Nama : Hadiyan Lutfi / A
Artikel :
Membenahi Si Ular Besi (PT. KAI)
Thursday,
September 23rd, 2010
oleh : Eva Martha
Rahayu dan Sigit A. Nugroho
Meski baru 1,5 tahun memimpin KAI, Jonan banyak melakukan perubahan
besar. Hasilnya, dari rugi Rp 123,9 miliar pada 2007-08, tahun 2009 untung Rp
155 miliar. Apa kunci suksesnya?
Bertahun-tahun PT Kereta Api Indonesia/KAI (Persero) selalu
dibelenggu masalah klasik. Kecelakaan sering terjadi akibat kesalahan teknis
dan human error, teknologi perkeretaapian tidak memadai, serta pelayanan kurang
memuaskan. Belum lagi masalah semrawutnya penumpang dan fasilitas yang ala
kadarnya, baik di stasiun, gerbong kereta, sarana penjualan tiket, maupun
restorasi.
Kondisi tersebut diperparah dengan rapor merah laporan keuangan. Tahun
2005 dan 2006 kinerja jawatan kereta api yang didirikan pada 1946 itu boleh
dibilang baik karena masih mencetak laba Rp 5,9 miliar dan Rp 14,2 miliar.
Namun, tahun 2007 dan 2008 menjadi tahun negatif dan terjeblok. Kerugian yang
diderita mencapai Rp 40,5 miliar pada 2007 dan minus Rp 83,4 miliar tahun
berikutnya.
Menghadapi kondisi yang memprihatinkan, pemerintah gerah. Manajemen
KAI dirombak. Ignasius Jonan dipilih sebagai masinis anyar.
Tanggal 25 Februari 2009 Jonan dilantik sebagai Dirut KAI oleh Menneg
BUMN saat itu, Sofyan Djalil. Jonan menggantikan posisi Ronny Wahyudi yang
ditugaskan menjadi anggota Dewan Komisaris PT Industri Kereta Api (Inka). “Kami
masih akan meneruskan target-target direksi sebelumnya. Kami juga akan
berkonsentrasi memperbaiki pelayanan, keamanan dan ketepatan waktu,” ujar Jonan
usai pelantikan.
Sofyan berharap, perombakan ini bisa membawa si Ular Besi ini
menjadi lebih profit dan lebih profesional. Termasuk, bisa mengurangi berbagai
persoalan seperti kereta anjlok dan kecelakaan yang masih kerap terjadi. Juga,
harapan agar manajemen baru dapat membawa perusahaan bergerak ke tahap
berikutnya. Sebab, selama ini komitmen pemerintah dalam mengembangkan industri
kereta api cukup besar. Ini ditandai dengan pengucuran dana Rp 15 triliun
selama tiga tahun terakhir.
Mampukah Jonan memenuhi impian pemerintah? Apa saja upaya yang
dilakukan lulusan Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga,
Surabaya, itu dalam membenahi karut-marutnya perusahaan pengelolaan bisnis ular
besi itu?
Jonan melakukan pembenahan secara bertahap. Maklum, banyak hambatan
dan tantangan dalam memimpin perusahaan yang menerima warisan rugi ratusan
miliar itu. “Pertama kali saya masuk, saya bilang ke direktur teknik agar
kereta-kereta kami dibersihkan dulu, karena sudah kusam,” katanya. Ya, langkah
pembersihan kereta itu terkait dengan targetnya untuk mengubah orientasi yang
dulunya pada produk menjadi orientasi pada kepuasan pelanggan. Dia ingin
memenuhi apa yang menjadi kebutuhan konsumen atau penumpang kereta api.
Dijelaskannya, ada empat pilar utama untuk memperbaiki KAI:
keselamatan, ketepatan waktu, pelayanan dan kenyamanan. Keselamatan merupakan
elemen penting dari perusahaan transportasi. “Kalau keselamatan bisa tercapai,
baru mencapai ketepatan waktu. Setelah itu, menuju pelayanan dan kenyamanan.”
Setelah membersihkan kereta, langkah berikutnya adalah memperbaiki
stasiun. Mengapa? Sebab, logikanya orang yang akan naik kereta api pasti menuju
stasiun. Bila stasiun kumuh, jangankan orang mau naik kereta, pergi ke stasiun
saja ogah. Lagi pula, perbaikan stasiun ini paling mudah karena barangnya tidak
bergerak. Untuk itu, pihaknya mengerahkan awak KAI untuk memperbaiki 554
stasiun yang tersebar di sejumlah daerah.
Perbaikan stasiun tidak dilakukan secara ekstrem. KAI tidak memugar
keseluruhan bangunan stasiun, melainkan menambah fasilitas dan mengoptimalisasi
sarana yang sudah ada. Tujuannya, paling tidak pengunjung bisa merasakan
kebersihan dan kenyamanan. Cara yang dilakukan, di antaranya, kini setiap
stasiun besar dituntut menyajikan sajian masakan khas daerah. Contohnya, di
Stasiun Solo Balapan ada kafe yang menyediakan masakan timlo atau tengkleng,
dan di kafe Stasiun Gubeng dan Pasar Turi, Surabaya, ada rawon
Guna mendongkrak kinerja stasiun, KAI mengadakan lomba antarstasiun.
Pemenang berhak mendapatkan Best Station Award. Dalam ajang ini dipilih stasiun
yang memberikan kenyamanan kepada pelanggan secara optimal. Stasiun
diklasifikasikan menjadi tiga jenis: kelas I, II dan III dilihat dari sisi
fasilitas, pelayanan, administrasi, plus tanggapan terhadap keluhan masyarakat.
“Award ini diharapkan dapat menjadi trigger stasiun lain untuk belajar,” ujar
Bambang Irawan, Direktur Operasional KAI, menegaskan.
Gebrakan Jonan berikutnya, demi keselamatan dan kenyamanan
penumpang, diberlakukan kebijakan “No Go Item”. Maksudnya, setiap armada kereta
api yang akan berangkat harus memenuhi standar layak jalan. Pemimpin Perjalanan
Kereta Api harus memastikan semua sarana lokomotif dan kereta dengan teliti. “Bila
ditemukan unsur yang membahayakan, harus diperbaiki dan layak jalan untuk
melanjutkan perjalanan,” ucap Jonan. Syarat kereta siap dioperasikan dari check
sheet, seperti memeriksa rangka bawah. Setiap kereta juga ada jadwal berkala
pemeriksaan, yaitu tiap 650 ribu kilometer sekali harus dicek. Jadi, sebelum
dan saat akan berjalan kereta wajib diperiksa dengan seksama.
Selama kereta berjalan, faktor kebersihan harus diperhatikan secara
intensif. Bahkan, menurut eksekutif yang pernah menjabat sebagai Presdir PT
Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (Persero) periode 2001-06 itu, KAI juga
menyediakan layanan locker untuk penumpang di kereta api eksekutif (Argo Bromo,
Anggrek, Muria, Bima dan Taksaka). Penumpang kelas ini pun dapat menikmati
kemudahan dalam pembelian tiket. Tanpa perlu mengantre di stasiun, reservasi
dan pembayaran tiket bisa dilakukan secara online lewat ATM bank tertentu,
jaringan Kantor Pos, dan biro perjalanan yang menjadi agen penjualan tiket KAI.
Jonan mengaku, upaya-upayanya memperbaiki KAI tidak berjalan mulus.
“Proses perbaikan itu memakan waktu lama,” kata pria yang pernah mengambil
program senior managers in government di Kennedy School of Government, Harvard
University, Amerika Serikat, itu. Lantas, apa saja kendala yang dihadapi? Antara
lain, mentalitas jajaran KAI di lapangan yang belum profesional. Menurutnya,
tidak gampang mengubah kebiasaan orang yang berlangsung puluhan tahun. Sebut
saja untuk kereta api kelas ekonomi, terjadi praktik-praktik pungutan liar oleh
kondektur terhadap penumpang yang tidak bertiket. “Belakangan kami menerapkan
sanksi yang keras, yaitu mendenda penumpang dua kali dari harga tiket yang
berlaku,” ujarnya tanpa menyebutkan sanksi buat sang kondektur. Yang jelas,
diakuinya, pembenahan itu belum clear 100%, sehingga mesti pelan-pelan.
Penumpang gelap ini sering dituding sebagai penyebab kereta
overload. Dan tudingan lebih buruk lagi: menjadi biang rusaknya lintasan
kereta. Padahal, kereta ekonomi hingga eksekutif berjalan di lintasan yang
sama. Namun, hal ini dibantah Joko Margono, Direktur Operasional dan Umum.
“Secara teknis, overload kereta penumpang 200% bisa ditoleransi. Lintasan sama
sekali bukan masalah,” ujar Joko berkilah.
Kendala lain adalah minimnya dana alokasi public service obligation
(PSO). Selama ini, pemerintah membantu pendanaan KAI melalui PSO untuk
pengoperasian kereta ekonomi. Contoh, untuk tiket KRL ekonomi Jabodetabek,
pemerintah menentukan tarif Rp 2.000/penumpang/60 km dan keuntungan tipis 10%
untuk KAI. Sebagai informasi, pada 2009 PSO yang diberikan sebesar Rp 504,1
miliar. Jumlah ini menurun Rp 40,5 miliar dibanding tahun 2008 yang mencapai Rp
544,6 miliar. Apakah PSO ini sudah cukup? “Jawabannya tinggal kembali ke
pemerintah yang menginginkan tingkat pelayanan kereta ekonomi mau sebaik apa?”
ujar Jonan balik bertanya. Akan tetapi, dia mengaku tetap akan melakukan yang
terbaik demi pelayanan penumpang.
Selain kendala, KAI juga dihadapkan pada tantangan berat. Menurut
mantan Direktur Pengelola dan Head of Investment Banking Citigroup Indonesia
itu, tantangan yang dihadapi adalah tidak bisa menciptakan pasar. Alasannya,
pasarnya sama sekali customer driven. “Jadi, yang bisa dilakukan KAI hanya
mengelola,” dia menegaskan. Strateginya, route management. Jalur-jalur kereta
yang tidak menguntungkan dialihkan ke jalur yang lebih menguntungkan. Jurus
kedua, efektivitas biaya perawatan, bukan efisiensi. Artinya, kalau efisiensi
itu ada tendensi pengurangan, padahal KAI tidak pernah mengurangi anggaran
perawatan. Perlu diketahui, tahun 2009 biaya prasarana dan sarana KAI lebih
tinggi Rp 426 miliar dibandingkan tahun sebelumnya. Itulah sebabnya, KAI
berkomitmen meningkatkan pelayanan meski anggaran belum menuju angka terbaik.
Idealnya, lanjut Jonan, biaya perawatan sarana dan prasarana butuh tambahan Rp
1-2 triliun lagi.
Walaupun hambatan dan tantangan berat, tidak bisa dimungkiri kerja
keras tim Jonan mulai menunjukkan hasil memuaskan. Indikasinya paling tidak
bisa dilihat dari penampilan Stasiun Gambir yang berubah menjadi lebih baik.
Lihatlah, lift yang dulunya mati kini beroperasi lagi. Juga, tempat antrean
tiket dibuat senyaman mungkin. Toilet pun diperbaiki hingga mirip dengan
fasilitas di bandara. “Dilihat dari pelayanan, administrasi dan fasilitas,
Stasiun Gambir sudah banyak berubah,” ucap Bambang mengklaim.
Selain itu, di bawah kepemimpinan Jonan, PT Komuter Indonesia
dipisahkan, dan menjadi anak perusahaan KAI yang khusus menangani kereta api
Jabodetabek. Hal ini dilakukan semata-mata agar setiap divisi bekerja lebih
fokus dan optimal.
Dari sisi keuangan, Jonan berhasil membalikkan kondisi keuangan KAI
360 derajat dari yang minus Rp 123,9 miliar selama dua tahun (2007-08) menjadi
surplus Rp 155 miliar pada 2009. Hingga akhir 2010, ia menargetkan pendapatan
KAI Rp 7,3 triliun. Jumlah itu mengalami kenaikan dibandingkan revenue 2009
sebesar Rp 4,7 triliun.
Untuk mencapai target pendapatan Rp 7,3 triliun, pehobi koleksi
benda-benda seni ini berharap disokong jasa angkutan KAI. Agar pendapatan bisa
tercapai dalam waktu dekat, KAI hendak melakukan sertifikasi ISO 9001 di setiap
restorasi kereta api kelas eksekutif. Selain fokus ke pelayanan angkutan, KAI
juga berupaya meningkatkan pelayanan angkutan petikemas yang selama ini baru
beroperasi di beberapa daerah. Tak lupa, Jonan akan menambah 400 gerbong baru
untuk penumpang dan lokomotif pada lima tahun ke depan dengan investasi sekitar
Rp 5 triliun. Langkah ini diambil karena selama 10 tahun gerbong dan lokomotif
yang ada jumlahnya terus menurun.
Saat ini, kereta api barang memberi kontribusi pendapatan 33%.
Sementara angkutan penumpang menyumbang 60% terhadap total revenue. Sisanya,
disumbang iklan dan penyewaan aset. “Ke depan kami berharap kereta api makin
besar peranannya terhadap transportasi darat untuk mendukung pertumbuhan
ekonomi nasional,” ujar Jonan menegaskan.
Tidak puas dengan pencapaian itu, Jonan masih memiliki sejumlah
agenda memajukan KAI. Dia bercita-cita menghapus kereta api kelas bisnis,
karena dirasa nanggung pengelolaannya. Rencananya, hanya ada dua kelas: kereta
api ekonomi dan eksekutif dalam satu rangkaian. Alasannya, keselamatan dan
ketepatan waktu adalah hak penumpang. Maka, tidak fair jika jarak tempuh
dibedakan dari harga karcis. “Penumpang mau bayar Rp 2.000 atau Rp 100 ribu,
kami wajib mengupayakan agar selamat. Nah, kalau kenyamanan, itu baru beda
harganya,” dia menegaskan.
Jonan juga berharap pemerintah segera membangun lintasan rel ganda.
Tujuannya, mengurangi kepadatan jalan raya. Perlu diketahui, selama 24 jam KAI
melayani lebih dari 1.200 perjalanan kereta api. Dalam rute tersebut, KAI
mengangkut 29 ribu penumpang, termasuk outsourcing 6.000-8.000 orang. Tahun
2009, KAI mengangkut 207 juta penumpang jauh-dekat dan hampir 20 juta ton
barang. Menurut Jonan, mestinya jumlah tersebut dapat ditingkatkan seandainya
ada jalur rel ganda. Paling tidak, jalur ganda di jurusan kereta api padat
Jakarta-Surabaya. Kini, KAI memiliki sedikitnya 1.300 kereta penumpang. Jumlah
kereta ekonomi mencapai 800 kereta atau setengahnya lebih dan sisanya kereta
bisnis plus eksekutif. (***)
BOKS 1:
Steve Sudjatmiko:
Direksi Baru Bekerja Lepas
Direksi KAI saat ini dinilai Steve Sudjatmiko tidak memiliki beban
khusus. Dengan kata lain, Ignasius Jonan dkk. dapat bekerja lepas karena tidak
ada tekanan-tekanan. Maklum, ketika mereka masuk, kondisi KAI benar-benar rugi.
Direksi baru memang ingin memperbaiki, tetapi kalau gagal, mereka tidak terlalu
merasa berdosa lantaran faktanya perusahaan sudah minus.
Namun, Steve mengakui, Jonan membawa banyak angin perubahan.
Perubahan paling krusial manakala dia merombak manajemen dengan memboyong lebih
banyak profesional dari kalangan eksekutif yang pernah bekerja di perusahaan
bonafide atau multinasional. “Jonan berhasil memasang performance management,”
ujar Mitra Pengelola Red Piramid Consulting itu. Alhasil, Jonan bisa
mendapatkan fresh inside. Apalagi, semua karyawannya diberi tahu apa tujuan
yang akan dicapai KAI. Ini sangat tepat, karena tiap karyawan mesti tahu apa
yang harus diubah dan diperbaiki.
Performance evaluation juga diterapkan dengan baik. Ini berimplikasi
positif terhadap kontrol setiap bagian. Suasana kerja di tubuh organisasi
kereta api itu juga banyak berubah. Yaitu, tercipta suasana diskusi yang lebih
berkembang, karena ada umpan balik dari atasan dan bawahan.
Terobosan lain, diterapkan sistem reward dan punishment yang jelas.
Performa kerja tiap insan KAI menjadi perhatian utama Jonan; gaji, tugas dan
tanggung jawab berjalan beriringan. Malah, pihaknya tidak segan memecat orang
yang tidak perform. “Ini kelihatannya belum benar-benar berjalan. Kalau ini
berjalan, akan sangat bagus sekali,” ujarnya. Agar makin oke, dia menyarankan
agar KAI mengundang ahli kereta api dari luar negeri untuk mengadakan studi dan
mendapat pemikiran terobosan. (***)
BOKS 2:
Langkah Jonan Membenahi KAI
Membuat empat pilar pembenahan: keselamatan, ketepatan waktu,
pelayanan dan kenyamanan
First thing first: membersihkan kereta-kereta yang kusam
Memperbaiki 554 stasiun di beberapa daerah
Melakukan lokalisasi: setiap stasiun besar menyajikan masakan khas
daerah
Mengadakan kompetisi untuk memacu kinerja tiap stasiun (pemenang
mendapatkan Best Station Award)
Memberlakukan kebijakan No Go Item untuk keselamatan dan kenyamanan
penumpang
Menyediakan layanan locker untuk penumpang kereta api eksekutif
(Argo Bromo, Anggrek, Muria, Bima dan Taksaka)
Memberikan kemudahan reservasi dan pembelian tiket secara online
lewat ATM bank tertentu, jaringan Kantor Pos, dan biro perjalanan yang menjadi
agen penjualan tiket
Memisahkan PT Komuter Indonesia sebagai anak perusahaan KAI agar
lebih fokus kinerjanya
Menghapus KA Parahyangan (Bandung-Jakarta) yang merugikan
ANALISA :
Pasar Bisnis dari PT. KAI
adalah semua masyarakat yang dilewati atau dilayani oleh Kereta api. Apalagi
PT. KAI
Pemasar Bisnis dalam hal ini PT. KAI memiliki beberapa karakteristik yang sangat berlawanan dengan
karakteristik pasar konsumen, yakni :
- Pembeli yang lebih sedikit tetapi lebih besar. PT. KAI dalam berhubungan dengan pihak perusahaan lain sebagai distrubutor, seperti kerja sama dengan Pertamina ataupun Semen Gresik.
- Hubungan Pemasok-Pelanggan yang erat. Keuatan PT. KAI yang mampu mengangkut masyarakat dalam jumlah yang besar dan biaya yang yang begitu mudah terjangkau. Jalur kereta api seperti KRL Jakarta dan Pramenks menjadi moda transportasi yang kuatan dimasyarakat.
- Pembelian Profesional. PT. KAI menyediakan Kereta api eksekutif seperti argo, Bima, maupun Tksaka untuk sarana trnsportasi para professional dan eksekutif. Belum lagi Kereta Api Jaladara, sebuah Kereta Api Antik bertiket mahal yang diposisikan sebagai Kereta Uap yang membelah kota Solo.
- Pengaruh Pembelian Berganda. Pihak PT. KAI melakukan pembelian Kereta Api bekas dari Jepang untuk melakakukan pembaharuan mesin. Bias juga melakukan perbaikan dan memperbaiki kereta api lama, sehingga dapat dijalankan menjadi Kereta Api listrik. Di Jawa, PT. KAI sudah membangun jalur Kereta api dengan rel ganda. PT. KAI juga melakukan pemesanan terhadap Perusahaan BUMN local sebagai tambahan armadanya.
- Panggilan Penjualan Berganda. PT. KAI melakukan perbaikan reservasi, pemesanan makanan benar- nbenar dilakukan check terhadap dapur kereta Api. Di beberapa KRL didaerah terdapat penjual yang menjual dari minuman sampai Koran. Dibeberapa Stasiun besar, harus disediakan rumah makan khas daerah tersebut, seperti Timlo Solo di Stasiun Balapan. PT. KAI juga mulai menyediakan ATM terpadu dalam rangka memudahkan transaksi keuangan. Untuk KRL dipermudah akses untuk mendapatkan tiket yang bias dibeli secara bulanan. Para pembeli tiket eksekutif sekarang sudah bias melakukan pemesanan via on line. Untuk tiket kelas ekonomi, pembelian tiket diberlakukan saat akan berangkat dan bebas tempat duduk. Para penjual pingiran ditertibkan dengan penyeragaman dan penertiban.
- Permintaan turunan. PT. KAI mencoba mengakomodir permintaan beberapa pelanggan dalam memisahkan satu gerbong hanya untuk wanita di KRL. Pembersihan pungutan liar dari petugas, dan menggantinya dengan denda dua kali bayar du atas kereta. Tentu saja, masalah gaji bagi karyawan PT. KAI ditingkatkan lebih dari 20%. Peningkatan ini untuk mempermudah sanksi terhdap pungutan liar.
- Pedrmintaan inelastic. PT. KAI menyadari, kenaikan harga terhadap tiket tidak begitu berpengaruh kepada pelanggan. Namun hal tersebut, akan berpengaruh terhadap keberadaan peralatajn kereta api disekitar akibat protes dari pelanggan. Ini bias dimaklumi karena PT. KAI adalah perusahaan monopoli kereta api.
- Permintaan Berfluktuasi. PT. KAI mengalami “kerepotan” dalam menghadapi lonjakan hari libur,lebaran, natal, dan tahun baru. Diluar hari-hari tersebut, jumlah penumpang akan menyusut separo,malah kadang menjadi sepertiganya. PT. KAI menggunakan system penjualan tiket dengan harga yang berbeda dalam menghadapi hari-hari tersebut.
- Pembeli yang terkonsentrasi secara geografis. Konsentrasi PT. KAI terletak pada jalur Jakarta Solo.Jalur ini adalah jalur padat. Kedua adalah jalur utara dari Jakarta sampai Surabaya. Konsentrasi kedua adalah pada area KRL Jabodetabek dan Jogja Solo.
- Pembelian Langsung. PT. KAI berusaha melakukan pendidikan terhdap karyawannya untuk melakukan upaya trouble shooting terhadap nKereta Api, rel, pendukung Kereta Api, dan Stasiun Kereta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar