]
Artikel :
Cara Enzim Merebut Pasar (Enzim)
Thursday, December 10th, 2009 oleh : Taufik Hidayat web :
www.swa.co.id
Walau tergolong cukup nekat, Enzim berhasil merebut sebagian pasar
pasta gigi. Kuncinya: diferensiasi produk yang sangat jelas dan edukasi tiada
henti.
Mungkin kita tidak pernah memperhatikan, dari sekian banyak fosil
manusia purba yang ditemukan, tak satu pun yang mengalami kerusakan gigi.
Padahal, manusia purba belum memiliki kebiasaan menyikat gigi. Bandingkan
dengan manusia modern yang rajin menyikat gigi, tetapi sudah mengalami
kerusakan gigi. Hal itulah yang mengundang rasa penasaran L. Alexander Agung
dan mendorongnya untuk meneliti hal tersebut.
Dibantu pakar dari beberapa universitas ternama di Tanah Air, Alex
serius melakukan penelitian. “Ternyata manusia sudah memiliki pelindung
alami, yaitu air liur,†kata Alex. Dia menjelaskan, manusia purba selalu memakan makanan
yang alami, sehingga air liur dapat bekerja secara maksimal dalam melindungi
gigi. Hal ini berbeda dari manusia modern yang banyak mengonsumsi makanan yang
mengandung bahan kimia seperti pewarna, pengawet dan
pestisida yang merusak kualitas air liur.
Yang lebih mengejutkan lagi, berdasarkan penelitiannya, ternyata
detergen yang banyak digunakan pada pasta gigi termasuk salah satu zat yang
merusak sistem pertahanan alami dalam mulut yang disebut Laktoperoksidase
(LP-sistem). LP-sistem merupakan sistem pertahanan tubuh terhadap
mikroorganisme yang secara alami terdapat dalam rongga mulut. Di dalam rongga
mulut terdapat 40-50 protein yang bisa membantu mencegah berkembangnya
kuman-kuman penyakit di dalam rongga mulut. “Jika sistem pertahanan dalam
rongga mulut ini dirusak oleh hal-hal tadi, boleh jadi orang akan terkena
radang gusi, sariawan dan bau mulut,” katanya.
Berdasar pada temuan tersebut, Alex memberanikan diri meluncurkan
produk pasta gigi dengan diferensiasi utama tanpa detergen. Alex mengatakan,
langkahnya tergolong sangat nekat. Pasalnya, pasar pasta gigi tergolong sudah
sangat mature. “Penetrasinya hampir 100%,†ungkapnya. Tambah lagi di kategori
produk ini ada raksasa yang sudah sangat kuat
mencengkeram pasar.
Alex pun menyadari sebelumnya hampir tidak ada pemain yang berhasil
menggoyang dominasi sang raja. Bahkan, perusahaan yang skalanya jauh lebih
besar dari perusahaannya saja tidak mampu berbuat banyak kala menggarap
kategori ini. “Saya sadar, peluang keberhasilan saya hanya 0,1%. 99,9% bakal
gagal,†ujarnya.
Namun, Alex tetap bergeming. Tahun 1991, di bawah bendera PT Enzym
Bioteknologi Internusa (EBI), ia nekat meluncurkan pasta gigi yang diberi merek
Enzim tersebut. “Kami sangat percaya akan kekuatan produk ini,†katanya tegas.
Karena tidak mengandung detergen, menurutnya, Enzim dapat berfungsi
sebagai salah satu solusi untuk merehabilitasi sel-sel air liur yang telah
dirusak oleh bahan-bahan kimia. Pasta gigi Enzim dibuat tidak hanya untuk
membersihkan gigi, tetapi juga untuk membersihkan rongga mulut dan
mengembalikan fungsi air liur.
Akan tetapi, belum apa-apa, EBI sudah mendapat kendala. “Awalnya,
tidak ada distributor yang mau mendistribusikan produk ini,†ujar Alex mengenang.
Menurutnya, hal itu tergolong sangat wajar. Pasalnya,
Enzim mengusung strategi yang tergolong antitesis. Pertama, diferensiasi Enzim
(tanpa detergen) membuat produk ini menjadi terasing. Pasalnya, semua produk
pasta gigi lainnya menggunakan detergen dan konsumen pun sangat terbiasa dengan
produk tersebut. “Mitos yang berkembang adalah, kalau gosok gigi tidak ada
busanya, berarti tidak bersih,†ujarnya.
Kedua, harga yang dipatok Enzim di atas pemain-pemain lain.
Perbedaannya pun sangat signifikan, mencapai 3-4 kali lipat. “Orang bilang
kami gila, pemain baru dan merek lokal, tapi harganya mahal,†ujarnya.
Strategi harga tersebut memang sengaja ditempuh EBI. Pasalnya,
ongkos produksi dan bahan bakunya memang lebih mahal dibanding pasta gigi lain.
“Tidak selamanya produk lokal harus lebih murah dari produk internasional.
Kalau mutunya jauh lebih bagus, apakah juga harus dijual lebih murah?†kata Alex seraya menyebutkan,
saat ini harga produknya Rp 23.000-88.000.
Karena harganya lebih mahal, EBI pun membidik target pasar yang
lebih spesifik. “Kami tidak menyasar semua segmen. Kami fokus di segmen menengah-atas,†ujarnya. Karena itu, pada
tahap awal EBI pun mendistribusikan produknya di kawasan yang banyak dihuni
kalangan menengah-atas. “Daerah pertama yang kami jajaki adalah wilayah Jakarta Selatan.â€
Tanpa pengalaman distribusi yang memadai, strategi tersebut tidak
berjalan mulus. EBI pun mempersempit fokus wilayah garapannya. “Kami
menggarap per kelurahan. Kalau sudah cukup baik di satu kelurahan, baru pindah
ke kelurahan lainnya,†ungkapnya. Dan di setiap gerai yang menjual Enzim, EBI acap kali
menggelar event untuk mengedukasi konsumen secara langsung.
Walau fokus wilayah garapannya sudah dipersempit, penjualan Enzim
masih belum juga terdongkrak. Beberapa gerai bahkan sudah enggan menjual produk
ini. Maka, EBI melakukan langkah yang sedikit “licikâ€. “Kami melakukan buy back.
Tujuannya, agar toko merasa bahwa produk itu ‘berputar’ dan mereka tetap mau
menjualnya,†ungkap Alex.
Diakuinya, strategi buy back tersebut memang membuat perusahaannya
semakin berdarah-darah. Namun, Alex tetap bertahan. “Produk seperti ini
memang harus rugi dulu.â€
Upaya edukasi terus dilakukan. Tidak hanya konsumen akhir, tetapi
para dokter gigi dan kalangan akademisi pun tak luput dari incaran EBI. Alex
sendiri acap kali menjadi dosen tamu di fakultas kedokteran gigi di berbagai
universitas di Indonesia. Tujuannya, tak lain, untuk menyosialisasi hasil
penelitiannya sekaligus memperkenalkan produknya.
Pelan tetapi pasti, penjualan Enzim mulai menunjukkan tanda-tanda
yang menggembirakan. Upaya edukasi pun semakin digenjot. “Event yang kami
lakukan di outlet terus ditambah frekuensinya,†ungkap Alex yang juga menerbitkan Enzim
untuk anak-anak. Enzim anak-anak, dikatakannya,
sekaligus sebagai upaya edukasi sedari dini. Ini juga terkait dengan strategi
EBI yang hampir 100% mengandalkan aktivitas below the line. Maklum,
keterbatasan anggaran membuat perusahaan ini seperti alergi dengan komunikasi
above the line.
Dengan banyak menggelar kegiatan BTL, Alex berharap tidak hanya
membuat konsumen teredukasi, tetapi juga menciptakan word of mouth.
“Ternyata, cukup berhasil.â€
Menurut Alex, memasuki milenium baru (tahun 2000-an), penjualan
Enzim semakin membaik. “Sejak awal, setiap tahun penjualan kami memang selalu
tumbuh. Tapi sejak tahun 2000 pertumbuhannya mulai signifikan,†ungkapnya. Distribusi Enzim
pun semakin meluas ke hampir seluruh wilayah Indonesia, khususnya di kota-kota
besar.
EBI juga tak lagi mendistribusikan sendiri produknya. “Distributor
mulai bersedia mendistribusikan produk kami,†ujar Alex tanpa bersedia menyebut nama
perusahaan distribusinya. Saat ini ada dua perusahaan distribusi yang
menyalurkan produk Enzim. Namun, kedua distributor
tersebut menyasar pasar yang berbeda, yaitu pasar produk konsumer dan pasar
medis.
Semakin meluasnya distribusi produk membuat EBI mulai merasa perlu
melakukan komunikasi above the line, khususnya iklan di televisi. Namun, sekali
lagi, karena bujet yang terbatas, komunikasi ATL Enzim amat terbatas. “Kami
hanya tampil di Metro TV dan TV One,†kata Alex.
Tak berhenti sampai di situ, sejak 2007 EBI pun menempun strategi
baru dalam upaya mengedukasi konsumen, yaitu dengan menggelar kegiatan factory
visit. Setiap hari, mereka mendatangkan rombongan dari berbagai wilayah di
sekitar Jakarta dan Jawa Barat (bahkan sampai Lampung) untuk mengunjungi
pabriknya yang berlokasi di Cimanggis. “Kami menyediakan bus dan makan
siang,†kata
Alex.
Di pabrik, para peserta factory visit akan mendapat berbagai
pengetahuan mengenai kesehatan gigi dan mulut. “Setiap hari, dari Senin
sampai Jumat selalu ada rombongan yang datang,†ujarnya seraya menambahkan, setiap
rombongan harus berjumlah minimal 50 orang.
Menurut pakar pemasaran dari Direction Consulting, Jahja B.
Soenarjo, strategi factory visit yang digelar EBI kurang tepat. “Enzim itu
bukan produk makanan. Kalau produk makanan, memang perlu, untuk menunjukkan
bahwa pembuatan produknya higienis,†ujarnya. Jahja berpendapat, akan lebih
efektif jika EBI memberikan sampel dan menggunakan testimoni para pakar di
bidang kesehatan gigi untuk meyakinkan konsumen.
Untuk meraih pasar, tambah Jahja, memang tak ada cara lain bagi EBI
selain mengedukasi pasar. Dan, upaya edukasi itu menurutnya harus terus
dilakukan. “Butuh napas panjang memang.â€
Selain itu, Jahja juga menyebut bahwa faktor lain yang juga sangat
berpengaruh adalah pemilihan channel. Karena harga yang dipatok Enzim tergolong
cukup tinggi, gerai yang memasarkannya pun harus dipilih dengan benar. EBI,
menurutnya, tidak harus membidik semua jenis gerai untuk memasarkan produk ini.
“Pasar yang mereka bidik tidak besar, jadi outlet-nya pun harus dipilih
dengan benar. EBI harus tahu habit belanja target pasarnya.â€
Alex sependapat dengan Jahja. Walau saat ini distribusi produknya
sudah mencakup hampir seluruh wilayah Indonesia, jumlah gerai yang memasarkan
produk ini tidaklah terlalu banyak. “Kami lebih banyak masuk ke modern
market.â€
Berkembangnya pasar juga diantisipasi EBI dengan terus berinovasi.
Awalnya mereka hanya mengandalkan dua varian produk, sedangkan kini mereka
sudah memiliki lima varian, termasuk orthodontic untuk orang yang menggunakan
kawat orthodontic dan pasta gigi untuk anak-anak.
Menurut Alex, yang pernah menjadi produser film pada 1970-an, pasta
gigi Enzim kini sudah diterima dengan baik oleh masyarakat Indonesia. Terbukti,
dalam beberapa tahun terakhir rata-rata Enzim berhasil meraih pertumbuhan
penjualan hingga 30%. Bahkan, produk ini mulai merambah pasar luar negeri,
walau baru di Taiwan saja. “Harga di Taiwan lebih tinggi lagi dan tercatat
sebagai pasta gigi termahal di dunia,†ungkapnya.
Ke depan, Enzim akan tetap fokus dalam menggarap segmen pasar yang
digelutinya saat ini. “Saya memang bercita-cita membuat gigi semua orang
Indonesia sehat, â€
ujarnya, “Tapi, dengan harga yang seperti ini, rasanya masih sulit membidik
pasar yang lebih luas.†***
Analisa:
Merek adalah istilah, lambing, atau desain, atau kombinasinya, yang
dikombinasikan, yang dimaksudkan untuk menidentifikasikan barang. PT Enzym
Bioteknologi Internusa (EBI) mencoba menggunakan merek pasta giginya dengan
Enzim. Enzim melakukan kekuatan merk dengan memposisikan diri sebagai pasta gigi
bagi kelas menengah keatas, maklum saja, harganya saja dipatok sekitar
Rp.23.000.
Ekuitas merk Enzim adalah penghilangan detergen pada pasta giginya.
Hal inilah yang dijual oleh Enzim, denganmengedukasi bahwa detergen yang banyak
pada pasta gigi bukan menjadi baik, tetapi malah membuat gigi yang sensitive
menjadi rusak. Enzim mencoba memasuki prinsip model ekuitas merk berdasarkan
pelanggan. Enzim melakukan edukasi kepada para pelanggan secara berkala. Enzim
mencoba memberikan edukasi bahwa diperlukan pasta gigi yang sehat juga untuk
menghasilkan gigi yang sehat. Enzim juga memberikan jam apabila ada pelanggan
yang ingin melihat proses pembuatan Enzim. Enzim mencoba melakukan pengetahuan
merk dengan penetrasi kalangan menengah keatas.
Enzim melakukan janji merk (brand promise) dengan penggunaan pasta
gigi yang sehat. Dengan pasta gigi yang sehat, akan menjadikan gigi menjadi
sehat. Kontak merk dari Enzim yang melakukan penelitian dengan beberapa
universitas. dahulu sebelum meluncurkan pasta gigi. Pemasaran personalisasi
yang dilakukan Enzim adalah sehat dan mahal. Bisa jadi, barang yang dibanderol
mahal, dipastikan sehat.
Enzim memegang lima kunci ekuitas merk, yakni:
- Energi, Enzim memposisikan diri sebagai pasta gigi yang berbeda dan sehat. Sehingga energi Enzim difokuskan pada market menengah keatas. Al ini terlihat pada tayangan iklan TV yang hanya muncul di Metro TV dan TV ONE.
- Relevansi, Enzim mencoba melakukan relevansi untuk menengah keatas dengan hanya menyediakan produk enzim tersebut di area-area kalangan menengah ke atas.
- Harga Diri. Enzim di Taiwan merupakan pasta gigi yang paling mahal, hal tersebut sudah cucup menggambaran posisioning Enzim.
- Pengetahuan. Enzim selalu melakukan edukasi secara berkala terhadap akademisi dan bidang kesehatan. Edukasi inilah yang mampu menaikkan Enzim.
Enzim diperkuat oleh tindakan pemasaran yang secara konsisten
menyampaikan merk enzim dalam hal :
- Enzim melakukan edukasi tentang produk tersebut, apa manfaatnya, dan bagaimana penggunaannya.
- Membentuk merk Enzim menjadi brand yang sehat dan dianjurkan dalam dunia kesehatan.
Enzim memposisikannya sebagai Flanker. Enzim memandang kompetitornya
sebagai pesaing dan memposisikannya diatas dari kompetitor.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar