Taruna Merah dan Kerudung Itu
Saat
itu bulan romadhon. Malam masih belum
menusuk, maklum sholat model orang-orang betawi cepat selesai, apalagi aku
hanya mengambil 11 rekaat saja. Mungkin orang muda seperti aku ini masih
menikmati indahnya sholat tarawih yang cepat selesai. Puasss, tidak ada beban
lagi.
Maklum,
yang biasanya setelah sholat, ya nongkrong ke pusat perbelanjaan. Sendirian
pula. Motor aku parkir di perpakiran motor, hehe, masih saja peci menempel di
kepala, padahal baju koko sudah kusampirkan di motorku. Dengan santainya aku
berjalan memutari perparkiran mobil. Saat itu nyanyi apa ya…. Ah entahlah,
pokoknya menikmati hari yang beranjak gelap. Tiba-tiba mataku tertarik pada satu
mobil, mobil yang aneh! Masak ditempat yang agak pojok, pemiliknya malah
menyalakan lampu mobilnya, yang didalam pula. Aku dekati mobil itu. Pelan dan
pelan. Mobil itu taruna berwarna merah marun
Aku
dekati lagi. Kaget, aku, ternyata ada cewek berkerudung didalam mobil itu,
sendirian pula. Akhirnya kuputuskan untuk melewati saja sembari melirik cewek berjilbab itu lagi
ngapain. Tahu gak?, Masya Allah, Subhanallah, dia sedang membaca Al Quran
kecil!. Merinding aku, malu yang menjalari tubuh ini. Segera saja aku masuk
pusat perbelanjaan, hanya sebentar, untuk keluar lagi dan melihat kembali gadis
berjilbab dalam taruna merah itu membaca Al Quran itu dari kejauhan. Terus
terang hatiku terasa adem. Aku tidak tahu siapa dia, wajah perempuan itu, jelek
atau cantikkah. Tapi aku mengagumi dia yang dengan khusyunya membaca Al Quran
diantara kekuatan pasar kapitalis merayapi perkotaan ini. Aku menjadi jatuh
cinta pada gadis itu. Kulihat dia sedari jauh lama sekali, dan dia terus saja
membaca Al Quran itu dengan khusyunya.
Aku
jadi teringat dengan konsep jilbab hati yang pernah dilontarkan oleh seorang
temanku. Aku termenung, mungkin malah tercenung. Jilbab hati menurut ia adalah
kekuatan hati ysng tejilbabi dari tingkah
dan kelakuan. Tapi menurutku jilbab hati adalah lebih dari itu. Lebih
dari perempuan berjilbab yang membaca Al Quran
di mobil tadi. Dia lebih eksklusif. Jilbab hati bukan hanya milik
wanita, tetapi miliki lelaki. Karena posisi kata-kata jilbab hati sudah menjadi
universal. Konsepku jilbab hati harusnya sudah melewati jilbab fisik, selama
dia belum melewati jilbab fisik , belum bisa dikatakan dia memasuki jilbab
hati.
Sekali
lagi temanku mengeluarkan argumen dari Quraish Shihab yang ambigu dalam
memutuskan masalah jilbab. Mendasarkan pada kekuatan argumen dia dan dalam hal
ini menyalahkan beberapa argumen orang lain yang sudah pada rel (menurutku),.
Hal yang tidak patut diperdebatkan, masih banyak yang harus dibangun, begitu
yang aku simpulkan dari temanku ini.
Entahlah,
temanku ini berargumen untuk memperkuat dirinya atau apalah aku tidak tahu.
Atau upaya mencari pembenaran dirinya sendiri tanpa mencoba melihat Al Quran,
aku tidak tahu. Atau menganggap bahwa jilbab hanya kekuatan budaya timur tengah
saja, dan bukan lah “budaya” islam yang jelas? Aku juga ,masih tidak tahu. aku
tidak berani berasumsi bahwa dia belum mampu, jika dia hanya berargumen begitu,
aku malah salut pada temanku, karena aku
lebih bisa berpikir jelas dan tidak terbias pada pemikiran-pemikiran yang
menguras pikiran dan terlalu absurd.
Aku
pulang kembali ke kostku dan tetap saja kucoba memalingkan muka ke arah
perempuan itu. Suasana mobil itu terasa adem dan menyenangkan, aku tidak
melihat wajahnya, dan aku tidak bisa melihatnya bentuk fisiknya. Tapi, aneh aku
jatuh cinta pada pemandangan ini. Tai kucing dengan argumentasi yang tidak
jelas. Surga itu tidak butuh argumentasi. Sorga itu butuh orang yang sesuai
dengan Quran dan Hadits. Ketika rel ke arah sana yang sudah pasti itu dicoba untuk
dilakukan argumentasi ulang, tai kucing! Aku tidak butuh itu! Setelah mati yang
kutahu hanya ada sorga dan neraka, tidak ada argumentasi lain!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar