Konsep Jilbab
Pewajiban jilbab dan busana
islami (bagi orang Islam) dan anjuran memakainya (untuk non-Islam) yang
diberlakukan lewat Instruksi Walikota Nomor 451.422/Binsos-III/2005, tertanggal
7 Maret 2005, di Padang. Formalisasi syariat di banyak tempat berlangsung
dengan menguritanya. Pewajiban jilbab ditopang pula oleh klaim sosio-kultural
masyarakat Padang
yang konon tidak mengenal lagi keterbelahan antara adat dan agama. Kredo ‘adat
basandi syara’, syara’ basandi kitabullah’ yang secara historis menjadi formula
untuk mendamaikan kelompok adat dan kelompok paderi, kini sudah bergeser
pemahaman. Aspirasi adat dan agama, bahkan antara keminangan dan keislaman,
kini telah bersatu. Mungkin orang Padang
kini mengklaim bahwa keminangan adalah keislaman itu sendiri. Menjadi orang
Minang atau sekadar tinggal di Padang ,
seakan-akan sama artinya dengan menjadi Islam, persis seperti salah satu ciri
kemelayuan. Karena itu, orang-orang
yang menentang kebijakan ini, tak ayal akan tertumbuk ‘dua karang’ sekaligus:
karang keislaman dan keminangan. Penentang islamisasi yang formalistik itu akan
divonis durhaka pada agama (Islam) sekaligus mendelegitimasi identitas
keminangannya sendiri.
Pakaian pada dasarnya merujuk pada peran dan fungsinya. Untuk wanita
muslimah, pakaian pergaulan umumnya mengenakan jilbab dan kerudung. Jilbab itu
penutup tubuh (ada yang mengartikannya mantel), dan kerudung itu penutup
kepala. Pakaian penutup tubuh dan penutup kepala sebagai bagian dari budaya
terkadang dikenakan dengan cara yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Untuk
itu melalui QS 33:59 kaum wanita diminta melonggarkan jilbabnya hingga menutup
seluruh tubuh. Dan melalui QS 24 : 31 kaum wanita muslimah diminta mengenakan
kerudung sehingga menutupi dadanya. Jadi prinsip pakaian pergaulan umum wanita
muslimah itu terletak pada upaya menutupi tubuh dan bentuknya agar tidak
terlihat dengan cara melonggarkan pakaian penutup tubuh (jilbab) dan
menjulurkan kerudung hingga menutup dada.
Di negeri Islam lainnya, jilbab lebih merujuk pada pakaian terusan panjang
menutupi seluruh badan kecuali tangan, kaki dan wajah yang biasa dikenakan oleh
para wanita muslim. Penggunaan jenis pakaian ini terkait dengan tuntunan ajaran
Islam untuk menggunakan pakaian yang menutup aurat atau dikenal dengan istilah hijab.
Sementara kerudung sendiri di dalam Al Qur'an disebut dengan istilah khumur,
sebagaimana terdapat pada surat An Nuur ayat 31 : "Hendaklah mereka
menutupkan khumur (kerudung-nya) ke dadanya."
Menurut Muhammad Nashiruddin Al-Albany kriteria jilbab yang benar harus
menutup seluruh badan, kecuali wajah dan dua telapak , jilbab bukan merupakan
perhiasan, tidak tipis, tidak ketat sehingga menampakkan bentuk tubuh, tidak
disemprot parfum, tidak menyerupai pakaian kaum pria atau pakaian wanita-wanita
kafir dan bukan merupakan pakaian untuk mencari popularitas.
Pakaian penutup kepala perempuan di Indonesia semula lebih umum dikenal
dengan kerudung, tetapi permulaan tahun 1980-an lebih populer dengan jilbab.
Jilbab berasal dari akar kata jalaba, berarti menghimpun dan membawa. Jilbab
pada masa Nabi Muhammad SAW ialah pakaian luar yang menutupi segenap anggota
badan dari kepala hingga kaki perempuan dewasa.
Jilbab dalam arti penutup kepala hanya dikenal di Indonesia. Di beberapa
negara Islam, pakaian sejenis jilbab dikenal dengan beberapa istilah, seperti
chador di Iran, pardeh di India dan Pakistan, milayat di Libya, abaya di Irak,
charshaf di Turki, hijâb di beberapa negara Arab-Afrika seperti di Mesir,
Sudan, dan Yaman. Hanya saja pergeseran makna hijâb dari semula berarti tabir,
berubah makna menjadi pakaian penutup aurat perem-puan semenjak abad ke-4 H.
Terlepas dari istilah yang dipakai, sebenarnya konsep hijab bukanlah
‘milik’ Islam. Misalnya dalam kitab
Taurat, kitab suci agama Yahudi, sudah dikenal beberapa istilah yang semakna
dengan hijâb seperti tif’eret. Demiki-an pula dalam kitab Injil yang merupakan
kitab suci agama Nasrani juga ditemukan isti-lah semakna. Misalnya istilah
zammah, re’alah, zaif dan mitpahat.
Bahkan kata Eipstein yang dikutip Nasaruddin Umar dalam tulisannya yang
pernah dimuat di Ulumul Quran,konsep hijâb dalam arti penutup kepala sudah
dikenal sebelum adanya agama-agama Samawi (Yahudi dan Nasrani). Bahkan kata pak
Nasar, pakaian seperti ini sudah menjadi wacana dalam Code Bilalama (3.000 SM),
kemudian berlanjut di dalam Code Hammurabi (2.000 SM) dan Code Asyiria (1.500
SM). Ketentuan penggunaan jilbab sudah dikenal di beberapa kota tua seperti
Mesopotamia, Babilonia, dan Asyiria. (Kompas, 25/11/02)
Pada Asian Games di Busan yang lalu, seorang perempuan Iran –lengkap dengan
jilbabnya—berhasil meraih medali perunggu taekwondo.
Iran memang tidak bisa dijadikan contoh sebagai negara yang –secara
praktis-- benar-benar ketat menerapkan aturan hijab. Tapi, ada satu bukti tak
terbantahkan yang berhasil ditunjukkan Iran, yaitu: jilbab dihadirkan bukan
untuk mengekang perempuan. Apa buktinya? Di Iran, semua lapangan pekerjaan bisa
dipegang oleh perempuan, mulai dari wakil presiden (menjadi presiden memang
belum pernah terjadi, meskipun dibenarkan oleh undang-undang), pilot, insinyur, dokter, sopir taksi, petani,
penyanyi, olahragawan, dan bintang film. Jangan bayangkan bahwa film Iran
berkisar pada tema-tema religius atau diperankan anak-anak melulu sebagaimana
beberapa film pemenang festival yang pernah diputar di Indonesia. Tema film
apapun, termasuk kisah cinta ala Rano Karno dan Yessi Gusman bisa dibuat di
Iran dengan bintang film berjilbab atau ber-chadur sekalipun.
yang harus sama-sama diakui ketika kita ingin membicarakan masalah jilbab
adalah apakah Islam itu agama hukum (syariat) atau bukan? Artinya, apakah kita
mengakui Islam itu adalah agama dengan seperangkat aturan hukum atau tidak? Bila tidak, jilbab malah sama sekali tidak
perlu dibahas. Buat apa? Ketika kita menganggap bahwa ayat-ayat Al-Quran tidak
bisa dijadikan landasan utama batasan atau hukum – atau dalam istilah Ulil
Abshar-Abdalla dalam artikelnya Agama, Akal, dan Kebebasan, wahyu hanyalah
sekedar ”...membawa suatu wawasan tertentu mengenai yang baik dan yang jahat.
Wahyu dapat mengangkat derajat akal manusia ke tingkat yang lebih tinggi dan
bermutu untuk dapat lebih memahami batas-batas. “—adalah non-sense membicarakan
aspek-aspek hukum dalam Islam. Artinya, sah-sah saja bila kita menafikan semua
aturan yang (dianggap) ada dalam Islam. Tidak perlu kita capek-capek sholat
lima kali sehari semalam bila kita tidak meyakini adanya syariat itu. Tidak
perlu takut dianggap kafir, karena istilah kafir itupun akan menjadi bias dalam
konteks ini.
Bila kita sudah menyepakati bahwa Islam adalah agama yang memberikan
segenap aturan yang berupa syariat, mana yang boleh, mana yang tidak, (dengan
pembahasan filosofis yang panjang, dan saya kira amat dangkal bila disimpulkan
“O...kalau begitu, Islam itu hanya buat keledai, yang harus diatur-atur,
dikasih tahu mana yang benar, mana yang salah), kita bisa melangkah ke premis
kedua, bagaimana proses tasyri’ (penetapan hukum) terjadi?
Proses tasyri’ dalam masalah ibadah (misalnya, mengapa haji harus
mengelilingi Ka’bah) terjadi –ringkasnya—secara arbitrer alias: suka-suka
Tuhan, Dia yang menentukan. Tapi, proses tasyri’ dalam masalah sosial selalu
bersifat kontekstual (dan masuk akalnya memang seharusnya begitu). Proses ini
bisa saja berupa imdha’ (pengukuhan—budaya yang ada memang sesuai dengan prinsip
islam lalu diadopsi dan ditetapkan sebagai hukum Islam) atau sebaliknya, berupa
rad (penolakan). Seluruh fenomena budaya direspons secara proaktif oleh hukum
Islam (kadang-kadang hukum yang muncul melebar melebihi keperluan temporer).
Justru inilah yang menjadi salah satu ciri progresivitas hukum Islam.
Dari sini, bisa
disimpulkan bahwa ayat jilbab (QS 33:59) memang kontekstual. Bisa dicatat di
sini, artinya, mengenakan jilbab bukan berasal dari budaya orang Arab, tapi,
justru Islam yang memerintahkan kepada perempuan Arab saat itu untuk mengubah
cara berpakaiannya. Nah, di sinilah proses tasyri’ Islam terjadi. Ketika sudah ditetapkan, maka
akan menjadi hukum abadi, tidak peduli bagaimana asalnya dan bagaimana
konteksnya ketika diturunkan.
Bila kita membantah
proses ini, pada saat yang sama akan terbantah pula seluruh proses tasyri’ yang
lain dalam bangunan Islam. Misalnya dalam budaya Arab Jahiliah, anak angkat
tidak ada bedanya dengan anak kandung. Tuhan memberikan respon syar’i dengan
memerintahkan Rasul menikahi Zainab binti Jahsy, mantan istri anak angkatnya.
Dengan demikian terjadi aturan syar’i baru bahwa anak angkat tetaplah anak
angkat, yang bukan muhrim dan tidak berhak dimasukkan dalam pembagian warisan
mendapatkan warisan (tentu saja, berhak mendapat hibah harta dari orang tua
angkatnya—hibah berbeda aturannya dengan waris). Atau, kaum Arab Jahiliah dulu
tidak punya aturan dalam menikah (boleh berapa saja), Islam memberi aturan,
maksimal empat.
“Hai Nabi, katakanlah kepada istrimu, anak-anakmu, dan istri-istri orang
mukmin, hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, yang demikian itu
supaya mereka mudah dikenal dan tidakdiganggu dan sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.”—artinya, yang dimaksud dengan “mereka” itu
sudah amat eksplisit
berjilbab di Iran (yang artinya juga mengenakan
pakaian panjang dengan warna yang gelap
atau minimalnya kalem) saya lihat justru membebaskan kaum perempuan dari
mode. Pergi kuliah atau ke kantor memakai baju dan jilbab yang itu-itu selama
bertahun-tahun bukanlah aib atau aneh. Tidak ada yang peduli. Bahkan, bila
seorang perempuan ber-chadur, dia akan lebih merdeka lagi dari yang namanya
mode. Mau pakai pakaian apapun tidak akan terlihat orang. Tapi, fitrah perempuan
pun bukannya hilang. Berdandan adalah fitrah perempuan. Kompensasinya,
perempuan Iran
cenderung berpakaian cantik dan seksi di rumah. Hasilnya, secara sosial kaum
laki-laki (terutama yang belum menikah) terbebas dari “siksaan batin” menonton
keindahan tubuh perempuan yang tidak bisa dia “jamah”, kaum perempuan tidak
perlu sibuk-sibuk berdandan ketika akan keluar rumah, dan di rumah, suami-suami
disuguhi istri dengan pakaian seksi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar