Guratan taufiq ismail dengan langkah 1966
Tiga anak kecil
Dalam langkah
malu-malu
Datang ke
Salemba
Sore itu
“ini dari kami
bertiga
Pita hitam pada
karangan bunga
Sebab kami ikut
berduka
Bagi kakak yang
ditembak mati
Siang tadi”
(karangan Bunga,
1966)
Ketika saya
membacanya untuk pertama kali di rumah tahanan Jalan Keagungan, Jakarta, saya
merasa seakan angin segar datang menghembus melenyapkan kgelapan yang
ditimbulkan dalam relung-relung kalbu manusia Indonesia oleh tirani seratus
menteri.(Mochtar Lubis, 1966)
Taufiq Ismail,
lulusan dokter Hewan dan Petrnakan Universitas Indonesia (sebelum berubah
menjadi Institut Pertanian Bogor) pertama menggebrak dengan buku berjudul
Tirani dan benteng terbitan yayasan Ananda. Taufiq Ismail berutang budi pada
Soe Hok Djin (Arief Budiman), anak psikologi UI. Karena dialah karya-karaya
Taufiq dapat tersaji dalam Tirani dan Benteng, puisi yang lain lenyap dalam
kegelapan Kereta Api.
Cinta pada
kebebasan. Adalah cinta terlarang hari ini. (2 September 1965, Pagi, 1965)
Kemerdekaan
masih bertahan. Kemerdekaan untuk diam. Senja ini (2 september 1965, Senja,
1965)
Mantan ketua
senat ini memang memiliki kekuatan tersendiri dalam menuturkan puisi. Kita
ingat lagu yang dinyanyikan Chrisye? Ketika Tangan dan kaki berkata? Syairnya
dibuat oleh Taufiq Ismail, begitu dalam. Anak kelahiran Bukit Tinggi ini memang
tidak jauh dari tanah kelahirannya yang panda mengukir kata, tak heran,
cita-citanya untuk mndirikan usaha peternakan belum juga dapat terwujud.
Demikianlah,
bila kita harus berkata juga kontemporer! Saat ini! Ya saat ini juga. Dan
secarik bintang melesat di atas sana. (Pikiran Sesudah Makan Malam, September,
1965)
Impian
kemerdekaan. Dimatamu membayang. Malam dan Siang. (Sesudah Dua Puluh Tahun,
1965)
Dari titik ini.
Sedang kita tarik garis lurus. Ke titik berikutnya.
Segala komponen.
Telah jelas. Dalam soal. Yang sederhana. (gemetri, 1966)
Selama ini kita
selalu ragu-ragu. Dan berkata: Dua tambah dua mudah-mudahan sama dengan empat.
(Arithmetik Sederhana, 1966)
Dalam dada sesak.
Kabut mengerang lalu menggelepar. Dan di sini kulihat Iwan. Ketika dia
menunjukkan sebuah bulan bujur sangkar. (Tjaikovski 1812, 1965)
Almamater, janganlah bersedih
Bila arakan ini
bergerak perlahan
Menuju pemakaman
Siang ini
Anakmu yang
berani
Telah tersungkur
ke bumi
Ketika melawan
tirani
(Salemba, 1966)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar