Senin, 02 Januari 2017

Syaikh Attar dari Persia



Syaikh Attar dari Persia
Faridudin  Abu hamid Muhammad bin Ibrahim, bias dikenal dengan nama Attar seorang filusuf yang dilahirkan di Nisyapur, Iran. DR. Abdul Hadi W.M., seorang sastrawan sufi dari Sumenep menyebutkan bahwa Attar lahir pada tahun 1120 M dan meninggal 1230 M.
Attar mulai membuka gerbang sufi ketika suatu ketika bertemu dengan seorang darwis di kedainya. Darwis dengan pakain lusuh ini sesaat sebelum akhir hayatnya terus saja mengingatkan Attar bahwa kehidupan dunia adalah fana dan penuh tipu daya. Toko minyak wangi dan kekayaan hanyalah bagian dari dunia yang fana. “Sanggupkah engkau meninggalkan itu semua, untuk mendapatkan hal yang lebih berharga dari sekedar kenikmatan dunia?”  Sang Darwispun kemudian meninggal dunia dihadapan Attar.
Setelah kejadian tersebut, Attar meninggalkan Nisyapur dan meninggalkan toko dan hartanya kepada orang tuanya. Perjalanan mencari ilmu agamapun dimulai. Tercata beberapa tokoh sufi pernah menjadi gurunya, seperti Syaikh Ruknuddin Akkah dari madzhab Kubrawiyyah, Syaikh Bukn-ud-din, dan Abu Sa’id bin Abil Khair. Di usianya yang kurang lebih tiga puluh lima. Attar kembali ke Nisyapur.
Attar merupakan seorang sufi yang sering menulis disamping mengajarkan sufisme. Manthiq at-Thair (Musyawarah Burung) dan Thadkira al-Awliya (Anekdote para Wali) adalah dua karyanya yang sangat terkenal di tanah persia.
Dalam Manthiq ath-Thayr, Attar mengajak para pembaca mengamati sekawanan burung yang berkelana jauh mencari Raja Agung yang mereka rindukan. Sekawanan burung tersebut melakukan perjalanan  untuk menemukan keindahan dan arti hidup yang sesungguhnya. Perjalanan sekawanan burung yang dipandu hudhud melalui berbagai  halangan dan rintangan. Bertahun-tahun perjalanan suci itu ditempuh untuk dapat menemui sang Raja Agung yang memiliki bulu-bulu berkekuatan magis, Simurgh, raja dari segala burung di dunia. Ribuan burung yang menyertai Hudhud, Hanya tiga puluh saja yang berhasil menemui Simurgh di Istananya. Mereka tiba di Gerbang Istana itu dan disambut salah satu abdi sang Maha Raja. Tidak ada siapa-siapa di Istana itu, kecuali mereka sendiri. Sadarlah burung tersebut bahwa kebertuhanan ada dalam diriyang membawa.
Simbol jiwa pada burung merupakan tanda bahwa manusia pada dasarnya menginginkan lepas untuk terikat dari asal usulnya. Jiwa yang ingin lepas tersebuttidak terungkapkan karena ada titik lemah pada diri manusia. Jiwa yang lemah itu disimbolkan oleh Attar dalam karakter burung seperti Bulbul, Nuri, Merak, Itik, Ayam hutan, Humay, Rajawali, Bangau, Burung Hantu, dan Burung Gereja.
Bulbul. Memiliki suara yang sangat indah. Keindahan suaranya membuatnya lupa akan tujuan semula. Manusia dengan tipe Bulbul memiliki kecenderungan untuk mencintai dirinya sendiri. Karakter memiliki orientasi hidup terhadap pasangannya, kuat oleh cinta.
Nuri. Sangat mencintai dirinya sendiri, keindahan yang melebihinya tidak akan diperhatikannya. Dirinyalah yang indah.
Merak. Lebih parah dibandingkan Nuri dan Bulbul.keindahan pada diri sendiri dan kekuatannya bersolek memunculkan karakter sombong. Sangat sibuk untuk keindahan diri dan memamerkannya.
Itik. Manusia tipe ini merupakan manusia yang merasa paling suci di antara yang lain. Klaim terhadap kesucian pada diri seseorang bukan berarti mewujudkan jiwa suci pada orang itu.
Ayam Hutan. Manusia tipe Ayam Hutan mudah sekali lupa diri karena harta dunia. Tipe ayam hutan senang sekali memamerkan perhiasan-perhiasan permata dan menyombongkan diri pada sesuatu yang sebenarnya tidak berarti.
Burung Humay. Terlena oleh kekuasaan dan pengaruh. Di masa Dinasti Abbasiyah, Burung Humay  menyimbulkan para wazir raja yang memiliki wewenang lebih dari raja.
Rajawali. Merupakan karakter dalam lingkar kekuasaaan. burung rajawali  menyimbolkan orang-orang yang berperan disekitar raja atau penguasa. Burung rajawali mewakili sosok jenderal atau pemimpin perang yang saling berebut pengaruhnya. Kekuasaan benar-benar diatas segala-galanya.
Bangau. Burung bangau menjadi simbol para petualang pecinta keindahan alam dan tempat wisata. Burung Bangau selalu ingin melihat melihat tempat-tempat indah di dunia.menyimpan keindahan alam didalam memorinya sebagai suatu kenangan terindah. Bangau lebih memilih laut, yang hanya dapat dilihatnya, tanpa bisa dirasakan dan tanpa memberikannya manfaat selain keindahan semu yang ada.
Burung Hantu. Burung hantu dikenal karena kemampuannya yang dapat melihat benda-benda dalam kegelapan. Burung Hantu  teman para pencari harta karun, penunjuk jalan bagi mereka untuk menemukan emas dan perak disuatu tempat. Burung ini melambangkan para pencari harta karun itu sendiri, yang selalu dimabuk harta, dan menghabiskan waktunya hanya untuk emas yang mereka cari.
Burung Gereja. Tipe burung ini diasosiasikan hidup dengan keluhan dalam kehidupannya. Semua terlihat kurang di matanya.
Dari burung-burung ini dapat dilihat bahwa kecenderungan manusia memang ada pada dunia. Kenikmatan, keindahan, janji yang diberikan dunia memang tampak nyata bagi orang-orang yang mengandalkan akal dan indera mereka. Melalui Hudhud, mengingatkan pada kita bahwa segala macam godaan yang ada ini pada dasarnya dapat dilalui manusia. Tergantung pada diri mereka sendiri. Ketika mereka membiarkan tubuh mereka dengan segala keterbatasan dan nafsu-nafsu akan dunia menguasai, maka yang didapatkanpun juga keindahan dan kenikmatan dunia. Yang dapat dikategorikan menjadi tiga bagian besar; Pasangan, harta, dan kuasa. Tiga manifestasi keindahan dunia ini yang selalu saja menggoda manusia untuk meraih keindahan cahaya Sang Agung, raja segala raja. Untuk dapat menjangkau keindahan cahaya sang Agung itu, setiap manusia harus berusaha membuka mata batinnya. Hanya dengan mata batinlah jalan menuju sang Agung dapat tersinari dan dilewati.
Thadkira al-Awliya merupakan karya Attar perihal perkataan  para sufi agar pembaca mengetahui seluk beluk dan batasan-batasan tasawuf berdasarkan apa yang pernah dilakukan para sufi sebelumnya.
Salah satu keindahan dan keunggulan karya-karya Attar ini, adalah keragaman akan kisah di dalamnya, menjadikan karyanya selalu melegenda dan menjadi rujukan. Sebagai seorang sufi yang suka akan petualangan , ia kenyang makan asam dan garam kehidupan. Attar melihat dan menjalani berbagai macam peristiwa.
Daftar Pustaka
Abdul Hadi W.M.,, Tasawuf Yang Tertindas; Kajian Hermneutik Terhadap Karya-karya Hamzah Fansuri, Jakarta: Paramadina 2001
——————–,“Cinta Ilahi dalam Tasawuf Menurut Faridudin Attar Melalui Manthiq at-Thair”, diktat kuliah Sejarah Seni dan Sastra Islam, ICAS-Paramadina Jakarta
———————, “Mantiq al-Tayr, Alegori Sufi Faridudinal Attar”, diktat kuliah Sejarah Seni dan Sastra Islam, ICAS-Paramadina Jakarta
Faridudin Attar, Perjalanan Menuju Tuhan; Manthiq at-Thair, terj. Surgana, Yogyakarta: Hijrah, 2003
www.nurulkhatami.com, Majelis Kajian Tasawuf

Tidak ada komentar: