GIE, entah kenapa aku suka
Panggil aku Soe atau
Gie, tapi jangan panggil saya pak.
Soe
Hok Gie, saya hanya bisa bilang, dia memiliki kadar sosialis sejati pada satu
titik. Tanpa sadar, penekanan pada kesamaan derajat membuatnya semakin jelas terhadap
keyakinannya akan kebenaran yang dia inginkan.
Seorang
mahasiswa Universitas Indonesia (yellow Jacket Boo!) fakultas sastra yang
memiliki hobi hiking, dengan Mapala UInya, tidak disangka-sangka ikut
menorehkan sejarah pegerakan Indonesia dengan guratan intelektualnya. Catatan Harian Gie menegaskan bagaimana
dia berkelakar akan kehidupan yang dia picingkan.
Lebih jauh tentang Gie, saya jadi teringat
film ekponen ’66 yang dibintangi oleh Didi Petet dan Cok Simbara. Dua karakter
yang berbeda, bersatu dalam perjuangan menuju orde baru. Ketika orde baru mampu
berdiri dengan megahnya, jalan mereka dalam menikmati orde baru, mengalami
perbedaan. Satu, jalur birokratis yang koruptif dan yang satu lagi dengan mobil
bobroknya tetap dengan idealis yang tersisa.
Itulah kurang lebih dengan Gie. Memilih menjadi dosen yang tak seberapa,
masih saja berjalan kaki menyusuri jalan. Namun, siapa sangka orang yang hidup apa adanya
ini memiliki pena yang mampu menggoreskan mata dan hati orang yang terkena
sayatan itu ”Darah itu merah Jenderal”.
Kesetaraan dia mengingatkan saya pada Karl
Mark. Memang sih masih jauh kalau Gie memiliki kesamaan dengan Karl, tapi yang
menjadi gambaran di otak saya pertama kali adalah suatu kepuasan batin mereka
dalam beraktifitas tanpa dibatasi oleh uang. kendala uang bukan menjadi momok
mereka dalam beraktifitas mencari kesenangan dan ketenangan batininya. Hatta
juga ikut terbersit dalam hati saya, ketika memperhatikan Gie. ”Bikin orang
pinter” kata sederhana yang saya dapat, dan dia tidak butuh sanjungan untuk
memintarkan orang. Orang tahu
kapasitas dia, dan orang respek dengan dia. Tulisan bisa merupakan salah satu
alat pembunuh yang tajam.
Gie pun sempat juga saya persamakan dengan
H. Agus Salim, dimana dia merupakan orang yang mampu bersama-sama dengan orang disekitarnya,
dan merasa nyaman dengan orang-orang yang memiliki keadaan yang sama. Namun,
begitu ada ancaman, intelektualitas akan menjadi tameng yang ampuh dan
benar-benar menakutkan.
Gie memang bukan seperti Soekarno yang
jago pidato, dia hanya menjadi koseptor dalam tanda kutip bagi Herman Lantang.
Gie memang bukan seperti Ahmad Natsir yang sangat religius dalam tingkah
lakunya, seakan tidak terlihat apa religi Gie.
Dia tahu PKI, dia sadar akan PKI dan
diapun hidup disekitar orang-orang PKI. Hal tersebut tidak membuatnya menjadi
komunis. Dalam kehidupan akademisnya, dia banyak bergaul dengan berbagai
tingkat pendidikan dalam kampus, bacaannya tidak sekedar sastra, politikpun
dilahapnya seakan menjadi seperti bacaan mangga (komik jepang) bagi dia.
Ketika HMI dan GMNI ribut tentang posisi
GESTAPU, dia dan teman-teman malah asyik masyuk dengan mengkritisi film, hal
yang tak terperikan dalam pikiran seorang mahasiswa yang memiliki keluasan
intelektualitas seperti dia kala itu. Tapi tanpa sadar dan diketahui oleh
banyak orang, dia menjalin jalinan khusus dengan Sumitro Djojohadikusumo, bekas
pemberontak PRRI/PERMESTA dan menjadi salah satu pemikir muda yang dibina
Sumitro, yah sosialislah aliran Sumitro.
Gie bukan lahir dari keluarga yang berada.
Gie belum bisa menikmati secuil kenikmatan akan kekayaan hidup. Dan Gie
bukanlah penghambur kehidupan yang tertata. Dia sama dengan anak mahasiswa
lain. Suka merokok, suka lihat cewek cakep, dan kadang suka hal yang berbau
kapitalisme. Tapi itu bukan gaya hidup yang menjadi tujuannya. Pola pikir Gie
akan susah dimengerti oleh wanita yang bukan pengikut gaya pikirnya, kalau
dalam film Gie hal tersebut sangat ditonjolkan.
Soe Hok Gie seorang warga Indonesia
berdarah turunan yang mampu menjadikan merah putih bagi dirinya melebihi merah
putihnya seorang Indonesia tulen masa itu. Keinginannya untuk mendobrak
ketidakbenaran langkah Soekarno diimbangi dengan watch dog dia terhadap proses
berdirinya orde baru yang terlumuri oleh darah orang-orang yang seharusnya tidak
tertumbalkan
Panggil saya Soe atau Gie, tapi jangan
panggil saya pak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar