Kamis, 01 November 2018

Seputar Moneter Internasional



Seputar Moneter Internasional
Kurs tukar mata uang suatu negara dipandang dari sisi Multi national Corporation (MNC) dapat berpengaruh terhadap posisi persaingan dan risiko atas investasinya. Sistem kurs tukar yang dianut suatu negara dapat berpengaruh terhadap aktivitas bisnis MNC. International Monetary system adalah kerangka kerja kelembagaan dengan mana pembayaran internasional dibuat, pergerakan modal diakomodasikan, dan kurs di antara mata uang ditentukan.
IMS meliputi: instrumen, lembaga, kesepakatan yang menghubungkan mata uang, pasar uang, sekuritas, real estate, dan pasar komoditas dunia. Tujuan IMS: untuk mendesain kurs tukar mata uang antar negara di dunia stabil. Kurs tukar valas: harga suatu mata uang negara lain yang dinilai dengan mata uang negara tertentu.
Kurs Rp/US$: harga dollar yang dinilai dengan rupiah. Beberapa istilah penting dalam MKI:
1. Kurs valas tetap dan mengambang.
2. Mata uang kuat dan lemah.
3. Kurs tukar spot dan forward.
4. Devaluasi dan revaluasi.
5. Apreasiasi dan depresiasi.
6. Inflasi dan deflasi.
IMS berdasarkan tahap evolusinya dibagi menjadi lima tahap:
         Bimetalisme (sebelum 1875);
         Standar emas klasik (1875-1914);
         Periode selama perang (1915-1944);
         Sistem Bretton Woods (1945-1972);
         Regim kurs fleksibel (sejak 1972-sekarang).
BIMETALISM (SEBELUM 1875). Bimetalism: penggunaan standar ganda dalam pembuatan uang logam bebas yang meliputi emas dan perak. Inggris: menggunakan bimetalism hingga 1816 (setelah perang Napoleon). AS: mengadopsi bimetalism dengan Coinage Act of 1792, dan mempertahankannya sampai 1873. Prancis: menggunakan bimetalism dan mempertahankannya dari Revolusi Prancis hingga 1878. China, India, Jerman, dan Belanda menggunakan standar perak. Dalam bimetalism emas dan perak digunakan sebagai alat pembayaran internasional dan kurs tukar di antara mata uang ditentukan dengan isi emas dan peraknya. 1870: Pound Inggris versus Franc Prancis (standar emas); Franc Prancis versus Mark Jerman (standar perak). Hukum Gresham: uang “jelek” (berlimpah) mengusir uang “baik” (terbatas).
STANDAR EMAS KLASIK: 1875-1914. Columbus: “Emas merupakan kekayaan, dan siapa yang menguasainya mempunyai semua yang ia butuhkan di dunia”. Inggris: penggunaan standar emas pertama kali, namun, tidak menetapkan sampai 1921, ketika wesel Bank Inggris dibuat secara penuh dapat ditebus dengan emas. Prancis: menggunakan standar emas secara efektif mulai 1850-an dan secara formal pada 1875. Jerman: mengganti dengan standar emas pada 1875, dan menghentikan pembuatan uang perak. AS: mengadopsi standar emas pada 1879. Rusia dan Jepang: mengadopsinya pada 1897. Standar emas internasional dikatakan ada jika kebanyakan negara utama memenuhi tiga syarat:
1. Hanya emas yang dijamin dalam pembuatan uang logam yang tidak dibatasi;
2. Ada dua cara konvertabilitas antara emas dan mata uang nasional pada rasio yang stabil;
3. Emas mungkin secara bebas diekspor dan diimpor.
Di bawah standar emas, ketidakselarasan kurs tukar secara otomatis akan dikoreksi dengan arus emas lintas batas. Ketidakseimbangan pembayaran internasional juga akan terkoreksi secara otomatis (price-specie-flow mechanism).
PERIODE SELAMA PERANG: 1915-1944. Pada Agustus 1914 standar emas klasik berakhir, karena negara2 utama (Inggris, Prancis, Jerman, dan Rusia) menghentikan penebusan wesel bank dalam emas dan mengembargo ekspor emas. Setelah perang Dunia I, beberapa negara menderita hiperinflasi. Kurs tukar antar mata uang berfluktuasi pada awal 1920-an. Selama periode ini, negara2 secara luas menggunakan depresiasi yang “ganas” atas mata uangnya untuk mendapatkan keunggulan dalam pasar ekspor dunia. AS berusaha mengembalikan standar emas pada 1919. Inggris: kembali ke standar emas pada 1925. Swis, Prancis, dan negara2 Skandinavia: kembali ke standar emas pada 1928. Pada akhir 1920-an terjadi kesalahan dalam menerapkan standar emas: negara2 utama memprioritaskan pada stabilisasi ekonomi domestik (dengan kebijakan stirilisasi emas). Akibat tidak mematuhi aturan main, mekanisme penyesuaian otomatis standar emas tidak dapat bekerja. Pengembalian ke standar emas diperburuk oleh terjadinya Depresi Besar pada 1929. Akibat Depresi Besar bank2 di Austria, Jerman, dan AS mengalami penurunan nilai portofolionya, & terjadi penghindaran atas bank. Inggris mengalami arus keluar emas besar2-an, yang dihasilkan dari defisit neraca pembayaran yang kronis dan hilangnya kepercayaan terhadap pound sterling. September 1931, pemerintah Inggris menghenti-kan pembayaran emas dan membiarkan pound mengambang.  Akhir 1931, Kanada, Swedia, Austria, dan Jepang mengikuti jejak Inggris ini. AS meninggalkan standar emas setelah bank mengalami kesulitan dan arus keluar emas. Prancis meninggalkan standar emas pada 1936, karena pelarian dari franc, yang merefleksikan ketidakstabilan ekonomi dan politik.
SISTEM BRETTON WOODS (SBW): 1945-1972. SBW dihasilkan dari pertemuan 44 wakil negara di Bretton Woods, New Hampshire, pada Juli 1944. Lembaga yang dihasilkan: IMF dan IBRD/World Bank, yang keduanya mempunyai tanggung jawab berbeda. SBW berusaha mencegah berulangnya nasiona-lisme ekonomi dengan kebijakan destruktif “memiskinkan negara tetangga” dan mengarah pada kekurangan peraturan2 yang jelas atas terganggunya permainan selama perang. Desain sistem tukar emas: setiap negara menentukan nilai pari mata uangnya pada US$, dan US$ menambatkan pada emas ($35/ons). Negara yang memegang US$, seperti emas, dapat digunakan sebagai alat pembayaran internasional (dollar berdasarkan standar tukar emas. Dengan pasokan cadangan moneter internasional dipasangkan dengan tingkat kurs yang stabil, menyediakan lingkungan kondusif yang tinggi terhadap perdagangan dan investasi internasional pada 1950-1960. Peringatan Prof. Robert Triffin: sistem emas diprogramkan untuk kolap dalam jangka panjang (paradoks Triffin). Usaha mengatasi kolapnya sistem tukar dollar berdasarkan emas dipusatkan pada:
1. Suatu seri atas ukuran2 mempertahankan dollar diambil oleh pemerintah AS;
2. Penciptaan aset cadangan baru, special drawing rights (SDRs), oleh IMF.
Beberapa kebijakan yang dibuat oleh pemerintah AS: 1. IET; 2. FCRP. Nilai SDR: 1. Awalnya, rata2 tertimbang atas 16 mata uang dengan pangsa ekspor dunia > 1%; 2. Pada 1981, komposisinya hanya terdiri dari lima mata uang utama, yaitu US$, GDM, JP¥, B£, dan FF ; 3. Januari 1999, IMF mengganti GDM dan FF dengan euro dengan kurs konversi tetap. SDR cenderung lebih stabil dibanding mata uang individual, sehingga menjadi mata uang denominasi yang atraktif untuk kontrak2 komersial dan keuangan internasional di bawah ketidakpastian kurs tukar. Standar tukar dollar berdasarkan emas menjadi tidak efektif karena menghadapi kebijakan moneter ekspansif dan meningkatnya inflasi di AS. Pada 1970 US$ overvalued, khususnya relatif terhadap GDM dan JP¥. Pada Agustus 1971, Presiden Nixon menghentikan konvertibilitas US$ ke dalam emas dan memberlakukan biaya tambahan impor sebesar 10%. Untuk mengatasi retaknya SBW, 10 negara utama (Kelompok Sepuluh) bertemu di Smitsonian Institute di Washington D.C. pada Desember 1971.Hasil persetujuan Smitsonian: 1. Harga emas dinaikkan menjadi $38/ons; 2. Setiap negara lain merevaluasi mata uangnya terhadap US$ di atas 10%; 3. Batas kurs tukar diijinkan bergerak 1%-2,25% dalam arah yang lain.Pada Februari 1973 US$ mendapat tekanan berat dan kembali bank2 sentral di seputar dunia membeli US$. Harga emas dinaikkan menjadi US$42/ons. Pada Maret 1973 mata uang Eropa dan Jepang diijinkan mengambang dan diikuti negara lain.
REGIM KURS TUKAR FLEKSIBEL: 1973-SEKARANG. Dengan matinya SBW, pada Januari 1976 anggota IMF bertemu di Jamaika untuk menyetujui peraturan SMI yang baru. Tiga elemen kunci Persetujuan Jamaika:
1. Kurs fleksibel dideklarasikan bagi anggota IMF;
2. Emas secara resmi dibebaskan sebagai aset cadangan internasional;
3. Negara2 nonpengekspor minyak dan negara kurang berkembang diberi akses lebih besar terhadap  dana IMF.
IMF menyediakan bantuan kepada negara2 yang menghadapi kesulitan neraca pembayaran dan kurs tukar . Sejak Maret kurs tukar secara substansial lebih bergejolak daripada di era SBW. Kondisi nilai tukar US$ terhadap 21 negara industri: menurun, meningkat, dan puncak. Pada September 1985, negara2 G-5 (Prancis, Jepang, Jerman, Inggris, dan AS) bertemu di Hotel Plaza, New York.  Plaza Accord berisi persetujuan bahwa anggota G-5 setuju untuk mendepresiasi US$ terhadap mata uang paling utama untuk memecahkan masalah defisit perdagangan AS dan mengung-kapkan keinginannya untuk mengintervensi di pasar valas untuk merealisasikan tujuan ini. US$ terus mengalami penurunan, sehingga mendorong negara2 G-7 mengadakan pertemuan di Paris pada 1987. Hasilnya berupa Louvre Accord, yang meliputi:
1. Negara2 G-7 akan bekerjasama untuk mencapai stabilitas kurs tukar yang lebih besar;
2. Negara2 G-7 menyetujui untuk berkonsultasi dan berkoordinasi lebih erat atas kebijakan2 makro-ekonomi.
Louvre Accord menandai lahirnya sistem mengambang terkendali dalam mana negara2 G-7 akan bekerjasama mengintervensi dalam pasar valas untuk mengkoreksi over atau under valuation atas mata uang.
Tiga persyaratan mata uang ideal (trinitas yang tidak mungkin): 1. Stabilitas kurs tukar, 2. Integrasi keuangan penuh, dan 3. Kebebasan moneter. Mayoritas mata uang di dunia ditambatkan terhadap mata uang tunggal, terutama US$ dan €, atau sekeranjang mata uang seperti SDR. Rencana kurs tukar sekarang diklasifikasikan oleh IMF (2005). Penetapan tukar dengan tidak memisahkan tender hukum: mata uang negara lain beredar sebagai tender hukum sendiri atau negara tersebut termasuk uni moneter atau mata uang dalam mana tender hukum yang sama dibagi oleh anggota2 uni tsb. Penetapan dewan mata uang: suatu regim moneter didasarkan pada komitmen legislatif eksplisit untuk menukar mata uang domestik dengan mata uang asing khusus pada kurs tukar tetap, dikombinasikan dengan batasan-batasan atas penerbitan otoritas untuk menjamin pemenuhan kewajiban2 hukumnya. Penetapan tambatan tetap konvensional lain: negara tsb menambatkan mata uangnya pada kurs tetap terhadap mata uang utama atau sekeranjang mata uang di mana kurs tukar berfluktuasi dengan margin sempit < 1% atau turun > 1%, dari kurs tengah. Penambatan kurs tukar dengan batas horisontal: nilai mata uang dipertahankan dengan margin fluktuasi sekitar tambatan resmi atau tetap yang tidak > 1%, + atau -, dari kurs tengah. Tambatan2 merangkak: mata uang disesuaikan secara periodik dalam jumlah kecil pada kurs tetap, kurs yang diumumkan sebelumnya atau respon terhadap perubahan2 dalam indikator2 kuantitatif terpilih. Kurs tukar dengan batas merangkak: mata uang dipertahankan dengan margin fluktuasi di sekitar kurs tengah yang disesuaikan secara periodik pada kurs tetap yang diumumkan sebelumnya atau dalam respon terhadap perubahan2 dalam indikator2 kuantitatif terpilih. Mengambang terkendali dengan tidak menerabas pengumuman sebelumnya untuk kurs tukar: otoritas moneter mempengaruhi pergerakan kurs tukar melalui intervensi aktif di pasar valas tanpa pengkhususan, atau komitmen sebelumnya terhadap, terabasan yang diumumkan sebelumnya untuk kurs tukar.
Mengambang bebas: kurs tukar ditentukan pasar, dengan intervensi valas ditujukan pada kurs moderat atas perubahan & mencegah fluktuasi dalam kurs tukar daripada mempertahankan suatu levelnya. Pada Juli 2005, jumlah terbesar negara (36), termasuk Australia, Kanada, Jepang, Inggris, dan AS, mengijinkan mata uangnya untuk mengambang secara independen terhadap mata uang lain. 40 negara, termasuk Cina, India, Rusia, dan Singapura, mengadopsi bentuk sistem “mengambang terkendali”. 41 negara tidak mempunyai mata uang nasionalnya. 7 negara, termasuk Bulgaria, Hong Kong, & Estonia, mempertahankan mata uangnya tetapi secara permanen menetap pada mata uang keras, seperti US$ atau €. Negara2 sisanya mengadopsi mengkombinasikan regim kurs tukar tetap dan mengambang.
Sistem Moneter Eropa (SME), awalnya diusul-kan oleh Kanselir Jerman Helmut Schmidt, dan secara formal diperkenalkan pada Maret 1979. Tujuan SME: 1. Memantapkan “zona stabilitas moneter: di Eropa; 2. Mengkoordinasi kebijakan-kebijakan kurs tukar terhadap mata uang-mata uang non EMS; 3. Membuka jalan untuk akhirnya menjadi uni moneter Eropa. Dua instrumen utama SME: 1. ECU, 2. ERM. Mata uang: Euro, pada awalnya melibatkan 11 negara anggota.









Moneter Dunia saat Ini
Perkembangan Amerika Serikat. Perkembangan moneter global ditandai oleh beberapa permasalahan, Beberapa permasalahan terjadi adalah twin deficit yang terjadi di Amerika Serikat. Perekonomian Amerika Serikat mengalami pertumbuhan ekonomi yang tinggi mengandung permasalahan yang bisa eksplosif. Salah satu permasalahan besar yang dihadapi negara tersebut adalah defisit neraca pembayaran. Defisit ini sudah terjadi selama bertahun-tahun. Permasalahan yang kedua, yaitu defisit APBN, (sebenarnyanya pernah terkoreksi pada saat periode pemerintahan kedua Presiden Clinton) dari tahun 1998 sampai dengan 2000, APBN Amerika Serikat mengalami surplus yang makin besar. Namun, surplus yang membesar tersebut tiba-tiba menjadi defisit yang semakin lama semakin membesar Akhir tahun 2005, hutang kotor Pemerintah Amerika Serikat (gross debt) mencapai 8,170 trilyun Dolar AS (tumbuh sekitar 2 trilyun Dolar AS dibandingkan dengan posisi pada saat akhir pemerintahan Presiden Clinton). Tingkat gross debt sebesar itu merupakan sekitar 70 persen dari total PDB Amerika Serikat. Perkembangan tersebut menimbulkan permasalahan bagi Pemerintah maupun Bank Sentral AS. Dalam keadaan perekonomian yang mengalami pertumbuhan yang tinggi, tekanan inflasi negara tersebut akan menyebabkan bank sentral AS mengambil langkah pengetatan moneter. Apabila tingkat bunga dinaikkan terlalu tinggi, akan menyebabkan beban pembayaran bunga bagi Pemerintah Amerika Serikat juga menjadi semakin berat. Jika selama beberapa tahun suku bunga Federal Funds berada posisi terendah, yaitu 1 persen, maka suku bunga obligasi Pemerintah Amerika Serikat berada  pada level sekitar 3 – 4 persen. Dengan adanya kenaikan suku bunga Federal Funds menjadi 5 persen, maka suku bunga obligasi Pemerintah yang berjangka waktu 10 tahun. mengami peningkatan menjadi lebih dari 5 persen. Dengan tingkat utang yang dimiliki Pemerintah Amerika Serikat saat ini, setiap kenaikan suku bunga obligasi 1 persen, dampaknya adalah kenaikan pengeluaran dalam APBN sebesar 80 milyar dolar AS sebagai tambahan pembayaran bunga (saja).
Dengan terjadinya twin deficit, upaya pencapaian keseimbangan hanya bisa dilakukan oleh investor luar negeri, terutama bank-bank sentralnya. Hal inilah yang membuat cadangan devisa bank-bank sentral Asia mengalami kenaikan yang sangat tajam dari waktu ke waktu. Yang menjadi pertanyaan adalah sampai dimana batas atas dari cadangan devisa tersebut yang bisa ditolerir oleh bank-bank sentral di seluruh dunia.
Perekonomian Jepang dewasa ini sudah berada pada jalur pemulihan ekonomi (meskipun tersenggol oleh tsunami beberapa saat lalu). Selama beberapa tahun pemerintahan Perdana Menteri Koizumi, perekonomian Jepang berada pada arah yang benar. Investasi yang dilakukan oleh perusahaan Jepang maupun investor Asiang sudah mulai dilakukan di dalam negeri Jepang, setelah berathun-tahun banyak korporasi Jepang yang melakukan investasi di luar negeri. Perkembangan investasi yang semula lebih banyak dilakukan di luar negeri tersebut telah menimbulkan suatu argumentasi, korporasi Jepang banyak mengalami keuntungan besar. Toyota telah menjadi perusahaan otomotif terbesar di dunia (setelah dalam nilai sahamnya bertahun-tahun menjadi koprporasi di bidang otomotif yang memiliki kapitalisasi pasar terbesar di dunia).
Namun demikian, perkembangan ekonomi Jepang tersebut sayangnya terjadi setelah selama sepuluh tahun lebih mengalami stimulasi fiskal yang salah sasaran, sehingga pada akhirnya kapasitas ekonomi tidak mengalami peningkatan, tetapi jumlah utang Pemerintah justru berkembang dengan pesat. Dengan defisit APBN yang besarnya sekitar lebih dari 8 persen setiap tahunnya, maka dengan cepat utang Pemerintah mengalami peningkatan yang pesat. Apabila pada tahun 1989, tahun sebelum terjadi resesi yang berkepanjangan, rasio utang terhadap PDB Pemerintah Jepang berada pada tingkat 50 persen, suatu tingkat relatif aman, pada tahun 1999 rasio utang tersebut menjadi 99 persen dari PDB. Tahun 2004 rasio tersebut meningkat menjadi sebesar 160 persen, dan saat ini mencapai 175 persen. Dengan rasio utang yang sedemikian besar, setiap kenaikan suku bunga sebesar 1 persen, kenaikan beban pembayaran bunga utang Pemerintah sebesar 1,75 persen dari PDB. Defisit APBN Jepang diharapkan dapat diturunkan secara bertahap sehingga pada suatu saat nanti diharapkan menjadi surplus kembali.
Dengan rasio utang yang sedemikian, mudah dimengerti bahwa akhirnya terjadi ketegangan yang tinggi antara Bank of Japan, bank sentral negara tersebut, dengan Pemerintah Jepang. Bank sentral negara tersebut mulai melihat perlunya untuk melakukan pengetatan moneter dengan memposisikan tingkat suku bunga ke tingkat yang lebih masuk akal dibandingkan dengan tingkat yang mendekati nol dewasa ini. Rencana kenaikan suku bunga (oleh Bank sentral Jepang)  tersebut berhadapan dengan kekhawatiran Pemerintah Jepang terhadap meningkatnyanya dinamika utang di negara tersebut.
Perekonomian Uni Eropa juga mengalami dinamika tersendiri yang patut menjadi perhatian kita semua. Pada saat ini , beberapa negara yang menjadi pilar penting dari Uni Eropa, yaitu Jerman, Perancis dan Italia mengalami pertumbuhan yang rendah setelah beberapa tahun mengalami resesi. Bahkan untuk tahun ini Italia diperkirakan akan mengalami pertumbuhan yang sangat rendah sehingga Pemerintah Italia diperkirakan akan melanggar lagi kesepakatan untuk menahan defisit APBN dibawah 3 persen. Secara keseluruhan begitu banyak harapan yang ditumpahkan pada Uni Eropa. Beberapa negara anggota Uni Eropa yang kecil, terutama Irlandia, Spanyol, Portugal dan Yunani, mengalami percepatan pertumbuhan ekonomi selama masa pembentukan pakta ekonomi tersebut. Demikian juga harapan yang ditumpahkan negara-negara anggota baru yang berasal dari Eropa Timur dan Eropa Tengah, prospek dari Uni Eropa diperkirakan masih akan cerah dalam beberapa dekade mendatang.
Krisis keuangan yang terjadi di zona Eropa, berawal dari krisis utang yang terjadi di Yunani dua tahun lalu, dimana saat ini krisis tersebut sedikit demi sedikit telah menular ke Italia. Italia memiliki ekonomi terbesar ketiga di antara 17 negara yang berbagi mata uang euro. Krisis ini juga telah menggulingkan Perdana Menteri Silvio Berlusconi. Berlusconi menyatakan akan mundur setelah reformasi berlalu.Kemungkinan akan muncul konsekuensi luar zona euro, terutama Asia. Dia mengusulkan kepada Jepang agar berhati-hati dalam masa krisis yang melanda Eropa.
Perkembangan yang sedemikian itu pada akhirnya membawa dampak pada pergeseran-pergeseran kekuatan perekonomian global yang akan mewarnai dekade mendatang. Sebagaimana diketahui, Airbus, misalnya, sudah menjadi kekuatan tandingan yang bahkan sudah mulai melampaui Boeing (yang bahkan sudah merger dengan Mc Donnell Douglas). Nokia, misalnya, sudah menjadi kekuatan yang penting dalam industri telekomunikasi baru. Bahkan kalau kita melihat daftar urutan negara dalam Global Competitiveness Index yang dikeluarkan oleh World Economic Forum, maka tampak benar dominasi dari negara-negara Eropa dalam daftar tersebut.
Perkembangan moneter global ditandai oleh beberapa permasalahan, Beberapa permasalahan terjadi adalah twin deficit yang terjadi di Amerika Serikat. Perekonomian Amerika Serikat mengalami pertumbuhan ekonomi yang tinggi mengandung permasalahan yang bisa eksplosif. Salah satu permasalahan besar yang dihadapi negara tersebut adalah defisit neraca pembayaran. Defisit ini sudah terjadi selama bertahun-tahun. Permasalahan yang kedua, yaitu defisit APBN, (sebenarnyanya pernah terkoreksi pada saat periode pemerintahan kedua Presiden Clinton) dari tahun 1998 sampai dengan 2000, APBN Amerika Serikat mengalami surplus yang makin besar. Namun, surplus yang membesar tersebut tiba-tiba menjadi defisit yang semakin lama semakin membesar Akhir tahun 2005, hutang kotor Pemerintah Amerika Serikat (gross debt) mencapai 8,170 trilyun Dolar AS (tumbuh sekitar 2 trilyun Dolar AS dibandingkan dengan posisi pada saat akhir pemerintahan Presiden Clinton). Tingkat gross debt sebesar itu merupakan sekitar 70 persen dari total PDB Amerika Serikat. Perkembangan tersebut menimbulkan permasalahan bagi Pemerintah maupun Bank Sentral AS. Dalam keadaan perekonomian yang mengalami pertumbuhan yang tinggi, tekanan inflasi negara tersebut akan menyebabkan bank sentral AS mengambil langkah pengetatan moneter. Apabila tingkat bunga dinaikkan terlalu tinggi, akan menyebabkan beban pembayaran bunga bagi Pemerintah Amerika Serikat juga menjadi semakin berat. Jika selama beberapa tahun suku bunga Federal Funds berada posisi terendah, yaitu 1 persen, maka suku bunga obligasi Pemerintah Amerika Serikat berada  pada level sekitar 3 – 4 persen. Dengan adanya kenaikan suku bunga Federal Funds menjadi 5 persen, maka suku bunga obligasi Pemerintah yang berjangka waktu 10 tahun. mengami peningkatan menjadi lebih dari 5 persen. Dengan tingkat utang yang dimiliki Pemerintah Amerika Serikat saat ini, setiap kenaikan suku bunga obligasi 1 persen, dampaknya adalah kenaikan pengeluaran dalam APBN sebesar 80 milyar dolar AS sebagai tambahan pembayaran bunga (saja).
Dengan terjadinya twin deficit, upaya pencapaian keseimbangan hanya bisa dilakukan oleh investor luar negeri, terutama bank-bank sentralnya. Hal inilah yang membuat cadangan devisa bank-bank sentral Asia mengalami kenaikan yang sangat tajam dari waktu ke waktu. Yang menjadi pertanyaan adalah sampai dimana batas atas dari cadangan devisa tersebut yang bisa ditolerir oleh bank-bank sentral di seluruh dunia.
Perekonomian Jepang dewasa ini sudah berada pada jalur pemulihan ekonomi (meskipun tersenggol oleh tsunami beberapa saat lalu). Selama beberapa tahun pemerintahan Perdana Menteri Koizumi, perekonomian Jepang berada pada arah yang benar. Investasi yang dilakukan oleh perusahaan Jepang maupun investor Asiang sudah mulai dilakukan di dalam negeri Jepang, setelah berathun-tahun banyak korporasi Jepang yang melakukan investasi di luar negeri. Perkembangan investasi yang semula lebih banyak dilakukan di luar negeri tersebut telah menimbulkan suatu argumentasi, korporasi Jepang banyak mengalami keuntungan besar. Toyota telah menjadi perusahaan otomotif terbesar di dunia (setelah dalam nilai sahamnya bertahun-tahun menjadi koprporasi di bidang otomotif yang memiliki kapitalisasi pasar terbesar di dunia).
Namun demikian, perkembangan ekonomi Jepang tersebut sayangnya terjadi setelah selama sepuluh tahun lebih mengalami stimulasi fiskal yang salah sasaran, sehingga pada akhirnya kapasitas ekonomi tidak mengalami peningkatan, tetapi jumlah utang Pemerintah justru berkembang dengan pesat. Dengan defisit APBN yang besarnya sekitar lebih dari 8 persen setiap tahunnya, maka dengan cepat utang Pemerintah mengalami peningkatan yang pesat. Apabila pada tahun 1989, tahun sebelum terjadi resesi yang berkepanjangan, rasio utang terhadap PDB Pemerintah Jepang berada pada tingkat 50 persen, suatu tingkat relatif aman, pada tahun 1999 rasio utang tersebut menjadi 99 persen dari PDB. Tahun 2004 rasio tersebut meningkat menjadi sebesar 160 persen, dan saat ini mencapai 175 persen. Dengan rasio utang yang sedemikian besar, setiap kenaikan suku bunga sebesar 1 persen, kenaikan beban pembayaran bunga utang Pemerintah sebesar 1,75 persen dari PDB. Defisit APBN Jepang diharapkan dapat diturunkan secara bertahap sehingga pada suatu saat nanti diharapkan menjadi surplus kembali.
Dengan rasio utang yang sedemikian, mudah dimengerti bahwa akhirnya terjadi ketegangan yang tinggi antara Bank of Japan, bank sentral negara tersebut, dengan Pemerintah Jepang. Bank sentral negara tersebut mulai melihat perlunya untuk melakukan pengetatan moneter dengan memposisikan tingkat suku bunga ke tingkat yang lebih masuk akal dibandingkan dengan tingkat yang mendekati nol dewasa ini. Rencana kenaikan suku bunga (oleh Bank sentral Jepang)  tersebut berhadapan dengan kekhawatiran Pemerintah Jepang terhadap meningkatnyanya dinamika utang di negara tersebut.
Perekonomian Uni Eropa juga mengalami dinamika tersendiri yang patut menjadi perhatian kita semua. Pada saat ini , beberapa negara yang menjadi pilar penting dari Uni Eropa, yaitu Jerman, Perancis dan Italia mengalami pertumbuhan yang rendah setelah beberapa tahun mengalami resesi. Bahkan untuk tahun ini Italia diperkirakan akan mengalami pertumbuhan yang sangat rendah sehingga Pemerintah Italia diperkirakan akan melanggar lagi kesepakatan untuk menahan defisit APBN dibawah 3 persen. Secara keseluruhan begitu banyak harapan yang ditumpahkan pada Uni Eropa. Beberapa negara anggota Uni Eropa yang kecil, terutama Irlandia, Spanyol, Portugal dan Yunani, mengalami percepatan pertumbuhan ekonomi selama masa pembentukan pakta ekonomi tersebut. Demikian juga harapan yang ditumpahkan negara-negara anggota baru yang berasal dari Eropa Timur dan Eropa Tengah, prospek dari Uni Eropa diperkirakan masih akan cerah dalam beberapa dekade mendatang.
Perkembangan yang sedemikian itu pada akhirnya membawa dampak pada pergeseran-pergeseran kekuatan perekonomian global yang akan mewarnai dekade mendatang. Sebagaimana diketahui, Airbus, misalnya, sudah menjadi kekuatan tandingan yang bahkan sudah mulai melampaui Boeing (yang bahkan sudah merger dengan Mc Donnell Douglas). Nokia, misalnya, sudah menjadi kekuatan yang penting dalam industri telekomunikasi baru. Bahkan kalau kita melihat daftar urutan negara dalam Global Competitiveness Index yang dikeluarkan oleh World Economic Forum, maka tampak benar dominasi dari negara-negara Eropa dalam daftar tersebut.
Dengan melihat perkembangan tersebut, kita dapat membaca tanda-tanda zaman mengenai apa yang mungkin terjadi di masa mendatang. Sementara perekonomian  Amerika Serikat, meskipun dewasa ini mengalami pertumbuhan yang tinggi, mengalami permasalahan struktural yang semakin berat, sementara Jepang juga menghadapai permasalahan dinamika utang yang semakin besar, maka Uni Eropa, meskipun dewasa ini mengalami permasalahan pertumbuhan yang rendah, telah menawarkan diri sebagai kawasan ekonomi yang relatif paling sehat dan memiliki prospek yang cukup menjanjikan.
Pusat pertumbuhan baru benua Asia dengan dua powerhouse yang baru, yaitu Cina dan India. Perkembangan yang terjadi di dua negara tersebut juga dilengkapi dengan perkembangan di kawasan sekitarnya, terutama Korea dan ASEAN. Cadangan devisa yang dimiliki oleh bank-bank sentral negara-negara di kawasan Asia menunjukkan penggelembungan yang semakin lama semakin besar. Data bulan Maret 2006 yang lalu, cadangan devisa Jepang sudah mencapai 875 milyar dolar AS. Jumlah ini membuat Cina sebagai negara yang menduduki tingkat pertama dalam pengumpulan cadangan devisa, melampaui Jepang untuk pertama kalinya, dan terus meningkat dari waktu ke waktu. Cadangan devisa Korea selatan sudah melampaui 200 milyar dolar AS sehingga berada pada tingkat yang kurang lebih sama dengan Taiwan dan Hong Kong. India, dulu hanya memiliki cadangan devisa sekitar 30 milyar dolar AS, mengalami lonjakan cadangan devisa sekitar 150 milyar dolar AS. Sekitar lebih dari 70 persen cadangan devisa dunia ada di kawasan Asia.
Kepemilikan devisa yang hampir dikuasai negara-negara Asia tersebut membawa konsekuensi yang sangat penting bagi stabilitas moneter internasional di masa mendatang. Pengaturan komposisi portofolio dari cadangan devisa tersebut akan membawa perubahan yang sangat mendasar di masa mendatang. Apabila cadangan devisa yang dimiliki bank-bank sentral Asia berjumlah 2.500 milyar dolar AS, apabila terjadi perubahan portofolio sebesar 10 persen saja akan mengakibatkan terjadinya pergeseran sebesar 250 milyar dolar AS. semisal, apabila bank-bank sentral negara-negara di Asia sepakat untuk mengubah komposisi cadangan devisanya, dengan menggantikan cadangan devisa dalam dolar AS sebesar 10 persen menjadi Euro, misalnya, maka perubahan ini akan menyebabkan terjadinya pergesaran cadangan devisa, dimana devisa dalam dolar AS akan turun sebesar 250 milyar Dolar AS sedangkan devisa dalam Euro akan meingkat dengan 250 milyar Dolar AS.
Keadaan seperti tersebut pernah terjadi dalam sejarah, yaitu pada saat mata uang anchor dunia berpindah dari Pound Sterling menjadi Dolar AS, yaitu melalui persidangan di Bretton Woods pada tahun 1944. Konsekuensi perubahan tersebut membuat Inggris akhirnya menjadi seperti paria selama 20 tahun lebih. Inggris menjadi binaan IMF yang pertama dan berlanjut selama 20 tahun kemudian. Keadaan tersebut dapat berulang, dan potensinya mungkin muncul setiap saat, jika bank-bank sentral negara-negara Asia melihat bahwa masa depan perekonomian global sudah diujung tanduk karena permasalahan ekonomi AS yang struktural tersebut.
Permasalahan tersebut merupakan hal utama yang memiliki potensi ledakan yang besar bagi goncangan moneter internasional. Sementara itu, goncangan lain tetap mungkin timbul karena aliran modal global yang semakin lama semakin besar. Dampak dari berpindahnya aliran modal global tersebut pada akhirnya merupakan suatu hal yang harus dicermati terus menerus dalam perjalanan hidup kenegaraan kita di masa-masa mendatang ini. Sebagai negara yang memiliki cadangan devisa yang relatif belum terlalu besar, kehati-hatian kita dituntut untuk terus tetap dijaga.








Merespons Gejolak Moneter Internasional.
Semakin terintegrasinya perekonomian dunia memang pada akhirnya menuntut kesigapan yang tinggi pada para pengelola moneter dan Pemerintah di seluruh dunia. Banyak juga langkah yang dilakukan secara bersama sebagaimana ditanda tanganinya Repo Agreement di antara berbagai negara di Asia selama beberapa waktu terakhir. Namun demikian, pertahanan terakhir menghadapi gejolak moneter internasional tersebut pada akhirnya terpulang kepada para pengelola moneter dan Pemerintah masing-masing negara tersebut.
Kesigapan untuk selalu memperhatikan perkembangan eksternal. Aliran modal di Indonesia berlangsung bebas. Dalam keadaan yang sedemikian, berlaku adagium ”the impossibility of the holy trinity”. Dalam keadaan mobilitas modal yang sedemikian bebas, maka dua hal tidak bisa terjadi sekaligus, yaitu independensi kebijakan moneter dan penetapan nilai tukar. Dua hal terakhir ini sering sekali ingin dilakukan bersamaan oleh Otoritas Moneter maupun Pemerintah Indonesia. Suku bunga yang rendah merupakan hal yang sangat diinginkan oleh dunia usaha maupun juga Pemerintah. Otoritas Moneter juga ingin memiliki nilai Rupiah yang kuat, tampaknya sebagai legacy dari berbagai gejolak moneter dasawarsa yang lalu dan diperkuat dengan krisis Asia.
Kemampuan Untuk Melakukan Intervensi. Dalam keadaan nilai Rupiah tertekan, diperlukan langkah untuk mengurangi fluktuasinya. Intervensi bisa dilakukan diam-diam, yaitu melalui bank-bank (Pemerintah) yang menjadi kepanjangan tangan dari Bank Indonesia maupun dilakukan oleh Bank Indonesia sendiri. Dalam perjalanan hidup Bank Indonesia, berbagai cara tersebut sudah dilakukan.
Pada Orde Baru, nilai tukar tetap maupun juga pada saat berlangsungnya sistem nilai tukar managed floating, Bank Indonesia bertindak pasif. Setiap kali nilai Rupiah melewati batas bawah atau batas atas, maka bank-bank akan melakukan penjualan ataupun pembelian devisa ke Bank Indonesia. Pada saat sistem mulai berubah menjadi sistem nilai tukar mengambang yaitu pada 15 Agustus 1997, Bank Indonesia dalam melakukan intervensi secara aktif merupakan keharusan. Kemampuan intervensi tidak boleh terlambat meskipun harus melalui prosedur birokrasi yang panjang.
Penguatan perbankan. Sistem perbankan yang kuat akan banyak membantu perekonomian dalam mengurangi daya krisis. Upaya memperkuat perbankan perlu dilakukan. Salah satu penyebab dari banyaknya bank yang bangkrut di tahun 1998 adalah bergeraknya nilai tukar Rupiah secara ekstrem. Dalam hal ini, penerapan peraturan Net Open Position secara benar (baik secara absolut maupun juga dengan matching jangka waktu yang benar) bisa mengurangi secara drastis risiko semacam itu. Penerapan Risk Management di perbankan Indonesia sedang digalakkan. Upaya untuk mengurangi risiko perbankan (risiko kredit, risiko likuiditas, risiko pasar, dan sebagainya) perlu selalu dilakukan.
Mengurangi Intensitas Mobilitas Modal. Lalu lintas modal yang sedemikian tinggi menyebabkan independensi pengenaan kebijakan moneter menjadi jauh berkurang. Chili menerapkan kebijakan untuk memberikan disinsentif bagi lalu lintas modal semacam itu. Jika aliran modal masuk hanya berlangsung kurang dari satu tahun, maka modal tersebut dikenai pajak yang tinggi agar bisa tinggal lebih lama di negara tersebut. Upaya yang dikenal dengan Tobin Tax ini sering menjadi acuan dari IMF dan Bank Dunia jika mereka memberikan rekomendasi kepada negara-negara anggotanya yang rentan terhadap krisis.



Daftar Pustaka


Arsjad, Nurdjaman. 1998. Memilih Kurs Mata Uang yang tepat Apa Masalahnya?. Univesitas Pancasila. Jakarta.

Bank Indonesia. 2007. Pedoman Penerapan Manajemen Risiko Dalam Penggunaan Teknologi Informasi Oleh Bank Umum. Direktorat Penelitian dan pengaturan Perbankan. Jakarta.

Cooper, Donald R. dan Schindler, Pamela S. 2010. Business Research Methods. The McGraw-Hill Companies. Inc. New York.

Course, Dragon Forex Trading. 2006, Istilah-Istilah Dalam Dunia Investasi, Dragon Forex Trading Course, Jakarta.

Harinowo, Cyrillus. 2007, Merespon Gejolak Moneter Internasional, Winplus Capital, Jakarta.
Jones, Charles P. 2000.  Investment : Analysis and Management, John Wiley & Sons Inc, New York.

Nasution, Anwar. 2003.  Masalah-Masalah Sistem Keuangan dan perbankan indonesia, Seminar Pembangunan Hukum nasional VIII, Jakarta.

Shapiro, Alan C. 2010. Multinational Financial Management. John Wiley & Sons Inc. Hoboken, New York.

Wahyu, Bambang. 2008.  Globalisasi dan Tantangan Bagi Sistem Keuangan Islam: Perspektif Filsafat Ekonomi Islam, Republika, Jakarta.

Ximenes, Pedro. 2010, manajemen Keuangan Internasional, Institute Of Business, Jakarta.

Tidak ada komentar: