Kamis, 01 November 2018

Konsep Proposal Penyerapan Anggaran pada KPPN Yogyakarta


I.  Latar Belakang
Setiap tahun pemerintah bersama-sama dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). APBN merupakan wujud pengelolaan keuangan negara sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar tahun 1945 hasil amandemen ke-3 pasal 23 ayat 1, yang harus dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab  untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Oleh karena itu, APBN  merupakan alat untuk mencapai tujuan bernegara, seperti yang tercantum  dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Sebagai penjabaran dari aturan pokok yang termuat dalam Undang-Undang Dasar 1945 tersebut, telah ditetapkan beberapa peraturan perundang-undangan dalam rangka manajemen keuangan negara:
1.      Undang-undang yang menyangkut perencanaan (planning) yaitu Undang-Undang Nomor  25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangungan Nasional (SPPN),
2.      Undang-undang yang menyangkut pengorganisasian (organizing) yaitu Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara,
3.      Undang-undang yang menyangkut pengarahan (actuating) yaitu Undang-Undang Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan
4.      Undang-undang yang menyangkut pengawasan (controlling) yaitu Undang-Undang Nomor 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.
Dalam pengelolaan keuangan negara, fungsi-fungsi manajemen tersebut yaitu perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengawasan merupakan suatu siklus yang diarahkan untuk mencapai tujuan bernegara, sehingga apabila digambarkan dalam sebuah diagram adalah sebagai sebagai berikut:
Sumber : Pusdiklatwas BPKP tahun 2007
Gambar 1.2 : Siklus Manajemen Keuangan Negara

Dari gambar di atas, yang terkait langsung dengan Sistem Administrasi Keuangan Negara (SAKN) adalah pada fungsi pengorganisasian, pengarahan, dan pengawasan. Sebagai fungsi pengorganisasian Undang-Undang nomor 17 tahun 2003 mengatur secara umum tentang keuangan negara, sedangkan Undang-Undang Nomor 1 tahun 2004 merupakan fungsi pengarahan dalam menjalankan APBN, sementara sebagai fungsi pengawasan diatur dalam Undang-Undang Nomor 15 tahun 2004.
            Dalam undang-undang tentang keuangan negara, Menteri Keuangan merupakan pengelola keuangan negara (pasal 6 ayat 2 UU Nomor 17 tahun 2003) selaku pengelola fiskal, sedangkan Menteri/Lembaga merupakan pengguna anggaran. Sebagai pengelola keuangan negara, Menteri Keuangan mempunyai beberapa tugas sebagaimana diatur dalam pasal 8 undang-undang tersebut yaitu:
a)      menyusun kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro;
b)      menyusun rancangan APBN dan rancangan Perubahan APBN;
c)      mengesahkan dokumen pelaksanaan anggaran;
d)     melakukan perjanjian internasional di bidang keuangan;
e)      melaksanakan pemungutan pendapatan negara yang telah ditetapkan dengan undang-undang;
f)       melaksanakan fungsi bendahara umum negara;
g)      menyusun laporan keuangan yang merupakan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN;
h)      melaksanakan tugas-tugas lain di bidang pengelolaan fiskal berdasarkan ketentuan undang-undang.
 Sedangkan menteri/pimpinan lembaga selaku pengguna anggaran memiliki tugas sebagaimana diatur dalam pasal 9 yaitu:
a.       menyusun rancangan anggaran kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya;
b.      menyusun dokumen pelaksanaan anggaran;
c.       melaksanakan anggaran kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya;
d.      melaksanakan pemungutan penerimaan negara bukan pajak dan menyetorkannya ke Kas Negara;
e.       mengelola piutang dan utang negara yang menjadi tanggung jawab kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya;
f.       mengelola barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawab kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya;
g.      menyusun dan menyampaikan laporan keuangan kementerian negara /lembaga yang dipimpinnya;
h.      melaksanakan tugas-tugas lain yang menjadi tanggung jawabnya berdasarkan ketentuan undang-undang.
Rancangan APBN yang telah disetujui oleh DPR menjadi APBN, dalam pelaksanaannya dituangkan dalam sebuah dokumen yaitu Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) yang memuat uraian sasaran yang hendak dicapai, fungsi, program dan kegiatan, rencana penarikan dana tiap-tiap bulan dalam satu tahun serta pendapatan yang diperkirakan oleh kementerian negara/lembaga. Dalam lampiran II Peraturan Menteri Keuangan nomor 80/PMK.05/2007 tentang Petunjuk Penyusunan dan Penelaahan, Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga dan Penyusunan, Penelaahan, Pengesahan dan Pelaksanaan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran Tahun Anggaran 2008, maupun dalam Peraturan Menteri Keuangan nomor 134/PMK.06/2005 tentang Pedoman Pembayaran dalam Pelaksanaan APBN di pasal 1 angka 1 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan DIPA adalah dokumen pelaksanaan anggaran yang dibuat oleh menteri/pimpinan lembaga serta disahkan oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan atas nama Menteri Keuangan dan berfungsi sebagai dasar untuk melakukan tindakan yang mengakibatkan pengeluaran negara dan pencairan dana atas beban APBN serta dokumen pendukung kegiatan akuntansi pemerintah. Di dalam DIPA tersebut tercantum beberapa jenis belanja yaitu belanja pegawai, belanja barang, belanja modal, bunga, subsidi, hibah, bantuan sosial, dan belanja lain-lain (penjelasan pasal 11 ayat 5 UU Nomor 17 tahun 2003).
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sebagai instrumen kebijakan fiskal diharapkan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi, mengurangi kemiskinan, dan menciptakan lapangan kerja, hal ini karena  APBN merupakan bentuk intervensi pemerintah terhadap pembangunan ekonomi. Melalui fungsi-fungsi yang dimiliki oleh APBN yaitu fungsi alokasi, distribusi dan fungsi stabilisasi, sangat diharapkan kebijakan fiskal yang dikeluarkan, terutama yang terkait dengan belanja negara, bekerja secara tepat, efisien dan berkelanjutan, sebagai salah satu indikatornya adalah penyerapan anggaran. Penyerapan anggaran yang dilakukan sesuai dengan rencana penarikan dana tiap-tiap bulan yang tercantum dalam halaman III DIPA dalam rangka menyejahterakan masyarakat melalui instrumen APBN berjalan dengan baik.
Namun, sejak tahun 2006 sampai dengan tahun 2010, belanja yang dilakukan oleh Kementerian/Lembaga (K/L) telah menghasilkan pola belanja yang relatif sama yaitu penyerapan yang rendah di semester pertama, dan cenderung menumpuk pada semester kedua. Studi yang dilakukan oleh Siswanto dan Rahayu (2010) terhadap tujuh K/L yang memperoleh alokasi anggaran relatif besar yaitu  Kementerian Pendidikan Nasional, Kementerian Pertahanan, Kementerian Pekerjaan Umum, Kepolisian, Kementerian Kesehatan, Kementerian Perhubungan, dan Kementerian Keuangan menunjukan seperti yang terlihat dalam grafik berikut ini:


Sumber : Direktorat Jenderal Perbendaharaan, dalam Siswanto dan Rahayu  (2010)
Gambar 1.2: Realisasi Belanja K/L Semester I Tahun 2006 -2010

      Ketujuh K/L tersebut mendapatkan porsi belanja kurang lebih 70% dari total alokasi yang disalurkan untuk K/L sebagai instansi pusat. Dari gambar di atas terlihat, realisasi belanja semester pertama ketujuh K/L tersebut berfluktuasi, tertinggi dicapai pada tahun 2009 sebesar 33,3%, sedangkan realisasi semester pertama tahun 2010 lebih rendah 4,8% daripada tahun 2009. Dari studi terhadap ketujuh K/L tersebut dapat menjadi gambaran terhadap penyerapan anggaran dari semua kementerian dan lembaga yang mengelola belanja APBN dimana belanja pemerintah 60% sampai dengan 70% dilakukan pada semester kedua. Hal ini menyebabkan, APBN sebagai instrumen kebijakan fiskal yang mendorong pertumbuhan ekonomi, mengurangi kemiskinan, dan menciptakan lapangan kerja, serta beberapa fungsi yang melekat pada APBN berjalan tidak maksimal.
Kecenderungan yang sama juga terjadi oleh satuan kerja-satuan kerja di wilayah pembayaran Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) Yogyakarta. Sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 134/PMK.01/2006 tentang organisasi dan tata kerja Instansi Vertikal Direktorat Jenderal Perbendaharaan, salah satu tugas pokok KPPN Yogyakarta adalah penyaluran pembayaran atas beban APBN di wilayah Kota Yogyakarta, Kabupaten Bantul, dan Kabupaten Sleman. Oleh karena itu, KPPN Yogyakarta merupakan kuasa Bendahara Umum Negara dari Bendahara Umum Negara (BUN) yang dipegang oleh Menteri Keuangan.
Data dari Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) tingkat kuasa BUN KPPN Yogyakarta dari tahun 2008 sampai dengan tahun 2011 sampai dengan triwulan ke-3 atau sampai dengan tanggal 30 September,  rata-rata penyerapan anggaran baru mencapai 59,06%, data selengkapnya penyerapan anggaran sampai dengan triwulan ketiga dari tahun 2008 sampai dengan tahun 2011 adalah sebagai berikut:

Tabel 1.1 : Laporan Realisasi Anggaran Belanja


Tingkat Kuasa BUN KPPN Yogyakarta


Sampai dengan Triwulan III (Januari s/d September)





Tahun Anggaran
Pagu
Realisasi
%
2008
   3.921.053.113.732
      2.527.996.856.554
64,47%
2009
   4.939.349.919.650
      2.793.217.492.084
56,55%
2010
   5.130.905.377.000
      3.170.034.772.720
61,78%
2011
   6.650.063.839.000
      3.552.609.499.157
53,42%
Sumber : LKPP KPPN Yogyakarta








Dari tabel tersebut, terlihat penyerapan anggaran satuan kerja-satuan kerja di wilayah pembayaran KPPN Yogyakarta masih dibawah 70%, seharusnya  sesuai dengan rencana penarikan yang tercantun di dalam DIPA penyerapan anggaran paling tidak sudah mencapai 75% dari pagu yang tersedia. Penyerapan anggaran tertinggi dicapai pada triwulan ketiga tahun anggaran 2008 sebesar 64,47%, sedangkan terendah adalah pada tahun anggaran 2011 sebesar 53,42%, hal ini berarti pada tahun anggaran 2011 ini, dari total pagu anggaran sebesar 6,6 triliun rupiah, sebesar 46,58% atau sekitar 3 triliun rupiah akan dicairkan/diserap dalam jangka waktu 3 bulan yaitu dari bulan Oktober sampai dengan Desember 2011.
Oleh karena itu, penelitian ini akan  mencari faktor-faktor yang mempengaruhi satuan kerja-satuan kerja melakukan penumpukan penyerapan anggaran pada akhir tahun anggaran tersebut. 
II. Pertanyaan Riset
            Berdasarkan latar belakang tersebut, beberapa pertanyaan riset akan muncul  berkaitan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi penumpukan penyerapan anggaran pada akhir tahun anggaran yaitu:
1.      Apakah perencanaan anggaran merupakan faktor yang mempengaruhi penumpukan penyerapan anggaran pada akhir tahun anggaran?
2.      Apakah pelaksanaan anggaran merupakan faktor yang mempengaruhi penumpukan penyerapan anggaran pada akhir tahun anggaran?
3.      Apakah faktor pengadaan barang dan jasa merupakan faktor yang mempengaruhi penumpukan penyerapan anggaran pada akhir tahun anggaran?
4.      Apakah internal satuan kerja merupakan faktor yang mempengaruhi penumpukan penyerapan anggaran pada akhir tahun anggaran?
5.      Adakah faktor-faktor lain selain yang disebutkan di atas merupakan faktor yang mempengaruhi penumpukan penyerapan anggaran pada akhir tahun anggaran?
III. Tujuan dan Manfaat Penelitian
III.1. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah menemukan faktor-faktor manakah dan menganilisis faktor-faktor apakah yang mempengaruhi penumpukan penyerapan anggaran pada akhir tahun anggaran dengan mengambil studi di KPPN Yogyakarta.
III.2. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkant dapat memberikan manfaat kepada :
1.      Praktisi
a.       Menteri Keuangan dan Ditjen Perbendaharaan
Masalah menumpuknya penyerapan anggaran pada akhir tahun anggaran sudah menjadi masalah bagi perekonomian nasional dan pemerintah, Menteri Keuangan selaku penyusun rancangan APBN dan  Direktorat Jenderal Perbendaharaan sebagai pelaksana kebijakan yang terkait dengan pengelolaan APBN dituntut untuk mengatasi permasalahan tersebut. Melalui penelitian ini, peneliti berusaha untuk dapat menemukan dan menganalisis faktor-faktor yang dapat mempengaruhi penyerapan anggaran pada akhir tahun anggaran, sehingga akan bermanfaat bagi Kementerian Keuangan dan Direktorat Jenderal Perbendaharaan untuk mengambil kebijakan dalam pengelolaan APBN yang lebih baik  di masa yang akan datang. 

b.      KPPN Yogyakarta
Dari hasil penelitian ini, dapat diketahui faktor-faktor yang mempengaruhi penumpukan penyerapan anggaran pada akhir tahun anggaran, sehingga KPPN Yogyakarta dapat mengambil tindakan untuk melakukan sosialisasi, koordinasi, dan pembinaan penyerapan anggaran kepada  para satuan kerja.
2.      Akademisi
Manfaat penelitian ini bagi akademisi adalah menambah pengetahuan di bidang ilmu keuangan publik terutama yang terkait dengan APBN, dan dapat bermanfaat bagi penelitian-penelitian di bidang pengelolaan APBN di masa yang akan datang.

IV. Studi Pustaka dan Perumusan Hipotesis
IV.1. Keuangan Negara dan APBN
Dalam pasal 1 huruf 1 Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003, Keuangan Negara didefinisikan sebagai semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Pendekatan definisi keuangan negara tersebut menurut Suminto (2004) menggunakan beberapa pendekatan, yaitu:
1. Pendekatan dari sisi obyek;
2. Pendekatan dari sisi subyek;
3. Pendekatan dari sisi proses; dan,
4. Pendekatan dari sisi tujuan.
Dari sisi obyek keuangan negara akan meliputi seluruh hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, di dalamnya termasuk berbagai kebijakan dan kegiatan yang terselenggara dalam bidang fiskal, moneter dan atau pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan. Selain itu segala sesuatu dapat berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.
Dari sisi subyek, keuangan negara meliputi negara, dan/atau pemerintah pusat, pemerintah daerah, perusahaan negara/daerah, dan badan lain yang ada kaitannya dengan keuangan negara. Keuangan Negara dari sisi proses mencakup seluruh rangkaian kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan obyek di atas mulai dari proses perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan sampai dengan pertanggungjawaban. Terakhir, keuangan negara juga meliputi seluruh kebijakan, kegiatan dan hubungan hukum yang berkaitan dengan pemilikan dan/atau penguasaan obyek sebagaimana tersebut di atas dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan negara, pendekatan terakhir ini dilihat dari sisi tujuan.
Ruang lingkup keuangan negara sesuai dengan pengertian tersebut diuraikan dalam Pasal 2 UU No. 17/2003 meliputi:
a.       Hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang, dan melakukan pinjaman;
b.      Kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga;
c.       Penerimaan Negara;
d.      Pengeluaran Negara;
e.       Penerimaan Daerah;
f.       Pengeluaran Daerah;
g.      Kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara atau daerah;
h.      Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum;
i.        Kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah.
Bidang pengelolaan Keuangan Negara yang demikian luas secara ringkas dapat dikelompokan dalam sub bidang pengelolaan fiskal, sub bidang pengelolaan moneter, dan sub bidang pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan (Suminto, 2004). Sub bidang pengelolaan fiskal meliputi enam fungsi, yaitu:
1.      Fungsi pengelolaan kebijakan ekonomi makro dan fiskal.
Fungsi pengelolaan kebijakan ekonomi makro dan fiskal ini meliputi penyusunan Nota Keuangan dan RAPBN, serta perkembangan dan perubahannya, analisis kebijakan, evaluasi dan perkiraan perkembangan ekonomi makro, pendapatan negara, belanja negara, pembiayaan, analisis kebijakan, evaluasi dan perkiraan perkembangan fiskal dalam rangka kerjasama internasional dan regional, penyusunan rencana pendapatan negara, hibah, belanja negara dan pembiayaan jangka menengah, penyusunan statistik, penelitian dan rekomendasi kebijakan di bidang fiskal, keuangan, dan ekonomi.
2.      Fungsi penganggaran. Fungsi ini meliputi penyiapan, perumusan, dan pelaksanaan kebijakan, serta perumusan standar, norma, pedoman, kriteria, prosedur dan pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang APBN.
3.      Fungsi administrasi perpajakan.
4.      Fungsi administrasi kepabeanan.
5.      Fungsi perbendaharaan.
Fungsi perbendaharaan meliputi perumusan kebijakan, standard, sistem dan prosedur di bidang pelaksanaan penerimaan dan pengeluaran negara, pengadaan barang dan jasa instansi pemerintah serta akuntansi pemerintah pusat dan daerah, pelaksanaan penerimaan dan pengeluaran negara, pengelolaan kas negara dan perencanaan penerimaan dan pengeluaran, pengelolaan utang dalam negeri dan luar negeri, pengelolaan piutang, pengelolaan barang milik/kekayaan negara (BM/KN), penyelenggaraan akuntansi, pelaporan keuangan dan sistem informasi manajemen keuangan pemerintah.
6.      Fungsi pengawasan keuangan.
Bidang pengelolaan moneter meliputi sistem pembayaran, sistem lalu lintas devisa, dan sistem nilai tukar, dan bidang pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan meliputi pengelolaan perusahaan negara/daerah.
            Sementara menurut Halim (2004), ruang lingkup keuangan negara dapat dikelompokan menjadi dua yaitu yang dikelola langsung oleh pemerintah dan yang dipisahkan pengurusannya. Keuangan negara yang dikelola langsung oleh pemerintah  adalah komponen keuangan negara yang mencakup seluruh penerimaan dan pengeluaran dalam hal ini adalah Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, sedangkan keuangan negara yang  pengurusannya dipisahkan dan cara pengelolaannya berdasarkan hukum perdata adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang dapat berbentuk perusahaan perseroan, bank- bank pemerintah, dan lembaga-lembaga keuangan pemerintah.  Sedangkan menurut Sugijanto, dkk dalam Halim (2004) ruang lingkup keuangan negara merupakan salah satu unsur keuangan negara, unsur-unsur  pokok keuangan negara meliputi hak, kewajiban, ruang lingkup, dan tujuan keuangan negara.
Dengan demikian, jelaslah bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara merupakan bagian dari Keuangan Negara yang pengelolaannya dilakukan secara langsung oleh pemerintah.
IV.2 Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)
Menurut Halim (2004), APBN merupakan anggaran negara.  Anggaran negara adalah rencana pengeluaran/belanja dan penerimaan/pembiayaan belanja suatu negara untuk suatu periode tertentu.  Ditambahkannya anggaran negara dibedakan dalam arti luas dan dalam arti sempit. Dalam arti sempit anggaran negara berarti rencana pengeluaran dan penerimaan dalam satu tahun saja. Dalam arti luas anggaran negara berarti jangka waktu perencanaan, pelaksanaan, dan pertanggungjawaban. Anggaran negara menurut Halim (2004) mempunyai beberapa fungsi yaitu:
a.       Sebagai pedoman bagi pemerintah dalam mengelola negara untuk suatu periode di masa mendatang.
b.      Sebagai alat pengawas bagi masyarakat terhadap kebijaksanaan yang telah dipilih oleh pemerintah karena sebelum anggaran negara dijalankan harus mendapat persetujuan DPR terlebih dahulu.
c.       Sebagai alat pengawas bagi masyarakat terhadap kemampuan pemerintah dalam melaksanakan kebijaksanaan yang telah dipilihnya karena pada akhirnya anggaran harus dipertanggungjawabkan pelaksanaannya oleh pemerintah kepada DPR.
Mengacu pada Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003, struktur APBN yang sekarang dilaksanakan terdiri atas anggaran pendapatan, anggaran belanja, dan pembiayaan. Pendapatan negara terdiri atas penerimaan pajak, penerimaan bukan pajak, dan hibah. Belanja negara dipergunakan untuk keperluan penyelenggaraan tugas pemerintahan pusat dan pelaksanaan perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. Penyusunan anggaran belanja negara dirinci menurut organisasi, fungsi, dan jenis belanja. Rincian belanja negara menurut organisasi disesuaikan dengan susunan kementerian negara/lembaga pemerintahan pusat. Rincian belanja negara menurut fungsi antara lain terdiri dari: pelayanan umum, pertahanan, ketertiban dan keamanan, ekonomi, lingkungan hidup, perumahan dan fasilitas umum, kesehatan, pariwisata, budaya, agama, pendidikan, dan perlindungan sosial. Rincian belanja negara menurut jenis belanja (sifat ekonomi) antara lain terdiri dari: belanja pegawai, belanja barang, belanja modal, bunga, subsidi, hibah, bantuan sosial, dan belanja lain-lain. Dalam rangka penyusunan anggaran berbasis prestasi kerja (kinerja) sebagaimana telah diuraikan di muka, penyusunan anggaran juga dikelompokkan menurut program-program yang telah ditetapkan pemerintah. Selanjutnya, program-program tersebut dirinci lagi ke dalam kegiatan-kegiatan yang dilengkapi dengan anggaran dan indikator keberhasilannya. APBN disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan negara dan kemampuan dalam menghimpun pendapatan negara. Dalam menyusun APBN diupayakan agar belanja operasional tidak melampaui pendapatan dalam tahun anggaran yang bersangkutan. Penyusunan Rancangan APBN tersebut berpedoman kepada Rencana Kerja Pemerintah dalam rangka mewujudkan tercapainya tujuan bernegara.
Baswir dalam Palupi (2002), mengemukakan:
“Penyusunan anggaran berdasarkan suatu struktur dan klasifikasi tertentu adalah suatu langkah penting untuk mendapatkan sistem penganggaran yang baik dan berfungsi sebagai pedoman bagi pemerintah dalam mengelola negara, sebagai alat pengawas bagi masyarakat terhadap kebijaksanaan dan kemampuan pemerintah.

Dalam hal penyusunan APBN tidak dapat dilepaskan dari suatu daur atau siklus anggaran. Daur/siklus anggaran adalah suatu proses anggaran yang terus-menerus yang dimulai dari tahap penyusunan anggaran oleh yang berwenang (Halim, 2004). Daur/siklus anggaran negara Republik Indonesia mempunyai lima tahap yaitu tahap perencanaan APBN, penetapan  APBN, pelaksanaan APBN, pengawasan pelaksanaan APBN, dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN (Solikin & Widjajarso, 2005).
1.      Tahap Perencanaan APBN
Pada tahap perencanaan APBN terdapat enam langkah yang harus dilakukan yaitu:
a.       Penyusunan Rencana Kerja Kementerian Negara/Lembaga (Renja-KL)
Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 20 Tahun 2004 tentang Rencana Pemerintah dan PP Nomor 21 tahun 2004 tentang Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementrian Negara/Lembaga, kementerian negara/lembaga menyusun Renja-KL mengacu pada Rencana Strategis (Renstra) kementerian negara/lembaga bersangkutan dan mengacu pula pada prioritas pembangunan nasional dan pagu indikatif yang ditetapkan oleh Menteri Perencanaan Pembangunan (Ketua Bappenas) dan Menteri Keuangan.  
Renja–KL ini memuat kebijakan, program, dan kegiatan yang dilengkapi dengan sasaran kinerja dengan menggunakan pagu indikatif untuk tahun anggaran yang sedang disusun dan perkiraan maju (forward estimate) untuk tahun anggaran berikutnya. Program dan kegiatan dalam Renja-KL disusun dengan pendekatan berbasis kinerja, kerangka pengeluaran jangka menengah, dan penganggaran terpadu.
b.       Pembahasan Renja–KL
Kementerian Perencanaan Pembangunan setelah menerima Renja-KL melakukan penelaahan bersama Kementerian Keuangan. Pada tahap pembahasan renja-KL masih mungkin terjadi perubahan-perubahan terhadap program kementerian negara/lembaga yang diusulkan oleh menteri/pimpinan lembaga setelah Kementerian Perencanaan berkoordinasi dengan Kementerian Keuangan.
c.       Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga (RKA-KL)
Selambat-lambatnya pada pertengahan bulan Mei, pemerintah menyampaikan kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijaksanaan fiskal kepada DPR. Hasil pembahasan antara DPR dan Pemerintah akan menjadi kebijakan umum dan prioritas anggaran bagi Presiden/Kabinet yang akan dijabarkan oleh Menteri Keuangan dalam bentuk Surat Edaran Menteri Keuangan (SE-Menkeu) tentang pagu sementara.
Setelah menerima SE Menkeu tentang pagu sementara, Kementerian Negara/Lembaga mengubah Renja–KL menjadi RKA-KL, sehingga rencana kerja tersebut telah tersedia anggarannya selain dari usulan program. Selanjutnya, Kementerian Negara/Lembaga melakukan pembahasan RKA-KL dengan komisi-komisi di DPR yang menjadi mitra kerjanya.
Hasil pembahasan tersebut disampaikan kepada Kementerian Keuangan dan Kementerian Perencanaan Pembangunan selambat-lambatnya pada pertengahan bulan Juni. Kementerian Perencanaan akan menelaah kesesuaian RKA-KL hasil pembahasan tersebut dengan Rencana Kerja Pemerintah, sedangkan Kementerian Keuangan akan menelaah kesesuaian RKA-KL dengan SE Menkeu tentang pagu sementara, perkiraan maju yang telah disetujui anggaran sebelumnya, dan standar biaya yang telah ditetapkan.
d.      Penyusunan Anggaran Belanja
RKA-KL hasil telaahan Kementerian Perencanaan Pembangunan dan Kementerian Keuangan menjadi dasar penyusunan anggaran belanja negara. Belanja negara disusun berdasarkan asas bruto yaitu bahwa tiap Kementerian/Lembaga selain harus mencantunkan rencana jumlah pengeluaran harus juga mencantumkan perkiraan penerimaan yang akan didapat dalam tahun anggaran yang bersangkutan.
e.       Penyusunan Perkiraan Pendapatan Nasional
Penentuan perkiraan pendapatan secara prinsip disusun oleh Kementerian Keuangan dengan dibantu oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan dengan memperhatikan masukan dari Kementerian Negara /Lembaga lain yaitu dalam bentuk perkiraan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
f.       Penyusunan Rancangan APBN
Setelah menyusun perkiraan belanja negara dan pendapatan negara, Kementerian Keuangan menghimpun RKA-KL yang telah ditelaah untuk bersama-sama dengan Nota Keuangan dan Rancangan APBN (RAPBN) dibahas dalam sidang kabinet.
2.      Tahap Penetapan UU APBN
        Nota Keuangan dan Rancangan APBN beserta RKA-KL yang telah dibahas dalam sidang Kabinet disampaikan pemerintah kepada DPR selambat-lambatnya pertengahan bulan Agustus untuk dibahas dan ditetapkan menjadi Undang-Undang APBN selambat-lambatnya akhir bulan Oktober.
3.      Tahap Pelaksanaan APBN
        Undang-undang yang telah disetujui oleh DPR dan disahkan oleh Presiden melalui Keputusan Presiden (Keppres) telah disusun terperinci dalam unit organisasi, fungsi, program kegiatan, dan jenis belanja.  Keppres tersebut menjadi dasar bagi Kementerian/Lembaga untuk mengusulkan dokumen pelaksanaan anggaran kepada Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara, selanjutnya Menteri Keuangan mengesahkan dokumen pelaksanaan anggaran selambat-lambatnya tanggal 31 Desember. Dokumen yang telah disahkan Menteri Keuangan disampaikan kepada Menteri/Pimpinan Lembaga, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Gubernur, Direktur Jenderal Anggaran, Direktur Jenderal Perbendaharaan, Gubernur, Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan, Kuasa Bendahara Umum Negara (KPPN), dan Kuasa Pengguna Anggaran satuan kerja terkait. Dengan dokumen tersebut, mulai 1 Januari tahun anggaran berikutnya, Kementerian/Lembaga melaksanakan pengeluaran dan penerimaan yang berkaitan dengan bidang tugasnya.
Terkait dengan anggaran belanja, pengguna anggaran yaitu menteri/pimpinan lembaga dan kuasa pengguna anggaran yaitu para satuan kerja di bawah menteri/pimpinan lembaga yang bersangkutan melaksanakan kegiatan yang tercantum dalam dokumen pelaksanaan anggaran yang telah disahkan dan berwenang mengadakan ikatan/perjanjian dalam rangka pengadaan barang/jasa pemerintah kepada pihak lain dalam batas anggaran yang telah ditetapkan. Hal tersebut ditegaskan dalam pasal 17 Undang-Undang Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
4.      Tahap pengawasan pelaksanaan APBN
Pengawasan atas pelaksanaan APBN dilaksanakan oleh pemeriksa internal maupun eksternal. Pengawasan secara internal dilakukan oleh Inspektorat Jenderal (Itjen) dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), sedangkan pengawasan eksternal dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
5.      Tahap Pertanggungjawaban atas pelaksanaan APBN
Pada tahap ini presiden menyampaikan rancangan undang-undang tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBN berupa laporan keuangan yang sudah diaudit BPK kepada DPR selambat-lambatnya enam bulan setelah tahun anggaran berakhir.
Dari siklus anggaran tersebut, penelitian ini akan berfokus pada tahap perencanaan dan pelaksanaan APBN. Pembahasan penelitian ini bertumpu pada tahap pelaksanaan anggaran, yang dipengaruhi oleh tahap perencanaan tahun anggaran sebelumnya, dengan tujuan untuk menemukan dan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi penumpukan penyerapan anggaran pada akhir tahun anggaran sebagaimana telah diuraikan dalam latar belakang permasalahan.  Sebagai identifikasi awal, menumpuknya penyerapan anggaran pada akhir tahun anggaran mengindikasikan adalanya permasalahan dalam tahap perencanaan dan pelaksanaan APBN.

IV.3. Faktor-faktor yang mempengaruhi penyerapan anggaran pada akhir tahun anggaran
Penelitian yang dilakukan oleh Rahayu dan Siswanto (2010) dengan mengambil sampel penelitian tujuh kementerian/lembaga yang mempunyai porsi anggaran kurang lebih 70% dari total alokasi belanja yang disalurkan, menemukan permasalahan-permasalahan yang mengakibatkan rendahnya penyerapan anggaran pada semester pertama dan menumpuk pada semester kedua tahun anggaran 2010 bersumber dari beberapa faktor yaitu: 1. Internal Kementerian/Lembaga 2. Proses pengadaan barang dan jasa, 3. Dokumen pelaksanaan anggaran dan proses revisi, serta 4. Permasalahan lainnya, seperti adanya peningkatan alokasi belanja Kementerian/Lembaga pada saat terjadi perubahan APBN sebagaimana tertuang dalam APBN-Perubahan (APBN–P).     
Beberapa instansi vertikal Direktorat Jenderal Perbendaharaan juga telah melakukan evaluasi mengenai permasalahan penyerapan yang rendah di semester pertama dan tinggi di semester kedua. Hasil evaluasi realisasi anggaran belanja tahun anggaran 2009 Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan Propinsi Maluku yang bekerja sama dengan Kantor Bank Indonesia Maluku mengidentifikasi faktor-faktor tersebut antara lain adalah ketidaksiapan pelaksana anggaran, rendahnya pemahaman terhadap ketentuan pelaksanaan anggaran, keterlambatan penunjukan Pejabat Pengelola Keuangan, kegiatan yang tercantum dalam DIPA tidak sesuai dengan kebutuhan, adanya perubahan satuan harga di lapangan sehingga DIPA perlu direvisi, kurang memahami mekanisme pencairan dana, waktu yang dibutuhkan untuk pengadaan barang dan jasa relatif lama, kehati-hatian dalam melakukan pembuatan komitmen, pembayaran maupun pencairan dana karena kekhawatiran terhadap aparat penegak hukum dan aparat pemeriksaan. Hasil evaluasi Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan Propinsi Sulawesi Tenggara untuk triwulan I tahun anggaran 2011, juga menemukan beberapa permasalahan yang sama seperti ditemukan di Kantor Wilayah (Kanwil) Direktorat Jenderal (Ditjen) Perbendaharaan Propinsi Maluku, namun evaluasi di Kanwil Ditjen Perbendaharaan Propinsi Sulawesi Tenggara lebih menekankan pada permasalahan masih banyak terdapat DIPA tidak dapat langsung digunakan karena proses perencanaan atau penyusunan DIPA belum sesuai dengan kenyataan di lapangan sehingga masih perlu direvisi.
Dari hasil penelitian dan evaluasi tersebut di atas, dapat dirangkum menjadi lima faktor yang mempengaruhi penumpukan penyerapan anggaran pada akhir tahun anggaran, kelima faktor  tersebut adalah perencanaan anggaran, pelaksanaan anggaran, pengadaan barang dan jasa, faktor internal satuan kerja, dan faktor-faktor lain.
1.      Faktor perencanaan anggaran
Perencanaan yang telah dilakukan dalam siklus anggaran merupakan pedoman dalam pelaksanaan APBN, namun dalam pelaksanaan anggaran yang telah direncanakan tersebut, sering mengalami hambatan akibat lemahnya koordinasi antara perencanaan dan pelaksanaan anggaran yang dapat menciptakan potensi penyerapan anggaran yang rendah pada awal tahun dan tinggi pada akhir tahun, misalnya adalah perencanaan pembangunan gedung baru, pada tahap perencanaan  tidak dialokasikan anggaran untuk pembebasan lahan, akibatnya pembangunan gedung belum dapat dilaksanakan sambil menunggu usulan   pembebasan lahannya. Hal-hal lain yang terkait dengan faktor perencanaan ini misalnya adalah perencanaan anggaran satuan kerja terlambat diajukan, dan waktu penyusunannya terbatas. Temuan dari Rahayu dan Siswanto (2010) mengindikasikan masih adanya perencanaan kegiatan/proyek yang kurang baik yang ditandai dengan tidak ada kerangka acuan kerja dan Rincian Anggaran Biaya (RAB) yang mengakibatkan terjadinya ketidaksesuaian antara kebutuhan dan alokasi anggaran pada kegiatan tersebut.
Hipotesis 1:Perencanaan anggaran mempengaruhi penumpukan penyerapan anggaran pada akhir tahun anggaran.
2.      Faktor pelaksanaan anggaran
Pelakasanaan anggaran sering juga dianggap sebagai penyebab menumpuknya penyerapan anggaran pada akhir tahun. Permasalahan yang sering dihadapi dalam pelaksanaan anggaran ini misalnya adalah adanya beberapa program dan kegiatan satuan kerja yang memerlukan revisi DIPA, sehingga program dan kegiatan tersebut tidak dapat langsung dilaksanakan, kegiatan yang tercantum dalam DIPA tidak sesuai dengan kebutuhan atau adanya perubahan satuan harga di lapangan atau mata anggaran pengeluaran (akun) yang tercantum dalam DIPA tidak sesuai dengan bagan akun standar   sehingga memerlukan revisi DIPA, dan satuan kerja tidak disiplin mengikuti jadwal kegiatan dalam DIPA.
Hipotesis 2:Pelaksanaan anggaran mempengaruhi penumpukan penyerapan anggaran pada akhir tahun anggaran.
3.      Faktor pengadaan barang dan jasa
Dalam Peraturan Presiden Nomor 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, pengadaan barang dan jasa merupakan kegiatan untuk memperoleh Barang/Jasa oleh Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah/Institusi lainnya yang prosesnya dimulai dari perencanaan kebutuhan sampai diselesaikannya seluruh kegiatan untuk memperoleh barang/jasa. Beberapa permasalahan yang sering muncul terkait dengan pengadaan barang/jasa antara lain adalah kehati-hatian dalam melakukan pembuatan komitmen, pembayaran maupun pencairan dana karena kekhawatiran terhadap aparat penegak hukum dan aparat pemeriksaan, waktu yang dibutuhkan untuk pengadaan barang dan jasa relatif lama, masalah pengadaan/pembebasan lahan/tanah, tidak seimbangnya risiko pekerjaan dengan imbalan yang diterima oleh pejabat pelaksana, spesifikasi teknis barang atau jasa tidak ada/tidak jelas, dan banyaknya sanggahan dalam proses lelang.
Hipotesis 3:Pengadaan barang dan jasa mempengaruhi penumpukan penyerapan anggaran pada akhir tahun anggaran.
4.      Faktor internal satuan
Faktor internal satuan kerja sering juga dianggap sebagai penyebab penyerapan yang rendah di semester pertama, hal ini terkait dengan kesiapan dari satuan kerja dalam melaksanakan anggarannya. Terlambatnya penunjukan pengelola keuangan di satuan kerja, ketidaksiapan sumber daya manusia untuk melaksanakan kegiatan, rendahnya pemahaman terhadap ketentuan pelaksanaan anggaran,  adalah beberapa contoh faktor internal satuan kerja.
Hipotesis 4:Faktor internal satuan kerja mempengaruhi penumpukan penyerapan anggaran pada akhir tahun anggaran.
5.      Faktor-faktor lain
Faktor-faktor lain ini merupakan faktor-faktor yang tidak tercakup dalam faktor perencanaan, pelaksanaan, pengadaan barang dan jasa, serta faktor internal satuan kerja. Contoh faktor lain misalnya adalah bencana alam (gunung berapi dan gempa bumi), dan tambahan anggaran yang berasal dari APBN-P kepada satuan kerja menjelang tutup tahun akan menambah jumlah pagu dana yang harus direalisasikan.
Hipotesis 5:Ada faktor-faktor lain selain faktor-faktor tersebut di atas yang mempengaruhi penumpukan penyerapan anggaran pada akhir tahun anggaran.



V. Metode Riset
V.1. Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah satuan kerja-satuan kerja dalam wilayah pembayaran KPPN Yogyakarta yang meliputi Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman, dan Kabupaten Bantul, dengan jumlah 331 satuan kerja. Salah satu teknik pengambilan sampel apabila populasi diketahui adalah dengan menggunakan rumus dari Taro Yamane seperti yang dikutip oleh Rakhmat dalam Riduwan ( 2008) yaitu:
Dimana n = jumlah sampel
N = jumlah populasi
d² = presisi yang ditetapkan 
Dari persamaan tersebut, dengan menggunakan tingkat presisi 10% maka akan diperoleh jumlah  sampel:
 
Jadi jumlah sampel dalam penelitian ini minimal adalah 77 satuan kerja.

V.2. Metode sampling
            Metode penyampelan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah probability sampling, yang memungkinkan semua satuan kerja dalam wilayah pembayaran KPPN Yogyakarta menjadi sampel dalam penelitian.

V.3. Variabel Penelitian, Alat Analisis, dan definisi Operasional
V.3.1 Variabel Penelitian
Untuk melakukan analisis dan menguji faktor-faktor yang mempengaruhi penumpukan penyerapan anggaran pada akhir tahun anggaran, akan digunakan model regresi linier berganda. Dengan menggunakan model ini, satu variabel berlaku sebagai variabel dependen yaitu penumpukan penyerapan anggaran pada akhir tahun anggaran (Y), dan lima variabel sebagai variabel independen yang diduga mempengaruhi penumpukan penyerapan anggaran pada akhir tahun anggaran. Model regresi berganda yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah:
Y  = α + β1 X1 + β2 X2 + β3 X3 + β4 X4 + β5 X5
Dimana :
Y = Penumpukan penyerapan anggaran pada akhir tahun anggaran
α = konstanta
X1 = Perencanaan Anggaran
X2 = Pelaksanaan Anggaran
X3 = Pengadaan Barang dan Jasa
X4 = Internal Satuan Kerja
X5 = Faktor lain-lain
β1, β2,...., β5 = koefisien variabel-variabel independen
Variabel-variabel independen tersebut akan dijabarkan ke dalam sub-sub variabel independen yang merupakan pernyataan yang akan dijawab oleh responden. Skala likert 1 sampai dengan 5 akan digunakan untuk mengukur setiap pernyataan tersebut, dukungan sikap dari para responden akan dihubungkan  dengan  kata-kata sebagai berikut:
Sangat Setuju (SS)                  = 5
Setuju (S)                                = 4
Netral (N)                                = 3
Tidak Setuju (TS)                    = 2
Sangat Tidak Setuju (STS)     = 1
V.3.2. Uji Variabel Penelitian
Uji variabel yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah uji t, uji F, dan uji R². Uji variabel ini akan digunakan untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini. Uji t digunakan untuk  menguji koefisien regresi secara individual/ parsial (Gujarati & Porter, 2009). Dengan asumsi data berdistribusi secara normal, akan dihitung masing-masing variabel (t hitung) dibandingkan dengan t tabel. Uji ini untuk menunjukan seberapa jauh pengaruh satu variabel bebas menjelaskan variasi variabel terikat. Dengan menggunakan tingkat signifikansi 5%, dan derajat kebebasan, untuk menentukan t tabel,  (df) = n - k, dimana n merupakan jumlah sampel, dan k merupakan jumlah variabel independen, maka hipotesisnya adalah   
Ho: tidak terdapat pengaruh dari variabel Xi terhadap variabel Yi.
Ha: terdapat pengaruh dari variabel Xi terhadap variabel Yi
Rumusan keputusannya adalah:
Ho ditolak apabila t hitung lebih besar dari t tabel, demikian sebaliknya apabila t tabel lebih besar dari t hitung Ho tidak ditolak.
Sementara uji F akan digunakan untuk menguji koefisien secara bersama-sama (serempak). Dari tabel uji F, terlihat uji ini menggunakan dua derajat kebebasan yaitu derajat kebebasan pembilang yang merupakan jumlah variabel independen, dan derajat kebebasan penyebut yang diperoleh dari n-(k+1), dimana n merupakan jumlah sampel dan k merupakan jumlah variabel independen. Dengan menggunakan tingkat signifikansi 5%, dan kurva berdistribusi normal, hipotesisnya adalah:
 Ho: secara serempak tidak terdapat pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen.
Ha: secara serempak terdapat pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen.
Dengan membandingkan nilai F hitung dan nilai F tabel  Ho ditolak bila F hitung lebih besar dari  F tabel, dan sebaliknya Ho tidak ditolak jika  F hitung lebih kecil dari  F tabel.
Sedangkan Uji R² atau biasa disebut koefisien determinasi menurut Gujarati et.al (2009) mengukur proporsi atau prosentase total variasi variabel dependen yang dijelaskan oleh model regresi. Uji ini untuk menunjukan besarnya variasi variabel-variabel bebas dalam mempengaruhi variabel tidak bebas. Nilai R² berkisar antara 0 sampai dengan 1. Semakin besar nilai R² berarti semakin besar variasi variabel-variabel bebas dapat menjelaskan variasi variabel tidak bebas, sebaliknya semakin kecil nilai R² berarti semakin kecil variasi variabel tidak bebas yang dapat dijelaskan oleh variasi variabel-variabel bebas.

V.3.3 Definisi Operasional Variabel
Dalam melakukan penjabaran terhadap model analisis tersebut di atas, perlu dilakukan operasionalisasi konsep berdasarkan pengertian dari masing-masing variabel.
1.      Variabel dependen penumpukan penyerapan anggaran pada akhir tahun anggaran merupakan penyerapan anggaran yang terjadi pada triwulan keempat tahun anggaran berkenaan dari masing-masing satuan kerja.
Variabel ini merupakan variabel yang diharapkan akan terpengaruh oleh masing-masing variabel independen, sehingga pengukuran variabel ini didasarkan pada pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen.
2.      Variabel independen perencanaan anggaran adalah perencanaan yang dilakukan oleh satuan kerja sebelum tahun anggaran berikutnya,  yang dilaksanakan pada tahun anggaran sesudah perencanaan tersebut.
Pengukuran terhadap variabel ini dilakukan dengan menggunakan beberapa pernyataan sebagai berikut:
1.      Waktu yang diperlukan untuk penyusunan perencanaan anggaran terbatas.
2.      Proses perencanaan yang dilakukan oleh satuan kerja tidak mengikuti standar biaya yang telah ditetapkan.
3.      Adanya program dan kegiatan yang telah direncanakan di satuan kerja  tetapi tidak dapat dilaksanakan.
4.      Perencanaan anggaran satuan kerja mengalami keterlambatan.
5.      Satuan kerja mengalami kendala teknis misalnya komputer rusak, aplikasi tidak dapat dijalankan dalam penyusunan anggaran.
6.      Satuan kerja tidak mempunyai kerangka acuan kerja dan rencana anggaran biaya, sehingga terjadi ketidaksesuaian antara kebutuhan dan alokasi anggaran.
3.      Variabel independen pelaksanaan anggaran adalah pelaksanaan kegiatan yang dilakukan oleh satuan kerja dengan menggunakan dana APBN, yang dilaksanakan pada tahun berkenaan.
Variabel independen pelaksanaan anggaran diukur dengan beberapa pernyataan sebagai berikut:
1.      Satuan kerja tidak disiplin mengikuti jadwal kegiatan yang tercantum dalam DIPA.
2.      Beberapa program dan kegiatan satuan kerja memerlukan revisi DIPA, sehingga program dan kegiatan tidak dapat langsung dilaksanakan.
3.      Petunjuk Operasional Kegiatan (POK) terlambat ditetapkan dan  POK berbeda dengan DIPA.
4.      Petunjuk teknis kegiatan fisik/non fisik belum diterima dari kementerian/lembaga.
5.      Peraturan tentang mekanisme pencairan dana APBN khususnya dana yang bersumber dari bantuan luar negeri tidak jelas.
6.      Pimpinan satuan kerja tidak mendukung pelaksanaan kegiatan.
7.      Surat Perintah Membayar (SPM) sering ditolak KPPN karena tidak memenuhi persyaratan.
4.      Variabel independen pengadaan barang dan jasa adalah kegiatan yang dilakukan oleh satuan kerja untuk memperoleh barang dan jasa pada tahun berjalan dengan menggunakan dana dari APBN.
Variabel ini diukur dari beberapa pernyataan sebagai berikut:
1.      Satuan kerja kurang memahami mekanisme pengadaan barang/jasa pemerintah.
2.      Pejabat pengadaan barang/jasa yang bersertifikat jumlahnya terbatas.
3.      Pejabat pengadaan barang/jasa dan pengelola keuangan satuan kerja terlalu berhati-hati dalam melakukan pembuatan komitmen, pembayaran, maupun pencairan dana.
4.      Adanya ketidakseimbangan antara risiko pekerjaan dengan imbalan yang diterima oleh pejabat pengadaan barang/jasa.
5.      Terjadi banyak sanggahan dalam proses lelang.
6.      Spesifikasi teknis barang/jasa sesuai dengan yang dipersyaratkan tidak  tersedia.
7.      Pihak ketiga menunda penagihan pembayaran terhadap barang dan jasa yang sedang/telah diselesaikan.
5.      Variabel independen internal satuan kerja merupakan kuasa pengguna anggaran dari kementerian/lembaga yang melaksanakan program dan kegiatan dari kementerian/lembaga dengan menggunakan dana dari APBN. Pengukuran terhadap variabel ini dilakukan dengan menggunakan beberapa pernyataan sebagai berikut:
1.      Satuan kerja mengalami keterlambatan penunjukan pengelola kegiatan dan pengelola keuangan.
2.      Sumber daya manusia di satuan kerja yang memahami pengelolaan keuangan negara jumlahnya terbatas.
3.      Satuan kerja kurang memahami mekanisme pencairan dana APBN melalui DIPA.
4.      Pengelola kegiatan dan pengelola keuangan satuan kerja sering mengalami mutasi/pindah tugas ke tempat lain.
5.       Satuan kerja terlalu berhati-hati dalam melaksanakan pengelolaan anggaran.
6.      Satuan kerja tidak siap untuk melaksanakan APBN.
6.      Variabel independen lain-lain adalah faktor-faktor lain dari kegiatan satuan kerja yang tidak dapat tertampung dalam variabel independen perencanaan anggaran, pelaksanaan anggaran,  pengadaan barang dan jasa, dan internal satuan kerja. Variabel ini akan diukur dengan beberapa pernyataan berikut ini antara lain:
1.      Satuan kerja menerima tambahan pagu dana yang berasal dari APBN-Perubahan pada triwulan keempat tahun anggaran berkenaan.
2.      Bencana alam yang terjadi misalnya gempa bumi, dan gunung meletus dapat menyebabkan pencairan dana APBN terhambat.       

Tidak ada komentar: