Muhammadiyah Berdiri
Rumusan pendirian Muhammadiyah ini merupakan
pernyataan diri dalam upaya mengembangkan gerakan di tengah tantangan jaman,
gerakan Muhammadiyah sejak awal kelahiran sampai perkembangannya dikemudian
hari tentu tidak sesederhana sebagai pernyataan jatidiri Muhammadiyah secara
verbal.
Pada tahun
1911 (di rumah Kiai Sangidu) KH Ahmad Dahlan menetapkan nama “Muhammadiyah”
sebagai nama gerakan (Basuni, 1972). Pada tanggal 20 Desember 1912,
rechtspersoon (badan hukum) Muhammadiyah diajukan kepada pemerintah kolonial
lewat bantuan para pengurus Budi Utomo. Surat-menyurat selama 20 bulan antara
pengurus Muhammadiyah dengan pemerintah Hindia Belanda. Gubernur Jenderal
A.W.F. Idenburg meminta pertimbangan Direktur van Justitie, Adviseur voor
Inlandsche Zaken (Rinkes), Residen Yogyakarta (Liefrinck), dan Sri Sultan
Hamengkubuwono VI untuk penetapan ruang lingkup perkumpulan Muhammadiyah.
Muhammadiyah
didirikan di Yogyakarta oleh K.H. Ahmad Dahlan pada 8 Dzulhijjah 1330 Hijriyah
bertepatan dengan 18 November 1912 Miladiyah. Perkataan “Muhammadiyah”
dinisbahkan kepada nama Muhammad, Nabi, dan Rasul akhir zaman. Penisbahan itu
dimaksudkan guna mengikuti jejak perjuangan Rasulullah untuk kemudian
melanjutkan risalah dakwahnya dalam kehidupan umat manusia, khususnya di Tanah
Air Indonesia. Karenanya Muhammadiyah sebagaimana dirumuskan dalam Anggaran
Dasar hasil muktamar ke-41 tahun 1985 menyatakan jatidirinya sebagai Gerakan
Islam dan Dakwah Amar Makruf Nahi Munkar, beraqidah Islam bersumber pada Al-Quran
dan Sunnah.
Sri Sultan
Hamengkubuwono VI menyerahkan urusan pendirian kepada Pepatih Dalem Sri Sultan
(Rijksbestuurder) atau lembaga kepenguluan. Sewaktu di tangan hoofdpenghulu
Muhammad Khalil Kamaludiningrat, mertua Kiai Sangidu, rechtspersoon Muhammadiyah
sempat dipahami secara keliru. Khatib Amin (KH Ahmad Dahlan) disalahartikan
hendak menjadi “Resident” dengan mendirikan perkumpulan Muhammadiyah.
Hoofdpenghulu sempat menolak rechtspersoon Muhammadiyah. Pepatih Dalem Sri
Sultan akhirnya menyepakati pembentukan perkumpulan Muhammadiyah dengan syarat,
ruang lingkupnya dibatasi hanya untuk Wilayah Yogyakarta. Muhammadiyah secara
resmi berdiri dengan keluarnya besluit Gubernur Jenderal Hindia Belanda tanggal
22 Agustus 1914 (Mustafa Kamal Pasha dan Ahmad Adabi Darban, 2000:116-118).
Setelah putri
hoofdpenghulu Muhammad Khalil Kamaludiningrat wafat, Kiai Sangidu menikah lagi
dengan Siti Djauharijah, putri KH Saleh (kakak ipar KH Ahmad Dahlan).
Pernikahan Kiai Sangidu dengan Djauharijah melahirkan Siti Umniyah, salah satu
pendiri Nasyi’atul Aisyiyah (dulu Siswa Praya Wanita). Ketika ayah kandung Kiai
Sangidu wafat, KH Ahmad Dahlan menikahi mantan jandanya, sehingga hubungan
kekeluargaan semakin dekat. Dalam Stamboek Muhammadiyah 1912, nama Kiai Sangidu
tercatat sebagai anggota nomor perdana (Basuni, 1972).
Pada tahun 1914
atau sekitar 17 tahun pasca tragedi perobohan Langgar Kidul, hoofdpenghulu KH
Muhammad Khalil Kamaludiningrat wafat (Ahmad Adabi Darban, 2000:41-43). Jabatan
hoofdpenghulu dilimpahkan kepada Khatib Anom. Pada waktu itu, posisi Khatib
Anom dipegang dipegang oleh Kiai Sangidu, menantu KH Muhammad Khalil
Kamaludiningrat. Kiai Sangidu menjabat sebagai hoofdpenghulu dengan menyandang
nama KH Muhammad Kamaludiningrat.
Sebelumnya,
Kiai Sangidu telah menikahi putri hoofdpenghulu Muhammad Khalil kamaludiningrat
dikaruniai tiga anak: KH Djalal, Siti Salmah, dan Nafiah (Ahmad Basuni, 1972).
Kiai Sangidu merupakan pendukung gerakan KH Ahmad Dahlan (khatib amin).
Meskipun mertua Kiai Sangidu sangat memusuhi gerakan yang dirintis oleh KH
Ahmad Dahlan, tetapi dia tetap mendukung berdirinya Muhammadiyah.
Lewat dukungan
Kiai Sangidu, KH Ahmad Dahlan memang berhasil melakukan reformasi keagamaan di
Lembaga Kepenghuluan Kraton Yogyakarta. Sejak Kiai Sangidu menjabat sebagai
hoofdpenghulu, KH Ahmad Dahlan bekerjasama dengan Lembaga Kepenghuluan Kraton
Yogyakarta dan Pakualaman. Hoofdpenghulu Muhammad Kamaludiningrat sangat
kooperatif dengan gerakan Muhammadiyah. Khatib Amin juga membuka kembali jalan
permusyawaratan para ulama yang sudah hilang. Musyawaratul Ulama di Pakualaman
yang dipimpin KH Abdullah Siradj juga merupakan partner Muhammadiyah dalam
memutuskan berbagai persoalan keagamaan.
Terhitung
sejak tahun 1914, pasca peralihan jabatan hoofdpenghulu dari Muhammad Khalil
Kamaludiningrat kepada Muhammad Kamaludiningrat, gerakan Muhammadiyah mulai
memasuki Bangsal Priyayi, karena kantor Penghulu sudah dapat dipergunakan
sebagai wadah tabligh atas izin Kiai Sangidu. Sebelumnya, Bangsal Priyayi
adalah tempat yang tabu bagi masyarakat awam. Akan tetapi, setelah jabatan
Kepala Penghulu dipegang oleh Kiai Sangidu, Bangsal Priyayi menjadi tempat
penggemblengan kader-kader muballigh Muhammadiyah.
Pada awal
berdirinya Muhammadiyah merumuskan tujuan, yaitu menyebarluaskan pengajaran
Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Kepada penduduk bumiputera di dalam residen
Yogyakarta serta memajukan agama Islam kepada anggota-anggotanya. Sesuai dengan
perkembangan Muhammadiyah yang menyebar ke luar Yogyakarta bahkan ke luar Pulau
Jawa, rumusan tujuan Muhammadiyah mengalami perubahan redaksional sampai
sekitar lima kali. Pada tahun 1959, yakni hasil muktamar ke-34, tujuan
Muhammadiyah dirumuskan sebagai berikut: “Maksud dan tujuan Muhammadiyah ialah
menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam
yang sebenar-benarnya”. Pada muktamar ke-41 tahun 1984 di Surakarta, tujuan
Muhammadiyah mengalami perubahan redaksional kembali, yang lengkapnya
dirumuskan sebagai berikut: maksud dan tujuan persyarikatan ialah menegakkan
dan menjunjung tinggi Agama Islam sehingga terwujud masyarakat utama, adil, dan
makmur yang diridhai Allah SWT.
K.H. Ahmad
Dahlan mendirikan Muhammadiyah didorong oleh paham tentang Islam yang
dipelajari, dihayati, dipahami, dan diamalkannya, yang oleh K.H. A.R.
Fakhruddin dikatakan sebagai Islam yang bergerak dan menggerakan kehidupan.
K.H. Ahmad Dahlan dikatakan oleh sementara ahli sebagai pencari kebenaran
sejati, yang selalu gelisah menyaksikan keadaan di sekitarnya yang dipandangnya
tidak sesuai dengan jiwa ajaran Islam. Kondisi objektif umat Islam saat itu
berada dalam keterbelakangan, kebodohan, dan kemiskinan, termasuk dalam
kehidupan keagamaan. Sedangkan bangsa Indonesia berada dalam cengkeraman
penjajahan. Kondisi objektif itu semakin memberikan dorongan bagi K.H. Ahmad
Dahlan untuk melakukan perubahan atas keadaan yang buruk itu. Dengan
menengok pada khasanah gerakan pembaharuan di dunia Islam, K.H. Ahmad Dahlan
kemudian mewujudkan dorongan itu ke dalam cita-cita membangun sebuah gerakan Islam
yang mampu memperbaharui kehidupan umat dan masyarakat. Dengan di dorong oleh
sementara koleganya, maka K.H. Ahmad Dahlan kemudian mendirikan Muhammadiyah.
Kelahiran dan
kehadiran Muhammadiyah dalam sejarah umat Islam maupun bangsa Indonesia di
belakang hari diakui telah memberikan sumbangan yang sangat berharga.
Muhammadiyah telah mempersegar paham keagamaan di lingkungan umat Islam
sehingga mampu mendobrak kebekuan dan menawarkan tajdid atau pembaharuan yang
dilakukan Muhammadiyah ditujukan dengan pembaharuan di bidang pendidikan Islam,
dengan memperkenalkan sistem pendidikan modern. Gerakan pembaharuan juga
diwujudkan ke dalam kegiatan sosial kemasyarakatan. Dengan semangat keagamaan
Muhammadiyah melakukan advokasi sosial dengan pengentasan keterbelakangan umat.
Sehingga para ahli menyatakan bahwa Muhammadiyah melalui gerakan pembaharuannya
telah berhasil membangun generasi terpelajar muslim yang mampu menghadapi zaman
baru dengan kepribadian yang kokoh, sekaligus membangun masyarakat baru yang
bercorak kekotaan. Pada titik ini Muhammadiyah dinilai sebagai suatu gerakan
kebudayaan yang mampu melakukan perubahan di lingkungan umat maupun masyarakat
yang berskala jangka panjang, untuk membeda-kannya dari gerakan politik seperti
yang ditempuh oleh Syarikat Islam.
Sumber:
Suara
Muhammadiyah 16/98/2013 dan http://www.angelfire.com/ri/UMP1/muh.htm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar