Artikel :
Menyulap yang
Lesu Jadi Happening (Trans7)
Thursday, November 11th, 2010
oleh : Eva Martha Rahayu, Tutut Handayani, dan Siti Sumariyati
www.swa.co.id
Duet kepemimpinan Tama-Atiek
berhasil membenahi Trans7 dari mimpi buruk: rugi Rp 1 triliun selama lima tahun
beroperasi. Bagaimana proses turnaround-nya?
Anda pernah menonton tayangan
program Trans7? Tentu sebagian besar di antara kita tidak asing lagi dengan
acaranya yang pernah fenomenal sepert Empat Mata (kini Bukan Empat Mata)
dibawakan Tukul Arwana. Bila Anda perhatikan, tidak hanya acara Tukul yang
berkiblat, program lain juga moncer. Sebut saja Opera van Java, Si Bolang,
Laptop Si Unyil, atau Motor GP. Selain isi acara yang lebih berbobot,
positioning Trans7 sebagai “male TV” juga mulai kuat brand awareness-nya di
kalangan pemirsa.
Padahal, bila kita tengok ke
belakang, kondisi Trans7 sempat berdarah-darah. Sebagai pemain anyar di dunia
layar kaca pada Maret 2000, Trans7 (dulu TV7) terseok-seok menghadapi 6 stasiun
TV yang lebih senior, seperti RCTI, TPI, SCTV, ANTV, Indosiar dan TransTV.
Tidak mengherankan, Wishnutama Kusbandio, Dirut Trans7 periode 2006- 2008,
menyebutkan, waktu itu Trans7 berdarah-darah selama lima tahun pertama
beroperasi lantaran menderita rugi sekitar Rp 1 triliun.
Kerugian itu tidak dibiarkan terus
menggerus pundi-pundi sang pemegang saham. Jacob Oetama melalui Kelompok Kompas
Gramedia (KKG) sebagai pendiri sekaligus pemilik 100% saham TV7 (entitas bisnis
bernama PT Duta Visual Nusantara Tivi Tujuh), lalu menjual 55% sahamnya kepada
Chairul Tanjung, bos Trans Corp yang memiliki TransTV. Transaksi bisnis ini
terjadi pada 4 Agustus 2006. Dengan demikian antara TV7 dan TransTV otomatis
bersaudara karena di bawah satu payung Trans Corp sebagai pemilik saham
mayoritas dan pengelolanya.
Alasan KKG memilih Trans Corp
sebagai mitra dengan pertimbangan kesamaan pandangan terhadap media, yaitu
menghibur dan mencerahkan pemirsa. “Selain itu, kami melihat Trans Corp sebagai
entitas media TV baru yang memiliki SDM dengan keterampilan dan etos kerja
sangat baik,” ujar Agung Adiprasetyo, CEO KKG.
Selanjutnya, per 15 Desember 2006,
Trans Corp me-relaunch TV7. Acara itu digelar bersamaan dengan perayaan ultah
TransTV yang kelima. Nama TV7 diganti menjadi Trans7 dan logonya juga berubah.
“Akuisisi TV7 oleh Trans Corp saat itu tidak mengubah nama entitas bisnis. Yang
berubah adalah porsi kepemilikan saham, logo dan station ID yang disertai
penyesuaian konten, pembenahan struktur organisasi, dan budaya kerja baru. Kurang
dari sebulan pascaakuisisi, logo TV7 diganti menjadi Trans7,” ungkap Atiek Nur
Wahyuni, Presdir Trans7 periode 2008-sekarang, yang juga merangkap sebagai
Direktur Pemasaran & Penjualan TransTV.
“Akuisisi Tran Corp di TV7 juga
tidak disertai lay off karyawan TV7. Kalau pun ada orang yang mengundurkan
diri, umumnya mereka tidak bisa menyesuaikan diri dengan budaya kerja yang baru
dan performa pribadi sebagai karyawan terus menurun,” ujar Atiek menegaskan.
Siapakah sosok di balik
keberhasilan turnaround Trans7? Duo petinggi TransTV, yaitu Wishnutama dan
Atiek sangat berperan penting. Di tangan duet mereka berdualah, kondisi
berdarah-darah secara bertahap dapat diselamatkan. Mereka dan dukungan tim
kreatifnya berhasil melakukan serangkaian gebrakan dan inovasi untuk kemajuan
stasiun televisi ini.
Ketika Trans Corp mengakuisisi
TV7, Wishnutama langsung ditunjuk pemegang saham sebagai orang nomor satu di
manajemen. Waktu itu, selain dipercaya sebagai dirut, dia juga menjabat Wadirut
TransTV. Sebelum aksi benah-benah dilakukan, Tama – begitu eksekutif muda itu
biasa disapa – menegaskan bahwa segala sepak terjangnya berlandaskan pada
fakta: bisnis TV itu hanya menjual acara atau program. Audiens tidak peduli
bagaimana sebuah stasiun televisi dijalankan.
Selain itu, diakui Tama, sejatinya
pembenahan tidak dimulai dari nol. Yang dilakukan adalah pembenahan dari apa
yang sudah ada. Tim turnaround bertugas memperkuat fondasinya. Pada dasarnya,
menurut Tama, benih-benih awareness pemirsa pada TV7 saat itu sudah ada, cuma
belum kuat dan kental kesan kebingungan arah segmentasinya mau dibawa ke mana.
Lantas, langkah pembenahan dan
perubahan apa saja yang dilakukan Tama? Mula-mula dia membenahi on air look.
Yaitu pembenahan isi dan jadwal program. Mengapa? Menurut Tama, dengan
memperbaiki konten yang sudah ada, maka segera mempercepat proses turnaround
stasiun TV yang tadinya selama lima tahun pertama beroperasi tekor terus.
Diakuinya, selama dua minggu
sebelum penunjukan dirinya sebagai dirut, dia mendalami tampilan Trans7 saban
hari. Semua acara ditontonnya. Bukan hanya program acaranya yang dipelajari
dengan saksama, tetapi juga bagaimana mereka menampilkan acaranya, sehingga
harus bisa lebih atraktif bagi mata permirsa dan pemasang iklan. “Waktu itu
saya analisis apa saja kelebihan dan kelemahan Trans7. Dan, saya pilih hal apa
saja yang bisa diperbaiki secara cepat,” ujar alumni Jurusan Komunikasi Mount
Ida College, Boston, Amerika Serikat ini. Tentu saja, hal utama yang bisa dan
harus dibenahi secara cepat adalah konten atau acara itu sendiri. Pasalnya,
bila ingin membenahi SDM dan organisasi manajemen butuh waktu lebih lama.
Langkah kedua, Tama membenahi
citra dan awareness pemirsa agar lebih baik dan tinggi. Boleh dikatakan langkah
kedua dijalankan beriringan dengan langkah pertama tadi. Alasannya, isi program
yang ditayangkan sangat berpengaruh langsung terhadap pembentukan citra dan
audience awareness.
Berdasarkan hasil kajian tim
riset, ditemukan fakta bahwa kondisi TV7 sebelum TransTV masuk, ada fakta bahwa
program yang ditayangkan tidak jelas arahnya dalam konteks segmentasi,
targeting plus positioning. Ada kebingungan mau menangkap segmen pemirsa
seperti apa? Belum lagi, soal proses eksekusi program yang masih lemah.
Dijelaskan Tama, Trans7 didesain
sebagai news television magazine, adventurous, dan entertainment yang menyasar
kalangan A, B dan C. Bedanya dari TransTV, acara Trans7 dikemas lebih cerdas,
aktif, interaktif, dan membumi. Sementara TransTV lebih kental dalam gaya
hidup, trend-setter dan block buster movie.
Untuk membenahi isi, caranya
adalah memperbaiki rasa percaya diri SDM yang bertanggung jawab atas isi
program. Yakni, dengan alih keterampilan dari tim konten TransTV yang
ditempatkan ke dalam tim pembenahan Trans7 sebagai karyawan Trans7. Karyawan
TV7 yang sudah ada sebelum akuisisi, ditandem dan belajar dari pengalaman tim
TransTV. Ada sistem mirroring dalam pembenahan program dengan melihat TransTV,
terutama dalam hal strategi dan cara eksekusinya. Kemasannya pun dibenahi.
“Dulu, tim kreatif TV7 belum paham bagaimana mengeksekusi acara yang sebenarnya
bagus dan pasti dilirik pemirsa. Akibatnya, program tidak terlihat happening
atau look-nya datar-datar saja, sehingga pemirsa antara enggan dan mau
menonton,” Tama menjelaskan. Happening itu dalam istilah acara TV berarti
semarak, heboh, dan mampu membangkitkan antusiasme penonton.
Diceritakan Tama, kala itu
sejumlah program acara TV7 telah ditaksirnya untuk segera dibenahi. Contoh
acara Empat Mata (EM). Saat itu, EM sudah ada di TV7 yang ditayangkan pada
malam hari dan khusus untuk pria dengan isi acara dan tamu yang heboh dan
superseksi. Untuk itu, tampilan program juga diperbaiki dengan cara membenahi
kemasan dan tamu-tamu acara agar tidak terlalu heboh dan vulgar, lalu
ditayangkan setiap hari secara stripping. Konsep acaranya dibuat seperti Jay
Lenno Talk Show dan pemandunya dipilih Tukul. Untuk pemirsa pria di malam hari,
selain EM, juga Motor GP, dan Liga Premier. Sementara itu, tayangan siang
hingga sore hari untuk anak-anak dan remaja, tetap terkonsentrasi pada Si
Bolang, Jejak Petualang dan Laptop Si Unyil yang merupakan produksi anak-anak
departemen pemberitaan.
Juga, ada program baru hasil
kreasi murni awak Trans7 setelah akuisisi, yaitu Opera van Java (OVJ) yang
tayang setiap hari. OVJ pun unik karena dalang bisa diatur oleh wayangnya,
sehingga menentang pakem selama ini.
Tidak hanya program. “Kami juga
membenahi bagaimana strategi menjual sebuah acara TV, manajemen bisnis TV,
melatih SDM TV hingga sekarang,” kata Tama yang memiliki empat anak,
menegaskan.
Selanjutnya, langkah efisiensi.
Untuk mengefisiensikan proses produksi, studio TV7 dulu yang di Cawang
dipindahkan jadi satu di kawasan perkantoran TransTV. Begitu halnya kantor
manajemen yang tadinya di Wisma Intiland, Sudirman, dipindahkan ke satu
kompleks perkantoran TransTV di Mampang. Dengan membaurnya kantor manajemen dan
studio dalam satu kawasan, bahkan satu kawasan dengan TransTV sebagai induk,
menurut Tama, strategi itu bisa mempercepat proses kerja, pengawasan, dan menghemat
biaya operasional. Juga, mempercepat proses alih keterampilan dalam produksi
dan pengelolaan bisnis televisi.
Ya, kehadiran Tama sekitar dua
tahun di Trans7 banyak membawa angin perubahan. Namun, tahun 2008 posisi Tama
digantikan oleh Atiek yang ditunjuk oleh pemegang saham. Saat Tama sebagai
Dirut Trans7, Atiek menjadi wakilnya yang bertanggung jawab atas Direktorat
Penjualan dan Pemasaran yang mencakup aspek penjualan, layanan pemasaran,
trafik, pemasaran, PR, promosi, dan desain grafis.
Atiek menggarisbawahi
langkah-langkah pembenahan yang dilakukan selama tahun pertama setelah
akuisisi: evaluasi total terhadap struktur organisasi dan tugas masing-masing
individu, uji kompetensi dari tiap personel, penataan sistem administrasi
secara keseluruhan, program-program yang sudah ditayangkan, evaluasi on air
look (tampilan tayang TV) sebelumnya, dan sistem penjualan program. Evaluasi
total ini dilakukan terhadap hal-hal yang sudah dilakukan TV7.
Setelah evaluasi, tim Trans segera
melakukan berbagai macam perubahan, seperti menentukan repositioning, struktur
organisasi yang lebih disesuaikan untuk mencapai objektif perusahaan, mengubah
on air look agar lebih fresh-dinamis-happening, mengubah pola program antara
lain mengganti program-program agar lebih sesuai dengan target pemirsa dan
lebih fokus, mengubah sistem penjualan dan memperbaiki sistem administrasi,
efisiensi biaya, serta memberikan banyak pelatihan dan coaching untuk
meningkatkan kompetensi seluruh SDM atau karyawan.
Proses turnaround ini bisa
dikatakan berjalan mulus. Diakui Tama, pihak KKG mendukung pembenahan tersebut.
Jadi, karena ada kesamaan visi, tidak menimbulkan friksi dalam proses perpaduan
dua budaya perusahaan. Hanya individu-individu yang tidak bisa menyesuaikan
diri dengan perubahanlah yang akan mental. Visi KKG adalah berperan strategis
dalam mencerdaskan masyarakat. Visi ini klop dengan visi yang dicanangkan Trans
Corp untuk Trans7, yaitu: menjadi TV terbaik sebagai pilihan utama pemirsa dan
pengiklan dengan menayangkan program berkualitas dan mempunyai nilai bagi
kemajuan bangsa Indonesia. “Kami memercayakan operasional Trans7 kepada tim
Trans Corp,” imbuh Agung. Dengan demikian, KKG tidak intervensi terhadap
operasional TV yang sahamnya dimiliki oleh dua grup berbeda itu.
Atiek pun membenarkan bahwa
eksistensi Trans7 sebagai hasil merger dua budaya perusahaan, yaitu Trans Corp
dan TV7. Trans Corp memiliki budaya organisasi yang kental rasa bangga yang
tinggi terhadap perusahaan (esprit de corp), tim kerja sama yang sangat kuat
antarkaryawan baik sedivisi maupun lintas divisi, kerja keras, cerdas, to be
the best, inovatif, kreatif, dan mandiri. Plus, cara kerja yang cepat, dengan
keketatan tenggat (batas waktu) yang sangat ketat dan kompetitif. ”Budaya
inilah yang kembali dibangun dengan masuknya tim pembenahan dari TransTV yang
ditempatkan di TV7,” ujar Atiek menguraikan.
Saat awal pembenahan Trans7, Trans
Corp menempatkan sekitar 90 karyawan TransTV. Perinciannya, sebanyak 75
karyawan TransTV dipindahkan dengan status karyawan Trans7 dan ada 15 pegawai
TransTV yang bertugas melakukan proses mirroring. Ketika tugas mirroring
selesai, ke-15 orang ini dikembalikan ke TransTV. Sebagai informasi, total
karyawan Trans7 saat ini mencapai 1.500 orang.
Lantas, bagaimana hasil turnaround
Trans7? Dari sisi keuangan, diakui Tama, kinerjanya positif. Buktinya, jika
lima tahun pertama beroperasi TV7 minus sekitar Rp 1 triliun, belakangan rapor
keuangannya sudah biru. Sayang, baik Tama maupun Atiek ogah memaparkan berapa
pendapatan atau laba bersih Trans7 setelah akuisisi. Yang jelas, Atiek hanya
menyebutkan pertumbuhan pendapatan Trans7 tahun 2007-2009 berturut-turut:
76,54%, lalu 8,62% dan 27,40%. Sementara pertumbuhan pendapatan hingga kuartal
ketiga tahun ini yang berakhir 30 September 2010 tercatat 72,13%.
Dari sisi pendapatan iklan Trans7,
berdasarkan data Media Scene: Rp 2 triliun (2006), Rp 2,41 triliun (2007) dan
Rp 2,51 triliun (2008). Pencapaian itu tidak terpaut jauh dari induknya
(TransTV), yaitu Rp 2,63 triliun (2006), Rp 2,83 triliun (2007), dan Rp 3,27
triliun (2008).
Peringkat Trans7 juga naik.
“Sekarang, rating acara utama Trans7 seperti Bukan Empat Mata, Opera van Java
dan Si Bolang bisa dikatakan peringkatnya sudah 2 digit semua atau lebih dari
10%,” Tama mengklaim dengan nada semringah.
Manfaat turnaround juga dirasakan
karyawan. “Citra Trans7 menjadi lebih baik, sehingga memberikan kebanggaan buat
karyawan. Selain itu, kesejahteraan meningkat dengan kenaikan bonus,” ucap
Herty Purba, Kepala Divisi Produksi Trans7. Hal senada dirasakan presenter
Trans7 yang enggan disebutkan jati dirinya. Dia hanya mengatakan, “Manfaat
pembenahan ini bagi kami adalah sistem manajemen operasional yang lebih baik.
Ujung-ujungnya bonus karyawan lumayan.”
Kunci keberhasilan turnaround
Trans7, dinilai pengamat manajemen dari Great Management Consultant, Donny
Oktavian Syah, terletak pada beberapa faktor. Pertama, adanya kemauan kedua
pihak untuk berubah. Kedua, proses perubahan terukur dengan timbangan yang
jelas. Ketiga, pencangkokan perubahan dengan mendatangkan tim TransTV ke Trans7
berandil besar. Keempat, ide penyatuan proses produksi di satu tempat adalah
titik krusial yang berhasil mereduksi tingginya biaya operasional.
Ke depan, tantangan Trans7 adalah
bagaimana terus melahirkan acara-acara yang semakin menarik perhatian pemirsa
dan terus menjadi stasiun TV pilihan. Itulah sebabnya Trans Corp konsentrasi
pada pengembangan SDM melalui program pengembangan broadcasting, mirip program
pelatihan manajemen. Selan itu, karena Trans7 mengandalkan in-house production
ketimbang membeli program dari rumah produksi guna menekan biaya, stasiun TV
ini dituntut memiliki daya kreativitas ekstra tinggi.
Langkah-langkah tersebut harus
ditempuh karena manajemen Trans7 tak mau mereka tak lagi happening sebagai
stasiun televisi.
Analisa :
Perilaku konsumen dalam menonton
acara televisi adalah hasil yang dimunculkan dari televisi tersebut apakah dapt
memuaskan atau tidak, tidak perduli bagaimana proses acara tersebut dibuat.
Budaya dalam menonton televisi merupakan determinasi dasar keinginan dan peri
laku dasar dalam menonton televisi.
Kelompok referensi dari Trans 7
adalah kelompok yang memiliki pengaruh langsung dalam rating dan acara
tersebut. Kelompok tersebut (dalam hal ini penonton dan pemasang iklaan)
mempunyai pengaruh langsung, yang dinamakan kelompok primer. Kelompok sekunder
dari Trans 7 adalah professional, agama, kelompok usaha.
Trans 7 memanfaatkan keluarganya
dahulu dalam bergerak. Keluarga terdekat yang dipegang adalah Trans TV. Beberapa
pegawai dan jajaran top manajemen Trans TV dipindakan ke Trans 7. Atau kalu
tidak dpindahkan, dilakukan mirroring (memberi pengajaran) kepada staf Trans 7
(dulu masih TV 7).
Trans 7 mencoba membangun
kepribadian agar berbeda dari TV 7 atau tidak mengekor Trans TV. Trans 7 coba
dijadikan merek dengan kekuatan bentuk petualangan dan talk show non serius
seperti Jejak Petualang ataupun Bukan Empat Mata.
Kepribadian Merek merek ideentifikasi sifat-sifatnya menurut Jennifer
Aaker dari Stanford adalah :
- Trans 7 mencoba brmain dalam area ketulusan (membumi, jujur, sehat, dan setia) dengan tetap memainkan Bukan Empat Mata (dulunya Empat Mata)
- Kegembiraan (berani, bersemangat, imajnatif, dan modern) dalam Trans 7 namun penuh dengan unsure pendidikan diwakili oleh Si Bolang dan jalan Sesama
- Kesempurnaan (Kelas atas dan menarik) muncul dengan acara Mancing Mania.
- Kompetensi (dapat diandalkan, cerdik, dan sukses) memang dipagang Opera Van Java.
- Ketahanan (Petualang dan tangguh) coba dialirkan kembali lewat Jejak petualang.
Konsumen dalam hal ini penonton
dan pemasok iklan ke Trans 7 coba dimainkan dengan Konsep diri mereka sendiri
dengan disediakknya berbagai acara yang consumers oriented.
Trans 7 mencoba menarik penonton
dengan acara-acara yang terhitung “kurang berbobot” namun di kemas menarik yang
akhirnya bias mempengaruhi konsumen (core values) dengan memperhatikan
bentuk-bentuk acara yang disajikan.
Trans 7 mencoba bermain pada
persepsi TV yang ditonton bak “crispy”, sehingga persepsi tersebut mampu
mengesampingkan realita TV lain yang masih berkutat pada sinetron.
Ibu-ibu akan lebih merasa aman
ketika memutarkan Trans 7 sepulang sekolah sampai sore hari didepan anak-anak,
karena acara trans 7 pada jam tersebut memang berkarakter edukatif dan (sangat)
layak ditonton oleh anak-anak. Konsep tersebut membuat retensi yang kuat
terhadap Trans 7. Dengan konsep tersebut, persepsi bawah sadar yang dituju
menjadi (terkesan) berhasil.
Keberhasilan Trans 7 menghadirkan
sisi lain dari berita dan sinetron merupakan bias hedonis yang mengesankan.
Wishnutama mencoba melakukan potitioning antara Trans TV dan Trans 7.
Opera Van Java dan Bukan Empat
Mata memainkan proses memori yang sangat konstruktif. Karena pemirsa tiak butuh
kejadian runtut dan akurat.ketidakberpikiran inilah yang mampu diambil Trans 7
sampai acara tersebut eksis sampai sekarang dan mendulang iklan yang luar
biasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar