Yudhistira dalam Keangkuhan
Bumi gonjang ganjing, langit kelap kelap!!!!!!!! Dong dong dong
Indoesia akrab dengan epik
mahabarata ataupun ramayana. Epik warisan sejarah yang dimodifikasi oleh sunan
kalijaga ini memang memiliki alur tersendiri dalam bertutur.
Mahabarata adalah suatu kisah
(fokusnya) antara pandawa dan kurawa. Bukan hal yang istimewa sebenarnya
apabila kisah tersebut hanya berjalan lurus dan statis. Pastilah yang baik akan
menang dan yang buruk akan kalah. Kalau
dibuat film oleh Holliwood, pasti akan menjadi film ini berakhir dengan gaya
holliwood, karena bila ditilik dari kasus cerita yang dianggap statis saja,
maka baik akan menang, dan yang jahat akan kalah.
Pandawa dan kurawa. Pandawa
terdiri dari lima bersaudara, putera dari prabu Pandu Dewanata dari putri Kunthi
dan putri Madrim. Sedangkan kurawa adalah kumpulan anak anak sejumlah seratus,
anak dari Pabu Destarata (jangan dibayangkan bagaimana bentuk istri (putrid Gandari)
Pabu Destarata karena melahirkan seratus anak. Kisah itu sudah dibikin kacau
agar terlahir seratus anak oleh si pembuat dahulu).
Dalam epik tersebut, indraparasta
adalah negara yang “gemah ripah loh jinawi” atau “Baldatun toyyibatun wa robun
ghoffur”lah. Pemerintahan yang oke punya. Tidaklah mengherankan, hastinapura
dan pancala menjadi iri dengan kenyataan tersebut.
Yudistira adalah suatu kisah yang
tercungkil dari epik. Raja yang memiliki kekuatan dalam tata negara, terkesan
tidak ada cacat dalam pengelolaan negaranya. Memerintah dengan kerapiannya dan
adem ayem.
Kekuasaan tersebut sempat hilang
selama 13 tahun dari tangan yudhistira dan hal ini menjadi suatu pembelajaran
yang berharga bagi suatu keadaan seperti yudhistira.
Yudhistira merupakan anak yang
dididik oelh Dewa (batara) Dharma, seorang dewa budi pekerti. Makanya dalam
kisah tersebut, Yudhistira dgambarkan seseorang yang memiliki dharma yang
tinggi.
Hal yang menggelitik saya adalah
ketika dalam lakon Pandawa Seda, Yudhistira tercatat satu-satunya yang pertama
masuk sorga. Keempat saudara lainnya masih harus menghadapi rintangan lain
untuk menuju sorga. Hal yang membuat aku bertanya-tanya adalah kemana ya kasus dadunya
dulu, kemana ya efek dari pertaruhan dadunya dulu, dan kemana ya efek
konspirasi dia dengan saudara-saudara dia ketika akan berakhirnya masa
pengasingan? (konspirasi dalam membunuh orang). Apakah hanya karena dia didikan
dewa dharma, dia menjadi pemegang kunci sorga ? entahlah, hanya dalang yang
tahu
Konsep Yudhistra sebenarnya lebih
cocok dimasukkan dalam metode yesus, penyorongan pipi kiri ketika pipi kanan
disakiti. Sangat tidak relevan dengan islam. Tersakiti yang tidak ada sebab
alasan bukan harus dilakukan dalam proses penyerahan. Proses yang berserah diri
dalam titik kulminasi. Mungkin taraf sufistik cocok untuk karakter seperti
yudistira. Hal yang belum bisa aku pahami juga adalah, dimana letak keadilan
dengan tingkat sufistik seperti itu. Apakah tidak ada peran saudara-saudara
lainnya? Maksud saya dalam pemerintahannya.
Yudhistira adalah tetap
yudhistira. Dia adalah tetap saudara tua pandawa yang disegani oleh
saudara-saudaranya. Lepas dari konsekuensi negatif yang sedikit menghinggapi di
dalam diri dia. Semua sudah mengetahuinya. Kesalahan Yudhistira menjadi
termaafkan dengan kisah yang berujung apik, entah benar atau tidak.
Drupadi tidak menyalahkan Yudhistira
atas kasus judi yang mempertaruhkan dirinya, justru mengangkat sumpah terhadap
Dursasana. Hal yang ganjil, sebenarnya bisa jadi yang kejam seharusnya malah Yudhistira,
karena dialah yang mempertaruhkan Drupadi dalam meja perdaduan.
Tapi itulah, setting cerita itu
menjadi kisah yang terlupakan bahwa kesalahn yudhitira mengakibatkan
terjerumusnya banyak orang dalam pendertitaan dan Yudhistira masih menjadi yang
pertama dalam sorga pewayangan. Hidup jikalau disamakan dengan pewayangan,
sudah dipastikan bahwa orang yang tidak memiliki pengaruh lebih mudah mengalami
kesengsaraan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar