Anggi’s School
“Kamu mau nggak nyumbang buku untuk anak-anak jalanan?” “Buku?” “Buku
apaan?” “Enggak, kita-kita ini sedang siap-siap cari duwit untuk beliin mereka
buku pelajaran, kami ngajarin mereka baca dulu, karena sekarang masuk sd aja
harus udah bisa baca”.
“Dimana itu?” “Dikawasan menteng atas”. “Aku ikut besok kalo kamu mau kesana”. Ok,
“kamu jemput aku aja disini”.
Motorku memasuki kawasan kuburan nasrani dimenteng atas, kuburan tua yang
masih terurus. Kami melewatinya seperti melewati sebuah pematang sawah yang
besar, bedanya yang kami lewati adalah kuburan. Jalan kami akhirnya terhenti pada sebuah
kelurahan, yap, kelurahan di menteng atas. Aku muter-muter dulu di seputar
kawasan itu, ketika jalan aku teruskan, aku menemukan sebuah pasar yang rame banget,
tidak begitu terlihat kawasan slum, kontras tapi, setelah kuburan langsung
menyambung pasar dan apartemen.
Kujejakkan kaki
di aula kelurahan. Anak-anak kecil sekitar berumur antara 3 tahun sampai 5 atau
6 tahun berjejal mengerumuni seorang cewek (yang kekuketahui namanya
kemudian dengan sebutan Jacky). Dia
begitu luwes berhadapan dengan anak-anak kecil itu. Temenku si Yudi memandang sambil senyam-senyum ke
arah anak-anak, lalu menuju ke anak-anak lain yang kira-kira berumur antara 7
tahun sampai 11 tahun. Mereka sudah membawa kertas masing-masing. Oh ternyata
mereka juga termasuk yang diajari.
Ibu-ibu duduk dengan agak (kalau
boleh dibilang) rapi. Mereka melihat-lihat anak-anak mereka diajari. Ada yang
memperhatikan anaknya, memperhatikan yang ngajar, ngrumpi, ngemil, marahin
anaknya, wah pokoknya gak beraturan deh.tahu entah dari mana, tiba-tiba aja ada
beberapa cewek yang membawa kertas untuk membuat origami, ada beberapa
anak-anak yang tertarik, tapi lama-lama malah banyak ibu-ibu yang pindah ke meja
tempat kertas untuk membuat origami.
Mereka anak-anak menteng atas. Orang tua mereka ada yang bekerja sebagai
pemulung, pembantu, tukang ojek, jualan warung, ngemis, udahlah pokoknya
beragam dan posisi mereka adalah penduduk ilegal yang berada kawasan kemiskinan
nasional.
Tapi apakah mereka patut disalahkan akibat ketidakberdayaan mereka terhadap
stagnasi mereka melihat peran pendidikan? Mereka hanya anak-anak yang
dilahirkan ditempat itu, aku hanya lebih beruntung dari mereka. Dasar mereka
sama, aku hanya berpikir bahwa jikalau aku hidup diantara mereka, apakah aku
akan dapat hidup layak seperti sekarang ini. Sudah menjadi hal yang biasa
ketika mendekati mereka, bau keringat mereka terkalahkan oleh bau sampah di
badan mereka.
Anak-anak itu tertawa riang, aku langsung membayangkan, mungkin anak-anakku
akan sama bahagianya dengan mereka, tapi dengan kondisi anakku akan masuk ke
pre-school yang tidak mungkin hanya membutuhkan biaya lima ratus ribu rupiah
persemester.
Kontras bukan, anak-anak itu merasakan keriangan edukatif yang jarang
mereka dapat. Mereka hanya akan meluapkan keriangan mereka pada got, kali
kotor, rumah petak, sampah, dan hal-hal yang menurut kita menjijikkan. Pastel
bukan merupakan barang yang murah bagi mereka, pensil apalagi. Mereka begitu
berbinar kalau lihat makanan, tapi hal tersebut rasional untuk anak-anak segala
segmen, tapi tetap ada perbedaan yang aku rasakan. Ada anak kecil yang datang
lagi dan bilang, kak boleh minta lagi nggak, buat adikku?.
Aku mulai berkenalan dengan pengajarnya satu-persatu, hatiku terusik dengan
mereka. Aku terus terang malu dengan mereka. Mereka masih saja mau melongok
sekeping kemiskinan jakarta dan merasakannya. Mereka datang dengan riang dan
pulang dengan tertawa, tidak ada beban pada mereka. I feel like at home. Terus
terang hari itu aku masih kaku dan malu untuk mengajar, mampu nggak ya aku
untuk ngajari mereka, mampu nggak ya aku menjawab pertanyaan mereka.
Mereka anak yang sebenarnya terlahir di situ dan tertaruh disitu. Anak yang
kalau boleh memilih untuk dilahirkan, pasti tidak akan memilih untuk dlahirkan
begitu. Tapi kita tidak akan disuruh untuk memilih. Aku sangat-sangat beruntung
terlahir tidak seperti itu. Ada teman-teman yang ngajar berasal dari tempat
seperti itu asalnya, meskipun sekarang keluarga mereka terhitung sudah
meningkat taraf hidupnya. Hal itu baru aku ketahui kemudian setelah kami
berbincang-bincang. Aku lihat sinar matanya yang seakan sudah terbiasa melihat
dan berdamai dengan masa itu. Aku jadi merinding dan memilih diam untuk menjadi
pendengar dan pengamat yang bodoh.
Aku hanya punya satu janji pada hatiku, aku besok harus kesini lagi dan
ngajar mereka entah gimana caranya……..
1 komentar:
Halo, assalamualaikum. Saya, Jacky.... hehehehe
Posting Komentar