“Aku Paling Tidak Tahan Melihat Perempuan Menangis”
Suara Fahri di telepon genggam Maria ketika melihat Nauro tersakiti.......
Habiburahman El Shirazi dengan Ayat-Ayat Cintanya mampu menjadi magnet yang
kuat terhadap antusiasme pemutaran film ini di beberapa kota besar di
Indonesia. Bahkan dibeberapa kota di Indonesia yang tidak ada bioskop, VCD
bajakannya menjadi laris manis.
Setting yang manis. Teknik sinematografi yang menawan. Pemakaian warna yang
soft.
Sepanjang melihat film ini kita akan melihat sudut pengambilan gambar yang
bagus. Perpindahan dari scene satu ke scene lain yang halus membuat kita tidak
akan sering merasa terjadi perubahan set. Fahri ditampilkan lebih biasa dari
karakternya di novel. Orang yang memiliki kemampuan begitu terbatas terhadap
media elektronik. Orang yang sering minta bantuan terhadap sahabat-sahabatnya,
dan orang yang mudah bertanya terhadap sesuatu yang dirasa mengganjal dihati
(kita akan bertemu pada dialog tentang taaruf antara Fahri dan Saiful). Nurul
yang dibuat dengan gaya lebih atraktif dari novelnya, hingga membuat Nurul agak
menjadi keluar, sayang porsi Nurul kurang terasa dalam Film ini.Noura, tetap
dengan karakter gadis pendiamnya, tidak begitu dirubah oleh Hanung.
Yang menjadi terlalu keluar jalur adalah karakter Maria dan Aisha. Maria,
gadis non muslim yang menyukai surat Mariam, bahkan dia mampu menghafalnya.
Tinggal di flat yang sama dengan Fahri, hanya terpaut satu lantai. Dalam novel,
pengammbaran dia terlihat begitu intelek dan terpelajar, tapi karakter yang terbentuk
ketika film tersebut diputar adalah sebagaimana biasa perempuan yang jatuh
cinta, ya..... dia mencintai Fahri. Aisha,.......Karakter yang muncul pada
novel adalah karakter yang memiliki kadar keagamaan yang lumayan dalam,
terlahir dari keluarga yang kaya. Kekauatan agamanya kental dalam diri Aisha,
membuat dirinya seakan berjalan dalam lingkup agama. Hal ini berbeda dengan
karakter dalam film. Dalam film Aisha menjadi seorang yang melankolis,
pencemburu, dan sensitif, rapuh, dan masih menggunakan harta sebagai pegangan.
Perubahan karakter ini begitu terasa dalam film, tidaklah heran, banyak
yang kaget, ketika bayangan film sudah
terkotak oleh novel. Fahri juga terasa mengagetkan ketika mau berdua
saja dengan Maria, padahal konsep yang melekat pada Fahri adalah konsep islam
kuat. Kalau kita ingat scene setelah pernikahan dengan Maria, Fahri baru mau
memegang tangan Maria. Hal ini kontradiksi dengan keberduaan mereka di sungai
Nil. Kemudian scene dimana Fahri menyambut jawaban salam wartawan dari Amerika
yang notabene non muslim, masih terasa mengganggu di kuping, harap maklum, hal
ini masih terhitung kontradiksi. Dan juga, perhatikan ketika Fahri benar2
melakukan tatapan terhadap Maria, Noura, Nurul, dan Aisha. Kesan kekuatan islam
pada diri Fahri tidak ada. Saya malah teringat Ferdi Nuril ketika main di
Garasi, tidak lebih. Memang banyak film
film China yang menggunakan bahasa China kembali ketika setnya bukan
china, tapi terkesan menjadi aneh ketika muncul dalam awal film ini, bahasa
mesirnya keluar, nah pas pertengahan film ini, kok muncul bahasa indonesianya
ya? Dan para ustadz di Al
Azhar kan bukan orang Indonesia semua. Anehnya juga, para polisi, hakim, dan suster Mesir ini apakah berasal dari
Indonesia juga?
Ada lagi manuver Hanung Bramantyo yang membuat film ini menjadi film yang
keluar jalur. Penambahan alur cerita paska bebasnya Fahri dari penjara sudah
bukan merupakan kekuatan film tapi seperti penghalusan film ini masuk ke MD
Entertainment, atau ketidak tegaan Hanung akan cepatnya kisah pernikahan Maria,
entah apa yang mendasari Hanung menambah scene tersebut.
Masih dengan kekuatan sinetron, padahal Hanung dulu sukses membuat film
seperti Brownies, Jomblo, dan Lentera Merah. Dalam film ini ada beberapa scene yang begitu
nyinetron. Anggap saja. Scene para wanita itu ngelamun membayangkan Fahri, yang
dibikin lama. Scene penggambaran malam pertama, dilakukan dengan tidur bersama.
Ada pula scene pemerkosaan terhadap Noura yang dijelaskan dengan gamblang
dengan visualisasi. Kemudian scene menutup kain putih dalam tubuh maria yang
sudah meninggal. Masih banyak lagi. Membuat saya berfikir, kenapa simbolisasi
seperti ini malah dimunculkan oleh Hanung. Ketika Hanung menggarap Jomblo,
proses-proses tanda banyak dilakukan. Dan tanda tersebut bisa terbaca dengan
jelas.
”Jangan-jangan Kau Sholat kalo ada masalah”
Diutarakan dengan cerdas oleh teman satu selnya yang berwajah dan berbahasa
Indonesia. Aneh memang, ternyata banyak TKI yang dipenjara di Mesir
”Dikeluarkan dari Al Azhar bukan kiamat, Fachri.Bangun Fachri, Bagun
Fachri, Allah sedang berbicara padamu agar tidak sombong!” (lagi-lagi diucapkan
oleh teman satu penjara Fahry yang Ngindonesia itu).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar