Haji
Misbach :Tokoh Kauman Solo yang Terlupakan
‘Sebagai
di Hindia ini, semasa kaoem boeroeh dan rakjat jang miskin ini bergerak akan
melawan tindasan yang dideritanja, maka matjam-matjamlah usaha akan melemahkan
pergerakan ra’jat jang tertindas itoe. Adalah jang dengan djalan mengembangkan
agama Islam dengan menjoeroeh ra’jat itoe nerima kaloe ditindas, sebab itoe
toch kodrat Toehan, nanti akan dapat balasan di achirat’. (H. Misbach)
Haji Mohamad Misbach atau Haji Misbach atau Haji Merah (Surakarta, 1876–1926), dilahirkan di Kauman, di sisi barat
alun-alun utara, persis di depan keraton Kasunanan dekat Masjid Agung
Surakarta. Nama kecil beliau adalah Ahmad. Ahmad berganti nama setelah menikah
menjadi Darmodiprono.
Nama Haji Mohamad Misbach disandangnya setelah beliau pulang dari ibadah haji. Bicara kepribadian Misbach, orang memuji keramahannya kepada setiap orang dan sikap egaliternya tak membedakan priyayi atau orang kebanyakan. Mas Marco Kartodikromo menggambarkan Haji Misbach sebagai berikut : Pada waktoe itoe ia soerang Islam jang berniat menjiarken keislaman setjara djaman sekarang: membikin soerat kabar Islam, sekolahan Islam, berkoempoel-koempoel meremboek igama Islam dan hidoep bersama. Dalem tahoen 1915 H.M. Misbach menerbitken soerat kabar boelanan Medan Moeslimin, nomer satoe tahoen pertama soerat kabar itoe tertanggal 15 Djanoeari 1915.Pada saat itoelah langka jang permoelaan H.M. Misbach masoek kedalem pergerakan dan memegangi bendera Islam.
Nama Haji Mohamad Misbach disandangnya setelah beliau pulang dari ibadah haji. Bicara kepribadian Misbach, orang memuji keramahannya kepada setiap orang dan sikap egaliternya tak membedakan priyayi atau orang kebanyakan. Mas Marco Kartodikromo menggambarkan Haji Misbach sebagai berikut : Pada waktoe itoe ia soerang Islam jang berniat menjiarken keislaman setjara djaman sekarang: membikin soerat kabar Islam, sekolahan Islam, berkoempoel-koempoel meremboek igama Islam dan hidoep bersama. Dalem tahoen 1915 H.M. Misbach menerbitken soerat kabar boelanan Medan Moeslimin, nomer satoe tahoen pertama soerat kabar itoe tertanggal 15 Djanoeari 1915.Pada saat itoelah langka jang permoelaan H.M. Misbach masoek kedalem pergerakan dan memegangi bendera Islam.
Misbach muda menggeluti dunia usaha sebagai pedagang batik di Kauman
mengikuti jejak ayahnya. Bisnisnya pun menanjak dan ia berhasil membuka usaha
pembatikan dan berjaya. Tahun1912 berdiri Sarekat Islam (SI) di Surakarta.
Sebagai seorang haji ia lebih suka mengenakan kain kepala ala Jawa. Ahmad adalah
didikan Pesantren. Pada usia sekolah, Ahmad ikut pelajaran dari pesantren,
selain di sekolah bumiputera "Ongko
Loro". Basis pesantren serta lingkungan keraton Surakarta inilah yang
kemudian mempengaruhi sosok Misbach menjadi seorang Mubaligh. Orang tuanya
menjabat sebagai pejabat keagamaan keratin disampung berdagang. Bahasa Arabnya
bagus. Beliau hafal berbagai surat dalam Al Quran dan doa. Kehidupan beliau
layaknya sunnah Nabi: berdagang dan buka
toko. Semula kegiatanya sederhana: berdagang, mengaji, beribadah,
bersosialisasi, dan mendirikan sekolah. Ahmad akrab dengan Achmad Dahlan,
pendiri Muhammadiyah. Misbach mulai aktif terlibat dalam pergerakan pada tahun
1914, ketika ia berkecimpung dalam IJB (Indlandsche Journalisten Bond)-nya
Marco. Pada tahun 1915, ia menerbitkan surat kabar Medan Moeslimin, yang edisi
pertamanya tertanggal 15 Januari 1915 dan kemudian menerbitkan Islam Bergerak
pada tahun 1917. Surat-surat kabar ini menjadi media gerakan yang sangat
populer di Surakarta dan sekitarnya.
Haji Misbach mulai berkibar ketika muncul kasus pelecehan agama oleh
mantan ketua SI yaitu Marthodarsono. artikel Djojosoediro di surat kabar Djawi Hisworo, Pemimpin
Redaksinya adalah Martodharsono. Djojosoediro, menulis: “Ah
seperti pegoeron (tempat beladjar ilmoe). Saja boekan goeroe, tjoemah
bertjeritera atau memberi nasihat, keboetoelan sekarang ada waktoenja. Maka
baiklah sekarang sadja. Adapon fatsal (selamatan) hoendjoek makanan itoe tidak
perloe pakai nasi woedoek dengan ajam tjengoek brendel. SEBAB GOESTI KANDJENG
NABI RASOEL ITOE MINOEM TJIOE A.V.H. DAN MINOEM MADAT, KADANG KLE’LE’T DJOEGA
SOEKA. Perloe apakah mentjari barang jang tidak ada. Maskipon ada banjak nasi
woedoek, kalau tidak ada tjioe dan tjandoe tentoelah pajah sekali.”
Umat Islam di Surakarta bergejolak. Sarekat Islam, organisasi Islam
terbesar saat itu, wajib melakukan pembelaan. Awal Februari 1918, Tjokroaminoto Tentara Kandjeng Nabi Mohammad (TKNM) untuk
“memertahankan kehormatan Islam, Nabi, dan Kaum Muslimin”. Martodharsono adalah murid Tirto Adhi
Soerjo, sang pemula, dan Raden Pandji Natarata atau Raden Sastrawidjaja, ahli sastra dari
Yogyakarta. Ketika artikelnya mendapat respon negatif dan kemarahan dari umat
Islam, Martodharsono memberikan klarifikasi di surat kabar Djawi Hisworo. Klarifikasi
tersebut tidak mendapat sambutan. Pembentukan TKNM memunculkan nama Misbach
sebagai mubaligh yang vokal. Misbach kemudian membentuk perkumpulan tablig
reformis bernama Sidik Amanat Tableg Vatonah (SATV). Haji
Misbach menyebar pamphlet mengkritisi Martodharsono serta mendorong
terlaksananya rapat umum dan membentuk subkomite TKNM. Kaum muslimin Surakarta
menghadiri rapat umum di lapangan Sriwedari, pada 24 Februari
1918, menurut kabar dihadiri 20.000-an orang. Tjokroaminoto diwakili Haji Hasan bin Semit dan Sosrosoedewo (penerbit dan
redaktur jurnal Islam Surabaya, Sinar Islam). Muslimin
Surakarta bergerak proaktif menjaga wibawa Islam terhadap setiap upaya
penghinaan terhadapnya. Inilah awal perang membela Islam dari "kaum putihan" Surakarta.
Tjipto Mangunkusuma dalam surat kabar Panggoegah, 12 Mei 1919 melukiskan
keberanian Misbach dalam melawan kolonialisme Belanda sebagai "seorang
ksatria sejati" yang mengorbankan seluruh hidupnya untuk pergerakan.
Tjokroaminoto mengendurkan perlawanan kepada Martodharsono dan Djawi
Hisworo setelah mencuatnya pertikaian menyangkut soal keuangan dengan H Hasan
bin Semit. H Hasan bin Semit keluar dari TKNM. Misbach menggantikan Hisamzaijni, ketua subkomite
TKNM dan menjadi hoofdredacteur (pemimpin redaksi) Medan Moeslimin. Artikel
pertamanya di media ini berjudul Seroean Kita. Dalam artikel
itu, ia menyajikan gaya penulisan khas, yang menurut Takashi, menulis seperti
berbicara dalam forum tablig. Ia mengungkapkan pendapatnya, bergerak masuk ke
dalam kutipan Al-Quran kemudian keluar
lagi dari ayat itu. "Persis seperti membaca, menerjemahkan, dan
menerangkan arti ayat Al-Quran dalam pertemuan tablig." Sikap Misbach ini
segera menjadi tren, apalagi kemudian secara kelembagaan perkumpulan tablig
SATV benar-benar eksis melibatkan para pedagang batik dan generasi santri yang lebih muda. SATV
menyerang para elite pemimpin TKNM, kekuasaan keagamaan di Surakarta, menyebut
mereka bukan Islam sejati, tetapi "Islam lamisan", "kaum
terpelajar yang berkata mana yang bijaksana yang menjilat hanya untuk
menyelamatkan namanya sendiri." Dasar keyakinan SATV dengan Misbach
sebagai ideolognya, "membuat agama Islam bergerak". Misbach dikenal
luas karena perbuatannya "menggerakkan Islam": menggelar tablig,
menerbitkan jurnal, mendirikan sekolah, dan menentang keras penyakit hidup
boros dan bermewah-mewah, dan semua bentuk penghisapan dan penindasan.
Pada 22 Oktober, Misbach menggantikan Nyonya Vogel sebagai pemimpin
Sarekat Hindia (SH) Surakarta. Sementara Tjiptomangunkusumo tetap menjabat
sebagai Sekretaris SH Surakarta mendampingi Misbach. Kongres SH Surakarta, pada
21 Maret 1919, Misbach dan Tjiptomangunkusumo tampil sebagai pembicara utama.
Dalam pidatonya, mereka menekankan pentingnya berserikat, dan pemerintah tidak
kuasa menahan keinginan rakyat itu. Menurut laporan Sismadi Sastrosiwojo,
Misbach lah yang menjadi api dalam kongres itu. Dia berpidato, "SH akan
melawan dengan sekuat-kuatnya segala tindasan dan isapan, baik dari pihak mana
juga. SH berharap kepada sekalian perhimpunan rakyat Hindia akan bekerja berat
bersama dengan SH, menyusun maksud mencapai kemerdekaan Tanah Hindia."
Dalam rapat akbar di Delanggu 29 Februari 1920, Misbach menyatakan:"Coba
ingatlah! Siapakah yang punya tanah ini? Toh bukan Ratu atau gouvernement. Mana
ada Ratu atau gouvernement punya tanah? Toh tidak.. Tanah ini dulu-dulunya yang
punya toh embah-embah kita sendiri.. Maka saudara, ayo! Ingatlah bila tanah ini
bukan punyanya siapa-siapa, terang bila punya kita sendiri. Tidak boleh tidak,
ini tanah tentu kembali kepada kita."
Menurut Shiraisi, ada perbedaan SATV dengan Muhammadiyah. Pertama,
Muhammadiyah menempati posisi strategis di tengah masyarakat keagamaan Yogya,
SATV adalah perhimpunan muslimin saleh yang merasa dikhianati oleh kekuasaan
keagamaan, manipulasi pemerintah, dan para kapitalis non-muslim. Militansi
Muhammadiyah bergerak atas dasar keyakinan bahwa di Muhammadiyah hidup menjadi
muslim sejati. Militansi SATV berasal dari rasa takut melakukan manipulasi, dan
keinginan kuat membuktikan keislamannya dengan tindakan nyata. Namun pada
akhirnya, SATV menjadi Muhammadiyah Cabang Surakarta.
Misbach anti kapitalis. Siapa yang secara kuat diyakini menjadi antek
kapitalis yang menyengsarakan rakyat akan dihadapinya melalui artikel di Medan
Moeslimin atau Islam Bergerak. Berdamai dengan pemerintah Hindia Belanda adalah
jalan yang akan dilawan dengan gigih. Maka kelompok yang anti politik, anti
pemogokan, secara tegas dianggap berseberangan dengan misi keadilan. Misbach
membuat kartun di Islam Bergerak
edisi 20 April 1919. Isinya mengkritisi
Belanda yang memeras petani. Residen Surakarta
digugat, Paku Buwono X digugat karena
ikut menindas. Retorika khas Misbach, muncul dalam kartun itu sebagai
"suara dari luar dunia petani". Bunyinya, "Jangan takut, jangan
kawatir". Kalimat ini memicu kesadaran dan keberanian petani untuk mogok. Misbach
ditangkap, 7 Mei 1919, setelah
melakukan belasan pertemuan "kring" (subkelompok petani perkebunan).
Misbach dibebaskan pada 22 Oktober sebagai
kemenangan penting Sarekat Hindia (SH).
Soerjosasmojo, Redaktur Islam Bergerak menulis pembebasan Misbach tersebut,
"Enam bulan lamanya pahlawan kita dalam penjara berpisah dengan anak dan
istri, teman serta rakyat, pergerakan serta kemajuan, sebagai burung dalam
sangkar.. Enam bulan lamanya saudara kita itu hidup dalam pertapaan, karena
kehilangan kemerdekaannya." Pada 4 April 1920, Misbach berpidato dalam
rapat buruh pabrik di Delanggu. Rapat ini dihadiri oleh 2.200 orang. Selain
Misbach, Mas Marco Kartodikromo juga tampil sebagai pembicara utama. Pidato
keduanya menyemangati buruh yang mogok. "Pemerintah telah membeli beras
seharga 9 gulden, dan menjualnya ke orang kecil seharga 18 gulden. Siapa yang
mengatongi untung? Pemerintah memproduksi garam murah, dan menjualnya mahal
kepada orang kecil, siapa yang untung? Pemerintah terus memperluas jaringan
polisi, siapa yang membiayai? Siapa yang mengantongi keuntungan?" ungkap
Misbach.
Misbach menegaskan kepada rakyat "jangan takut dihukum, dibuang,
digantung", seraya memaparkan kesulitan Nabi menyiarkan Islam. Misbach pun
sosok yang selain menempatkan diri dalam perjuangan melawan kapitalis, ia
meyakini paham komunis. Misbach mengagumi Karl Marx. Marx di mata
Misbach berjasa membela rakyat miskin, mencela kapitalisme sebagai biang
kehancuran nilai-nilai kemanusiaan. Agamapun dirusak oleh kapitalisme sehingga
harus dilawan dengan historis materialisme.
Konggres PKI tanggal 4 Maret 1923 yang dihadiri 16 cabang PKI, 14 cabang
SI Merah dan beberapa perkumpulan serikat komunis, Misbach memberikan uraian
mengenai relevansi Islam dan komunisme dengan ayat-ayat Al-Qur’an serta
mengkritik pimpinan SI Putih yang diposisikan munafik dan menjadikan Islam sebagai
alat untuk memperkaya diri. Pada tahun 1923 pula, dia menulis kritikannya
terhadap Tjokroaminoto di Medan Moeslimin dengan judul “Semprong Wasiat:
Disiplin Organsisi Tjokroaminoto Menjadi Racun Pergerakan Rakyat Hindia”. Misbach
ikut Perserikatan Kommunist di Indie (PKI) ketika CSI (Central Sarekat Islam)
pecah melahirkan PKI/SI Merah. Misbach ikut mendirikan PKI afdeling Surakarta
dan menjadi pimpinan PKI di Surakarta. Misbach mengubah surat kabar Islam
Bergerak menjadi Ra’jat Bergerak dan penyatuan secara de fakto organ PKI
Yogyakarta berbahasa Melayu, Doenia Baroe, ke dalam Ra’jat
Bergerak pada September 1923. Berjuang melawan kapitalisme, tak
membuat dia tidak menegakkan Islam.
Bulan Mei 1919 (akibat pemogokan-pemogokan petani
yang dipimpinnya), Misbach dan para pemimpin pergerakan lainnya di Surakarta
ditangkap. Pada 16 Mei 1920, ia kembali
ditangkap dan dipenjarakan di Pekalongan selama 2 tahun 3
bulan. Bulan Maret 1923, Misbach menjadi propagandis PKI/SI Merah dan
berbicara tentang keselarasan antara paham Komunis dan Islam. Tanggal 20
Oktober 1923, Misbach masuk penjara dengan tuduhan terlibat dalam aksi-aksi
revolusioner yaitu pembakaran bangsal, penggulingan kereta api, pengeboman dan
lain-lain. Bulan Juli 1924 Misbach ditangkap dan dibuang ke Manokwari dengan tuduhan
mendalangi pemogokan dan teror di Karesidenan Surakarta. Setelah penangkapan
Misbach, Moedio dan Darmosoesastro menunjukkan kepada Sismadi kontrak tertulis
mereka dengan seorang agen polisi Hardjosoemarto agar memberikan kesaksian
palsu dengan sejumlah imbalan uang. Mereka juga mengatakan, bahwa yang
mengedarkan pamflet tengkorak manusia dengan gambar palu arit dan sejumlah
teror bom lainnya adalah Hardjosoemarto. Moedio dan Darmosoesastro kemudian
ditangkap, setelah membeberkan hal itu di surat kabar Penggoegah. Sementara
agen polisi Hardjosoemarto langsung menghilang dari Surakarta. Untuk seketika,
kasus inipun mengalami kebuntuan.
Walaupun bukan yang pertama diasingkan Misbach merupakan orang pertama
yang ke tanah pengasingan di kawasan Hindia sendiri. Misbach diasingkan ke
Manokwari, Papua, beserta dengan
istri dan tiga anaknya. Penggambaran menarik oleh Pramudya terhadap proses yang sama yang dialami Minke,
nama yang digunakan Pram untuk merujuk pada Tirtoadhisoerjo, dalam Rumah Kaca-nya.
“Penjagaan polisi
sangat ketat.Ketika Misbach kembali sebentar ke Surakarta, hanya Sjarief dan
Haroenrasjid dari Medan Moeslimin, di samping kerabatnya, yang diizinkan
menjenguknya. Anggota-anggota PKI dan SR Surabaya pergi ke pelabuhan, tetapi
usaha ini sia-sia karena ia dikurung dalam kabin. Misbach meninggalkan Jawa dalam keterpencilan” Di
Manokwari, Misbach mendirikan Sarekat Rakyat cabang Manokwari
beranggotakan tidak pernah lebih dari 20. Misbach sempat menyusun artikel
berseri "Islamisme dan Komunisme". Medan
Moeslimin kemudian memuat artikel tersebut, "…agama berdasarkan sama
rata sama rasa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa
hak persamaan untuk segenap manusia dalam dunia tentang pergaulan hidup, tinggi
dan hinanya manusia hanya tergantung atas budi kemanusiaannya. Budi terbagi
tiga bagian: budi kemanusiaan, budi binatang, budi setan. Budi kemanusiaan
dasarnya mempunyai perasaan keselamatan umum; budi binatang hanya mengejar
keselamatan dan kesenangan diri sendiri; dan budi setan yang selalu berbuat
kerusakan dan keselamatan umum."
Di
Manokwari, penyakit TBC yang diderita Istri Misbach semakin parah, meninggal pada
Juli 1925. Misbach terserang malaria
dan meninggal di pada 24 Mei
1926.
Misbach dimakamkan di kuburan Penindi,
Manokwari, di samping kuburan istrinya. Haji Misbach
meninggalkan tiga anak, dua orang putra yakni Madoeki dan Karobet
beserta seorang putri yang bernama Soimatoen.
"Saya bukan haji, tapi Mohammad Misbach. Seorang Jawa yang telah memenuhi tugasnya sebagai Muslim dengan melakukan perjalanan suci ke Makkah dan Madinah. Dengan mendasarkan pada Alquran, ada beberapa hal yang berkesesuaian antara Alquran dengan komunisme. Misalnya, Alquran mengakui hak asasi manusia. Hal ini juga ada pada komunisme,"
"Saya bukan haji, tapi Mohammad Misbach. Seorang Jawa yang telah memenuhi tugasnya sebagai Muslim dengan melakukan perjalanan suci ke Makkah dan Madinah. Dengan mendasarkan pada Alquran, ada beberapa hal yang berkesesuaian antara Alquran dengan komunisme. Misalnya, Alquran mengakui hak asasi manusia. Hal ini juga ada pada komunisme,"
Sumber :
* Ruth T McVey, Kemunculan Komunisme di
Indonesia, KOmunitas Bambau, Cetakan Pertama, Januari 2010.
* Dr Syamsul Bakri, Gerakan Komunisme Islam Surakarta 1914-1924, LKiS, Cetakan I, 2015.
* Takashi Shiraishi, Zaman Bergerak, Radikalisasi Rayat di Jawa 1912-1926, Grafiti, Cetakan 2, 2005.
* Edi Cahyono, Jaman Bergerak di Hindia Belanda, Yayasan Pancur Siwah-Yayasan Penebar, Cetakan Pertama, November 2003.
* Zainul Munasichin, Berebut Kiri, Pergulatan Marxisme Awal di Indonesia 1912-1926, LKiS, Cetakan I, September 2005.
* Soewarsono dan Thung Ju Lan, Jejak Kebangsaan: Kaum Nasionalis di Manokwari dan Boven Digul, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Edisi Pertama, Juli 2013.
* Dr Syamsul Bakri, Gerakan Komunisme Islam Surakarta 1914-1924, LKiS, Cetakan I, 2015.
* Takashi Shiraishi, Zaman Bergerak, Radikalisasi Rayat di Jawa 1912-1926, Grafiti, Cetakan 2, 2005.
* Edi Cahyono, Jaman Bergerak di Hindia Belanda, Yayasan Pancur Siwah-Yayasan Penebar, Cetakan Pertama, November 2003.
* Zainul Munasichin, Berebut Kiri, Pergulatan Marxisme Awal di Indonesia 1912-1926, LKiS, Cetakan I, September 2005.
* Soewarsono dan Thung Ju Lan, Jejak Kebangsaan: Kaum Nasionalis di Manokwari dan Boven Digul, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Edisi Pertama, Juli 2013.
Misbach, H.M. 1923. “Islam &
Gerakan.” Jakarta: Medan Moeslimin. Gie, Soe Hok. 1997. “Orang-Orang di
Persimangan Kiri Jalan. Yogyakarta: Bentang Budaya. Hiqmah, Nor. 2008. “H.M.
Misbach: Kisah Haji Merah.” Depok: Komunitas Bambu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar