Senin, 05 Maret 2018

Ketika Orang Lain Menceritakan Perihal Ki Bagus Hadikusumo



Ketika Orang Lain Menceritakan Perihal Ki Bagus Hadikusumo

Menurut Afnan Hadikusumo, kakeknya sepanjang hidupnya keberatan kalau difoto. Tak heran, keluarga pun tidak memiliki banyak foto Ki Bagus. Alasannya sederhana, karena Ki Bagus Hadikusumo merupakan sosok yang tidak mau dikultuskan.

"Sangat jarang difoto.Kita pun hanya memiliki beberapa foto saja. Karena beliau tidak mau dikultuskan," papar Afnan Hadikusumo, keturunan Ki bagus.
Di bidang ekonomi, sambil berdakwah ke luar kota, Ki Bagus menyempatkan diri berdagang guna menutupi biaya pribadinya dengan tidak mengharapkan imbalan dari syiar dakwahnya itu. Keikhlasan kerap mengiringi perjalanan dakwahnya ini. Tentu saja Ki Bagus ingat akan wejangan gurunya, KH Ahmad Dahlan, “Jangan mencari penghidupan di dalam Muhammadiyah, tapi hidup-hidupilah Muhammadiyah.” (Tajdid Muhammadiyah, 2005, hal 75).
Dalam buku 1 Abad Muhammadiyah: Gagasan Pembaruan Sosial Keagamaan (2012), pihak Muhammadiyah mencatat: “... rakyat Indonesia melakukan protes atas aturan tersebut. Bagi Muhammadiyah, umat Islam tidak dibenarkan mengadakan penghormatan yang demikian itu walau kepada raja sekalipun.” Dan salah satu penentangnya adalah Ki Bagus Hadikusumo, Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah (1944-1953).
“Mukadimah yang merupakan dasar ideologi Muhammadiyah ini menginspirasi sejumlah tokoh Muhammadiyah lainnya. HAMKA, misalnya, mendapatkan inspirasi dari mukadimah tersebut untuk merumuskan dua landasan idiil Muhammadiyah, yaitu Matan Kepribadian Muhammadiyah dan Matan Keyakinan dan Cita-Cita Hidup Muhammadiyah,” tulis web resmi Muhammadiyah.
Sebagai tokoh Muhammadiyah dan pendiri Bangsa, Ki Bagus dikenal sebagai ulama yang memiliki kecenderungan kuat untuk menginstitusionalisasikan Islam. Bagi Ki Bagus, pelembagaan Islam menjadi sangat mendesak untuk alasan-alasan ideologi, politis dan juga intelektual (Ensiklopedi Muhammadiyah, 2005, hal 129).
“Dari buku-buku karyanya tersebut, tecermin komitmennya terhadap etika dan bahkan juga syariat Islam. Dari komitmen tersebut, Ki Bagus adalah termasuk seorang tokoh yang memiliki kecenderungan kuat untuk pelembagaan Islam,” tulis web Muhammadiyah.
“Dalam menjalankan tugasnya memimpin Muhammadiyah, ia didampingi oleh Haji Ahmad Badawi,” tulis Nasruddin Anshory dalam Matahari Pembaruan: rekam jejak K.H. Ahmad Dahlan (2010).
Ketika ditanya mengenai pemboikotan oleh Muhammadiyah itu, maka dengan tegas Ki Bagus menjawab bahwa seikirei dilarang menurut ajaran Islam, karena umat Islam hanya memberikan penyembahan kepada Tuhan. Setelah melalui dialog panjang lebar, Gunseikan dapat memahami alasan Ki Bagus. Gunseikan lalu menyatakan bahwa jika Muhammadiyah keberatan melakukan seikirei, maka tidak akan dipaksa untuk melakukannya.
Untuk urusan Aqidah, Ki Bagus adalah ulama di Jawa yang menolak keras ritual seikerei. Seikerei adalah memberi penghormatan kepada kaisar Jepang dengan cara membungkukkan badan ke arah matahari terbit. Mengapa Ki Bagus menolak hal itu? Karena, seikerei sama artinya dengan syirik. Ki Bagus lalu dipanggil Kolonel Tsuda, Kepala Kempetai (Dinas Intelejen) Jepang. Setelah bertemu terjadilah dialog. Ki Bagus tetap pada pendiriannya tidak mau melaksanakan perintah itu dan melarang sekolah Muhammadiyah melakukan seikerei. (Suara Muhammadiyah edisi 16-28 Februari 2011, hal 43).
Sejak itu, seikirei tidak diwajibkan bagi siswa-siswa sekolah Muhammadiyah (yang hingga akhir 1930-an mencapai 388 buah, terbesar di antara organisasi pergerakan nasional lain), meskipun masih tetap diberlakukan di sekolah-sekolah lain (Majelis Diktilitbang dan LPI: 2010, 113-114).
Perdebatan ideologis itu sebenarnya telah muncul sejak era kebangkitan nasionalisme di awal abad ke-20. Pada masa itu, kaum nasionalis dari berbagai latar belakang etnis, daerah, dan ideologis bersatu dalam dua buah keyakinan yang sama: suatu negara-bangsa Indonesia dapat menciptakan modernitas, dan penjajah Belanda menghalangi aspirasi itu. Koalisi ini mencakup tiga pandangan utama, yakni Marxis, Muslim, dan developmentalis (Cribb: 2001, 32-37).
"Setiap rapat BPUPKI di Jakarta, pakai biaya sendiri. Bekal yang dibawa hanya batik, yang dijualnya di jalan untuk biaya," kata Afnan Hadikusumo.
Dalam sidang tersebut, Ki Bagus mengajukan konsep tentang "membangun negara di atas dasar ajaran Islam". Menurutnya, pertama, Islam itu cakap dan cukup serta pantas dan patut untuk menjadi sendi pemerintahan kebangsaan di negara Indonesia ini. Dan kedua, umat Islam adalah umat yang mempunyai cita-cita luhur dan mulia sejak dahulu hingga masa yang akan datang, yaitu di mana ada kemungkinan dan kesempatan pastilah umat Islam akan membangun negara atau menyusun masyarakat yang berdasarkan atas hukum Allah dan agama Islam (Syaifullah: 1997, 101-102).
Dalam sebuah rapat yang alot pada 22 Juni 1945, Panitia 9 dapat mencapai suatu kesepakatan yang dimaksudkan sebagai Pembukaan UUD, atau setidak-tidaknya sebagai suatu kertas kerja untuk membahas masalah itu lebih lanjut. Beberapa minggu kemudian Yamin menyebut dokumen politik tersebut sebagai Piagam Jakarta (Anshari: 1983).
Dalam pembicaraan itu, “Hasan memberikan tekanan pada pentingnya kesatuan nasional. Adalah sangat mutlak untuk tidak memaksa minoritas-minoritas Kristen penting (Batak, Manado, Ambon) masuk ke dalam lingkaran Belanda yang sedang berusaha kembali datang (menjajah Indonesia),” tulis Ben Anderson dalam Revoloesi Pemoeda (1989).
Persoalan ini penting untuk diulas guna mengetahui mengapa tokoh-tokoh Islam tersebut bersedia menerima tawaran Hatta untuk menghapus tujuh kata yang telah disepakati melalui perdebatan alot. Berdasarkan sebuah penelitian (Anshari: 1983, 48), Wahid Hasyim pada saat itu sebenarnya tidak hadir, meskipun Hatta menyatakan bahwa Wahid Hasyim turut hadir. Mengenai Mohammad Hassan, dapat dipahami jika ia menerima penghapusan "tujuh kata" tersebut mengingat ia sama sekali tidak bisa dimasukkan dalam kelompok nasionalis Islam, dan apalagi ia sama sekali tidak terlibat dalam BPUPKI maupun Panitia 9.
Menurut sebuah penelitian, dalam suatu pertemuan PP Muhammadiyah di Yogyakarta, Kasman mengatakan dengan berkaca-kaca bahwa ia merasa sangat berdosa karena dialah kunci yang melunakkan hati Ki Bagus ketika bertahan pada pencantuman "tujuh kata". Ketika itu, Kasman mengatakan kepada Ki Bagus bahwa Belanda sedang thingil-thingil dan thongol-thongol (sedang bersiap dari kejauhan) menyerbu dan merebut kembali Indonesia yang baru merdeka (Syaifullah: 1997, 124).
sebuah penelitian lain mengajukan analisis yang hampir serupa mengenai kesediaan tokoh-tokoh Islam menerima penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta (Effendy: 1998, 90-91). Pertama, dimasukkannya kata-kata "Yang Maha Esa" dapat dilihat sebagai langkah simbolik  untuk menunjukkan kehadiran unsur monoteistik Islam dalam ideologi negara.
penyelesaian secara Indonesia dari masalah ideologis ini bukanlah suatu konstitusi yang mempergunakan idiom-idiom khas Islam, tetapi penerimaan nilai-nilai spiritual milik bersama (Bolland: 1985, 40-41). Namun demikian, konsep ini dapat dianggap sebagai suatu konsep yang pada dasarnya bersifat Islami, tetapi telah dilepaskan dari ajaran agama agar bisa diterima oleh kalangan non-Muslim (Nieuwenhuijze: 1958, 208). Dan salah satu tokoh yang berperan penting dalam kompromi politik-ideologis itu adalah Ki Bagus Hadikusumo.
"Pemikiran masyarakat terkait prinsip Ki Bagus yang menjadikan Islam sebagai dasar akhlak pemimpin perlu dikoreksi, karena masih banyak masyarakat yang beranggapan bahwa maksud dari prinsip Ki Bagus tersebut yaitu berkeinginan untuk menjadikan Indonesia sebagai negara Islam itu sangat salah," katanya. Wakil Rektor I Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) Dr Ir Gunawan Budiyanto, MP yang juga cucu Ki Bagus Hadikusumo kepada wartawan di Kampus UMY di Tamantirto Kasihan, Bantul, Jumat (6/11/2015).
Idealisme seorang Ki Bagus seperti yang tercatat dalam sejarah, menolak penghapusan 7 kata yang telah disepakati dalam sidang PPKI, tetapi karena demi menjaga keutuhan bangsa, akhirnya beliau mau menerima penghapusan itu. Penerimaan atau sikap mengalah dari Ki Bagus juga didasarkan pada pendapatnya bahwa pengertian “Ketuhanan Yang Maha Esa” adalah Tauhid. Sekalipun beberapa pengamat politik memandang peristiwa itu sebagai kekalahan wakil-wakil umat Islam, dilihat dari proses perjalanannya, sebenarnya penghapusan 7 kata itu merupakan pengorbanan umat Islam dalam menyusun Pancasila. (Satu Abad Muhammadiyah, 2010, hal 127).
Menurut politikus Muhammadiyah A.M. Fatwa, penerimaan Ki Bagus atas usulan para koleganya telah “memperlihatkan kebesaran hati demi kesatuan dan persatuan bangsa,” demikian Nur Hidayat Sardini dalam 60 Tahun Jimly Asshiddiqie: Sosok, Kiprah, dan Pemikiran (2016).
Ki Bagus Hadikusumo juga merupakan sosok pemberani. Saat melawan penjajahan, Ki Bagus ikut berperan mendirikan Angkatan Perang Sabil yang bermarkas di Pekapalan Alun-alun Utara. Personel yang direkrut adalah pemuda sekitar Kota Yogyakarta. "Anggotanya sekitar 400 orang, itu di luar TNI," ungkap Afnan hadikusumo. Sebagai angkatan perang, Angkatan Perang Sabil juga berperang melawan penjajahan Belanda. "Bahkan, salah satu anak kandung Ki Bagus Hadikusumo, bernama Zuhri ikut tertembak saat terjadi baku tembak dengan Belanda. Zuhri akhirnya meninggal di Sonosewu setelah ditembak Belanda," jelasnya.
Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir  (2015) mengaku prihatin atas hilangnya makam tokoh Muhammadiyah tersebut. Menurutnya ziarah kubur yang selama ini tidak banyak dilakukan oleh warga Muhammadiyah lantaran dikhawatirkan mengkeramatkan kuburan.
salah satu juru kunci makam Kuncen, Walidzi mengungkapkan makam Ki Bagus tidak ada tanda atau nisan khusus. Hanya ditandai dengan sebongkah batu. Selain itu, di makam tersebut juga sudah ditumpuk dengan jenazah lainnya yang masih ada hubungan keluarga dengan (alm) Ki Bagus.
"Tandanya hanya bongkahan batu, letaknya ada di tengah dan sudah ditumpuk dengan makam milik orang lain. Sesuai tradisi keluarga Muhammadiyah ya memang tidak ada nisannya,"
Kata Afnan Hadikusumo. Makam kakeknya memang sudah ditumpuk dengan makam anggota keluarga lainnya. "Saya tidak ingat berapa kali menumpuknya. Tapi memang benar ditumpuk," Makam Ki Bagus Hadikusumo yang berada di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Kuncen, Kecamatan Wirobrajan, Kota Yogyakarta pun tidak ada tandanya. Tidak ada patok nama apalagi batu nisan. "Saat itu tengernya (tandanya) hanya sebongkah batu," ungkap Afnan Hadikusumo.
Saat Afnan masih kecil pernah diajak oleh ayahnya di TPU Kuncen. Saat itu, penanda berupa bongkahan batu masih ada. Namun sejak kuliah, saat ke TPU lagi, batu penanda itu sudah tidak ada. "Jangankan batu, tulangnya (jazad) mungkin sudah tidak ada, karena sudah dipakai makam orang lain," Kata Afnan Hadikusumo.
Dahulu batu nisannya hanya berupa batu, dan sekarang sudah tidak ada lagi sisa dari tanda makamnya. Karena dalam tradisi Muhammadiyah, orang yang sudah meninggal sudah putus hubungan dengan keduniawian. Yang ada berupa doa-doa dari anak soleh, ujar salah satu cucu dari Ki Bagus. Salah satu cucu Ki Bagus, Afnan Hadikusumo mengatakan, penghargaan yang diberikan kepada kakenya merupakan bentuk penghargaan atas perjuangannya selama ini. "Tapi yang mengajukan menjadi pahlawan sebenarnya bukan ahli waris atau keluarga," katan kata Afnan. Menurut Afnan, pihak yang mengajukan Ki Bagus Hadikusumo menjadi pahlawan adalah PP Muhammadiyah. Afnan mengungkapkan, pemberian gelar pahlawan untuk kakeknya ini merupakan yang keempat. Penghargaan pertama yang diperolehnya berasal dari Kaisar Jepang Teno Haikka, penghargaan kedua dari Presiden Soekarno sebagai sosok perintis kemerdekaan. Penghargaan ketiga dari Presiden Soeharto berupa Bintang Maha Putra karena dianggap berjasa untuk bangsa dan negara. Penghargaan keempat dari Presiden Joko Widodo sebagai Pahlawan Nasional. Menurut Afnan, setelah mendapat gelar pahlawan nasional, ada hak yang diterima ahli waris. Hak itu berupa pemberian Rp50 juta per tahun dari pemerintah.
mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin menyambut gembira atas penganugerahan Pahlawan Nasional kepada Ki Bagus Hadikusumo. Warga Muhammadiyah ikut merasakan kebahagian atas penghargaan tersebut. PP Muhammadiyah sejak dua tahun lalu mengusulkan tiga tokok untuk mendapat gelar Pahlawan Nasional. Ketiga tokoh tersebut yakni Ki Bagus Hadikusumo, Kahar Mudzakir dan Kasman Singodimejo.
Dosen Fakultas Adab dan Humaniora UIN Jakarta, Dr. Sudarnoto Abdul Hakim menyatakan, keputusan pemerintah ini sangat penting tidak saja sekedar pengakuan dan apresiasi formal terhadap apa yang telah diperjuangkan oleh Ki Bagus, akan tetapi sekaligus menunjukkan adanya kesadaran sejarah bahwa umat Islam merupakan elemen penting dari Bangsa dan Negara RI ini. Tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa Pancasila adalah hadiah terbesar umat Islam dan Ki Bagus adalah tokoh kunci (Rakyat Merdeka Online, 5 November 2015).

Sumber :
https://www.kiblat.net/2015/11/06/idealisme-dan-keikhlasan-ki-bagus-hadikusumo/alang)

Tidak ada komentar: