Monetary and Fiscal Policies
Terpilihnya Kaltim sebagai kawasan berbasis pertanian
dan oleochemical, juga sebagai kawasan berbasis minyak dan gas (migas),
mendapat dukungan penuh Menteri Perindustrian MS Hidayat. Hanya saja, janji
Hidayat itu masih berupa kebijakan yang belum diketahui kapan dikeluarkan. Terpilihnya
Kaltim menjadi kawasan berbasis pertanian dan oleochemical, juga sebagai
kawasan berbasis minyak dan gas (migas), murni karena penilaian objektif
pemerintah pusat.
PT Pupuk Kalimantan Timur (PKT) menyatakan bila
perseroan sudah mendapatkan izin ekspor urea dari Kementerian Perdagangan.pada
tahun 2010. Pupuk urea yang akan diekspor sebanyak 300 ribu ton. Dengan
diberikan izin ekspor pupuk, akan mengurangi penumpukan di gudang pupuk BUMN.
Stok pupuk urea PKT saat ini mencapai 550 ribu ton. Sementara itu, urea tahun 2010
sebesar tiga juta ton urea, sedangkan produksi urea pada enam bulan pertama
tahun tahun 2010 mencapai 1,461 juta ton, amoniak 888.865 ton, dan NPK 59.716
ton. Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mendesak Kementerian Pertanian
untuk segera melakukan perhitungan dan memberikan rekomendasi melakukan ekspor
pupuk. Pasalnya, jika keran ekspor tidak segera dibuka, maka potensi kerugian
yang ditanggung bisa mencapai Rp3 triliun
Kebijakan yang dimiliki pemerintah
Indonesia dalam rangka pengolahan pupuk adalah kebijakan sektoral. Kebijakan sektoral
ini menitik beratkan pada satu dari sembilan sektor perekonomian di Indonesia.
Misalnya, di sektor pertanian pemerintah memberikan subsidi pupuk kepada para
petani. Subsidi ini diberikan agar harga pupuk murah, dengan demikian pupuk
akan segera dikonsumsi oleh para petani. Contoh lain adalah kebijakan di sektor
industri. Di sektor ini pemerintah membuat kebijakan kawasan ekonomi khusus. Kawasan
ekonomi khusus adalah kawasan yang khusus digunakan untuk pendirian industri.
Misalnya, kawasan industri Pupuk Kaltim, kawasan ini mempunyai hak khusus,
misalnya diberikan kekuatan subsidi untuk penjualan pupuk di beberapa daerah,
sehingga hal ini akan mendorong produksi di daerah yang ditunjuk oleh
pemerintah.
Kita bisa perhatikan peningkatan
kinerja BUMN selama lima tahun terakhir sejak akhir tahun 2004 hingga akhir
tahun 2008 sebagaimana ditunjukkan dengan berbagai indikator umum yang
ditunjukkan dalam tabel Kementerian negara BUMN) seperti: (a) kontribusi
dividen kepada APBN meningkat 196% menjadi Rp. 29,08 triliun di tahun 2008 dari
hanya Rp. 9,8 triliun di tahun 2004; (b) total laba bersih meningkat 77%
menjadi Rp. 78 triliun di tahun 2008 dari Rp. 44 triliun; (c) total asset
meningkat 38% menjadi Rp. 1.845 triliun di tahun 2008 dari Rp. 1.247 triliun di
tahun 2004. (Sambutan Tertulis Menteri Negara BUMN dalam Rangka HUT RI ke-64).
Lima pabrik pupuk yang dimiliki negara
(PT Pupuk Iskandar Muda, PT Pupuk Sriwijaya, PT Pupuk Kaltim, PT Pupuk Kujang
dan PT Pupuk Petrokimia) saat ini mengalami kendala kelancaran pasokan gas,
sebagai bahan baku utama industri pupuk. hal ini menimbulkan masalah besar
lainnya, adalah semakin langka dan menghilangnya pupuk di beberapa daerah. Akibatnya terjadi kesenjangan (gap) antara jumlah kebutuhan dan pasokan
pupuk. Persoalan kelangkaan pupuk masih berkait dengan faktor disparitas
harga eceran tertinggi (HET) dan harga aktual di lapangan, ketidaktepatan
subsidi, serta persoalan internal dalam industri pupuk seperti efisiensi,
penentuan harga pokok penjualan, dan budaya perusahaan perlu juga diperhatikan.
Produksi pupuk nasional pada tahun 2005
tercatat sebesar 5,9 juta ton dan diperkirakan menurun pada tahun 2006 menjadi
5,5 juta ton, terutama karena persoalan kelancaran pasokan gas, yang telah
melumpuhkan pabrik pupuk PT Asean Aceh Fertilizer (AAF) (Bustanul Arifin, opsi
kelangkaan Pupuk). Produksi tercatat 7,87 juta ton pupuk Urea.
Kapasitas produksi pupuk non-Urea 600 ribu ton ZA, 900 ribu ton SP36 dan
300 ribu ton Phonska. Realisasi penjualan pupuk pada tahun 2005 tercatat
5,3 juta ton, dengan pangsa terbesar masih ditempati sektor tanaman pangan yang
mencapai 4 juta ton, dan sisanya untuk sektor perkebunan, perikanan, industri
dan lain-lain. Pada tahun 2005, Indonesia juga telah mengekspor pupuk urea
sekitar 800 ribu ton. Kebijakan resmi pemerintah mengenai pupuk ini
memang jelas, yakni subsidi pada harga pupuk, hal ini ditujukan untuk pemenuhan
kebutuhan petani dalam pengolahan sektor pertanian di dalam
negeri.
Kebijakan pupuk di sektor pertanian
ditetapkan melalui Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor
505/Kpts/SR.130/12/2005) tanggal 26 Desember 2005. Kebutuhan pupuk
bersubsidi pada tahun 2006 adalah 6 juta ton, dengan rincian sebagai berikut:
Urea 4,3 juta ton, Posphat (SP-36) 700 ribu ton, pupuk ZA 600 ribu ton dan
pupuk majemuk Phonska (NPK) 400 ribu ton. Sementara itu produksi pupuk
tahun 2006 yang diumumkan oleh perusahaan holding PT Pupuk Sriwijaya adalah
pupuk Urea 5,6 juta ton, Posohat (SP-36) 693 ribu ton, pupuk ZA 724 ribu ton,
dan pupuk majemuk Phonska (NPK) 400 ribu ton. Dari dua seri data di atas,
apabila produksi dan distribusi pupuk dilaksanakan sesuai dengan aturan yang
dijalankan dan berpegang pada aturan, dengan penindakan yang tegas terhadap
mafia pupuk, seharusnya tidak terjadi kelangkaan pupuk di
Indonesia.
Pelaksanaan distribusi pupuk diatur
oleh kebijakan operasional Departemen Perdagangan, dengan keluarnya Surat
Keputusan (SK) Nomor 03/M-DAG/PER/2/2005 tentang pengadaan dan peyaluran pupuk
bersubsidi mengganti aturan Kepmenperindag No 356/2004 dan Kepmenperindag No.
70/2003. Menteri Pertanian juga mengeluarkan kebijakan melalui Permentan
No 04/Permentan/SR.130/2/2205 tentang harga eceran tertinggi (HET) pupuk
bersubsidi yang berlaku tahun 2006 ini, yaitu Rp 1.050 per kilogram untuk Urea,
Rp 1.400/kg untuk SP-36, dan Rp 950/kg untuk ZA. Kebijakan operasional
yang dikeluarkan dan dilaksanakan oleh dua instansi berbeda (Kementerian
Pertanian dan Kementerian perdagangan) menimbulkan acuan yang membingungkan
bagi pelaksana peraturan ditingkat pelaksanaan kebijakan.
Suatu kebijakan ekonomi yang
menggabungkan prinsip-prinsip mekanisme pasar dan sistem ekonomi sentralistik
akan menimbulkan bias-bias pada implementasi kebijakan. Solusi yang seharusnya
diambil: mengambil dan menggunakan salah satu prinsip saja atau memperkuat
Infrasruktur lembaga apabila dua sistem dijalankan.
Apabila harga pupuk diserahkan pada
mekanisme pasar, harga eceran di lapangan yang terjadi adalah harga pasar. Hal
ini akan berkonsekuensi pada ikutnya harga pupuk local dengan pergerakan harga
pupuk internasional. Belum lagi harga gas sebagai bahan bakar utama pembuatan
pupuk. Ketika harga gas juga mengikuti harga pasar, bias dipastikan harga pupuk
begitu melambung harganya. Produsen pupuk di dalam negeri tidak perlu pusing
memikirkan HET, hal ini akan memudahkan kinerja perusahaan. Perusahaan tidak
perlu memikirkan mengenai HET yang bias jadi menjadi begitu rendah. Produsen akan
pupuk memiliki keleluasaan yang luas dalam memilih target market yang
ditentukan. Sasaran penjualan pasar ekspor dapat dilakukan tanpa memandang
kesediaan pupuk didalam negeri, harga sudah sama.
Berdasarkan mekanisme system pasar, subsidi
dihilangkan karena menghadapi persaingan dimana supply dan demand benar-benar
dimaninkan Kebijakan subsidi, menjadi tidak berlaku pada system pasar tersebut.
Produsen pupuk juga akan otomatis menaikkan harga pupuknya apabila ada bahan
pedukung yang mengalami kenaikan harga. Kelangkaan factor pendukung harus
segera dicari pengganti darimanapun dengan harga berapapun. Seluruh energi
dalam aliran barang dan jasa ditentukan oleh sistem harga (dan pendapatan
masyarakat) yang menjadi mainstream utama mekanisme pasar. Namun perlu dicatat
bahwa Amerika Serikatpun dan Jepangpun melakukan subsidi pada sector pertanian
dalam upaya melindungi petanninya.
Apabila pemerintah melakukan system
subsidi, pemerintah mengatur ketat penyaluran pupuk, sampai ke seluruh penjuru
tanah air. Apabila subsidi ini tetap dilakukan, baik berupa subsidi harga
maupun subsidi gas untuk produsen pupuk. Pemerintah benar-benar mengatur
proses distribusi pupuk, mulai dari pabrik, ke gudang di propinsi, gudang
distributor di kabupaten, pengecer di kecamatan atau di tingkat desa, sampai ke
petani konsumen.
Sistem distribusi pupuk yang
sentralistik mulai tidak dilakukan secara kaku sejak awal 1990-an, sejalan
dengan semakin maraknya penyelewengan distribusi pupuk bersubsidi. Usaha dunia
agribisnis berskala besar yang sebenarnya tidak berhak atas pupuk bersubsidi
menjadi pemakai subsidi yang lumayan besar. Biaya sosial dan biaya kebijakan
yang harus ditanggung oleh Anggaran Penerimaan Belanja Negara (APBN) karena
sistem pengawasan yang semula efektifit menjadi bumerang di negeri sendiri
setelah penyalahgunaan kekuasaan semakin menjadi norma kehidupan birokrasi pada
waktu itu. Pada medio 1998 ketika krisis
ekonomi di Indonesia terjadi, Indonesia diharuskan oleh Dana Moneter Internasional
(IMF) untuk mencabut subsidi pupuk. IMF menghendaki harga pupuk ditentukan oleh
mekanisme pasar. Indonesia kembali memberikan subsidi pupuk pada masa
pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri.
Aplikasi paling sederhana dalam bidang
birokrasi adalah bagaimana sistem pelaporan dan perencanaan kebutuhan pupuk di
tingkat petani yang umum ditentukan melalui mekanisme rencana definitif
kebutuhan kelompok (RDKK) dapat dipantau dan diketahui oleh aparat pemerintah
di tingkat kabupaten/kota. Demikian seterusnya ke atas, sampai tingkat propinsi
dan tingkat pusat.
Pada medio tahun 1990an, berita
kelangkaan pupuk tidak begitu terkspos ke media karena penyuluh pertanian
lapangan (PPL) dan koperasi unit desa (KUD) memiliki peran besar mulai
dari sistem perencanaan sampai pada distribusi pupuk. Ujung tombak di
lapangan ini sekaligus melaksanakan program intensifikasi pertanian, yang
memang menjadi strategi nasional peningkatan produksi pangan. Keberhasilan
program intensifikasi dan mekanisme distribusi pupuk kepada petani juga
merupakan keberhasilan seorang PPL dalam melaksanakan tugasnya. Sistem reward and punishment yang berlangsung
sangat baik tersebut menjadi insentif tersendiri dalam kinerja sistem
distribusi pupuk pada masa lalu.
Sumber:
Jum'at, 08 Januari
2010 , 09:29:00
Kemendag Izinkan Pupuk
Kaltim Ekspor Urea
Sabtu, 31 Juli 2010
07:36 wib
(J Erna/Koran SI/ade) http://economy.okezone.com/read/2010/07/30/320/358288/320/kemendag-izinkan-pupuk-kaltim-ekspor-urea
Rabu,
25 Mei 2011
Sumber : http://penxpower.wordpress.com/2009/02/20/berbagai-kebijakan-pemerintah-dalam-perekonomian-indonesia/ http://diahanggra.blogspot.com/
Sambutan Tertulis Menteri Negara BUMN
dalam Rangka HUT RI ke-64
Opsi
Solusi Kelangkaan Pupuk
Bustanul Arifin
***Prof.
Dr. Bustanul Arifin,
Guru Besar Ilmu Ekonomi Pertanian
Diperoleh
dari "http://id.wikipedia.org/wiki/Kebijakan_moneter"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar