Sabtu, 03 Februari 2018

Kasman Singodimedjo dalam Catatan para tokoh





Kasman Singodimedjo dalam Catatan para tokoh


“Waktu saya tiba di Pejambon, terbukti masih sedang ramai-ramainya diadakan lobbying di antara anggota-anggota Panitia (Sembilan). Dan tidak sulit bagi saya untuk mengetahui materi apakah yang menjadi persoalan serius itu,” ujar Kasman dalam Hidup Itu Berjuang: Kasman Singodimedjo 75 Tahun.

“Adapun materi yang termaksud adalah usul dari pihak nonmuslim di dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia untuk menghapus tujuh kata dari Piagam Jakarta, yakni yang berbunyi: … dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.”
Melalui majalah bulanan JIB “Het Lich” No.7 Agustus 1925, ia menggambarkan banyak mulut kaum intelektual kala itu bisu dengan bahasanya. Banyak yang tidak paham dan pandai berbicara dengan bahasa sendiri. Mereka tidak sungguh-sungguh mempelajari bahasanya. Betapa banyak dari mereka yang berasal dari suku sunda, tapi tidak pandai bahasa sunda yang sopan. Begitu pula yang berasal dari suku Melayu dan Jawa. Bahasa yang digunakan perkumpulan Jong Java bukanlah bahasa Jawa, Sunda, atau Melayu karena tidak semua anggotanya bisa. Itu pula yang membuat JIB terpaksa menjadikan Bahasa Belanda sebagai bahasa persatuan dalam organisasinya.
Lebih dari soal bahasa, ia mengungkap kehidupan mereka seperti orang Eropa.“Kita tidak mengenal kehidupan kerja keras dan berat seperti yang dialami oleh para petani di sawah dan ladang. Kita tidak mengenal membanting tulang, mengangkat, dan memikul. Malahan kita terbius memandang rendah pekerjaan mereka yang serba kekurangan itu. Dan betapa jauh berbedanya kehidupan kita daripada mereka itu, dalam hal pakaian, perumahan, dan kesenangan.”
Pesta-pesta kelahiran, pernikahan, dan lain-lain, lanjutnya, benar-benar telah menjauhkan mereka dari rakyat. Mereka telah membiasakan tingkah laku orang Eropa. Apa saja di-Eropa-kan: pakaian pengantin, kamar pengantin, dan lain-lain. Dan yang lebih parah lagi, ungkapnya, pada pesta-pesta itu mereka layani orang Eropa secara istimewa. Mereka adakan kebiasaan malam-malam khusus untuk melayani kenalan dan teman-teman Eropa. Dari situ, mereka merasa terhormat atas perhatian yang orang Eropa berikan dan menganggap remeh tamu sebangsa.
“Hampir-hampir kita tinggalkan sama sekali adat pusaka lama kita, yang mengandung pengertian bahwa pesta-pesta rumah yang diadakan oleh orang-orang yang berada, adalah bertujuan untuk menyenangkan dan menyuguhi jiran sekampung. Selamatan-selamatan yang diadakan dengan Kiayi-Kiayi dan santri-santri sebagai tamu terhormat telah tidak lagi menjadi kebiasaan bagi orang-orang kita yang berada.”
Seperti halnya pesta-pesta tadi, lanjutnya, pergaulan kaum intelektual pun seperti orang Eropa. Mereka hanya ingin berteman dengan orang Eropa atau orang Indonesia yang sudah kebarat-baratan, khususnya yang bisa berbahasa Belanda.
Ia merasakan kenyataan yang pahit dan menyedihkan ketika kaum intelektual buta sama sekali terhadap hati nurani rakyat. Mereka tidak mengenal perasaan yang dimiliki rakyat. Pergaulan, pendidikan, dan hubungan mereka dengan orang Barat, khususnya dengan orang-orang Belanda, membuat mereka kurang bisa mengerti curahan perasaan rakyat yang jarang sekali atau bahkan mungkin tidak pernah mereka pedulikan.
Mereka menganggap segala sesuatunya yang bukan contoh dari orang Eropa adalah rendah, terbelakang, dan tidak sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman. Sampai-sampai apa yang paling baik dipunyai bangsa kita. “Pokoknya semua yang tidak sesuai dengan apa yang dibawakan oleh dunia Barat yang telah menguasai negara kita ini, sudah kita anggap rendah pula dan kita rasakan sebagai sesuatu yang salah karena tidak sesuai dengan contoh yang kita tiru dari manusia-manusia Barat yang rakus tak pernah kenyang itu.”
Menurutnya, kesalahan mereka karena terlalu meningkatkan diri pada pengetahuan sekolah dan meninggalkan rakyat jauh di belakangnya. Kejiwaan itu menyebabkan mereka selaku murid orang Barat tak sedikit pun dapat mengakui atau menghargai sesuatu yang berasal dari kepribadian bangsa sendiri. Sehingga seolah-olah rakyat itu harus belajar dari mereka, bahkan mereka sampai menyangka- nyangka seolah-olah rakyat tidak mempunyai keinginan untuk merdeka ataupun tidak berhasrat sendiri untuk berkembang. Akibatnya, mereka berpendapat bahwa mereka harus mengadakan perubahan pada rakat.
“Betapa salahnya persangkaan kita itu. Betapa justru lebih dulu dari lingkungan kaum intelektual, di kalangan rakyat telah tercetus keinginan untuk merdeka dan hasrat kepada kemajuan, yang disusul dengan tindakan dan perbuatan.Tampak adanya inisiatif yang murni dan daya cipta yang enerjik yang menunjukkan keinginan akan kemajuan, dan perasaan persaudaraan terutama sekali harus dicari pada rakyat kita yang beragama Islam dan telah menyatukan diri dan berorganisasi dengan memakai Islam sebagai dasar.”
Ia menyebutkan banyak sekolah-sekolah yang sudah didirikan oleh Sarekat Islam, Muhammadiyah, Perserikatan Ulama dan lain-lain seperti Sarikat Usaha dan Sumatera Tawalib. Sedangkan perkumpulan-perkumpulan lain mencontoh pendidikan sekolah-sekolah pemerintah, yang umumnya dipandang tidak tepat dari segi kebangsaan. Di saat sebagian orang-orang Indonesia yang kompeten dan orang-orang Eropa sibuk mengadakan teori dan percobaan-percobaan, organisasi-organisasi Islam sudah lebih dahulu menyusun dan mempraktikkan pendidikan nasional untuk bangsa kita. Ia menilai itu karena organisasi-organisasi Islam menggunakan dasar Islam sehingga mengarahkan mereka pada usaha menuju kesatuan dalam pendidikan, yaitu usaha yang membayangkan keberhasilan.
“Dalam usaha membangun pendidikan itu, mereka itu tidak mengambang di awang-awang, oleh karena mereka dapat melanjutkan usaha atas dasar-dasar yang telah ada dalam sejarah kebangsaan sebelum ini, dengan memperhitungkan pula perkembangan ilmu pengetahuan dan tuntutan zaman modern. Dalam hal ini, mereka tidak usah meraba-raba lagi. Oleh karena negara -negara Islam yang telah mendahului kita dalam perkembangan kemajuan, terutama misalnya Mesir, Persia, dan India, telah memberikan contoh yang bermanfaat.”
Ia mengungkapkan, “Kita kan tercengang melihat betapa luasnya aktivitas yang sudah mereka lakukan di seluruh Indonesia, di Tapanuli, di Bali, di Minahasa, dan lain-lain. Dengan tidak mengemukakan daerah-daerah yang sepenuhnya Islam saja, dalam mencapai kemajuan melalui dakwah Islam dan usaha-usaha mendorong umat Islam, maka nyatalah umat Islam telah merebut tempat yang berdiri di atas kaki sendiri di lapangan ekonomi. Ini semua seharusnya menjadi petunjuk bagi kita untuk tidak tertipu oleh propaganda yang saat-saat sekarang kian ditingkatkan, seolah-olah Islam sedikit sekali dapat tempat dalam hati nurani rakyat. Bahkan fakta bahwa juga ada golongan-golongan rakyat yang bukan muslim, tidak boleh mendorong kita untuk meremehkan golongan mayoritas mutlak yang beragama Islam, yang justru memiliki energi dan potensi yang amat besar untuk berdiri di atas kaki sendiri. Tanpa sedikit pun rasa permusuhan terhadap golongan-golongan non-Islam, yang bagaimana pun juga tentu harus terlepas dari pimpinan kita, maka kita sebagai golongan Islam harus memusatkan pikiran kita terhadap rakyat kita yang beragama Islam, yang jumlahnya tidak kurang dari 80% dari bangsa Indonesia kita ini.”
Maka untuk membangun jembatan di antara kaum intelektual dan rakyat, Kasman Singodimedjo berpesan kepada kaum intelektual Islam untuk, “tidak lagi menjadi orang asing terhadap Islam, bahkan keterasingan itu harus berganti jadi kesadaran bahwa kita justru bisa menjadi pemimpin dan penganjur Islam bagi rakyat itu. Sehingga kita bisa mendapat tempat di hati dan jiwa rakyat. Dengan demikian kita dapat membawa kesatuan jiwa dan memanfaatkan kelebihan pendidikan yang kita miliki bagi rakyat untuk membawa mereka pada persatuan nasional.”  
Majalah Het Lich  No.7,  Agustus 1925
Lukman Harun pada buku 75 Tahun Kasman Singodimedjo: Hidup Itu Berjuang (Bulan Bintang, 1982)  “….. kalau diundang untuk memberi ceramah, beliau tidak pandang jauh dan dekat. Untuk mencapai suatu daerah beliau bersedia naik kendaraan apa pun. Naik mobil ya boleh, naik truk pun tidak ada halangan, naik sepeda motor bergoncengan sudah biasa, bahkan kalau perlu jalan kaki. Banyak atau sedikitnya pendengar, tingkat Ranting ataupun tingkat Nasional, beliau akan berpidato dengan nada yang sama dan tetap bersemangat. Pak Kasman pernah sakit dan dirawat di rumah sakit, maka beliau akan selalu ingat soal rapat, soal-soal Muhammadiyah, ceramah, kuliah, soal-soal politik dan lain-lain. Kalau keadaan memungkinkan Pak Kasman akan cuti sebentar dari rumah sakit untuk pergi rapat. Pak Kasman mengatakan dirinya penjaga warung Muhammadiyah. Memang beliaulah yang paling rajin datang ke kantor PP Muhammadiyah. Beliaulah yang melayani serta memberi nasehat-nasehat dan petunjuk-petunjuk kepada para tamu mengenai berbagai hal.” tulis Lukman Harun.
Dalam buku Sekitar Perang Kemerdekaan, Nasution menyebut,  “hanya dengan pimpinan Soekarno-Hatta-Kasman Singodimedjo rakyat dapat digerakkan secara massal, dan kegiatan tanpa disertai ketiga pemimpin ini, dewasa itu akan merupakan suatu gerakan yang hanya setengah-setengah saja,” bahwa “dewasa itu sangat diperlukan pimpinan dari yang telah memegang kepercayaan rakyat dan tentara serta telah mempunyai kedudukan berkomando, yakni Soekarno-Hatta-Kasman Singodimedjo,” dan bahwa “perwira-perwiranya (PETA) taat sepenuhnya kepada Kasman Singodimedjo dan Soekarno-Hatta, sedangkan yang muda-muda banyak yang telah menggabungkan diri dengan pemuda-pemuda revolusioner.”
Di mata Mohammad Natsir, “Kasman Singodimedjo adalah orang yang rela berkorban dan rela menderita demi untuk kepentingan perjuangan bagi agama dan bangsa.” Sebagaimana disimpulkan oleh Lukman Hakiem dalam tulisan Menapaki Jejak Trio Ulama-Patriot Ki Bagus Hadikusumo, Mr. Kasman Singodimedjo, dan K.H. Abdul Kahar Mudzakkir (2015) bahwa Mr. Kasman Singodimedjo bagai ditakdirkan untuk selalu tampil sebagai perintis di saat-saat kritis.
“Saya katakan bahwa itu bukan suatu diskriminasi, sebab penetapan itu hanya mengenai rakyat yang beragama Islam. Waktu merumuskan Pembukaan Undang-Undang Dasar itu, Mr. Maramis yang ikut serta dalam Panitia Sembilan, tidak mempunyai keberatan apa-apa dan pada tanggal 22 Juni ia ikut menanda-tanganinya.”  tulis Bung Hatta dalam buku Sekitar Proklamasi.
Dalam buku Hidup Itu Berjuang, Kasman Singodimedjo mengemukakan pendapatnya, “Perubahan tujuh kata rumus “Ke-Tuhanan” itu amat penting, karena “Yang Maha Esa” menentukan arti dari Ketuhanan. Pancasila yang kini secara geruisloos menjadi filsafat negara kita itu, tidak mengenal Ke-Tuhanan sembarang ketuhanan. Sekali lagi bukan ketuhanan sembarang ketuhanan, tetapi yang dikenal oleh Pancasila ialah Ke-Tuhanan Yang Maha Esa. Bung Hatta sendiri pada bulan Juni dan Agustus 1945 menjelaskan bahwa Tuhan Yang Maha Esa itu ialah Allah, tidak lain kecuali Allah.”
Bung Hatta dalam buku Hidup Itu Berjuang, “Sdr. Mr. Kasman Singodimedjo tidak sedikit jasanya untuk kepentingan Negara dan Bangsa.”
. “Namanya memang Singodimejo, kenyataannya dia singa di mana-mana,” kata Mohamad.Roem

Dalam memoirnya yang berjudul ”Hidup Itu Berjuang“, Kasman menceritakan bahwa ia mendatangi Ki Bagus dan berkomunikasi dengan bahasa Jawa halus (kromo inggil). Kepada Ki Bagus, Kasman membujuk dengan mengatakan:
“Kiai, kemarin proklamasi kemerdekaan Indonesia telah terjadi. Hari ini harus cepat-cepat ditetapkan Undang-Undang Dasar sebagai dasar kita bernegara, dan masih harus ditetapkan siapa presiden dan lain sebagainya untuk melancarkan perputaran roda pemerintahan. Kalau bangsa Indonesia, terutama pemimpin-pemimpinnya cekcok, lantas bagaimana?”
“Kiai, tidakkah bijaksana jikalau kita sekarang sebagai umat Islam yang mayoritas ini sementara mengalah, yakni menghapus tujuh kata termaksud demi kemenangan cita-cita kita bersama, yakni tercapainya Indonesia Merdeka sebagai negara yang berdaulat, adil, makmur, tenang tenteram, diridhai Allah SWT.”
Kasman juga menjelaskan perubahan yang diusulkan oleh Mohammad Hatta, bahwa kata ”Ketuhanan” ditambah dengan ”Ketuhanan Yang Maha Esa”. KH A Wahid Hasyim dan Teuku Muhammad Hassan yang ikut dalam lobi itu menganggap Ketuhanan Yang Maha Esa adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala, bukan yang lainnya. Kasman menjelaskan, Ketuhanan Yang Maha Esa menentukan arti Ketuhanan dalam Pancasila. ”Sekali lagi bukan Ketuhanan sembarang Ketuhanan, tetapi yang dikenal Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa,” kata Kasman meyakinkan Ki Bagus.
Kasman juga menjelaskan kepada Ki Bagus soal janji Soekarno yang mengatakan bahwa enam bulan lagi akan ada sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk membuat undang-undang yang sempurna. Di sanalah nanti kelompok Islam bisa kembali mengajukan gagasan-gagasan Islam. Karena Soekarno ketika itu mengatakan, bahwa perubahan ini adalah Undang-Undang Dasar sementara, Undang-undang Dasar kilat.
“Nanti kalau kita telah bernegara di dalam suasana yang lebih tenteram, kita tentu akan mengumpulkan kembali Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dapat membuat Undang-Undang yang lebih lengkap dan sempurna,” kata Soekarno.
Wakil II Kepala Staf Angkatan Perang, Letnan Jenderal T.B. Simatupang, mencatat pertemuannya dengan Kasman di masa itu. Simatupang mengakui di masa perang-rakyat itu, dirinya tidak mungkin mampu mengunjungi daerah-daerah yang sudah dikunjungi Kasman. “Gambaran yang saya peroleh dari ceritanya (Kasman) itu pada dasarnya adalah sama dengan keadaan yang telah saya lihat sendiri di daerah Kedu, Yogyakarta, dan Surakarta itu. Belanda menduduki kota-kota besar, tetapi di luar kota-kota itu tentara dan pamongpraja kita bergerak dan bekerja terus,” demikian Jenderal Simatupang dalam bukunya yang terkenal, Laporan dari Banaran.
Menurut Fatwa, Kasman Singodimedjo adalah tokoh pemimpin yang unik. Kasman adalah seorang nasionalis yang memperjuangkan tegaknya Islam, sekaligus pemimpin Islam yang berjuang untuk kepentingan nasional. “Beliau seorang intelek sekaligus seorang kiai. Lebih dari itu semua, Kasman adalah seorang pejuang tanpa pamrih yang nyaris dilupakan oleh bangsanya,”
.”Dalam buku biografinya: “Hidup Itu Berjuang”, diceritakan ketika dalam tahanan Orde Lama, dia diminta mengakui mengadakan rapat gelap untuk gerakan makar. Kasman menolak karena memang tidak melakukannya. Lalu dikonfrontir dengan Nasuhi, tahanan lain. “Tidakkah Letkol malam itu menjemput Pak Kasman lalu membawanya ke Tengerang?” kata pemeriksa. Nasuhi diam. Pertanyaan itu diulang dan diulang lagi. Tapi Nasuhi tetap diam. “Awas! Letkol diproses verbaal telah mengakuinya,” penyidik mulai menggertak. Nasuhi tetap diam. Suasana senyap.Kasman minta ijin bicara: “Bismillahir rahmanir rahim. Nasuhi kamu kan percaya kepada Allahu Akbar. Jawablah secara jantan. Kamu kan laki-laki. Allah sebagai saksi. Jawab yang lantang supaya kedengaran,” kata Kasman.Nasuhi menjawab: “Saya terpaksa menandatangani proses verbaal. Sebetulnya tidak begitu.” Lalu Kasman menyambung: “Nah, itulah tuan-tuan keadaan yang sebenarnya. Saya sebagai bekas Jaksa Agung, bekas kepala Kehakiman Militer, bekas Menteri Muda Kehakiman, tahu persis semua ini tidak syah.” Kasman lalu berdiri. Dibuangnya kursinya jauh ke belakang, tangannya diangkat lalu berteriak sangat keras dan melotot. “Percuma pemeriksaan semacam ini! Silakan tuan-tuan cabut pistol. Tembak saya! Tembak! Tambak!” Jaksa itu gagal memaksa Kasman. Singanya keluar pada saat yang tepat.Di luar soal “singa”, ada dua pesan Kasman yang patut direnungkan. Pertama: “Hidup itu berjuang”. Kedua: “Jalan pemimpin itu bukan jalan yang mudah. Memimpin itu jalan menderita”. Berjuang dan menderita memang sering menyatu.
“Kami inginkan persatuan dan persaudaraan di kalangan umat Islam dan kerja sama yang mesra dengan seluruh rakyat Indonesia.” – Kasman Singodimedjo, Mantan Jaksa Agung RI, Tokoh Partai Masyumi, Mantan ketua Jong Islamieten Bond (JIB)-
K.H. Saifuddin Zuhri, ayah dari Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin itu menyatakan; semua kita tidak terkecuali kehilangan seorang pemimpin dan sekaligus seorang guru. Saifuddin Zuhri mengajak hadirin untuk memberikan pengakuan bahwa almarhum adalah orang baik dan memohon kepada Allah agar almarhum wafat dalam keadaan husnul khatimah dan mengharap agar Pak Kasman termasuk pahlawan/rijal yang berada di sisi Allah Swt.



Sumber:
http://jejakislam.net/pesan-kasman-kepada-kaum-intelektual/


Tidak ada komentar: