Selasa, 03 Januari 2017

Ketika Bengkulu menyapa



Ketika Bengkulu menyapa
Ratu Intan ataupun Top adalah temanku di akhir pekan untuk menyusuri Bengkulu, Curup, Lubuk Linggau, Sekayu, dan Palembang.  Nyiur jalanan Provinsi ini merupakan jalanan yang aku lewati dengan riangnya
Awal Januri 2008, Kamis siang, saya menginjakkan kaki pertama kali di kota Bengkulu. Bandara Fatmawati merupakan bandara provinsi Kota Bengkulu. Arif sudah menunggu di teras bandara dengan tatanan model “rasta”nya. Berkendara vespa biru px nya, kami menyusuri jalan menuju kantor kami di km 7,5. Saat itulah aku baru merasakan sentuhan melayu. Dimana-mana restoran padang, eh maaf restoran berbentuk restoran padang, menghiasi tiap sudut kota.
Bengkulu memang memiliki latar belakang yang panjang. Bengkulu pernah dijajah Inggris, Belanda, dan Jepang. Benteng pinggir pantai saat ini merupakan penanda kegagahan kota Bengkulu. Benteng Marlborough yang kokoh merupakahn benteng buatan Inggris. Tidak jauh dari benteng berdiri perkampungan china atau lebih dikenal dengan pecinan. Pecinan di kota Bengkulu ini berjajar toko-toko dengan ornament yang sudah lama. Saya terkesan berjalan diantara kota pecinan jaman dulu. Masjid buatan mantan presiden RI pertama menghiasi kota ini. Masjid yang terletak ditengah jalan dan berdiri megah dengan ornament lama. Masjid Sukarno, saya sering bilang menjulang anggun, meskipun tidak ada kesan mewahnya.
Tak jauh dari masjid bikinan  Soekarno, rumah buangan Soekarno masih berdiri dengan cantiknya. Saya senang menyambangi rumah ini, cukup dengan uang lima ribu rupiah saat itu, saya bisa memuaskan diri menikmati rumah tua seharian sembari bermimpi memiliki rumah berarsitektur “jadul”. Mata saya sangat hijau, tak jemu-jemu memandang “pit onthel”nya. Sepeda itu menurutku sangat cantik. Poto Soekarno yang membonceng fatmawati membuatku sangat menginginkan sepeda onthel itu. Terlalu naïf sih, membayangkan naik sepeda onthel bersama istriku, belum tentu juga istriku mau naik sepeda onthel, hahahaha. Beranjak ke rak buku buku tua (saya yakin buku tersebut pasti sudah diangkut pak Karno sebagian), dengan kursi tamu tua disampingnya. Indah membaca buku disertai indahnya cuaca dan derik kursi tua. Kamar Soekarno merupakan suatu bilik kamar tua dengan ciri khas kelambu. Kamar dengan jendela besar. Tidak perlu menutup jendela, tutup saja kelambunya. Tidur pulaslah kita.
Beda satu blok dengan rumah Soekarno, berdiri pula rumah ibu fatmawati. Mungkin rumah ini sudah replica, rumah berbentuk rumah khas Bengkulu ini memiliki daya tarik tersendiri. Inilah awal mula saya menyukai bentuk rumah adat model sumatera. Rumah dengan bilik-bilik sederhana berbahan dasar kayu. Nuansa adem terasa ketika kita memasuki rumah bu fatmawati. Sayangnya rumah tersebut  kurang terawat, tidak seperti rumah soekarno.
Sepanjang pantai panjang merupakan pesona tersendiri bagi Bengkulu. Pantai yang memiliki potensi tsunami ini tetap ramai dikunjungi setiap sabtu sore dan minggu pagi. Petunjuk jalan evakuasi tsunami menjadi gambaran umum dipantai tersebut. Angin kencang dan rentetan penjual kelapa muda menjadi gambaran umum yang sulit untuk dilupakan.
Makam sentot, menjadi pesona lain dari Bengkulu. Makam yang berada tak jauh dari Masjidnya Soekarno ini memiliki akar kuat perkembangan islam di kota Bengkulu. Bengkulu dalam budaya islam mengenal tarekat tarekat. Muhammadiyah pun memiliki peran besar di Bengkulu. Masjid diatas kompleks ruko S. Parman ini merupakan konsep masjid pertama di Indonesia yang meletakkan tanah wakaf sebagai usaha. Pergerakan ini membuat lahan masjid juga menghasilkan uang untuk kemajuan umat.   
Mengakhiri hari memang menyenangkan dengan berduduk lama-lama di pantai tapak paderi. Pantai yang berada disepanjang pantai panjang ini memang ombaknya lebih ramah, berbagai ajang permainan untuk anak-anakpun tersaji. Untuk keluarga, menunggu maghrib sembari menyeruput teh panas dan jagung bakar serasa menikmati dunia yang belum beranjak tidur.

Tidak ada komentar: