Hehehe Nikah ya…?
Oh menikahlah denganku, oh bahagialah selamanya. Lagunya Java Jive itu
seakan terdengar lagi, padahal lagu itu udah lama sekali, pertama kali kudengar
kelihatannya sewaktu aku SMU.
Saat ini umurku sudah 26 tahun,
aku lahir tahun 1979. tahu gak, hal-hal sekarang yang aku selalu dengar adalah
kapan nih nikahnya, kok belum nikah sih, hehehe, aku biasanya cuman nyengir dan
mringis.
Nggak tahu kenapa aku tiba-tiba
ingat dengan Ayat-Ayat Cinta yang dikeluarkan Republika. Busyet, buku itu membuat
aku merasa untuk mendaur ulang hidupku deh.
Sosok utama dalam buku itu benar-benar muslim. Aku saja sekarang masih
mikir bagaimana aku besok akan mengarahkan isteri dan anakku. Pernyataan
tersebut mungkin terkesan pesimistis ya. But…. Kadang juga membuatku terpaksa
untuk berpikir lagi. “Jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka”
Materi bukan hal yang utama.
Rasulullah pun menikah dengan keterbatasan materi, aku tahu itu. Bahkan beliau
menikah dengan bosnya kala itu. Beliau menikah pada usia 25 tahun (gila,
Rasulullah pada usia itu mah udah mencapai gelar Al Amin, udah mantap pokoknya[
satu tahun dibawahku umurnya, hehehe]). Tahu sendiri kan aku, udah usia 26 tahun gini, kalau
lihat cewek cakep dikit aja masih aja meleng.
Kadang aku masih berpikir, hoee
aku masih belum punya rumah buat isteriku, hoeee, gajiku masih jauh dari cukup.
Tapi kadang aku juga berpikir apakah pikiranku itu merupakan bentuk pelarian
dari ketakutanku untuk menikah. Apakah sih makhluq yang namanya nikah itu?.
Bingung aku. Aku bingung dengan interpretasi itu. Yang terpikir oleh aku saat
ini, menikah adalah ambil anak orang kemudian mencintainya, menjaganya,
memeliharanya, mencukupinya, dan mengarahkannya. Dia bukan budak. Dia adalah
perempuan yang telah sah menjadi milik kita. Dia punya hak atas kehidupannya,
nah aku ini yang harus menghidupinya. Aku sudah mampu nggak? Itu yang sekarang
masih berputar dalam otakku.
Tapi kalau melihat orang-orang
top seperti Ferdi Hasan, Ali Bin Abi Tholib, Andi Mallarangeng, dan Soekarno, aku
merasa mereka hebat dan salut. Buktinya mereka bisa melalui titik nadir dengan
lumayan baik.
Terus terang, aku bukan tipikal orang yang suka pacaran, tapi kalau ngelaba
mah sering. Suatu keterikatan pacaran (disamping bukan tuntutan islam)
menurutku merupakan suatu ikatan yang semu, buang-buang waktu, dan seperti gak
ada gunanya. Aneh ya, tapi hal itu terus menancap dalam hatiku. Inspirasi dari
Ayat-Ayat Cinta itu terus terngiang dalam hati dan langkahku, entah kenapa. Ada
satu yang kadang kuimpikan, aku kadang ingin siap menikah, dengan batin yang
siap. Calonku sudah siap dengan keadaanku yang sekarang, nggak peduli dia lebih
kaya, lebih pintar, ataupun lebih religius.
Seperti kata Chairil: Aku adalah aku. Aku adalah binatang jalang dari
kumpulan orang-orang yang terbuang....
Tapi hal itu merupakan egoku yang sangat kuat dalam, aku takut calonku
terlalu berat menanggungnya. Aku sadar, dia adalah juga manusia yang patut juga
menari indah di dalam sangkar kepuasan. Dia juga memiliki kata aku yang
terimplementasikan dalam dirinya. Dia juga memiliki hasrat diri yang patut aku
pandangi dan dukung dengan renyahnya kehidupan.
Tapi aku adalah laki-laki. Laki-laki yang diserahi tanggung jawab untuk
menunjukkan jalan kemana cahaya itu berada, aku takut aku tidak mampu
membimbing ke arah cahaya itu. Cahaya
itu begitu besar sehingga aku takut aku tidak mampu membuat dia melihatnya, aku
benar-benar takut. Aku menangis dalam pelukan fana apabila hal ini menimpaku,
aku merasa beban itu akan menjadi terlalu berat ketika aku merasa susah untuk
berbagi.
Tapi aku menjadi orang yang banci dalam tanda kutip ketika aku selalu
menghindar dari suratan. Suratan itu bukan untuk dihindari, tetapi dihadapi
dengan penuh gairah dan ratapan. Aku memang mengharuskan diriku untuk melakukan
sunnah Rasul itu, tetapi kapan, aku masih bertanya. Aku pernah merasa yakin,
tetapi tetap saja suratan belum berpihak padaku. Air sungai itu mengalir dalam
riaknya kehidupan, dia kadang begelombang atau kadang tenang tetapi
menghanyutkan. Aku masih berpikir dan terus berpikir.
Aku risih untuk mengakuinya, tetapi sampai sekarang aku tidak berani
membuka buku Kupinang Kau dengan Hamdalah dan Kado Perkawinan. Tapi anehnya
Kado Perkawinannya Gus Mus, sudah aku selesaikan berkali-kali, dan tetap saja
kadang aku takut melihat beban itu. Aku ingin beban itu terasa ringan aku
panggul, tetapi kapan, karena yang aku kejar adalah ibadah. Nggak tahu, apakah aku
ini terlalu puritan atau yang terlalu bego. Yang jelas aku merasa cinta akan
dapat dihidupkan apabila beban itu menjadi ringan seringan kapas meskipun berat
dan aku merasa yakin dapat memikulnya bersama-sama dia, Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar