Jumat, 21 Agustus 2015

Ibadah Eksklusif dan Inklusif



Ibadah Eksklusif dan Inklusif
kata Leo Tolstoy.Kebahagiaan tidak terletak pada kesenangan diri sendiri.Kebahagiaan terletak pada kebersamaan.
Majalah Newsweek edisi 9 Juli 2001 mencatat, Indonesia dengan17.000 pulau ini menyimpan 1.000 titik api yang sewaktu-waktu siap menyala.Bila tidak dikelola, dengan mudah beralih menjadi bentuk kekerasan yang memakan korban. Al Ghazali dan Sayid Quthb pernah berkata, kita rebut tentang bid'ah dalam shalat dan haji, tetapi dengan tenang melakukan bid'ah dalam urusan ekonomi dan politik. Kita puasa tetapi dengan tenang melakukan korupsi. Juga kekerasan, pencurian, dan penindasan.  Jalaluddin Rakhmat, dalam Islam Alternatif , menulis betapa banyak umat Islam disibukkan dengan urusan ibadah mahdhah (ritual), tetapi mengabaikan kemiskinan, kebodohan, penyakit, kelaparan, kesengsaraan, dan kesulitanhidup yang diderita saudara-saudara mereka.
Emha Ainun Nadjib pernah ditanya "Cak Nun, misalnya pada waktu  bersamaan tiba-tiba sampeyan menghadapi tiga pilihan, yang harus dipilih salah satu:  pergi kemasjid untuk shalat Jumat, mengantar pacar berenang, atau mengantar tukang becak miskin ke rumah sakit akibat tabrak lari, mana yang sampeyan pilih?Cak Nun menjawab, "Ya nolong orang kecelakaan.""Tapi sampeyan kan dosa karena tidak sembahyang?"."Ah, mosok Gusti Allah ndeso gitu," jawab Cak Nun."Kalau saya memilih shalat Jumat, itu namanya mau masuk surga tidak ngajak-ngajak," katanya lagi. "Dan lagi belum tentu Tuhan memasukkan kesurga orang yang memperlakukan sembahyang sebagai credit point pribadi."Bagi kita yang menjumpai orang yang saat itu juga harus ditolong,Tuhan tidak berada di mesjid, melainkan pada diri orang yang kecelakaan itu. Tuhan mengidentifikasikan dirinya pada sejumlah orang.Kata Tuhan: kalau engkau menolong orang sakit, Akulah yang sakit itu. Kalau engkau menegur orang yang kesepian, Akulah yang kesepian itu. Kalau engkau memberi makan orang kelaparan, Akulah yang kelaparan itu, "Kira-kira Tuhan suka yang mana daritiga orang ini. Pertama, orang yang shalat lima waktu, membaca Al-Quran, membangun masjid, tapi korupsi uang negara. Kedua, orang yang tiap hari berdakwah, shalat, hafal Al-Quran, menganjurkan hidup sederhana, tapi dia sendiri kaya-raya, pelit,  dan mengobarkan semangat permusuhan. Ketiga, orang yang tidak shalat, tidak membaca Al-Quran, tapi suka beramal, tidak korupsi, dan penuh kasih sayang?.” "Kalau saya memilih orang yang ketiga.Kalau korupsi uang negara, itu namanya membangun neraka,bukan membangun masjid. Kalau korupsi uang rakyat,itu namanya bukan membaca al-quran, tapi menginjak-injaknya.Kalau korupsi uang rakyat, itu namanya tidak sembahyang,tapi menginjak Tuhan. Sedang orang yang suka beramal,tidak korupsi, dan penuh kasih sayang, itulah orang yang sesungguhnya sembahyang dan membaca Al-Quran. Kriteria kesalehan seseorang tidak hanya diukur lewat shalatnya. Standar kesalehan seseorang tidak melulu dilihat dari banyaknya dia hadir di kebaktian atau misa. Tolok ukur kesalehan hakikatnya adalah output sosialnya: kasih sayang sosial, sikap demokratis, cinta kasih, kemesraan dengan orang lain, memberi, membantu sesama. Idealnya, orang beragama itu mesti shalat, misa, atau ikut kebaktian, tetapi juga tidak korupsi dan memiliki perilaku yang santun dan berkasih sayang. Agama adalah akhlak. Agama adalah perilaku. Agama adalah sikap.Semua agama tentu mengajarkan kesantunan, belas kasih, dan cinta kasih sesama. Bila kita cuma puasa, shalat, baca Al-Quran, pergi kebaktian, misa,datang ke pura, menurut saya, kita belum layak disebut orang yang beragama.Tetapi, bila saat bersamaan kita tidak mencuri uang negara, meyantuni fakir miskin, memberi makan anak-anak terlantar, hidup bersih, maka itulah orang beragama. Ukuran keberagamaan seseorang sesungguhnya bukan dari kesalehan personalnya, melainkan diukur dari kesalehan sosialnya. Bukan kesalehan pribadi, tapi kesalehan sosial. Orang beragama adalah orang yang bisa menggembirakan tetangganya. Orang beragama ialah orang yang menghormati orang lain, meski beda agama. Orang yang punya solidaritas dan keprihatinan sosial pada kaum mustadh'afin (kaum tertindas).Juga tidak korupsi dan tidak mengambil yang bukan haknya.Karena itu, orang beragama mestinya memunculkan sikap dan jiwa social tinggi. Bukan orang-orang yang meratakan dahinya ke lantai masjid, sementara beberapa meter darinya, orang-orang miskin meronta kelaparan.
Radikal apa yang diungkapkan Cak Nun. Beliau bermain –main dengan filosofi Islam Kirinya Hasan Hanafi.  Pola sosial dalam kehidupan bersama menjadi basis dalam beragama. Ketika agama dipisahkan menjadi hinayana dan Mahayana atau eksklusif dan inklusif, pengandaian itu menajdi seakan jamak. Dilemma untuk bersama-sama atau sendiri-sendiri berada pada titik yang berseberangan.  Jidat hitam yang belum tentu bersurga menjadi telaahan yang menarik  dan hitamnya badan akibat jauhnya dengan wudhu menjadikan sorga dalam rengkuhan. Suatu titik cermin yang mmenggemaskan,. Analogi pemikiran dalam bersosial dengan berdasarkan pada Allah menjadikan diri bersama dan bersanding dengan makhluqNya tanpa kasta dan cemoohan. Hal ini membuat kebersaamaan , ujung-ujungnya kebersamaan ini bisa menggiring kepada kebaikan bersama.
Suatu ketika Nabi Muhammad SAW mendengar berita perihal seorang yang shalat di malam hari dan puasa di siang hari, tetapi menyakiti tetangganya dengan lisannya. Nabi Muhammad SAW menjawab singkat, "Ia di neraka."


Tidak ada komentar: