Sabtu, 10 Mei 2008

Aku Mencintai Istriku

Aku Mencintai Istriku
Melihatnya meringis menahan sakit, menggenggam tangannya ketika mengejan, melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana ia mengeluarkan buah hati kami, sungguh merupakan episode yang menggetarkan. Dan, sehabis itu, cinta ini seperti semakin tumbuh. Menjulang. Apakah memang cinta justru akan menemukan titik puncaknya ketika dihadapkan pada situasi antara hidup dan mati? Di saat kemungkinan hidup sama tipisnya dengan kemungkinan tidak menjumpainya lagi? Karena sebab ini pulalah, saya berupaya untuk selalu mendampinginya pada peristiwa berdarah-darah itu. Melihatnya bergulat maut, membuat saya tidak akan pernah tega melukai hatinya. Apalagi memukulnya. Sungguh, apa yang saya sandang, apa yang saya kerjakan sejak keluar pagi dan pulang petang untuk mereka yang di rumah, tidaklah sepadan dengan apa yang harus dialami wanita perkasa itu. Wahai! Betapa benar sabda Rasul SAW bahwa sebaik-baik suami adalah yang terbaik akhlaknya kepada isterinya. Dengan membandingkan pengorbanan pada peristiwa persalinan ini saja, rasanya, Anda, para suami tidak ada apa-apanya jika dibandingkan wanita yang anak-anak Anda memanggil padanya ibu Karenanya, mendampinginya bersalin adalah sebuah terapi jiwa, sekaligus episode pembaharuan cinta padanya. Jadi, jika rasanya cinta saya padanya sedikit terdegradasi, barangkali sudah waktunya bagi saya mendampinginya lagi untuk bersalin.
Penggalan tulisan diatas merupakan kiriman dari istriku untuk aku. Entah apa maksudnya, yang jelas dia meminta untuk membacanya dengan sangat. Aku masih berpikir apa maksudnya, tapi maksud itu menjadi terjawab mudah ketika aku juga mendapa kiriman email dari sobatku, seperti yang tertuturkan berikut ini. Linda teringat suatu hari ketika Linda masih berusia belasan tahun. Saat itu beberapa ibu-ibu tetangganya mengajak ibu Linda pergi ke pembukaan pasar murah yang mengobral alat-alat kebutuhan rumah tangga. Mereka mengatakan saat pembukaan adalah saat terbaik untuk berbelanja barang obral karena saat itu saat termurah dengan kualitas barang-barang terbaik. Tapi ibu Linda menolaknya karena ayah Linda sebentar lagi pulang dari kantor. Kata ibu Linda,"Mama tak akan pernah meninggalkan papa sendirian".
Hal itu yang selalu dicamkan oleh ibu Linda. Apapun yang terjadi, sebagai seorang wanita harus patuh pada suami dan selalu menemaninya dalam keadaan apapun, baik miskin, kaya, sehat maupun sakit. Seorang wanita harus bisa menjadi teman hidup suaminya. Banyak orang tertawa mendengar hal itu menurut mereka, itu hanya janji pernikahan, omong kosong belaka. Tapi aku tak pernah memperdulikan mereka, Linda percaya nasihat ibu Linda.
Sampai suatu hari, bertahun-tahun kemudian, keluarga Linda mengalami duka, setelah ulang tahun ibu Linda yang ke-59, ibu Linda terjatuh di kamar mandi dan menjadi lumpuh. Dokter mengatakan kalau saraf tulang belakang ibu Linda tidak berfungsi lagi, dan dia harus menghabiskan sisa hidupnya di tempat tidur.
Ayah Linda, seorang pria yang masih sehat di usianya yang lebih tua, tapi ia tetap merawat ibu Linda, menyuapinya, bercerita banyak hal padanya, mengatakan padanya kalau ia mencintainya. Ayah Linda tak pernah meninggalkannya, selama bertahun-tahun, hampir setiap hari ayah Linda selalu menemaninya, ia masih suka bercanda-canda dengan ibu Linda. Ayah Linda pernah mencatkan kuku tangan ibu Linda, dan ketika ibu Linda bertanya ,"untuk apa kau lakukan itu? Aku sudah sangat tua dan jelek sekali". Ayah Linda menjawab, "aku ingin kau tetap merasa cantik". Begitulah pekerjaan ayah Linda sehari-hari, ia merawat ibu Linda dengan penuh kelembutan dan kasih sayang, para kenalan yang mengenalnya sangat hormat dengannya. Mereka sangat kagum dengan kasih sayang ayah Linda pada ibu Linda yang tak pernah pudar.
Suatu hari ibu berkata pada Linda sambil tersenyum,". ..kau tahu, Linda. Ayahmu tak akan pernah meninggalkan aku...kau tahu kenapa?" Aku menggeleng, dan ibuku melanjutkan, "karena aku tak pernah meninggalkannya. .."
Itulah kisah cinta Mohammed Huda Alhabsyi dan Yasmine Ghauri, Mereka memberikan pelajaran tentang tanggung jawab, kesetiaan, rasa hormat, saling menghargai, kebersamaan, dan cinta kasih. Bukan dengan kata-kata, tapi mereka memberikan contoh dari kehidupannya.

Kesempatan waktu luang ini kugunakan untuk menjemput isteriku. Entah kenapa hati ini tiba-tiba saja menjadi rindu padanya. Motorku sudah sampai di tempat isteriku sholat. Di depan pintu kulihat masih banyak sepatu berjajar, ini pertanda sholat belum selesai. Kuperhatikan sepatu yang berjumlah delapan pasang itu satu persatu. Ah, semuanya indah-indah dan kelihatan harganya begitu mahal. "Wanita, memang suka yang indah-indah, sampai bentuk sepatu pun lucu-lucu," aku menggumam sendiri. Mataku terantuk pandang pada sebuah sendal jepit yang diapit sepasang sepatu indah. Dug! Hati ini menjadi luruh. "Oh....bukankah ini sandal jepit isteriku?" tanya hatiku. Lalu segera kuambil sandal jepit kumal yang tertindih sepatu indah itu. Tes! Air mataku jatuh tanpa terasa. Perih nian rasanya hati ini, kenapa baru sekarang sadar bahwa aku tak pernah memperhatikan isteriku. Sampai-sampai kemana ia pergi harus bersandal kumal. Sementara teman-temannnya bersepatu bagus. "Maafkan aku," hatiku mengguman lagi. "Krek...," suara pintu terdengar dibuka. Aku terlonjak,. Kulihat dua wanita berjalan melintas sambil menggendong bocah mungil yang berjilbab indah dan cerah, secerah warna baju dan jilbab ibunya. Beberapa menit setelah kepergian dua wanita itu, kembali melintas wanita-wanita yang lain. Namun, belum juga kutemukan istriku. Aku menghitung sudah delapan orang keluar dari masjid itu, tapi isteriku belum juga keluar.
Sesosok tubuh berbaya gelap dan berjilbab keluar. "Ini dia istriku!". Ia hanya memakai baju warna gelap yang sudah lusuh pula warnanya. Diam-diam hatiku kembali dirayapi perasaan bersalah karena selama ini kurang memperhatikan isteriku. Ya, aku baru sadar, bahwa semenjak menikah belum pernah membelikan sepotong baju pun untuknya. Aku terlalu sibuk memperhatikan kekurangan-kekurangan isteriku, padahal di balik semua itu begitu banyak kelebihan istriku. Aku benar-benar menjadi malu pada Alloh dan Rasul-Nya. Selama ini aku terlalu sibuk mengurus orang lain, sedang isteriku tak pernah kuurusi. Padahal Rasul telah berkata: "Yang terbaik di antara kamu adalah yang paling baik terhadap keluarganya." Sedang aku..? Ah, kenapa pula aku lupa bahwa Alloh menyuruh para suami agar menggauli isterinya dengan baik. Sedang aku...? terlalu menuntut isteri dengan sesuatu yang ia tak dapat melakukannya. Pandangan matanya menunjukkan ketidakpercayaan atas kehadiranku di tempat ini. Namun, kemudian terlihat perlahan bibirnya mengembangkan senyum. Senyum bahagia dan girang. Sungguh, aku baru melihat isteriku segirang ini. "Ah, kenapa tidak dari dulu kulakukan menjemput isteri?" sesal hatiku. Sekali lagi ini adalah sapenggalan dari email kiriman teman saya juga.
Istri adalah diri dia dengan segala kelebihan dan kekurangan, entah apakah aku bisa membahagiakan istriku atau tidak, apa kadar bahagia yang diinginkan istrikupun aku belum bisa menerka. Maafkan aku istriku sekiranya aku tidak bisa membuatmu bahagia dan tetsan airmatamu terlalu banyak untuk aku. Dan maafkan aku ibu belum bisa menjadi suami yang Engkau harapkan, hanya setes harapan itu yang menggantungku sampai kapan, entah

Tidak ada komentar: