Setitik Cerah Untuk Pulang
Aku tetap saja naik
bis Raya meskipun aku tahu bahwa fasilitas yang kudapat dari Raya memang minim.
Televisi dan radio pun gak ada.
Entah kenapa, but that’s thrue. Aku pikir titik loyalitas bis
sudah kumasukkan ke bis raya tersebut. Iya sih dari segi safety dan kenyaman,
raya memang bisa termasuk yang diandalkan. Entah kenapa bis itu tetap saja
melaju pada satu titik, maksudku ketika dia sudah bisa melaju cepat, masih saja
bisa disalip. Konon katanya sih
speed dari raya sudah distel dengan kecepatan tertentu. Mungkin itu yang
dinamakan dengan loyalitas terhadap brand.
Aku biasa turun di kerten, suatu daerah disolo, masih daerah jalan utama slamet riyadi. Cuman jalan
kok kalau menuju ke KPPN Solo. Dari sana aku biasanya naik becak, tapi kadang
juga aku naik angkot. Rumahku berada dijalan Mangkuyudan, suatu kawasan
perumahan penduduk, bukan berbentuk perumahan. Rumahku berada sekitar dua blok
dari jalan utama, tidak bagus-bagus amat sih, tapi that’s my home.
Aku datang biasanya pagi buta, bel berbunyi, kling klong, biasanya yang
membuka pintu ibu aku. Ternyata sudah sekitar empat bulan aku tidak menginjak
rumahku di solo ini. Masih saja tidak berubah, masih hommy for me. Aku mencium
tangan ibuku, beliau kemudian mencium pipi kiri dan kananku. Lalu aku masuk
rumah sembari bercerita pepesan kosong dengan ibu, hal yang kadang kuimpikan.
Aku cari poci teh (tahu gak, aku rasa teh di rumah adalah teh terenak didunia),
hal yang unpredictable bahwa aku sudah dewasa, aku masih ingat kalo aku suka
main basket dihalaman, pagi-pagi buta suka keluyuran dengan skate board
hijauku. Sekarang aku merasa hal tersebut masih saja kemarin. Dan aku ingat
banget ketika aku pindah ke rumah ini pertama kali, rumah tua yang tidak
terawat. Pintu yang berderit, dan atap yang roboh ketika kubuka pintunya, aku
benar-benar tidak menyangka kalau sekarang rumah tua itu sekarang menjadi rumah
yang menjadi tujuan pulangku, entah sampai kapan aku akan merasakan itu. Aku
hanya takut ketika api ini menjadi padam ditelan jaman dan aku hanya mampu
memimpikannya sampai hati ini tersayat tangis. Ah bodo, aku lagi malas mikir
sekarang.
Kami sholat bareng dimushola
rumah, sedang bapak kemasjid, biasa takmir masjid (gak kebayang aku, bapaknya
alim kok anaknya kayak gini). Kemudian adikku bangun satu persatu, tapi masih
error gitu deh, mereka biasanya udah gak error kalau masuk jam enam, nah jam
segitu mereka baru nyadar kalau aku pulang, hehehe adik-adik yang aneh.
Sepulang dari masjid, bapak aku salamin kemudian ngobrol-ngobrol ayam lagi
dengan beliau. Masuk jam enam bapak
ngajak jalan-jalan ke manahan, kalau di jakarta, ya senayan. Tapi pagi itu gak
jadi karena ibu pengen makan soto gading, so we moving to there so quickly, aku
lapar banget.
Tapi, yang bisa aku ambil adalah udah lama aku gak balik. Mereka
(bapak-ibukku) hanya ingin dilihat anaknya, that’s all. Mereka masih bisa
menghasilkan uang sendiri. Gak perlu uang kita. Dan terus terang juga aku juga
kangen dengan rumah, mereka makan dengan bercerita riang dari a sampai z, aku
pun senyam-senyum saja mendengarkan mereka, bak anak kecil yang diambilkan lauk
(padahal kan gue udah gede banget).
Adikku mulai pada beraktivitas dan bangun satu persatu. Ekspresi mereka
pada aneh, yah itulah adik-adikku yang aneh. Cerita merekapun pada aneh dan kadang
bikin ketawa. Aku masuk kamarku, ya ampun kok jadi gudang gini, adikku yang
paling kecil, cicik, senyam senyum dan bilang itu transit kok mas, ntar aku
ambil, hehehe. Wah kamarku
sekarang berfungsi ganda, sebagai kamar dan gudang bayangan, kamar yang aneh.
Cuaca solo waktu itu cerah bukan main. Kota yang dulu sangat asik
dinikmati, sekarang mulai mengenal kata-kata macet, tapi yah itulah kotaku yang
aku sukai sampai kapan aku tidak tahu, oh ya tetap intip merupakan makanan yang terbayang saat ini
saat aku balik Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar