Intrik dan Penghianatan Pejuangan
yang dialami Hamid II
“Syukur Alhamdulillah, serentak saya
agak tenang, ialah sesudah mandi, insyaflah saya akan perbuatan saya yang tidak
patut itu,” lanjut Hamid.
Konon, belum ada pesakitan yang
digugat dalam pengadilan Indonesia langsung oleh Jaksa Agung Republik
Indonesia. Sultan Hamid II, yang berusia 40 tahun dituduh terlibat konspirasi
dengan bekas Kapten Raymod Westerling yang sudah berhasil kabur ke Belanda. Raymond
Westerling mendatangi Hamid II setelah gerakan Angkatan Perang Ratu Adil
(APRA), yang dipimpinnya di Bandung gagal. Westerling, bekas Kaptan
pasukan khusus Belanda itu sering sering nongkrong di sebuah bar bernama Black
Cat Noir di Jalan Veteran I, Jakarta. Tempat itu adalah lokasi hiburan malam
tentara Belanda di masa revolusi.
Hamid sering menginap di Hotel Des Indes. Westerling ketika itu sering pergi bersama bekas inspektur polisi Frans Najoan. Westerling dan Najoan mendapat perintah menyerang sidang menteri kabinet RIS di Pejambon.
Hamid sering menginap di Hotel Des Indes. Westerling ketika itu sering pergi bersama bekas inspektur polisi Frans Najoan. Westerling dan Najoan mendapat perintah menyerang sidang menteri kabinet RIS di Pejambon.
Sejak Februari 1950, Polisi Republik
Indonesia sudah mendata orang-orang yang dekat dengan Westerling, yang memimpin
gerakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) di Bandung dan Jakarta. Sebagai mantan
Menteri Negara tanpa Portofolio, Hamid II tak duduk di kursi empuk di kabinet
Republik Indonesia Serikat. Pada 5 April 1950, Hamid diciduk di Jakarta. Ia
menjadi tahanan dan harus duduk di kursi pesakitan. Sejak 25 Februari 1953,
Hamid II mulai menjalani beberapa persidangan yang menyudutkan dirinya. Jaksa
penuntutnya bukan Jaksa sembarangan. Hamid II langsung berhadapan dengan Jaksa
Agung Republik Indonesia, R Soeprapto.
Bila dikaitkan dengan kasus
penyerangan Westerling di Bandung 23 Februari 1950, Dakwaan Primair tidak
terbukti (Putusan Mahkamah Agung RI - 1953). Apabila dikaitkan rencana atau
"Niat" Sultan Hamid II untuk melakukan penyerangan Sidang Dewan
Menteri RIS 24 Februari 1950, tidak ditemukan bukti penyerangan ataupun
peristiwa dan "Niat" yang Sultan Hamid II batalkan, bukan merupakan
"Delik" atau Tindak Pidana. Sultan Hamid II ditahan 3 tahun tanpa ada
kejelasan hukuman. Sultan Hamdi II ditangkap 1950, 3 tahun kemudian baru
kasusnya diadili. Sultan Hamid menjalani hukumannya di Jakarta dan di
Yogyakarta (Jogja).
Sultan Hamid II diVonis 10 tahun penjara dipotong masa tahanan 3 tahun. Pada tahun 1950 Sultan Hamid II ditangkap, tahun 1953 diadili. Pada tahun 1958 Sultan Hamid II dibebaskan dari penjara (dipotong remisi, kelakuan baik, dan dengan perhitungan lainnya masa penjaranya dijalani selama 8 tahun). Grasi yang pernah diajukan Sultan Hamid II kepada Presiden Soekarno, atas usulan Mohammad Hatta, ditolak.
Sultan Hamid II diVonis 10 tahun penjara dipotong masa tahanan 3 tahun. Pada tahun 1950 Sultan Hamid II ditangkap, tahun 1953 diadili. Pada tahun 1958 Sultan Hamid II dibebaskan dari penjara (dipotong remisi, kelakuan baik, dan dengan perhitungan lainnya masa penjaranya dijalani selama 8 tahun). Grasi yang pernah diajukan Sultan Hamid II kepada Presiden Soekarno, atas usulan Mohammad Hatta, ditolak.
“Perintah penyerbuan itu timbul pada
ketika pembicaraan dengan Westerling pada tanggal 24 Januari 1950 siang.
Sebelumnya sama sekali tak ada maksud untuk melakukan penyerbuan itu,” kata
Hamid dalam Pleidoinya pada 25 Maret 1953. Akibat ditahannya Sultan Hamid II, Terjadi
Interregnum (Kekosongan Masa Pemerintahan) dikerajaan Pontianak. Pasca menjalankan
vonis, Istri dan anak-anak Sultan Hamid II ke Belanda. Sesekali datang ke
Indonesia untuk melihat keadaan Sultan Hamid II di dalam penjara.
Pada Tahun 1958 Sultan Hamid II merasakan kebebasan. Empat tahun menghirup udara bebas, Sultan Hamid II kembali ditangkap dan dijebloskan ke Rumah Tahanan Militer (RTM) Madiun, Jawa Timur, pada Maret 1962. Tuduhannya adalah melakukan kegiatan makar dan membentuk organisasi illegal bernama Vrijwillige Ondergrondsche Corps (VOC). Dikabarkan, persiapannya dilakukan bersama sejumlah tokoh saat mereka berada di Gianyar, Bali, untuk menghadiri upacara ngaben (pembakaran jenazah) ayah dari Ide Anak Agung Gde Agung.
Dalam upacara tersebut hadir sejumlah tokoh oposisi pemerintah, terutama dari dua partai yang sudah dibubarkan, Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI), seperti Mohamad Roem (Masyumi), Sutan Sjahrir (PSI) dan Subadio Sastrosatomo (PSI). Mohammad Hatta hadir, begitu juga Sultan Hamid II yang notabene kawan lama Ide Anak Agung Gde Agung.
Hamid II masih sering bergaul dengan
tokoh-tokoh politik dan pemerintahan. Hamid II juga juga masih berhubungan baik
dengan tokoh Bijeenkomst Federaal Overleg (BFO) lain. Begitu juga dengan Ide
Anak Agung Gde Agung, yang pernah dikalahkan Hamid dalam pemilihan Ketua BFO,
setelah kematian Ketua BFO Mr Tengku Bahruin. Mereka berdua, bersama
tokoh-tokoh lain pun dipenjarakan Pemerintah Orde Lama Soekarno.
Selama empat tahun Sultan Hamid II ditahan tanpa proses pengadilan. Hamid II dibebaskan pada 1966 setelah era Soekarno berakhir. Tuduhan makar terhadap Sultan Hamid II, menurut Ide Anak Agung Gde Agung, kemungkinan besar disebabkan pergunjingan orang-orang di sekitar Soekarno, dan bukan berangkat dari fakta. Bahkan Anak Agung menegaskan bahwa semua tuduhan itu omong kosong. Sebab, sejak keluar dari tahanan pada 1958, Sultan Hamid II tak terlibat dalam kegiatan politik sama sekali.
Selama empat tahun Sultan Hamid II ditahan tanpa proses pengadilan. Hamid II dibebaskan pada 1966 setelah era Soekarno berakhir. Tuduhan makar terhadap Sultan Hamid II, menurut Ide Anak Agung Gde Agung, kemungkinan besar disebabkan pergunjingan orang-orang di sekitar Soekarno, dan bukan berangkat dari fakta. Bahkan Anak Agung menegaskan bahwa semua tuduhan itu omong kosong. Sebab, sejak keluar dari tahanan pada 1958, Sultan Hamid II tak terlibat dalam kegiatan politik sama sekali.
Mahkamah Agung (MA) akhirnya
mengeluarkan keputusan pada 8 April 1955. Sultan Hamid II kemudian dinyatakan
tidak bersalah dan tidak terbukti terlibat dalam aksi Westerling dan pasukan
APRA di Bandung pada 23 Januari 1950. Putusan MA ini mungkin akan dijadikan
bahan untuk mendukung Sultan Hamid II sebagai Pahlawan Nasional atas jasanya
merancang Lambang Negara Garuda Pancasila.
Selepas dari penjara tanpa proses
peradilan tersebut, Sultan Hamid II beraktivitas di dunia bisnis sampai akhir
hayatnya. Sejak 1967 hingga 1978, dia menjadi Presiden Komisaris di PT.
Indonesia Air Transport (IAT). Pada 30 Maret 1978, pukul 18.15 WIB, Sultan
Hamid II wafat di Jakarta. Sultan Pontianak ke-7 itu meninggal dunia ketika
sedang melakukan sujud pada shalat maghribnya yang terakhir. Sultan Hamid II
dimakamkan di Pemakaman Keluarga Kesultanan Qadriyah Pontianak, di Batu Layang,
dengan Upacara Kebesaran Kesultanan Pontianak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar