Amir Syarifuddin
Bermarga Harahap
Sosok Jenderal
besar Gatot Soebroto juga tak lepas dari beberapa hal kontroversial. Sebut saja
seperti perintahnya mengeksekusi mantan Perdana Menteri Amir Sjarifuddin,
hingga terlibat gerakan 17 Oktober 1952. “Gatot Soebroto mengatakan, dari pada
mengambil risiko mereka menyeberang ke pihak Belanda, lebih baik mereka
dihabisi,” pengakuan Hatta setelah bertahun-tahun kemudian ketika mengenang
soal eksekusi Amir Sjarifuddin di buku Indonesia Free: A Political
Biography of Mohammad Hatta.
Pemakaman
Umum Ngaliyan, Lalung, kurang lebih 5 Km
di selatan Kota Karanganyar sama seperti makam desa lainnya. Pemakaman dipagari
tembok setinggi kurang lebih 1,5 meter. Nilai historis yang berada pada sepetak
tanah berukuran sekitar 2 x 8 meter yang berada di tengah pemakaman dekat pintu
gerbang dari besi bercat hijau. Ada beberapa gundukan tidak bernisan. Tidak ada
penanda dimanakah tokoh besar Indonesia ini dimakamkan.Amir Syarifuddin
dimakamkan disini.
Amir Sjarifoeddin Harahap atau kalo menurut ejaan
saat ini Amir Syarifuddin Harahap
lahir di Medan,
Sumatera
Utara, 27 April 1907. Beliau meninggal dunia di Surakarta,
Jawa Tengah,
pada tanggal 19 Desember 1948 dalam usia 41 tahun
setelah menerima eksekusi mati.. Dari awal
beliau berkarir politik, sosialisme kental dengan Amir. Amir Syarifuddin lahir di Sumatera di kota
Medan, latar belakang Amir yang kaya dan jenius membuat dia masuk ke
sekolah-sekolah paling elit. Amir dididik di Haarlem
dan Leiden
di Belanda
sebelum memperoleh gelar sarjana hukum di Batavia (sekarang Jakarta).
Ayahnya, Djamin gelar Baginda Soripada (1885-1949), seorang jaksa di Medan.
Ibunya, Basunu Siregar (1890-1931), dari keluarga Batak yang telah membaur
dengan masyarakat Melayu-Islam di Deli. Ayahnya keturunan
keluarga kepala adat dari Pasar Matanggor di Padang Lawas,
Tapanuli.
Selama di Belanda ia belajar filsafat Timur dan Barat di bawah pengawasan Theosophical
Society. Amir pindah dari Islam ke Kristen pada tahun 1931. Ada bukti
khotbah ia berikan dalam gereja Protestan terbesar di Batak Batavia.
Spiritulitas Amir memang menjadi
kontroversial. Amir dilahirkan dan dibesarkan dalam keluarga Muslim, Amir
menemukan spiritualitas baru setelah tinggal di Leiden. Perkenalan terhadap
kekristenan dipengaruhi beberapa hal. Kakek Amir, Soetan Goenoeng Toea adalah
penganut Kristen taat. Saat menempuh pendidikan di Belanda bersama sepupunya
Sutan Gunung Mulia ia tinggal bersama penganut Calvinis taat bernama Dirk
Smink. Setelah dia menekuni ajaran Kristen ia memutuskan dibaptis di Indonesia.
Dalam menempatkan diri sebagai orang Kristen di dalam perjuangan kemerdekaan,
Amir memiliki prinsip yang radikal. Salah satu tulisan pendeknya,”Menuju Jemaat
Indonesia Asli”, ia menempatkan kontekstualisasi Kekristenan di Indonesia
sebagai bagian perjuangan. Dan dalam berbagai kesempatan Amir menyatakan,
"seorang Kristen yang baik dapatlah juga sekaligus menjadi seorang
nasionalis yang baik".
Amir menjalani pendidikan di ELS atau Sekolah Dasar
Belanda di Medan pada tahun 1914 hingga selesai Agustus 1921. Pada tahun 1911,
Amir ke Leiden. Tak lama setelah kedatangannya dalam kurun waktu 1926-1927 dia
menjadi anggota pengurus perhimpunan siswa Gymnasium di Haarlem,
selama masa itu pula Amir aktif terlibat dalam diskusi-diskusi kelompok kristen
misalnya dalam CSV-op Java yang menjadi cikal bakal GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia).
Ia tinggal di rumah guru pemeluk Kristen Calvinis, Dirk Smink. Bulan September 1927, sesudah lulus
ujian tingkat kedua, Amir kembali ke kampung halaman karena masalah keluarga.
Amir masuk Sekolah Hukum di Batavia, tinggal di asrama pelajar Indonesisch Clubgebouw,
Kramat 106, ia ditampung oleh senior satu sekolahnya, Mr. Muhammad
Yamin.
Sebelum kemerdekaan, Amir
Syarifuddin terlibat dalam berbagai pergerakan untuk memperjuangkan
kemerdekaan. Tahun 1931, Amir ikut mendirikan Partai Indonesia (Partindo). Amir
juga mendirikan Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo). Amir menyempatkan waktu
menulis dan menjadi redaktur Poedjangga Baroe. Pada tahun 1928-1930 dia menjadi
pemimpin redaksi majalah Perhimpunan Pemoeda Pelajar Indonesia (PPPI). Dalam
media massa, Amir menggunakan nama samaran "Massa Actie". Bersama
sejumlah orang Kristen, Amir juga pernah menerbitkan "Boekoe Peringatan
Hari Djadi Isa Al-Maseh".
Menjelang masuknya Jepang ke Indonesia,
Amir menjalankan garis Komunis Internasional agar kaum kiri menggalang aliansi
dengan kekuatan kapitalis untuk menghancurkan Fasisme. Amir diminta oleh
anggota-anggota kabinet Gubernur Jenderal, menggalang semua kekuatan anti-fasis
untuk bekerja bersama dinas rahasia Belanda dalam menghadapi serbuan Jepang.
Rencana tersebut tidak banyak mendapat sambutan, Bulan Januari 1943 Amir
tertangkap oleh fasis Jepang. Kejadian ini diartikan sebagai terbongkarnya
jaringan organisasi anti fasisme Jepang yang sedikit banyak mempunyai hubungan
dengan Amir. Melalui beberapa sidang pengadilan tahun 1944, hukuman terberat
dijatuhkan pada para pemimpin Gerindo dan Partindo Surabaya. Amir
mendapatkan eksekusi hukuman mati dari Jepang, dengan lobi Ir. Soekarno,
hukuman mati batal dilakukan.
Di penjara, Jepang menyiksa Amir. Anak bungsu Amir
Syarifuddin Helena Luisa menceritakan kembali cerita ibunya tentang kondisi
sang suami setelah menghirup udara bebas. “Jadi kepalanya direndam di air,
karena dia memang suka berenang dan olahraga dia tahan, kemudian kukunya
dicabut, pulang dari penjara balik ke rumah tinggal kulit dan tulang. Kemudian
pernah dipenjara di Cipinang, kamar cuma 1 x 1, semua WC juga di situ. Dia
dipenjara di situ selama 1 tahun,” cerita Helena.
Setelah 17 Agustus 1945, Amir Sjarifuddin berduet dengan
Sutan Sjahrir memegang peranan penting selama agresi militer Belanda. Ia
ditunjuk sebagai sebagai menteri penerangan pada Kabinet Sjahrir, September
1945 hingga Maret 1946. Amir menjabat menteri pertahanan sejak November 1945-
Januari 1948.
Amir termasuk orang pertama yang mendorong kebebasan pers ketika
menjabat sebagai Menteri Penerangan. Ketika menjabat menteri pertahanan, Amir
berhasil membangun fondasi angkatan perang Indonesia saat itu. Ciri yang
diinginkan Soedirman dan Tan Malaka adalah tentara rakyat seperti di Vietnam.
Tidak ada jarak dengan ideologi. Penting bagi orang kiri waktu itu, tentara
punya kesadaran berada di kaum buruh dan tani, bukan berpihak pada pemilik
modal. Tidak mudah menjadi menteri pertahanan pasca perang dunia II. Pemerintah
yang baru saat itu, belum bisa menyatukan berbagai macam laskar dan belum
memiliki persenjataan yang memadai. Sebagai Menteri Pertahanan, Amir juga
memiliki tugas untuk memulangkan tentara-tentara Eropa yang menjadi tawanan
Jepang di Indonesia.
Pada Juli 1947 hingga Januari 1948 Amir dipercaya menjadi
Perdana Menteri. Tugas Amir adalah berunding agar republik mendapat pengakuan dari
dunia internasional dan sah menjadi Negara bersanding dengan Negara lain. Sejarawan,
Wilson Obrigados berkomentar,”Antara 1945-1948, kita tahu Sekutu sebagai
pemenang perang tidak ingin Indonesia dipimpin oleh pemimpin yang dianggap
punya rekam jejak kerjasama dengan Jepang. Hatta dan Soekarno punya rekam jejak
itu. Kenapa kemudian Sjahrir yang menjadi perdana menteri dan digantikan dengan
Amir? Karena itu memberi keyakinan negara barat untuk mengakui Indonesia. Untuk
berunding dengan pemerintah Indoensia yang baru saja merdeka. Karena
itulah terjadi perundingan Linggarjati dan Renville di zaman Amir dan juga
Sjahrir. Mereka adalah pemimpin yang bisa meyakinkan negara pemenang perang
dunia II bahwa Indonesia bukanlah kelanjutan negara yang dimpimpin oleh
orang-orang yang pro Jepang.” Persaingan berbagai partai
politik dipenghujung tahun 1940-an menumbangkan karir politik Amir
. Partai Masyumi dan PNI yang semula mendukung Perjanjian Renville pada
17 Januari 1948 kemudian mengecam. Amir menyerahkan mandat sebagai perdana
menteri kepada Presiden Soekarno.
Wakil
Presiden Muhammad Hatta menggantikan Amir Sjarifuddin. Sebagai
pihak oposisi dari Hatta, Amir Syarifuddin pada tanggal 28 Februari 1948
membentuk Front Demokrasi Rakyat (FDR) di Surakarta yang berideologi sosialis. FDR
sendiri merupakan upaya Amir Syarifudin untuk merebut kembali kedudukannya.
Amir Syarifuddin dan FDR banyak melakukan hasutan, bentrokan serta melakukan
ancaman ekonomi dengan menghasut buruh untuk melakukan pemogokan di pabrik
karung tepatnya di Delanggu. Hatta berencana
mengurangi jumlah tentara. Rencana itu menuai penolakan yang berujung pada
peristiwa Madiun,Jawa Timur 1948.
Pada tahun 1948 di bulan
Agustus, Muso yang merupakan tokoh komunis kembali ke Indonesia dan kembali
menjadi pemimpin PKI. Muso menyebarkan doktrin baru dengan nama “jalan baru”
untuk menambah kekuatan bagi komunis. Keadaan ini membuat Amir Syarifuddin
bersama dengan FDR (Front Demokratik Rakyat) dan partai buruh bergabung dengan
PKI (Partai Komunis Indonesia). Alasan bergabungnya Amir Syarifudduin adalah
untuk melakukan propaganda dalam upayanya menggulingkan Soekarno- hatta. Pemerintahan Hatta menuduh PKI berupaya membentuk
negara komunis dan menyatakan perang terhadap mereka.
Dalam rangka untuk menjatuhkan Soekarno-Hatta,
Muso dan Amir Syarifuddin ke sejumlah kota di Jawa Tengah dan Jawa Timur
mempropagandakan PKI beserta programnya. Tanggal 11 September 1948 di Surakarta
terjadi bentrokan antara pasukan propemerintah RI (dari Siliwangi) dan pasukan
pro-PKI (divisi IV). Pemerintah menunjuk Kolonel Gatot Subroto sebagai Gubernur
Militer (Surakarta, Pati, Semarang, dan Madiun). Tanggal 17 September 1948
pasukan yang pro-PKI mundur dari Surakarta.
Surakarta
hanya untuk mengalihkan perhatian. Ketika TNI terjun ke Surakarta, Sumarsono
dari Pesindo dan Letnal Kolonel Dahlan dari Brigade 29 (pro-PKI) menguasai
Madiun tanggal 18 September 1948. PKI melakukan penangkapan dan pembunuhan
pejabat sipil, militer, dan pemuka masyarakat. PKI mendirikan pemerintahan
Soviet Republik Indonesia di Madiun.
Kudeta
berlangsung di Madiun, Muso dan Amir Syarifuddin berada di Purwodadi. (Amir berada di Yogyakarta dalam rangka kongres Serikat Buruh
Kereta Api (SBKA) saat peristiwa Madiun meletus). Muso-Amir ke Madiun mendukung kudeta dan mengambil alih
pimpinan. Secara resmi diproklamasikan berdirinya Soviet Republik Indonesia. Pemberontakan
di Madiun didalangi oleh PKI.
Pemerintah kemudian mengajak
rakyat tegas memilih Soekarno-Hatta atau Muso-Amir. Dalam upaya penumpasan,
pemerintah melakukan gerakan operasi militer (GOM) 1 yang dipimpin Panglima
Sudirman. Tanggal 30 September 1948, kota Madiun direbut kembali. Muso
tertembak dan meninggal dunia. Pada saat hampir bersamaan, Belanda melakukan
agresi militer kedua. Agresi Militer II menyebabkan banyak tokoh PKI yang
lolos. Amir Syarifuddin, setia dalam spiritualitas perjuangannya. Ia tetap
setia mengumandangkan Indonesia Raya dengan Injil di tangannya menjelang
kematiannya (sebelumnya menyanyikan Internationale).
Pidato D.N. Aidit di dalam
sidang DPR, 11 Februari 1957, Aidit mengatakan: "Amir Sjarifuddin bermarga
Harahap dan tidak kalah Kristennya daripada kebanyakan orang Kristen. Ia
dieksekusi dengan kitab Injil di tangannya.”
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar