Kamis, 01 November 2018

Monetary and Fiscal Policies


Monetary and Fiscal Policies

Terpilihnya Kaltim sebagai kawasan berbasis pertanian dan oleochemical, juga sebagai kawasan berbasis minyak dan gas (migas), mendapat dukungan penuh Menteri Perindustrian MS Hidayat. Hanya saja, janji Hidayat itu masih berupa kebijakan yang belum diketahui kapan dikeluarkan. Terpilihnya Kaltim menjadi kawasan berbasis pertanian dan oleochemical, juga sebagai kawasan berbasis minyak dan gas (migas), murni karena penilaian objektif pemerintah pusat.
PT Pupuk Kalimantan Timur (PKT) menyatakan bila perseroan sudah mendapatkan izin ekspor urea dari Kementerian Perdagangan.pada tahun 2010. Pupuk urea yang akan diekspor sebanyak 300 ribu ton. Dengan diberikan izin ekspor pupuk, akan mengurangi penumpukan di gudang pupuk BUMN. Stok pupuk urea PKT saat ini mencapai 550 ribu ton. Sementara itu, urea tahun 2010 sebesar tiga juta ton urea, sedangkan produksi urea pada enam bulan pertama tahun tahun 2010 mencapai 1,461 juta ton, amoniak 888.865 ton, dan NPK 59.716 ton. Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mendesak Kementerian Pertanian untuk segera melakukan perhitungan dan memberikan rekomendasi melakukan ekspor pupuk. Pasalnya, jika keran ekspor tidak segera dibuka, maka potensi kerugian yang ditanggung bisa mencapai Rp3 triliun
         Kebijakan yang dimiliki pemerintah Indonesia dalam rangka pengolahan pupuk adalah kebijakan sektoral. Kebijakan sektoral ini menitik beratkan pada satu dari sembilan sektor perekonomian di Indonesia. Misalnya, di sektor pertanian pemerintah memberikan subsidi pupuk kepada para petani. Subsidi ini diberikan agar harga pupuk murah, dengan demikian pupuk akan segera dikonsumsi oleh para petani. Contoh lain adalah kebijakan di sektor industri. Di sektor ini pemerintah membuat kebijakan kawasan ekonomi khusus. Kawasan ekonomi khusus adalah kawasan yang khusus digunakan untuk pendirian industri. Misalnya, kawasan industri Pupuk Kaltim, kawasan ini mempunyai hak khusus, misalnya diberikan kekuatan subsidi untuk penjualan pupuk di beberapa daerah, sehingga hal ini akan mendorong produksi di daerah yang ditunjuk oleh pemerintah.
         Kita bisa perhatikan peningkatan kinerja BUMN selama lima tahun terakhir sejak akhir tahun 2004 hingga akhir tahun 2008 sebagaimana ditunjukkan dengan berbagai indikator umum yang ditunjukkan dalam tabel Kementerian negara BUMN) seperti: (a) kontribusi dividen kepada APBN meningkat 196% menjadi Rp. 29,08 triliun di tahun 2008 dari hanya Rp. 9,8 triliun di tahun 2004; (b) total laba bersih meningkat 77% menjadi Rp. 78 triliun di tahun 2008 dari Rp. 44 triliun; (c) total asset meningkat 38% menjadi Rp. 1.845 triliun di tahun 2008 dari Rp. 1.247 triliun di tahun 2004. (Sambutan Tertulis Menteri Negara BUMN dalam Rangka HUT RI ke-64).
         Lima pabrik pupuk yang dimiliki negara (PT Pupuk Iskandar Muda, PT Pupuk Sriwijaya, PT Pupuk Kaltim, PT Pupuk Kujang dan PT Pupuk Petrokimia) saat ini mengalami kendala kelancaran pasokan gas, sebagai bahan baku utama industri pupuk. hal ini menimbulkan masalah besar lainnya, adalah semakin langka dan menghilangnya pupuk di beberapa daerah.  Akibatnya terjadi kesenjangan (gap) antara jumlah kebutuhan dan pasokan pupuk.  Persoalan kelangkaan pupuk masih berkait dengan faktor disparitas harga eceran tertinggi (HET) dan harga aktual di lapangan, ketidaktepatan subsidi, serta persoalan internal dalam industri pupuk seperti efisiensi, penentuan harga pokok penjualan, dan budaya perusahaan perlu juga diperhatikan.
         Produksi pupuk nasional pada tahun 2005 tercatat sebesar 5,9 juta ton dan diperkirakan menurun pada tahun 2006 menjadi 5,5 juta ton, terutama karena persoalan kelancaran pasokan gas, yang telah melumpuhkan pabrik pupuk PT Asean Aceh Fertilizer (AAF) (Bustanul Arifin, opsi kelangkaan Pupuk).   Produksi tercatat 7,87 juta ton pupuk Urea. Kapasitas produksi pupuk non-Urea 600 ribu ton ZA, 900 ribu ton  SP36 dan 300 ribu ton Phonska.  Realisasi penjualan pupuk pada tahun 2005 tercatat 5,3 juta ton, dengan pangsa terbesar masih ditempati sektor tanaman pangan yang mencapai 4 juta ton, dan sisanya untuk sektor perkebunan, perikanan, industri dan lain-lain. Pada tahun 2005, Indonesia juga telah mengekspor pupuk urea sekitar 800 ribu ton.  Kebijakan resmi pemerintah mengenai pupuk ini memang jelas, yakni subsidi pada harga pupuk, hal ini ditujukan untuk pemenuhan kebutuhan petani dalam pengolahan sektor pertanian di dalam negeri.   
         Kebijakan pupuk di sektor pertanian ditetapkan melalui Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 505/Kpts/SR.130/12/2005) tanggal 26 Desember 2005.  Kebutuhan pupuk bersubsidi pada tahun 2006 adalah 6 juta ton, dengan rincian sebagai berikut: Urea 4,3 juta ton, Posphat (SP-36) 700 ribu ton, pupuk ZA 600 ribu ton dan pupuk majemuk Phonska (NPK) 400 ribu ton.  Sementara itu produksi pupuk tahun 2006 yang diumumkan oleh perusahaan holding PT Pupuk Sriwijaya adalah pupuk Urea 5,6 juta ton, Posohat (SP-36) 693 ribu ton, pupuk ZA 724 ribu ton, dan pupuk majemuk Phonska (NPK) 400 ribu ton.  Dari dua seri data di atas, apabila produksi dan distribusi pupuk dilaksanakan sesuai dengan aturan yang dijalankan dan berpegang pada aturan, dengan penindakan yang tegas terhadap mafia pupuk, seharusnya tidak terjadi kelangkaan pupuk di Indonesia.  
         Pelaksanaan distribusi pupuk diatur oleh kebijakan operasional Departemen Perdagangan, dengan keluarnya Surat Keputusan (SK) Nomor 03/M-DAG/PER/2/2005 tentang pengadaan dan peyaluran pupuk bersubsidi mengganti aturan Kepmenperindag No 356/2004 dan Kepmenperindag No. 70/2003.  Menteri Pertanian juga mengeluarkan kebijakan melalui Permentan No 04/Permentan/SR.130/2/2205 tentang harga eceran tertinggi (HET) pupuk bersubsidi yang berlaku tahun 2006 ini, yaitu Rp 1.050 per kilogram untuk Urea, Rp 1.400/kg untuk SP-36, dan Rp 950/kg untuk ZA.  Kebijakan operasional yang dikeluarkan dan dilaksanakan oleh dua instansi berbeda (Kementerian Pertanian dan Kementerian perdagangan) menimbulkan acuan yang membingungkan bagi pelaksana peraturan ditingkat pelaksanaan kebijakan.     
         Suatu kebijakan ekonomi yang menggabungkan prinsip-prinsip mekanisme pasar dan sistem ekonomi sentralistik akan menimbulkan bias-bias pada implementasi kebijakan. Solusi yang seharusnya diambil: mengambil dan menggunakan salah satu prinsip saja atau memperkuat Infrasruktur lembaga apabila dua sistem dijalankan.
  Apabila harga pupuk diserahkan pada mekanisme pasar, harga eceran di lapangan yang terjadi adalah harga pasar. Hal ini akan berkonsekuensi pada ikutnya harga pupuk local dengan pergerakan harga pupuk internasional. Belum lagi harga gas sebagai bahan bakar utama pembuatan pupuk. Ketika harga gas juga mengikuti harga pasar, bias dipastikan harga pupuk begitu melambung harganya. Produsen pupuk di dalam negeri tidak perlu pusing memikirkan HET, hal ini akan memudahkan kinerja perusahaan. Perusahaan tidak perlu memikirkan mengenai HET yang bias jadi menjadi begitu rendah. Produsen akan pupuk memiliki keleluasaan yang luas dalam memilih target market yang ditentukan. Sasaran penjualan pasar ekspor dapat dilakukan tanpa memandang kesediaan pupuk didalam negeri, harga sudah sama.  
         Berdasarkan mekanisme system pasar, subsidi dihilangkan karena menghadapi persaingan dimana supply dan demand benar-benar dimaninkan Kebijakan subsidi, menjadi tidak berlaku pada system pasar tersebut. Produsen pupuk juga akan otomatis menaikkan harga pupuknya apabila ada bahan pedukung yang mengalami kenaikan harga. Kelangkaan factor pendukung harus segera dicari pengganti darimanapun dengan harga berapapun. Seluruh energi dalam aliran barang dan jasa ditentukan oleh sistem harga (dan pendapatan masyarakat) yang menjadi mainstream utama mekanisme pasar. Namun perlu dicatat bahwa Amerika Serikatpun dan Jepangpun melakukan subsidi pada sector pertanian dalam upaya melindungi petanninya.   
         Apabila pemerintah melakukan system subsidi, pemerintah mengatur ketat penyaluran pupuk, sampai ke seluruh penjuru tanah air.  Apabila subsidi ini tetap dilakukan, baik berupa subsidi harga maupun subsidi gas untuk produsen pupuk.  Pemerintah benar-benar mengatur proses distribusi pupuk, mulai dari pabrik, ke gudang di propinsi, gudang distributor di kabupaten, pengecer di kecamatan atau di tingkat desa, sampai ke petani konsumen.
         Sistem distribusi pupuk yang sentralistik mulai tidak dilakukan secara kaku sejak awal 1990-an, sejalan dengan semakin maraknya penyelewengan distribusi pupuk bersubsidi. Usaha dunia agribisnis berskala besar yang sebenarnya tidak berhak atas pupuk bersubsidi menjadi pemakai subsidi yang lumayan besar. Biaya sosial dan biaya kebijakan yang harus ditanggung oleh Anggaran Penerimaan Belanja Negara (APBN) karena sistem pengawasan yang semula efektifit menjadi bumerang di negeri sendiri setelah penyalahgunaan kekuasaan semakin menjadi norma kehidupan birokrasi pada waktu itu. Pada medio  1998 ketika krisis ekonomi di Indonesia terjadi, Indonesia diharuskan oleh Dana Moneter Internasional (IMF) untuk mencabut subsidi pupuk. IMF menghendaki harga pupuk ditentukan oleh mekanisme pasar.  Indonesia kembali memberikan subsidi pupuk pada masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri.
         Aplikasi paling sederhana dalam bidang birokrasi adalah bagaimana sistem pelaporan dan perencanaan kebutuhan pupuk di tingkat petani yang umum ditentukan melalui mekanisme rencana definitif kebutuhan kelompok (RDKK) dapat dipantau dan diketahui oleh aparat pemerintah di tingkat kabupaten/kota. Demikian seterusnya ke atas, sampai tingkat propinsi dan tingkat pusat.
         Pada medio tahun 1990an, berita kelangkaan pupuk tidak begitu terkspos ke media karena penyuluh pertanian lapangan (PPL) dan koperasi unit desa (KUD) memiliki  peran besar mulai dari sistem perencanaan sampai pada distribusi pupuk.  Ujung tombak di lapangan ini sekaligus melaksanakan program intensifikasi pertanian, yang memang menjadi strategi nasional peningkatan produksi pangan. Keberhasilan program intensifikasi dan mekanisme distribusi pupuk kepada petani juga merupakan keberhasilan seorang  PPL dalam melaksanakan tugasnya. Sistem reward and punishment yang berlangsung sangat baik tersebut menjadi insentif tersendiri dalam kinerja sistem distribusi pupuk pada masa lalu. 

Sumber:
Jum'at, 08 Januari 2010 , 09:29:00

Kemendag Izinkan Pupuk Kaltim Ekspor Urea
Sabtu, 31 Juli 2010 07:36 wib


Rabu, 25 Mei 2011


Sambutan Tertulis Menteri Negara BUMN dalam Rangka HUT RI ke-64

Opsi Solusi Kelangkaan Pupuk
Bustanul Arifin

***Prof. Dr. Bustanul Arifin, Guru Besar Ilmu Ekonomi Pertanian



Tidak ada komentar: