Dari Festival Betawi di Cipete
Ini Dia Si
jali-Jali
Lagunya
enak
Lagunya
enak
Merdu
sekali.......
Sepanjang jalan Cipete ditutup untuk lalu lintas
kendaraan. Tanggal 26 dan 27 Juli Festival Budaya Betawi digelar. Kalaupun mau
nekad naik angkutan, naik saja delman dengan biaya lima ribu rupiah. Acara
tersebut secara resmi dibuka oleh Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo. Harapan
Gubernur, acara tersebut bisa diadakan rutin, karena mengusung budaya Betawi
yang hanya bisa dilihat ”pas” acara Ulang tahun Jakarta saja.
Pengunjung acara ini memang banyak. Seakan tidak
berhenti berjejalan sepanjang sisi-sisi jalan. Ada yang berkeluarga,
berpasangan, ataupun ada yang sorangan ”wae”. Lumayan jauh area yang digunakan
untuk ukuran ibu-ibu yang sedang hamil delapan bulan.
Ketika kita memasuki pintu masuk Festival
tersebut, suasana ”Betawi” begitu terasa. Umbul-umbul khas betawi dengan
penjual kerak telor disisi kiri dan kanan sibuk mengoles alat masaknya. Delman
ala masa kompeni berputar bolak-balik mengelilingi sebuah taman kecil,
jumlahnya kurang lebih 4 buah delman. Mau mencari cucur, atau makanan khas
betawi lainnya? Tenang, tempat inilah kita akan mendapatkannya, walaupun tidak
komplit, setidaknya makanan itu ada beberapa. Para komunitas onthel juga
menjajarkan sepeda onthelnya dengan rapi, membuat kesan masa doeloe menjadi
kental. Panggung untuk langgam kromong dengan alunan yang mendawai membuat kita
seakan salah kostum untuk terus berada disitu. Salah satu stand yang saya sukai
adalah stan yang menjual berbagai bentuk jam model lama (jadul habis). Sayang
duit saya tidak cukup untuk membelinya.
Ide dasar festival ini memang bagus, yakni
berbasis pada akar budaya betawi,. Tapi sayang, adanya motor gedhe yang
terparkir dan mobil mewah modifikasi mengurangi syahdunya aroma Betawi. Namun semisal yang diparkir adalah vespa lama atau
modifikasi mobil vw lama, masih terasa nyambung.
Ketika kita mengukur jalan kembali, jualan yang
ditawarkan menjadi beragam, dan sudah menghilang dari kebetawiannya. Pasar
kaget sudah merubah suasana tersebut. Dari Bakso sampai dengan raket pembunih
nyamuk. Model tenda yang memanjang menyusur jalan menjadikan variasi tenda
susah untuk bermain-main. Ondel-ondel besar ditengah jalan di festival itu saja
yang hanya mencirikan Festival Betawi. Tapi
bukan berarti suasana pasar menjadi sepi, transaksi seolah tidak juga beranjak
sepi. Bebrapa cafe dan restoran disepanjang Festival membuka gerai dihalaman
mereka, menjajakan dagangannya dengan embel-embel diskon atau menyajikan
masakan betawi. Namun ada juga yang hanya mendesain tokonya dengan umbul-umbul
warna-warni agar terkesan betawi.
Event organizer yang cerdas. Dia melihat peluang
ini dengan pintarnya, saya lupa siapa EOnya. Modal yang dikeluarkan adalah
perizinan dengan menggandeng pemda sebagai partner. Perizinan otomatis lebih
gampang. Kerjasama dengan kepolisian perihal arus jalan dan keamanan cukup
bekerja sama dengan organisasi kedaerahan. Dengan melakukan iklan yang
menggunakan kegiatan pemda dan budaya betawi, kegiatan ini menyedot massa yang ”ingin belanja”, penyuka budaya betawi,
komunitas, ataupun penyuka fotografi. Hal ini terlihat dengan beberapa orang
menenteng kamera ataupun handycam, (tentu saja mereka agak kecewa dengan aksen
budaya betawi yang tidak sesuai harapan).
Tingginya keingin tahuan warga terhadap acara ini
terlihat sejak pagi hari, ribuan masyarakat dari berbagai sudut ibu kota berdatangan
menyusuri jalan sepanjang Cipete Raya sampai Jalan Fatmawati Raya. Parkir
sepeda motor segera penuh dan arus jalan Fatmawati menjadi lebih tersendat.
Setidaknya Betawi merupakan potensi jual yang
masih laku. Selaras dengan Benyamin Guevera yang terus laku sebagai ikon baru
Jakarta. Betawi bukan lagi menjadi ikon suatu suku, namun menjadi ikon Jakarta
dan ikon nasional yang membudaya. Jakarta adalah kerak telor. Jakarta adalah
ondel-ondel. Jakarta adalah Betawi. Kata gue menjadi simbolisasi Jakarta kini.
Tidak ada kulo atau abdi. Istriku tidak jadi memesan kerak telor, karena hari
itu mendung dan kami belum Sholat asar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar