkat nilai-nilai
budaya Betawi. Seluruh siaran menggunakan bahasa dan dialek Betawi.
“Abang-none, encang-encing, enyak-babe, kagak terase ye bentar lagi Jakarta
ultah nyang ke-482 taon…,†demikian celoteh penyiarnya. Tak sekadar penuturan penyiar dengan
citarasa Betawi, program acara pun menampilkan budaya Betawi, seperti Gambang
Kromong atau lagu-lagu Betawi lawas yang pernah dinyanyikan Benjamin bersama Ida Royani.
Dengan mengusung lokalitas, dalam tempo singkat, Bens Radio mampu
bertengger sebagai stasiun radio yang meraup pendengar terbanyak. Menurut hasil
survei AC Nielsen pada 2001 dan 2002, Bens Radio menjadi radio dengan pendengar
terbanyak se-Jabotabek. Mengudara di kanal 106,2 FM, stasiun radio yang
bermarkas di Jalan Jagakarsa 39, Jakarta Selatan, ini didengar lebih dari 4
juta orang, sementara radio-radio lain paling banter cuma dapat mengumpulkan 1
juta pendengar.
Lahir di Jakarta pada 13 Maret 1964, Biem, seperti juga anak Betawi
lainnya, dibesarkan dalam budaya Betawi yang sangat kental. Anak ketiga dari
lima bersaudara ini, selain menimba ilmu di sekolah, juga belajar pengetahuan
agama dan mengaji dari ustadz yang dipanggil ke rumah oleh orang tuanya pada
sore hari. Meski demikian, Benjamin tetap memberi kebebasan kepada anak-anaknya
untuk berkreasi, termasuk kepada Biem. Menurut Biem, ayahnya memberikan
kebebasan dengan catatan tidak melupakan masalah akhirat. “Mau jadi apa
terserah, satu hal yang penting adalah shalat,†katanya mengenang.
Setelah menyelesaikan sekolah dasar di SDN Tebet tahun 1977, Biem
melanjutkan sekolah ke SMP 13 Jakarta. Lalu, dia masuk SMA Pangudi Luhur
Kebayoran dan lulus pada 1983. Setahun setelah lulus SMA, barulah Biem terbang
ke Amerika Serikat untuk belajar Ilmu Manajemen Komputer di Metropolitan State
College, Denver, Colorado. Setelah lulus, dia balik ke Indonesia. Dia sempat
bekerja di sebuah perusahaan kopi ternama di Indonesia selama enam bulan,
sebelum memutuskan terjun di bisnis broadcasting.
Berbeda dari saudara-saudaranya, keterampilan panggung Biem tidak
terlalu menonjol. “Saya jarang diajak maen sama Babe. Mungkin juga karena
saya tidak terlalu tertarik,†ungkap pria kalem ini. Dia mengaku lebih tertarik mengelola
pertunjukan seni daripada harus tampil di atas
panggung. Ketertarikan menjadi orang di belakang layar membuatnya menyanggupi
tantangan sang ayah untuk mendirikan stasiun radio. Biem mengenang, untuk
mengurus perizinannya perlu waktu hampir empat tahun. Barulah pada 5 Maret 1989
— bertepatan dengan tanggal lahir Benjamin — Bens Radio didirikan di Ciputat,
Jak-Sel. Nama Bens merupakan singkatan Benjamin S.
Biem mengaku diuntungkan dengan latar pendidikannya sehingga cukup
paham bagaimana mengelola bisnis. “Kebetulan saya punya ilmu manajemen. Jadi,
saya pegang manajemen dan almahum pegang kreatifnya,†ujarnya. Hal itu dibenarkan Iman
Musaman, Manajer Operasional Bens Radio serta Manajer Program dan Promosi
Etnikom. Menurutnya, dari awal, manajemen Bens Radio memang telah dipegang
Biem. Sebab, saat itu Benjamin yang menjadi ikon Bens
Radio adalah seorang artis yang sangat populer dan sibuknya bukan alang-kepalang,
sehingga urusan menata dan mengelola radio secara profesional sejak awal sudah
di tangan Biem.
Jika berkunjung ke kantor Bens Radio dan Etnikom di kawasan
Jagakarsa, kesan rapi dan berkarakter kuat terlihat mencolok. Sebait pantun
khas Betawi tertulis di prasasti peresmian yang menempel di dinding dekat pintu
depan kantor. Lalu, koleksi foto almarhum maskot seniman Betawi Benjamin S.
yang dipelesetkan menjadi Sider Ben, Ben Lee naga Betawi, juga terpampang
menghiasi dinding kantor. Halaman kantor yang cukup luas memberikan pemandangan
taman kecil yang terawat rapi. Di salah satu bagian tamannya, ada sebuah sado
tanpa kuda. “Saya juga ingin kantor ini menjadi green office,†ungkap Biem. “Walaupun
sebenarnya kantor ini tidak luas, halamannya kami hias dengan taman-taman.
Halaman belakang juga ada untuk dijadikan taman. Pokoknya, cinta lingkungan,
dah,†tambah ayah Chika, Gilang, dan Adelia ini.
Setia dan konsisten mempertahankan nilai Betawi dalam berbagai
format acara Bens Radio membuat radio ini disukai banyak orang. Seiring dengan
perkembangan zaman, Biem juga menyesuaikan diri dengan kebutuhan dan selera
pendengar Bens Radio yang ikut berubah. Porsi lagu dangdut yang semula dominan
sudah berkurang, bergeser ke lagu-lagu pop. “Apalagi, produksi lagu-lagu
dangdut sekarang juga menurun,†ujarnya. Namun, muatan lokal yang menjadi ciri dan keunikan Bens
Radio tetap dipertahankan. Dalam hal manajemen,
sebelumnya direktur Bens Radio disebut dengan “jagoanâ€. “Jadi, almarhum Babe
disebut Jagoan,†kata Biem mengenang. Kini, istilah jagoan digantikan dengan
direktur.
Bagi Biem, di tengah persaingan stasiun radio, keunikan menjadi
salah satu kunci sukses untuk bisa bertahan. Meski diakuinya, “Menjaga
lokalitas itu susah.â€
Karena itu, walau bercitarasa lokal, sajian acaranya bermuatan global. Artinya,
pesan yang ingin disampaikan harus bisa dikonsumsi seluruh kalangan yang menjadi target bidik Bens Radio. Strategi ini membuat Bens
Radio bisa bertahan sampai bilangan dekade.
Sukses Bens Radio menggelitik Biem untuk mengepakkan sayap. Di
matanya, jaringan juga menjadi kiat untuk memperbesar bisnis radio. Perlahan
dia mulai berekspansi mendirikan radio di daerah-daerah dengan tetap mengusung
budaya setempat. Sampai 1992, jaringannya mencapai 9 radio dan Biem tak ingin
berhenti. Namun, niatnya untuk makin ekspansif ditentang sang ayah. “Udah, ga
usah banyak-banyak. Radio yang ada aja. Ntar pusing lho,†Biem menirukan nasihat
Benjamin kepadanya terkait niatnya tersebut. “Tapi saya waktu itu masih
berjiwa muda. Terus aja. Alhamdulillah, sekarang semua radio established.
Hampir semua punya gedung sendiri,†paparnya. Dia
mengungkapkan, Radio Bens merupakan radio terbesar dari semua radionya.
“Maklum, Radio Bens itu ada di Jakarta,†katanya. Radio Bens bisa menjaring dana
Rp 700-800 juta dari iklan setiap bulan. Jika digabungkan, ke-13 radio lain
juga mengantongi iklan pada angka itu setiap bulan.
Tahun 2000, Etnikom secara resmi didirikan. Etnikom diambil dari
kata etnik dan komunitas atau bisa juga komunikasi. Ketika itu, sudah ada 11
radio yang dimiliki Bens Radio. Etnikom mengoordinasi semua radio miliknya.
Biem berharap radio-radio etnik ini bisa menjadi wadah eksplorasi ekspresi
etnik daerah masing-masing yang sangat beragam di seluruh Indonesia.
“Radio-radio itu memang kami posisikan untuk mengangkat budaya daerah
masing-masing,â€
kata Biem. Di holding ini, semua kebijakan umum untuk
pengembangan radio-radio dalam jaringannya di daerah dikoordinasikan. Setiap
tahun, juga ada pertemuan rutin semua pemimpin radio. Selain untuk
berkoordinasi, pertemuan ini juga menjadi sarana mempererat silaturahmi semua
stasiun radio di bawah naungan Etnikom.
Biem berpendapat, radio etnik tetap akan berkembang meski di era
globalisasi. Malah, menurutnya, globalisasi justru memperkuat keinginan untuk
menemukan identitas diri setiap orang di dunia, termasuk tentang etnis.
“Semakin global dunia, orang-orangnya semakin ingin mencari identitas dirinya
masing-masing. Perasaan itu tidak akan pernah hilang,†ujarnya. Barangkali, faktor inilah yang
menyebabkan radio-radio Etnikom terbilang eksis. Biem menyebutkan, semua radionya di daerah-daerah berhasil meraih posisi pertama atau kedua
sebagai radio dengan pendengar terbanyak. Radio-radio Etnikom selalu
menampilkan format etnik dalam penyampaiannya seperti penyapaan pendengar yang
menggunakan bahasa daerah dan konten-konten program berbahasa daerah.
Biem melihat, globalisasi tidak bisa ditolak. Masyarakat harus
membuka diri terhadap globalisasi agar dapat bersaing dan terus berkembang.
“Globalisasi harus diadopsi. Walau radio Betawi, kami tetap memanfaatkan
berbagai jasa layanan Internet. Kami juga bekerja sama dengan beberapa lembaga
pendidikan bahasa Inggris untuk pengembangan bahasa,†paparnya. Globaliasasi membawa perubahan
zaman. Karena itu, pihaknya harus menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan
tersebut tanpa harus melepaskan identitas diri. Biem
tetap melihat masa lalu, kini, dan masa yang akan datang. “Pendengar berubah,
kompetitor berubah. Ada pergeseran nilai. Mau tidak mau, kami juga harus
berubah untuk mengantisipasi berbagai perubahan tersebut,†kata suami Ismarlita ini.
Dalam pandangan Iman, Biem sangat visioner. “Biem adalah orang
yang menggagas Bens Radio mulai dari konsep dasar hingga namanya,†ungkapnya. Iman kemudian
mencontohkan, Biem mengonsep radio etnik pada 1993. Padahal pada saat itu,
radio etnik sama sekali tidak populer. Kenyataannya
sekarang, semua radio etnik yang tergabung di Etnikom pimpinan Biem menjadi
salah satu radio utama di tiap daerahnya. Menurutnya, sejak itu pula Biem
menggagas perluasan radio jaringan Bens. Biem juga membalikkan pandangan orang-orang
yang beranggapan radio harus besar dulu baru membuat jaringan. “Pak Biem
berpikir beda, supaya besar, radionya harus berjaringan,†papar Iman.
Dia menambahkan, Biem juga mengingatkan bahwa radio etnik bukan
berarti radionya akan berkutat di masa lalu. Karena etnik itu meliputi masa
lalu, sekarang, dan masa mendatang. Di bawah komando Biem, tambahnya, Bens
Radio selalu menemukan inovasi baru dan tetap berkembang sehingga tidak
tertinggal menghadapi radio-radio lain yang juga terus berkembang. Iman kemudian
mencontohkan lagi, Biem mengharuskan penyiarnya menguasai minimal tiga bahasa:
bahasa Indonesia sebagai bahasa sehari-hari, bahasa Inggris sebagai konsekuensi
globalisasi dan yang terdepan di dunia media, serta bahasa daerah sebagai
identitas. “Jangan sampai kita juga jadi radio yang kayak radio museum yang
pendengarnya cuma orang tua,†katanya menegaskan.
Dalam waktu dekat, sebuah radio baru milik Etnikom akan didirikan di
Tasikmalaya, Jawa Barat. Biem pun mengungkapkan impiannya memiliki stasiun
radio etnik di setiap provinsi di Indonesia. “Kalau bisa, radio ini
jaringannya tidak hanya nasional, tapi global,†ujarnya. Menurutnya, mimpi ini masih
sangat potensial mengingat globalisasi tetap membawa orang-orang untuk mencari
identitas dirinya. Negara-negara lain tentu punya
daerah-daerah yang juga memiliki khasanah budaya masing-masing yang sangat
beragam. “Tapi sejauh ini, modal kami masih terbatas,†ungkap Biem seraya berharap
ada investor yang mau menanam modal.
Biem mengakui, radionya ada yang didirikan langsung, ada pula yang
diambil alih dari pemilik lama. Akan tetapi, sebagian besar didirikan langsung
dari bawah. “Hanya beberapa yang di-takeover,†ujarnya. Biasanya sebuah radio baru akan
dikelola sementara oleh seorang utusan dari Jakarta.
Kemudian, mereka mempersiapkan orang-orang daerah setempat untuk mengelolanya.
Ketika semua sudah siap, barulah mereka memberikan semuanya kepada orang-orang
daerah tersebut. Hanya kebijakan umum yang dikoordinasikan ke daerah dari
Etnikom. “Orang daerah tersebut tentu lebih tahu kebutuhan di daerahnya,†ujar Biem. Selain itu,
otonomi akan menambah rasa memiliki masyarakat daerah masing-masing.
Biem mengaku tidak menerapkan aturan khusus di lingkungan kerja
kantornya. Budaya kerja itu, menurutnya, tidak dibuat-buat, tetapi akan
terbangun dengan sendirinya. Dia hanya menerapkan disiplin kerja serta layanan
yang baik kepada klien, yaitu pendengar dan pemasang iklan. Apalagi,
tahun-tahun terakhir ini, ketika Bens Radio mulai tergeser pemain baru. Menurut
survei ACNielsen, delapan tahun terakhir Bens Radio merupakan radio dengan
pendengar terbanyak di Jakarta. Namun, belakangan posisi ini diambil alih radio
baru, Gen FM. “Mungkin karena kami sudah cukup lama mengisi ruang dengar
pendengar. Lalu, mereka ingin mencoba sesuatu yang baru,†Biem menduga-duga. Meski
demikian, Biem yakin bisa kembali merebut posisi teratas dalam waktu dekat.
“Kami punya banyak potensi yang bagus. Dengan sedikit polesan, kami yakin
bisa ke atas lagi,†ujarnya optimistis.
Untuk itu, pihaknya mulai melakukan beberapa terobosan baru seperti
menyiapkan beberapa program off air. Juga, menempuh promosi bellow the line
dengan menggelar berbagai event. Karena itu, pihaknya mulai aktif mengembangkan
bagian event organizer-nya. “Kini kami sedang mengerjakan beberapa event
dengan Telkomsel. Mudah-mudahan ini akan menunjang omset radio kami.â€
Manajer Stasiun Radio Heartline FM Budi Aditya yakin Biem mampu
mewujudkan targetnya. “Pak Biem itu sosok yang ulet dan pekerja keras,†kata Budi. Selain itu, Biem
juga orang yang sabar dan tenang. Dalam penampilan dan pembawaan sehari-hari,
di matanya, Biem merupakan sosok yang low profile. Budi, yang sempat sama-sama
aktif di Pimpinan Daerah Persatuan Radio Siaran Swasta
Nasional Indonesia (PRSSNI) Banten, mengaku sangat salut pada dedikasi Biem
kepada organisasi. Biem selalu menyempatkan diri untuk hadir dalam rapat
pengurus. “Padahal, Pak Biem itu sibuk sekali,†katanya. Biem juga memberi kepercayaan
sepenuhnya kepada pengurus untuk melakukan yang terbaik
bagi semua anggota PRSSNI Banten.
Analisa :
Bens Radio merupakan radio yang memiliki jaringan di berbagai daerah
(radio-radio tersebut didirikan manajemen dengan bendera Etnikom). Identifikasi
menurut Michael Porter mengenai lima kekuatan yang menentukan daya tarik jangka
panjang intrinsic sebuah segmen pasar:
- Ancaman rivalitas segmen yang intens. Segmen radio adalah segmen yangpadat. Ketika awal berdiri, bens radio menghadapi kompetitor yang berjubel. Sebut saja prambors FM, I Radio, SK FM, Hard Rock, Elshinta, dll. Bens Radiomenawarkan sirana FM benuansa etnik local Betawi dengan tidakalerg terhadap dangdut. Tanpa dinyana, bens Radiomerangkak menjadi salah satu radio yang digemari sampai saat ini.
- Ancaman Pedatang baru. Kesuksesan Bens radio dijakarta membuatnya membuka beberapa radio didaerah dengan kekuatan etnik daerah yang didirikan masing-masing. Dalam keadaan ini, kelompok Etnikom harus menghadapi kompetitor lain dan pihak Bens Radio harus menghadapi radio lain yang baru berdiri.
- Ancaman Produk pengganti. Padahal bentuk yang mencirikan etnik daerah begitu keras kompetitornya dari penguasalama, yakni RRI. Cara rekrutmrnt yang dilakukan oleh Etnikompatut diacungi jempol, pencatumann penguasaan bahasa local membuatnya mampu berkomunikasi secara lebih mendalam kepada pendengarnya.
- Ancama Daya tawar Pembeli yang Semakin Besar. Bens Radio memainkankekuatan etnik dan Benyamin Syuaib secara cermat. Inilah yang membuatnya susah untuk diambil ceruknya.
- Ancaman Daya Tawar pemasok yang Semakin Besar. Ketika stock lagu dangdut berkurang, pihak bens radio dan Etnikom tidak segan-segan mengurangi porsi dangdut. Hal ini memang sudah realita.
Bens radio memiliki pesaing yang sudah benar benar eksis, seperti
prambors, SK, Utan kayu, Masteng ataupun Elshinta. Gebrakan Bens radio dengan
gaye Betawi aslinya mampu menerobos industri radio yang prnuh dengan kekuatan
Lo-gue.
Bens Radio atau Etnikom menerapkan system dalam memilih pesaing
adalah dengan:
- Kuat melawan lemah. Bens melakukan ekspansi kedaerah-daerah dengan modal dari Jakarta. Modal inilah yang membuatradio daerah pegangan Etnikom tetap eksis.
- Dekat Dengan jauh. Ketika kompetisi dijakarta begitu keras, Bens radio melakukan pelebaran sayap ke daerah-daerah, pemecahan konsentrasi ini membuat pihak marketing etnikom dapat berpaling kepangsa pasar yang tidak jenuh.
- Baik melawan buruk. Dengan usungan kekuatan etnik, Etnikom mencoba menjadi radinya orang daerah,dan menjadi milik mereka, keuatan dari hati ini yang dibidik secara kencang oleh Etnikom.
Etnikom dilihat dari empat factor dalam memperluas pangsa pasarnya:
- Kemungkinan memprovokasi tindakanantitrust. Bisa jadi bens radio dianggap sebagai monopoli radio yang ber etnik. Namun hal tersebut menjadi terbantahkan ketika radio-radio yang lain juga berdiri tapi tidak mau masuk ke ceruk tersebut.
- Biaya ekonomi. Patut diacungi jempol untuk Bens (Etnikom). Ketika Bens Radio belum mencapa sebesar sekarang, bens radio melakukan peebaran sayap yang terdiri dari mendirikan sendiri ataupun melakukan akuisisi radio daerah setempat.
- Melakukan kegiatan pemasaran yang salah. Ketika Bens radio mencoba mendirikan ke daerah-daerah, Almarhum Benyamin S. memperingatkan ekspansi tersebut. Namun anjuran larangan tersebut dijawab dengan tetap mendirikan radio-radio didaerah. Dengan kekuatan manajemen Biems, radio tersebut tetap eksis sampai sekarang.
- Pengaruh peningkatan pangsa terhadap kualitas actual dan kualitas anggapan. Biems sebagai pemilik Etnikom menyadari hal tersebut, perekrutan dengan penguasaan terhadap bahasa local mampu menarik warga setempat. Belum lagi ditambah dengan pemutaran beberapa lagudaerah tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar