Selasa, 15 November 2022

Pak Tani, Padamu Bangsa Ini Menitikkan Harapan

 

Pak Tani, Padamu Bangsa Ini Menitikkan Harapan

Perusahaan Inti Rakyat (PIR) adalah pola untuk mewujudkan suatu perpaduan usaha dengan sasaran perbaikan keadaan sosial ekonomi peserta dan didukung oleh suatu sistem pengelolaan usaha dengan memadukan berbagai kegiatan produksi, pengelolaan dan pemasaran dengan menggunakan perusahaan besar sebagai inti dalam suatu system kerjasama yang saling menguntungkan (Ditjen Perkebunan, 1986).

 

Proyek Perusahaan Inti Rakyat (PIR) dengan tanaman kelapa sawit dimulai dari kisaran tahun 1980an  di Provinsi Sumatera Selatan. (Pada tahun 2003, Provinsi Sumatera Selatan merupakan terbesar ketiga dalam luas areal dan produksi industri kelapa sawit di Indonesia). Pembangunan perkebunan saat itu dilakukan melalui empat pola pengembangan yakni; (1) Pola Perusahaan Inti Rakyat (PIR); (2) Pola Unit Pelayanan Pengembangan (UPP); (3) Pola Swadaya (PS); (4) Pola Perkebunan Besar (PB).

Pola pengembangan berdasarkan 4 pola tersebut dimaksudkan agar dapat merengkuh seluruh segi petani seperti:

·     Petani yang tidak  memiliki Iahan dan modal dibantu melalui pola PIR.

·     Petani yang memiliki lahan dibantu lewat pola UPP.

·     Petani yang berpotensi berkembang akan dimasukkan dalam pola swadaya dengan kegiatan dengan bantuan pemerintah secara parsial.

·     Pengusaha yang bermodal diarahkan berkonstribusi dalam pengembangan dengan pola PIR maupun bukan PIR.

Pengembangan perkebunan pola PIR di Indonesia dimulai melalui berbagai proses persiapan. Tahap proses awal penguatan kepada perusahaan perkebunan negara melalui bantuan Bank Dunia untuk menjadi calon perusahaan inti. Pengembangan pola PIR diawali dengan seri proyek PIR Berbantuan yang dikenal dengan NES bantuan Bank Dunia Proyek tersebut kemudian diikuti oleh Bank Pembangunan Asia dan Bank Pembangunan Jerman. Pengembangan pola PIR dilaksanakan oleh 7 PTP yang sekarang menjadi PT Perkebunan Nusantara, proses PTP dilakukan melalui tiga tahap:

  • (1969 s/d 1972), Memberikan bantuan Kredit Bank Dunia kepada 7 PTP.
  • (Mulai 1973), Merintis proyek pola Unit Pelayanan Pengembangan (UPP) dan pola PIR yang dimulai dengan pembentukan Proyek Pengembangan Perkebunan Rakyat Sumatera Utara (P3RSU) dan Proyek Pengembangan Teh Rakyat dan Perkebunan Swasta Nasional (P2TRSN).
  • (Mulai 1973), Penandatanganan perjanjian pinjaman proyek NES I (1977an) untuk pengembangan karet di Aloimerah, Aceh dan Tebenan, Sumatera Selatan. Sedangkan proyek NES untuk pengembangan perkebunan kelapa sawit baru dimulai sekitar awal tahun 1980-an, yaitu proyek NES IV Betung.

 

 

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjaxDhPfVb4foIthDsR4AW6XRT9XVGIaX3ohYU2qydw2CzmPVA1OfCnJtMwrI7tqOQTUe2haiD6_EA_wxA54uUabbQszssFNTHy2n6rgiZOrYPpuyIkrd6I5rq-LkZJ2x0_BadZhxMZZ44/s320/mekanisme+kemitraan.jpg

 

Pengembangan subsektor perkebunan dengan pola Perusahaan Inti-Rakyat Perkebunan (PIR-BUN) diselenggarakan pada awal tahun 1980-an. Tujuan kebijaksanaan tersebut  disamping untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani, juga untuk meningkatkan produksi komoditas perkebunan baik untuk memenuhi permintaan bahan baku industri dan konsumsi di dalam negeri maupun luar negeri. Makna strategis dari kebijakan PIR-BUN, meliputi aspek pemberdayaan petani perkebunan. Melalui kerja sama kemitraan antara perkebunan besar dan petani plasma, dimasa depan akan terjadi proses transformasi sosial dari masyarakat pertanian tradisional menjadi masyarakat industri.

Pola PIR menggunakan usaha perkebunan besar milik negara dan swasta sebagai inti pengembangan perkebunan rakyat dan dilaksanakan pada areal baru, areal daerah terpencil (remote) dan daerah dengan penduduk sedikit. Perusahaan inti (disamping mengusahakan kebunnya sendiri) harus membantu petani peserta untuk mengelola kebunnya, membantu pengolahan serta pemasaran hasil kebun. Pembangunan perkebunan melalui PIR berkembang dan tersebar diberbagai tempat serta memberikan berbagai manfaat antara lain meningkatkan pemasukan petani, wilayah perkenunan meluas, penyerapan tenaga kerja dan  menjadi pemanis program transmigrasi. Pola PIR tersebut dapat digolongkan PIR-BUN yang meliputi PIR Swadana yaitu PIR Lokal & PIR Khusus dan PIR Berbantuan serta PIR-TRANS (Ditjen Perkebunan, 1996).

Pembangunan perkebunan dengan pola PIR-BUN sampai dengan telah dikembangkan kurang lebih menjadi 562.000an Ha terdiri dari 397.000an ha kebun plasma dan 164.000an ha kebun inti dengan berbagai komoditas seperti karet, kelapa sawit, tebu, kapas, kelapa hibrida dan kakao. Pola PIR-TRANS dikembangkan kurang lebih 584.000an Ha terdiri dari kebun plasma seluas 425.000an Ha meliputi 381.000an Ha komoditas kelapa sawit dan 44.000an Ha komoditas kelapa hibrida serta 159.000an Ha kebun inti yang meliputi 148.000an Ha komoditas kelapa sawit dan 11.000an Ha komoditas kelapa (Ditjen Perkebunan, 1997).

Untuk pengembangan perkebunan dengan pola Perusahaan Inti Rakyat (PIR) yang dikaitkan dengan program transmigrasi, Presiden melalui Inpres No. 11 Thn 1986 1 Maret 1986 menginstruksikan 9 Menteri, Gubernur Bank Indonesia dan Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) untuk mengadakan kerja sama dan koordinasi yang sebaik-baiknya untuk menyusun dan melaksanakan program-program kegiatan yang berkaitan dengan pengembangan tanaman perkebunan pola PIR yang di kaitkan dengan program transmigrasi (PIR-Trans). Kesembilan menteri yang diinstruksikan ialah Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas, Menteri Pertanian, Menteri Transmigrasi, Menteri Tenaga Kerja, Menteri Dalam Negeri, Menteri Keuangan, Menteri Kehutanan, Menteri Koperasi dan Menteri Muda Urusan Peningkatan Produksi Tanaman Keras.

Proyek PIR-Trans merupakan paket pembangunan wilayah yang terdiri dari pembangunan perkebunan inti, pembangunan perkebunan plasma, dan pembangunan pemukiman yang terdiri dari lahan pekarangan dan perumahan. Lahan kebun inti dan kebun plasma yang perimbangan luasnya ditetapkan oleh Menteri Pertanian (20:80). Untuk lahan plasma ditetapkan 2 hektar ditambah 0,5 hektar untuk pekarangan termasuk tapak perumahan. Kepada perusahaan inti diwajibkan membangun perkebunan inti lengkap dengan fasilitas pengolahan yang dapat menampung hasil perkebunan inti dari plasma.

Pembiayaan pembangunan kebun plasma dilakukan perusahaan inti yang kemudian akan diambil alih oleh bank pemerintah dan bank-bank lainnya yang disetujui oleh bank Indonesia pada waktu penyerahan pemilikan kebun plasma kepada petani peserta. Pembiayaan pembangunan lahan pangan, pekarangan, perumahan peserta, penyediaan air bersih, sarana penunjang dan pemukiman dilakukan oleh pemerintah melalui anggaran Departemen Transmigrasi, sedangkan pembangunan sarana dan pra-sarana lainnya yang diperlukan dilakukan oleh pemerintah melalui Anggaran Departemen Teknis (Sektoral) yang bersangkutan. Biaya pembangunan kebun plasma yang diambil alih oleh bank pemerintah dan bank-bank lainnya yang disetujui Bank Indonesia terdiri dari biaya pembangunan kebun plasma dari tahap persiapan sampai pada saat penyerahan kebun plasma termasuk bunganya yang jumlahnya dihitung berdasarkan unit cost ditambah “overhead cost” dan jasa manajemen.

Dalam Inpres 1/1986 ditetapkan bahwa petani peserta proyek PIR-Trans terdiri dari transmigran yang ditetapkan oleh Menteri Transmigrasi. Penduduk setempat termasuk para petani yang tanahnya terkena proyek yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah serta petani (peladang) berpindah yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah dari kawasan hutan terdekat yang dikenakan untuk proyek. Perimbangan untuk jumlah petani peserta yang berasal dari transmigrasi dan penduduk setempat dalam proyek PIR, ditetapkan oleh Menteri Transmigrasi. Pola Perusahaan Inti Rakyat atau disingkat PIR adalah pola Pelaksanaan Pengembangan Perkebunan dengan menggunakan perkebunan besar sebagai inti yang membangun dan membimbing perkebunan rakyat disekitarnya sebagai plasma dalam suatu sistem kerjasama yang saling menguntungkan, utuh dan kesinambungan. Perusahaan Inti adalah perusahaan perkebunan besar, baik milik swasta maupun milik negara yang bertindak sebagai pelaksana proyek PIR. Kebun Plasma adalah areal wilayah plasma yang dibangun oleh perusahaan Inti dengan tanaman kelapa sawit.

Pada tahun 1986 diterapkan Pola PIR-Trans yang didasarkan pada Kepres No. 1 tahun 1986, kini sudah tidak diberlakukan dan kemudian diganti dengan Pola KKPA yang didasarkan atas keputusan Bersama Menteri Pertanian dan Menteri Koperasi dan Pembinaan Pengusaha Kecil No.73/Kpts/KB.510/2/1998 dan No. 01/SKB/M/11/98. Terakhir diterapkan Program Revitalisasi Perkebunan yang didasarkan atas Peraturan Menteri Pertanian Nomor : 33/Permentan/OT.140/7/2006.

Kementerian Keuangan sendiri juga berperan dalam proyek PIR ini. Jangka waktu pemberian pembiayaan pinjaman oleh Kemenkeu adalah pada medio tahun 1979 sampai dengan tahun 2005. Proyek PIR yang menjadi acuan utama dari Kemenkeu adalah PIR Swadana (PIR-Khusus I/II, PIR Lokal) dan PIR berbantuan luar negeri (NES I sampai dengan NES VII, NES ADB dan NES Gula). Kredit pembiayaan yang dikucurkan oleh Kementerian Keuangan adalah Rp. 1.049.639.542.279,13. Capaian luas kebuan bisa dikelola dari pembiayaan ini adalah 320.513,18 Hektar mencakup 186.389 Kepala Keluarga dan berlokasi di 19 provinsi diseluruh Indonesia. Pelaksana Proyek  PIR ini adalah 10 Perusahaan Badan Usaha Milik Negara (PTPN I sampai dengan XIV) dan perusahaan swasta nasional (PT. Sinar Inesco dan PT. Pagilaran). Komoditas perkebunan yang dihasilkan dari proyek ini adalah karet, kelapa sawit, kelapa hibrida, tebu, coklat, teh, dan kapas. Pembiayaan yang disalurkan kepada petani berasal dari pinjaman luar negeri (IBRD, ADB, KFW, CDC, dan SFD), APBN, dan RDI.

 

 

 

 

 

 


NO

NOMOR REKENING

NAMA REKENING

NAMA BANK

1.

0206-01-000023-30-5

RPL BUN PIR SPH

BRI KCK

2.

0206-01-006221-30-9

RPL BUN PIR NON SPH

BRI KCK

3.

116.0094009835

RPL BUN PIR SPH

Mandiri Cabang S. Parman

4.

117.0006607899

RPL BUN PIR Non SPH

Mandiri Cabang S. Parman

Kendala dilapangan selalu saja menjadi bumbu dalam suatu pelaksanaan kegiatan. Kendala mengakibatkan program tidak sesuai dengan rencana yang telah direncanakan. Kendala ini mengakibatkan antara lain pelaksanaan akad kredit tidak tepat waktu, menyebabkan calon petani peserta terlambat menerima hasil kebun, perusahaan inti dikenai beban bunga, dan petani peserta meninggalkan lokasi kebun yang digarapnya. Masalah seperti ini membuat proses sertifikasi tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya.

Masalah terkait kelancaran pelaksanaan PIR, antara lain sering terjadinya wanprestasi perjanjian, baik oleh perusahaan inti maupun petani peserta program dan tidak berfungsinya kontrol lembaga yang menangani. Masalah alih teknologi yang berjalan setengah-setengah menyebabkan tingkat produktivitas kebun rendah.

Masalah lain dalam program PIR, pada tahap persiapan dan pembukaan lahan. Ketidakpuasan petani-petani penerima program PIR atas luas dan pembagian lahan dapat memicu konflik diantara petani tersebut. Latar belakang petani plasma yang beragam adalah masalah tersendiri, petani ada yang kurang menguasai teknologi produksi menjadi menentukan tingkat produktivitas lahan.

Dalam fase pelunasan pembayaran pembiayaan dengan program PIR, terdapat berbagai macam kendala yang mengakibatkan banyaknya kredit macet sampai saat ini. Petani peserta program PIR mempunyai tingkat kemauan yang rendah untuk melakukan pembayaran hutangnya. Menurut mereka, penjualan produksi kebun petani kepada Perusahaan Inti sangat rendah dan cenderung menjual hasil kebunnya kepada pihak ketiga, sehingga Perusahaan Inti tidak dapat memotong pinjaman petani sebesar 30% dan rendahnya tingkat kesadaran petani untuk membayar cicilan pinjamannya kepada pihak Perusahaan Inti. Pendapatan petani dari hasil penjualan produksi kebun berkurang akibat harga jual produksi yang rendah. Petani enggan membayar cicilan pinjamannya karena sertifikat kebun belum terbit dari Badan Pertanahan Nasional. Pemeliharaan kebun oleh petani tidak maksimal yang berdampak kepada rendahnya produktivitas kebun dan berdampak kepada tingkat pendapatan dan pengembalian pinjaman petani.

Penanganan pengembalian kredit petani oleh Perusahaan Inti tersendat, hal tersebut salah satunya terjadi semenjak pembiayaan proyek sudah tidak dianggarkan pada tahun 2003an. Faktor alam seperti bencana alam dibeberapa daerah lokasi PIR yang mengakibatkan tanaman rusak sehingga produktivitas dan pendapatan petani menjadi rendah. Tingkat keamanan juga menjadi sorotan, gangguan keamanan di aceh dan kerusuhan sosial Sambas Kalimantan Barat yang mengakibatkan petani peserta mengungsi dan meninggalkan kebunnya, sehingga kebun terlantar dan rusak dan sebagian diokupasi masyarakat, akibatnya pengembalian kredit terhenti.

Kementerian Keuangan dalam hal ini KPPN Khusus Investasi tidak dapat melakukan penagihan kepada peserta program PIR. KPPN Khusus Investasi melakukan himbauan dengan menghimbau kepada Kementerian Pertanian , khususnya Direktorat Perkebunan, PTPN, dan Bank penjamin agar melakukan edukasi ke petani untuk tetap melakukan usaha semaksimal mungkin agar dapat melunasi hutang sehingga sertifikat dapat diambil. Petugas pengembalian kredit PTPN diharapkan agar senantiasa bersemangat melakukan penagihan, penatausahaan hutang, dan penyetoran pengembalian kredit. Bank Cabang agar dapat senantiasa melaksanakan penatausahaan dan pelimpahan pengembalian kredit secara tepat waktu.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Tidak ada komentar: