Mati itu Kapan Saja
Tiba dari luar pintu terdengar seorang yang berseru mengucapkan salam.
"Bolehkah saya masuk?" tanyanya. Tapi Fatimah tidak mengizinkannya
masuk, "Maafkanlah, ayahku sedang demam," kata Fatimah yang
membalikkan badan dan menutup pintu. Kemudian ia kembali menemani ayahnya yang
ternyata sudah membuka mata dan bertanya pada Fatimah, "Siapakah itu wahai
anakku?"
"Tak tahulah ayahku, orang sepertinya baru sekali ini aku
melihatnya," tutur Fatimah lembut. Lalu, Rasulullah menatap puterinya itu
dengan pandangan yang menggetarkan. Seolah-olah bahagian demi bahagian wajah
anaknya itu hendak dikenang.
"Ketahuilah, dialah yang menghapuskan kenikmatan sementara, dialah
yang memisahkan pertemuan di dunia. Dialah malakul maut," kata Rasulullah
Kematian memang sangatlah mudah,
bila itu sudah merupakan kehendak-Nya. Orang muda yang sehat wal afiat tidak
terhalang akan kematian. Maut tidak membutuhkan sesuatu yang rumit. Seribu cara
kematian siap menghampiri siapa saja. Apakah kecelakaan, tersedak, terlamun,
atau lain sebagainya. Ia merupakan sebuah bagian ketetapan-Nya yang tidak bisa
diganggu gugat.
Kadang kita tidak sadar dengan
kekuatan kematian. Usia yang masih muda, tubuh yang segar bugar, kondisi
tercapai, terkadang menjadikan kita lupa bahwa kematian itu sangatlah mudah,
dan siap mendatangi kita kapan saja.
Yang menjadi persoalan mungkin :
siapkah? Padahal kematian tidak membutuhkan keadaan siap tidak siap. Artinya,
kapan dan bagaimanapun harus siap menghadapi kematian tersebut. Sebelum maut
menjelang, kita persiapkan diri kita dengan amal kebaikan sebanyak-banyaknya.
Paling tidak, maksiat harus kita hindari secara mutlak.
“Kebanyakan kita percaya bahwa
manusia pasti mati, tapi tak satupun yang percaya kalau kematian kita bisa
datang amat cepat.”
Itulah mungkin yang menjadi sebab
beberapa dari kita jarang memikirkan bagaimana cara menghadapi mati. Otomatis
tidak pernah pula berusaha untuk belajar bagaimana cara hidup.
Kita menganggap kematian masih
terhampar jauh. Padahal sedetik kemudian bukan tidak mungkin dia tiba dengan
kereta expresnya. Kita hidup tanpa arah, tanpa tujuan. Kita berusaha mencari
uang untuk bertahan hidup, hidup untuk apa kita tidak tahu. Kita bekerja dan
berusaha memenuhi kebutuhan lahiriah dan batiniah saja, bukan untuk keperluan
spiritual. Kita bahkan, mungkin, tidak tahu persis makna spiritual.Paling hanya
merupakan sarana untuk menghilangkana penderitaan. Ketika kesenangan
menghampiri, kekuatan spiritual itu seakan menjadi gudang yang hanya patut
ditertawakan saja.
Apakah hidup kita sudah sesuai
dengan yang diajarkan oleh agama dan Tuhan. Itu kalau kita menganut agama dan
percaya Tuhan. Jika tidak, yah, setidaknya kita yakin kalau hidup selama ini
tidak sia-sia. Hati nurani kita dapat menjawabnya dengan cerdas.
Bagaimana bila di alam kubur itu
kita mendapat siksa kubur? Rasanya seperti mimpi buruk berkepanjangan hingga
kiamat tiba, tanpa kesempatan untuk bangun sama sekali!
Rasa sakit saat mengalami
kematian itu mengerikan. Namun hilangnya kesempatan dan ketidakpastian di alam
kematian nanti terasa lebih mengerikan.
Allah memegang jiwa ketika matinya dan jiwa yang belum mati di waktu
tidurnya; maka Dia tahanlah jiwa yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia
melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditetapkan . Sesungguhnya pada yang
demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berfikir.
(QS 39-Az-Zumar:42)
Dan ditiuplah sangkalala, maka tiba-tiba mereka keluar dengan segera
dari kuburnya kepada Tuhan mereka. Mereka berkata: “Aduhai celakalah kami!
Siapakah yang membangkitkan kami dari tempat tidur kami ?”. Inilah yang
dijanjikan Yang Maha Pemurah dan benarlah Rasul-rasul. (QS
36-Yaasiin:51-52)
Pembicaraan tentang makna mati
sebenarnya berpangkal dari tiga pertanyaan abadi yang berlangsung sepanjang
sejarah manusia, yaitu Dari mana, mau kemana dan untuk apa hidup manusia di
muka bumi ini, min aina, ila aina wa limadza ?
Pertanyaan pertama dan kedua
hanya ada dua jawaban, yaitu orang beragama menjawab bahwa manusia berasal dari
Tuhan dan akan kembali kepada Tuhan, sedang orang atheis menjawab bahwa manusia
itu berasal dari proses alamiah dan akan hilang secara alamiah. Meski demikian
rincian dari jawaban itu, terutama untuk pertanyaan ke tiga, sangat beragam dan
rumit, serumit dan se ragam manusia itu sendiri.
“Sesungguhnya kematian adalah haq, pasti terjadi, tidak dapat disangkal
lagi. Allah Subhanahu wata’ala berfirman, artinya, “Dan datanglah sakaratul
maut yang sebenar-benarnya. Itulah yang kamu selalu lari dari padanya.”
(QS: Qaaf: 19)
Kematian adalah terputusnya
hubungan ruh dengan badan, kemudian ruh berpindah dari satu tempat ke tempat
yang lain, dan seluruh lembaran amal ditutup, pintu taubat dan pemberian tempo
pun terputus.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda, yang artinya: “Sesungguhnya Allah menerima taubat seorang hamba
selama belum sekarat.” (HR: At-Turmu-dzi dan Ibn Majah, dishahihkan Al-Hakim
dan Ibn Hibban)
Pagi itu, Rasulullah dengan suara
tidak seperti biasa memberikan kutbah, "Wahai umatku, kita semua ada dalam
kekuasaan Allah dan cinta kasih-Nya. Maka taati dan bertakwalah kepada-Nya.
Kuwariskan dua perkara pada kalian, Al Qur'an dan sunnahku. Barang siapa
mencintai sunnahku, berarti mencintai aku dan kelak orang-orang yang
mencintaiku, akan masuk syurga bersama-sama aku."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar