Artikel :
Di Balik
Sukses Jaringan Rudy
Thursday, July 29th, 2010 oleh : Sudarmadi
dan Herning Banirestu .. www.swa.co.id
Kelompok salon ini terus berkembang dengan
jaringan yang luas dan merek yang beragam. Apa kunci suksesnya?
Easy come, easy go. Itulah salah satu
gambaran yang umum dipakai untuk melukiskan fenomena bisnis salon. Tak sulit
membuka usaha salon dan tak sulit juga menutupnya suatu saat. Bisnis ini entry
barrier-nya memang rendah, jumlah pemainnya pun berjibun. Karena usaha salon
lebih cocok untuk usaha kelas rumahan, ada asumsi bisnis ini sulit dikembangkan
menjadi usaha serius dengan skala yang lebih besar.
Betul begitu? Tampaknya tak selalu
demikian. Setidaknya bila menengok kelompok usaha salon Rudy Hadisuwarno, yang
dirintis dari gang sempit di Jl. K.H. Hasyim Ashari (dikenal dengan nama Jalan
Kemakmuran). Tak salah bila kini disebutkan bahwa bisnis salon tergolong besar.
Salon Rudy sudah berkembang menjadi
berpuluh-puluh gerai dengan merek dan pelanggan setia yang berbeda-beda. Ada
Salon Rudy Hadisuwarno, Salon Rudy, Brown Salon By Rudi Hadisurwarno, Maxx,
Nabila, dll. Gerainya tak hanya di Jakarta, tetapi sudah menyebar ke seluruh
Indonesia, termasuk Papua. Malahan usahanya telah masuk ke produk ritel
perawatan rambut, tak semata-mata jasa salon.
Saat ini di bawah grup usaha PT Rudy
Hadisuwarno setidaknya terdapat tiga unit bisnis. Pertama, divisi salon:
mengelola semua salon, baik yang dimiliki sendiri maupun yang dikembangkan
dengan konsep waralaba. Kedua, divisi institusi pendidikan. Ketiga, divisi
produk dan distribusi, antara lain memasarkan merek-merek produk perawatan
rambut (sampo, kondisioner, produk pewarna, dll.)
Membesarnya salon Rudy yang dirintis pada
1968 (baru berbentuk PT pada 1972) sejatinya tak lepas dari pengelolaannya yang
memang lain dari umumnya pengelolaan salon. Khususnya bila melihat
kesungguhannya mengembangkan organisasi, termasuk SDM yang menjadi tulang
punggung bisnisnya.
Oliver Hadisuwarno, CEO PT Rudy
Hadisuwarno, menggambarkan bahwa sejak 2003 pihaknya serius menata usaha salon
dan memperbaiki manajemennya. Ketika itu bisnis salon Rudy memang punya
momentum perkembangan yang pesat sehingga kemudian dilakukan peralihan dari
perusahaan keluarga ke profesional. “Sebelum 2002 bisnis masih dikelola
generasi pertama. Tahun 2003 perekrutan tim profesional mulai gencar,” ujar
Oliver yang bergabung dengan salon Rudy pada 2006. Sebagai informasi, dari
keluarga Rudy, yang ikut mengelola grup usaha ini adalah Rudy sendiri, Gunawan
(saudara kandung), Oliver (keponakan) dan adik Oliver.
Mengiringi profesionalisasi pengelolaan
bisnis, model bisnisnya pun dirapikan, disesuaikan dengan perkembangan yang
terjadi. Dulu grup usaha ini hanya bermain di salon premium yang eksklusif dan
mahal dengan nama Salon Rudy Hadisuwarno (latar desain salon ini mayoritas
hitam). Namun, krisis moneter 1997 yang menyebabkan penurunan daya beli
mendorong grup usaha ini berani mengambil segmen menengah. Itulah yang menjadi
pemicu dikeluarkannya merek baru, Salon Rudy.
Awalnya, muncul kekhawatiran citra premium
Salon Rudy Hadisuwarno akan turun ketika membuat merek baru yang menggarap
pasar lebih bawah. Nyatanya, tidak. “Salon Rudy sekarang paling menjamur,”
Oliver menunjuk fakta. Saat ini Salon Rudy Hadisuwarno yang eksklusif punya 10
cabang, sedangkan Salon Rudy berkembang menjadi 68 cabang. “Kami hanya punya
20% dari total cabang, sisanya milik franchisee,” imbuhnya. Salon Rudy tersebar
ke berbagai kota di Indonesia, bahkan ada 7 cabang di Merauke, Papua Barat.
Pengembangan terus dilakukan. Tahun 2000,
Rudy membuat terobosan dengan membuka salon yang menyasar mereka nan berjiwa
muda dan funky. “Anak muda kan tidak mau masuk ke salon yang kesannya tua! Maka
kami buat yang bergaya retro, funky, warna- warni, servisnya pun berjiwa anak
muda,” papar Oliver yang sempat bekerja 3,5 tahun di Citigroup. Maka, lahirlah
Brown Salon by Rudy Hadisuwarno yang kini punya 17 cabang.
Selanjutnya, dua tahun lalu Rudy juga
mengeluarkan merek salon khusus pria: Salon Maxx. Salon ini menyasar laki-laki
stylish. Gerainya ada di beberapa wilayah seputar Jakarta seperti Serpong,
Tangerang, Cinere (Depok), dan segera akan buka di Medan. Bahkan, pihaknya pun
membuka salon khusus muslimah di Surabaya dengan nama Salon Nabila.
Dalam penataan manajemen, grup ini kemudian
lebih banyak mengembangkan bisnis dengan pola waralaba ketimbang model kerja
sama. Dulu, meski Salon Rudy Hadisuwarno merupakan pelopor waralaba salon di
Indonesia dan memulai waralaba pada 1996, dalam operasionalnya lebih banyak
dipakai konsep kerja sama (partnership) dengan pemilik modal atau properti.
Kini pola itu tidak dipakai lagi. “Sekarang, dari seluruh outlet salon kami,
kalau tidak 100% milik kami, kemungkinannya salon waralaba, yang operasionalnya
semua di bawah PT Rudy Hadisuwarno,” papar Oliver.
Menurut pengamatan lulusan London School of
Economic yang selama 6 tahun tinggal Inggris itu, grup salon Rudy berkembang
karena Rudy memiliki perhatian yang sangat kuat terhadap pengembangan SDM di
perusahaannya, selain karena kharisma Rudy yang disegani. “Pak Rudy selalu
berpikir untuk beberapa tahun ke depan, 10 tahun ke depan,” ungkap Oliver. Tak
mengherankan, di perusahannya sudah dibangun organsiasi, lengkap dengan
jabatan-jabatan dan tanggung jawabnya, sebagaimana perusahaan modern umumnya.
Hanya saja, struktur organisasinya dibuat
sangat ramping. Sama seperti perusahaan lain, perusahaan ini dipimpin oleh
board of director. Di bawahnya ada sejumlah general manager yang mengelola
unit-unit bisnis. Lalu, ada Departemen Pemasaran yang mengurusi komunikasi
pemasaran, kehumasan, promo konsumer, desain, dan sebagainya. Lalu, ada Divisi
Operasional yang mengelola salon, serta Divisi Institusi Pendidikan. Jadi,
organisasinya sejak awal sudah disiapkan, tak seperti salon pada umumnya yang
berkembang semata-mata karena faktor entrepreneurship. Rudy kini menjabat
sebagai komisaris utama.
Bentuk kepedulian pada SDM antara lain
tecermin dalam pengelolaannya. Di grup salon Rudy, pengelolaan SDM dipegang
manajer HRD yang di dalamnya ada dua bagian: Rekrutmen dan Edukasi.
Masing-masing ada chief-nya. “Kami tidak ingin HRD hanya sebatas personalia,
tapi harus memikirkan pengembangan SDM. Maka, dipegang oleh dua orang berbeda,”
Oliver menjelaskan kiatnya. Bagian Edukasi dibutuhkan guna mengembangkan para
stylist supaya tidak ketinggalan teknik dan agar grup selalu menghasilkan orang
terbaik. Adapun Bagian Rekrutmen memikirkan bagaimana mendapat orang bagus,
mengurusi jenjang karier dan bagaimana mencetak orang.
Di grup salon Rudy, pengembangan SDM memang
jadi tuntutan mengingat salon tumbuh pesat, baik salon milik sendiri maupun
waralaba. “Para franchisee bisa minta kami supaya cari orang-orangnya, tapi ada
juga yang mencari sendiri. Orang-orang yang mereka bawa tetap harus masuk ke
kampus kami untuk standardisasi,” katanya. Karena itulah, Divisi Training
Center di Salon Rudy Hadisuwarno sangat vital.
Sejauh ini manajemen menawarkan karier di
grup melalui dua jalur. Oliver menyebutnya dengan people technique dan people
managerial. Keduanya memiliki jenjang dan pelatihan yang berbeda. Soal
rekrutmen, ada karyawan yang mendapat edukasi dari beasiswa, kemudian dikontrak
bekerja dengan salon ini. Namun, ada juga yang mulai dari melamar kerja ke grup
ini. Yang sudah siap secara teknis langsung masuk ke kelas pemantapan: bukan hanya
pemantapan teknik, tetapi juga visi-misi perusahaan, layanan pelanggan dan
loyalitas. Semua pekerjaan ini dikelola Divisi Training Center.
Di jalur people managerial pun karyawan
harus masuk ke kelas pelatihan, tetapi dengan modul berbeda. Ilmu yang diberikan
ke mereka antara lain administrasi salon, penanganan pelanggan, bagaimana
menghadapi komplain, pengetahuan tentang produk dan manajemen keuangan. “Tiap
hari ada orang yang datang dan dipilih untuk masuk dalam grup kami,” tutur
Oliver. Mereka yang sudah bekerja di dalam grup ini pun bukan berarti
pelatihannya berhenti. Paling tidak 6 bulan para manajer gerai salon harus
kembali ke kelas untuk belajar tren baru. “Pelanggan makin pintar dan banyak
tuntutannya,” kelahiran 5 Oktober 1981 itu memberi alasan.
Pelatihan untuk pengelola salon dilakukan
lewat koordinasi dengan Divisi Operasional yang bertugas memantau kondisi salon
dan problemnya. Di grup ini, tiap manajer gerai (store manager) wajib
melaporkan kondisi salon ke manajer area — biasanya manajer area bertanggung
jawab atas 10-15 gerai. Nah, edukasi yang dilakukan bagi kelompok manajer gerai
ini dibagi dua: edukasi alam (orang yang dari nol kemampuannya) dan edukasi
lanjutan. Tiap orang berbeda frekuensi pemantapannya. “Orang yang performanya lambat
berarti frekuensi pemantapannya harus sering-sering,” kata Oliver. Para manajer
juga selalu berkumpul tiap 6 bulan, dan setahun sekali ada National Sales
Meeting.
Mursani Tarigan, Operational Head PT Rudy
Hadisuwarno, mengatakan bahwa pengembangan SDM memang menjadi kepedulian
grupnya. “Kami selalu memberi training-training terkait dengan bisnis, apalagi
kami punya banyak franchisee. Kami ingin mereka happy,” ujar Mursani yang sudah
tiga tahun bergabung. Pihaknya menjalankan pelatihan yang belum pernah
diberikan agar SDM terus berkembang. Ditambahkannya, kelebihan grup ini adalah
memiliki “kampus” yang berfungsi mencetak orang dan sebagai tempat
pengembangan.
Yang pasti, termasuk dalam pengembangan SDM
dan organisasi di grup salon Rudy, pengelola pun telah merancang jenjang karier
bagi karyawannya, baik di bagian teknis maupun manajerial. Di jalur manajerial,
mulai dari kasir di gerai, dia melapor ke manajer gerai. Dari kasir bisa
menjadi manajer gerai. Kemudian, manajer gerai bisa naik menjadi manajer area
jika kinerjanya bagus. Dari manajer area naik menjadi manajer operasi yang
membawahkan beberapa area. “Setelah bisa menjadi generalis, ia akan
dikembalikan sesuai dengan passion-nya ke mana, mau menjadi GM pemasaran atau
GM operasi,” kata Oliver.
Contohnya, manajer gerai. Jika berprestasi,
misalnya membangun tim dengan baik, meningkatkan omset dan menciptakan sesuatu
yang belum ada di salon lain, dia bisa menjadi manajer area. Manajer gerai
selama ini ada yang diambil dari internal, tetapi juga bisa direkrut dari luar.
Kalau dari luar, bisa diambil dari berbagai disiplin apa pun yang kemudian
diberi pelatihan. “Asal dia punya passion dalam hal pelayanan dan hospitality,”
tambah Mursani yang juga memegang posisi Manajer Waralaba.
Untuk karier teknis, jenjang kariernya
tersedia mulai dari bawah, yaitu therapist yang tugasnya melakukan perawatan
rambut. Lalu, bisa naik menjadi stylist junior setelah mendapat beasiswa
pendidikan dari dalam. Kemudian, berkembang menjadi stylist senior. “Stylist
itu rata-rata bisa naik menjadi senior stylist setelah 2-3 tahun berkarier,”
ujar Mursani. Jenjang berikutnya, dia bisa memilih, misalnya mengajar atau naik
ke jenjang salon yang lebih mahal — jika sebelumnya berada di salon segmen
bawahnya. “Stylist senior ini pun bisa naik menjadi tim artistik, menjadi
bagian dari tim kreatif yang ikut pemotretan dengan Pak Rudy atau masuk menjadi
tim yang sering naik panggung untuk memperkenalkan tren-tren baru.”
Untuk pengembangan SDM internal, pihak Rudy
menggunakan lembaga yang berbeda dari institusi pendidikan eksternal. Yakni,
Rudy Hadisuwarno Education Center. Sentra pendidikan ini ada di beberapa
lokasi, antara lain di Cideng, Jakarta Barat — akan dipindahkan ke Sudirman
Park, tempat kantor PT Rudy Hadisuwarno — dan di Yogyakarta. Rencananya, sentra
pelatihan akan dibuat di beberapa tempat lain sesuai dengan area: Indonesia
Barat, Indonesia Tengah dan Indonesia Tengah.
Selain sentra pendidikan untuk internal,
grup ini juga membangun Rudy Hadisuwarno School of Hairdressing, sekolah yang
setara dengan diploma tata rambut. Sekarang total ada 12 sekolah di seluruh
Indonesia. Lama pendidikan untuk mencapai diploma 9 bulan. Sekolah ini lebih
mengarah ke komersial untuk orang luar, walaupun juga digunakan untuk
pengembangan SDM internal.
Lebih dari itu, menjawab kebutuhan orang
yang ingin memperdalam lagi ilmu tata rambut, khususnya bagi yang telah bekerja
3-5 tahun di salon, grup salon Rudy menyediakan institusi pendidikan Hair
Academy. “Ini bagi yang ingin lebih advance, yang ingin menjadi seniman rambut.
Pengajarnya para tim artistik Rudy Hadisuwarno Salon,” kata Oliver.
Lena Mulyana, karyawan grup salon Rudy,
merasakan perusahaannya memang memberi peluang karier yang cukup luas bagi
karyawan. “Office boy pun diberi kesempatan jadi stylist kalau mereka mau dan
mampu,” tutur wanita yang bekerja di grup ini sejak 1990. Lena kini menjabat
sebagai Manajer Gerai Brown Salon Cideng. Awalnya, ia bekerja di bagian
purchasing, lalu ditempatkan di penggajian, berikutnya di bagian keuangan. “Saya
lalu diterjunkan ke salon. Selain itu, saya juga ada di akademinya,” ujar
perempuan pehobi tenis ini.
Menurut ibu seorang anak kelahiran 11 Juni
1970 ini, tiap orang punya kesempatan yang sama untuk berkarier dan
mengembangkan diri. “Banyak lho stylist dan tim artistik yang dari bawah,”
ujarnya. Setelah dua tahun menjadi therapist, mereka yang mengembangkan
keahlian teknik rambut bisa menjadi stylist (asisten, junior, senior), kemudian
berkembang hingga menjadi tim artistik. Lena sendiri merasa berpeluang menjadi
manajer area jika bisa menorehkan prestasi yang baik.
Para pekerja di salon ini (bagian penataan
dan perawatan rambut) biasanya pekerja kontrak, tetapi mereka bisa ditarik
manajer area menjadi staf tetap Rudy Hadisuwarno Organization (RHO). Maklum,
manajer area selalu meninjau kinerja salon. Dari tinjauan tersebut, mereka bisa
mengambil keputusan mau ekspansi ke mana dan siapa saja orang yang bisa
ditingkatkan dari nonstaf menjadi staf RHO.
Menurut Riri Satria, pengamat manajemen
yang juga doktor lulusan Institut Pertanian Bogor, praktik manajemen SDM di
grup salon Rudy sudah menunjukkan laiknya profesional company, yakni organisasi
atau perusahaan yang penggeraknya adalah para profesional. Menurutnya, pada
organisasi seperti salon Rudy, justru jenjang profesional teknik (bukan
manajerial) yang jadi ujung tombak. Maka, kemampuan mereka menjadi hal utama
untuk terus dikembangkan dalam people development yang berkelanjutan.
Maksudnya, agar kemahiran dan pengetahuan teknik mereka terus berkembang.
Dalam hal ini, kemampuan retensi SDM sangat
penting. Yaitu, “Menahan orang-orang terbaik agar tetap di perusahaan.” Caranya
dengan menerapkan sistem ikatan kotrak kerja untuk menahan orang — walau Riri
tidak menyarankan karena sifatnya memaksa dan merupakan cara kuno – atau dengan
membuat suasana kerja menyenangkan.
Cara menahannya bukan hanya dengan
memberikan gaji besar, tetapi juga memahami keinginan mereka. “Sebab, para
profesional teknik ini yang men-drive perusahaan, sedangkan para manajerial
fungsinya mendukung mereka,” kata Riri. Namun, inilah tantangan perusahaan
profesional, menahan orang terbaiknya agar tetap bertahan. Budaya individu
karyawan harus dijaga agar tidak terlalu jauh gap-nya dengan budaya perusahaan.
Itu membuat orang merasa dimanusiakan. “Pekerjaan SDM harus strategis dan
concern pada pengembangan dan retensi people yang tepat.”
Oliver berharap perusahaannya menjadi
pengelola salon multimerek yang sukses bukan saja di kancah lokal, tetapi juga
regional. Pihaknya ingin membuka cabang sebanyak-banyaknya agar bisa diakses di
seluruh Indonesia. “Ini sesuai dengan tag line kami, We Beautify the Nation.
Kami ingin mempercantik negara ini dengan penampilan, juga kemampuan yang
baik,” katanya menandaskan. Kalau ini sukses, lantas siapa yang berani
mengatakan bisnis salon itu “easy come easy go”?
Kunci Tumbuhnya Grup Salon Rudy
Melakukan peralihan dari perusahaan
keluarga ke professional
Meluncurkan multimerek salon untuk segmen
pasar yang berbeda-bedaMeniadakan konsep pengembangan usaha dengan kerja sama
dan menggantinya dengan pola waralaba
Menjadikan pengelolaan SDM sebagai
perhatian utama
Menyiapkan jenjang karier yang jelas bagi
orang teknis dan manajerial
Membangun sentra pendidikan yang serius
bagi kebutuhan internal ataupun eksternal
Analisa
:
Customer Loyalty memang sangat berpengaruh
membentuk brand loyalty karena ketika pelanggan sangat loyal terhadap suatu
brand, brand tersebut, maka brand tersebut akan mampu untuk bertahan dan
berkembang. Loyalitas pelanggan sangat berpengaruh terhadap kelangsungan usaha.
Seorang tukang potong rambut keliling akan sangat senang apabila memiliki
sepuluh pelanggan setianya. Dimana pelanggan tersebut secara rutin dating untuk
potong rambut.
Saat ini pelanggan memiliki sarana-sarana
pendukung untuk melakukan alternatif terhadap suatu produk yang diinginkannya.
Hal ini lah yang disebut dengan Costumer Perceived value. Hal inilah yang
membuat perusahaan berusaha keras membangun kepuasan pada sisi konsumen.
Kepuasan ini akan menimbulkan loyalitas yang memiliki euntungan jangka panjang.
Kita akan mencoba menganalisa kelompok Usha
aRudy ini dengan berdasar pada pemahaman Philip Kottler danKevin Lane keller.
Kita akan memandang pada sisi manajerial
dalam melakukan nalisis nilai pelanggan untuk mengungkapkan kekuatan dan
kelemahan perusahaan relatif terhadap kompetitornya:
- Mengidentifikasi atribut dan manfaat utama yang dinilai pelanggan.
Pelanggan
ditanyai dan diamati apa yang mereka inginkan, dan apa yang membuat mereka
nyaman dalam memotong rambut.
- Menilai arti penting kuantitatif dari atribut dan manfaat yang berbeda.
Mencoba
menwarkan kepada pelanggan suasana-suasana potong rambut berdasarkan segmentasi
yang sesuai dengan pelanggan, hal ini dilakukan untuk memberi kebebasan peloanggan dalam memotong
rambut.
- Menilai kinerja perusahaan dan pesaing berdasarkan nilai pelanggan yang berbeda dan membandingkannya peringkat arti pentingnya.
Pihak manajer
agar selalu memantau dan mengamati kompetitor dekat seperti Johni Andrean, hal
ini bias dilakukan dengan intelijen pemasaran atau riset pemasaran. Dalam hal ini pihak manajemen harus
benar-benar memperhatikan kenyamanan pelanggan.
- Mempelajari bagaimana pelanggan dalam segmen tertentu menentukan peringkat kinerja perusahaan terhadap pesaing utama tertentu berdasarkan suatu atribut atau manfaat.
Ketika manajemen
melakukan differensiasi produknya, manajemen harus juga melihat kepada
kompetitornya dan respon pelanggan sebagai pengguna
- Mengamati nilai pelanggan sepanjang waktu.
Secara berkala
pihak manajemen area selain melakun inspeksi mendadak ke salon di areanya,
ditambah juga dengan melakukan check list secara langsung kepada beberapa
pelanggan secara acak, untuk mengetahui keinginan pelanggan yang bisa berubah
ubah.
Rudi Hadisuwarno sebagai perusahaan mencoba
menjaring dan memegang loyalitas pelanggannya dengan beberapa langkah. Langkah
pertama adalah melakukan difersifikasi usaha salonnya. Membedakan segmentasi
salon dari level atas, menengah, remaja, khusus lelaki, dan kaum muslimah.
Langkah kedua dengan memberikan pendidikan secara berjenjang kepada pegawainya.
Langkah ketiga adalah dengan mengikat pegawainya dengan kontrak yang lebih
menarik dan kompetitif apabila pegawai tersebut memiliki kemaampuan luar biasa
dan disukai pelanggan. Hal ini menimbulkan satisfaction. Satisfaction dapat
diukur dengan kedatangan kembali pelanggan. Kedatangan pelanggan secara kontinu
inilah yang membentuk
Peppers dan Rogers membuat kerangka kerja
empat langkah untuk pemasaran satu-satu yang dapat diterapkan ke pemasaran :
- mengidentifikasi prospek dan pelanggan.
Rudi melakukan
franchising terhadap produknya untuk memudahkannya dalam membuat cabang.
Kesempatan pegawai untuk mendapatkan pendidikan sampai tahap lanjut.
- Mendifferensiasikan pelanggan berdasarkan kebutuhan mereka dan nilai mereka untuk perusahaan.
Rudi Hadisuwarno
melakukan segmentasi terhadap pelanggan, agar memudahkan pelanggan atau membuat
nyaman pelanggan.
- Berinteraksi dengan pelanggan perorangan untuk meningkatkan pengetahuan tentang kebutuhan perorangan dan membangun hubungan lebih kuat.
Segmentasi yang
dilakukan Rudi juga menyasar kepada laki-laki dan wanita muslimah, suatu segmen
yang benar-benar khusus.
- Memodifikasi produk, layanan, dan pesan kepada setiap pelanggan.
Ada divisi yang
mengurusi khusus salonnya dan ramuan-ramuan mengenai rambutnya
Loyalitas jika
tidak dimanage secara professional berpotensial menghilang dalam lima tahun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar