Sabtu, 03 Februari 2018

Ir. Haji Raden Djoeanda Kartawidjaja



Ir. Haji Raden Djoeanda Kartawidjaja
Ir. Raden Haji Djuanda Kartawidjaja adalah Perdana Menteri Indonesia ke-10 sekaligus yang terakhir. Ia menjabat dari 9 April 1957 hingga 9 Juli 1959. Setelah itu ia menjabat sebagai Menteri Keuangan dalam Kabinet Kerja I.
Ir. Haji Raden Djoeanda Kartawidjaja atau kalau menggunakan ejaan baru menjadi Juanda Kartawijaya lahir di Tasikmalaya, Hindia Belanda, pada tanggal 14 Januari 1911. Djuanda meninggal pada umur 52, tahun, yakni pada tanggal 7 November 1963 di Jakarta. Nama Juanda diabadikan sebagai nama lapangan terbang di Surabaya, Jawa Timur yaitu Bandara Djuanda atas jasanya dalam memperjuangkan pembangunan lapangan terbang sampai mampu berdiri megah saat ini. Nama Juanda diabadikan untuk nama hutan raya di Bandung yaitu Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda. Didalam taman tersebut terdapat Museum dan Monumen Ir. H. Djuanda. Nama jalan di Jakarta yakni Jalan. Ir. Juanda di bilangan Jakarta Pusat terpampang jelas dari Harmoni. Salah satu Stasiun  Besar di jawa juga menyematkan nama Juanda, yaitu Stasiun Juanda.
Djuanda wafat di Jakarta 7 November 1963 karena serang jantung dan dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta. Berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No.244/1963 Ir. H. Djuanda Kartawidjaja diangkat sebagai tokoh nasional/pahlawan kemerdekaan nasional. Pada tanggal 19 Desember 2016, atas jasa jasanya, Pemerintah Republik Indonesia, mengabadikan Djoeanda di pecahan uang kertas rupiah baru NKRI, pecahan Rp50.000.
Ir. H. Djuanda lahir di Tasikmalaya, 14 Januari 1911. Djuanda adalah anak pertama pasangan Raden Kartawidjaja dan Nyi Monat.  Ayah Djuanda seorang Mantri Guru pada Hollandsch Inlansdsch School (HIS). Pendidikan sekolah dasar diselesaikan Djuanda di HIS dan kemudian pindah ke sekolah untuk anak orang Eropa Europesche Lagere School (ELS), tamat tahun 1924. Selanjutnya oleh ayahnya dimasukkan ke sekolah menengah khusus orang Eropa yaitu Hoogere Burgerschool te Bandoeng (HBS Bandung, sekarang di tempati SMA Negeri 3 Bandung dan SMA Negeri 5 Bandung), dan lulus tahun 1929. Pada tahun 1929 Djuanda masuk ke Technische Hoogeschool te Bandoeng (THS) sekarang Institut Teknologi Bandung (ITB) di Bandung, mengambil jurusan teknik sipil Djuanda memasuki Fakultas Ilmu Teknologi yang mempelajari tehnik pengairan dan jalan (Wegen en Waterbouwkunde), Angkatannya sebanyak 39 orang mahasiswa tediri dari 18 mahasiswa Indonesia, 2 keturunan Cina dan 19 orang Belanda. Djuanda senantiasa belajar dengan sungguh-sungguh dan tidak banyak membuang-buang waktu. Ia hanya kadang-kadang menonton bioskop dikelas kambing.
Sebagai mahasiswa, ia memasuki organisasi Indonesische Studenten Vereeninging (Perkumpulan Mahasiswa Indonesia) Perkumpulan yang bersifat kebarat-baratan. Pada mulanya Djuanda memang belum tertarik pada perjuangan politik, walaupun ia sudah setia membaca mingguan berkala Sipatahunan yang bahasa Sunda dengan artikel-artikel yang bercorak kebangsaan. Makin lama makin tertarik pada kehidupan kemasyarakatan dan politik, lebih-lebih berkali-kali mendengar ceramah Ir. Sukarno di Bandung. Akhirnya Menjadi Ketua dari Perhimpunan Mahasiswa Indonesia pada tahun ke-3 dengan Gunarso sebagai sekretaris. Djuanda lulus tahun 1933. sesudah tamat dari THS, Djuanda menikah dengan gadis Julia Virzsia, seorang guru muda Taman Kanak-Kanak yang berada dibawah ayahnya.
Sejak muda Djuanda memang amat gemar membaca, karena itu sejak muda pula ia sudah memakai kacamata. Ia pun menyukai olah raga, terutama berenang dan polo air. Sebagai pencinta alam ia sering mendaki gunung dengan menyandang sebuah alat pemotret merek Rolefex.
Djuanda aktif dalam organisasi non politik yaitu Paguyuban Pasoendan dan anggota Muhammadiyah. Djuanda pernah menjadi pimpinan sekolah Muhammadiyah. Djuanda kemudian menjalani kariernya sebagai pegawai Departemen Pekerjaan Umum provinsi Jawa Barat, Hindia Belanda sejak tahun 1939. Ir. H. Djuanda seorang abdi negara dan abdi masyarakat. Djuanda meniti karier dalam berbagai jabatan pengabdian kepada negara dan bangsa. Lulus dari TH Bandung (1933), Djuanda mengabdi mengajar di SMA (Algemene Middbare School) dan Sekolah Guru (Kweekschool) Muhammadiyah di Jakarta dengan gaji seadanya. Padahal, kala itu dia ditawari menjadi asisten dosen di TH Bandung dengan gaji lebih besar. Setahun kemudian Djuanda bahkan menjadi Direktur SMA Muhammadiyah, padahal ia baru berumur 23 tahun.
Atas arahan Otto Iskandardinata, Djuanda bergabung ke Paguyuban Pasundan. Pada waktu itu gerakan Paguyuban Pasundan sudah meluas, mempunyai 52 cabang dengan 3217 angota, ditambah anak organisasinya seperti Pasundan Istri, Patvinders Organisatie Pasundan (Kepanduan). Yayasan Obor Pasundan (JOP) dengan sekolah-sekolah Pasundan yang bertebaran di pelosok Jawa Barat, Bale Ekonomi Pasundan dan sebagainya. Masuknya Djuanda ke Paguyuban Pasundan, merupakan sumbangan yang besar, karena Djuanda merupakan cendekiawan yang alim, cerdas, berbudi luhur dan terkenal. Djuanda seringkali mengemukakan pendapatnya yang bersifat membangun. Antara lain ia pernah berkata, “Suatu tindakan yang bijaksana, bahwa pemerintah memberikan jabatan pimpinan kepada akademis Indonesia. Bahwa Pasundan mempunyai perhatian besar terhadap masalah pendidikan dan pengajaran bagi bangsa Indonesia, dapatlah diketahui dari tujuan yang dicita-cita oleh pendirinya, yaitu : Mengangkat bahasa Indonesia kesuatu tingkat politik, ekonomi dan sosial yang lebih tinggi agar menjadi suatu bangsa yang terhormat diantara bangsa-bangsa yang telah dewasa dan merdeka”.Djuanda yakin, bahwa tujuan akhir perjuangan bangsa Indonesia ialah Kemerdekaan. Dengan sengaja ia mengemukakan pendapat Gijsbert Karel Van Hoogendorp, seorang pejuang kemerdekaan bangsa Belanda yang berkata, “Usaha untuk mengembangkan tanah jajahan, ya, saya mengakuinya, adalah usaha untuk mengembangkan detik kemerdekaannya “ Djuanda sendiri berkata. “Sebagian lagi dapat diterangkan dari kenyataan bahwa dalam seperempat abad ini Pasundan telah melaksanakan garis-garis kebijaksanannya dan hal itu selalu memperkuat keyakinan kita, bahwa masyarakat Indonesia yang berkembang secara perlahan-lahan lebih memberi jaminan akan tercapainya hasil yang nyata dan tetap.”
Mengenai ekonomi Djuanda mengatakan, “Susunan masyarakat disini membatasi daya serap terhadap para akademisi. Ini sangat terasa didalam lingkungan masyarakat Indonesia sendiri. Scsuatu golongan menengah yang berdiri sendiri, sebagai suatu syarat utama bagi perkembangan perusahaan yang sehat dan yang bisa menumbuhkan dan mengasuh perindustrian dan tehnik, tidak ada sama sekali. Kesempatan untuk menduduki suatu jabatan yang bertanggungjawab didalam perusahaan swasta di kemudian hari, sangat terbatas bagi para akademis Indonesia berlainan sekali dengan koleganya di lain negara.
Ir. Juanda juga menerjuni politik dalam Budi Utomo.
Ia menyokong Taman Siswa di Pasundan dalam menentang wilde Scholen Ordonnantie atau undang-undang sekolah liar.
Setelah kurang lebih empat tahun mengajar di SMA Muhammadiyah Jakarta, pada 1936, Djuanda mengabdi dalam dinas pemerintah di Jawaatan Irigasi Jawa Barat dan aktif sebagai anggota Dewan Daerah Jakarta.
Pada tahun 1936 ia diterima sebagai insinyur Pada Jabatan Pengairan Propinsi Jawa Barat termasuk Departemen Pekerjaan Umum itu Jakarta. Selanjutnya Jawatan tersebut pindah ke Bandung berpusat di Gedung waktu pasukan Jepang memasuki Indonesia. Di zaman Jepang ia bekerja pada Jawatan Pekerjaan Umum. Tidak banyak pekerjaan yang dilakukan pada zaman itu, ia hanya bertugas merencanakan pembangunan jembatan sungai Citarum di Kec.Junggede yang telah dibumi hanguskan oleh Bclanda. Jembatan tersebut dari konstruksi kayu dan mempunyai daya dukung truk berukuran 5 ton. Sehingga tahun 1958 jembatan tersebut masih berfungsi.
Pada 28 September 1945, Djuanda memimpin pemuda untuk mengambil alih Jawaatan Kereta api dari Jepang. Gerakan yang dimpin oleh Djuanda ini dilanjutkan dengan pengambilalihan jawatan Pertambangan , Keresidenan, Kotapraja, serta obyek militer yang ada di gudang utara Bandung. Pemerintah Indonesia mengangkat Djuanda sebagai kepala jawaatan kereta api wilayah Jawa dan Madura, Republik Indonesia. Tugas yang amat berat karena keadaan kereta api sejak jaman Jepang sudah amat kacau balau. Kereta Api sudah tidak terurus, baik lokomotif maupun gerbong-gerbong dan stasiun serta rel-relnya sudah rusak sekali. Apalagi sesudah Belanda mulai menduduki kembali Indonesia, maka terjadilah pengungsian yang luar biasa. Mereka menggunakan jasa kereta api untuk mengungsi. Demikian pula angkatan bersenjata dan laskar-laskar bergerak dengan menggunakan kereta api. Pekerjaan Ir. Djuanda menjadi makin berat. Selama memimpin Jawatan Kereta Api ini keluarga Djuanda menetap di Cisurupan, yang terletak antara Garut – Cikajang, sedangkan ia sendiri berada di Yogyakarta.
Pada bulan Maret 1946, Djuanda diangkat menjadi Menteri Muda Perhubungan merangkap sebagai Kepala Jawatan Kereta Api. Dalam Kabinet Syahril (1946). Djuanda diangkat menjadi Menteri Perhubungan. Tugasnya menyelenggarakan perhubungan setaraf dengan kereta api, hubungan pos, dan telegrap (PTT) dan kemudian juga memulai memikirkan hubungan pelayaran laut. Pada masa Kabinet Amir Syaifuddin (1947) Djuanda tetap menjabat Menteri Perhubungan, bahkan pada kabinet Hatta, Djuanda selain menjadi Menteri Perhubungan juga Menteri Pekerjaan Umum selama beberrapa bulan. Djuanda juga ditunjuk untuk duduk dalam perundingan dengan Belanda. la bertindak sebagai ketua Panitia Ekonomi/Keuangan dalam delegasi Indo­nesia. Pada masa itu ia sering mondar-mandir Yogyakarta – Kaliurang – Jakarta. Djuanda sebenarnya tidak berpartai. Djuanda bersikap non partai dan dengan teguh berdiri diluar semua partai dan mengabdi dengan seria kepada negara.
Ketika Belanda melakukan Agresi Militer II pada 19 Desember 1948, Djuanda berada di Istana Presiden di Yogyakarta. Ia tertangkap, tetapi kemudian dilepaskan kembali lalu pulang kerumahnya. Berkali-kali ramahnya didatangi tentara Belanda untuk menggeledahnya, tetapi Djuanda tetap tenang. Belanda juga datang dan membujuk beliau agar mau bekerja sama dan mengambil bagian dalam pemerintahan di Negara Pasundan, tetapi Djuanda menolak bujukan Belanda itu. Mungkin karena sikapnya itu sebuah granat pernah diletuskan di rumahnya, syukur tidak membawa bencana.
Sesudah pemerintah RI kembali ke Jakarta, Djuanda diangkat sebagai Menteri Negara. Beliau juga duduk sebagai Ketua Komisi Ekonomi dan Keuangan dalam Delegasi RI
pada perundingan KMB. Sesudah RIS berdiri (1949), Ir. Djuanda diangkat menjadi Menteri Perekonomian dalam Kabinet Hatta. Ia harus berusaha memperbaiki perekonomian rakyat, keadaan keuangan, perhubungan, perumahan dan kesehatan, mengadakan persiapan untuk jamunan sosial dan penempatan kerja kembali dalam masyarakat. Juga mengadakan peraturan tentang upah minimum, pengawasan pemerintah atas kegiatan ekonomi agar terwujud kemakmuran rakyat seluruhnya.
Bagi Djuanda urusan ekonomi rakyat merupakan hal yang baru dan dengan tekun ia mempelajari seluk-beluk ekonomi dan keuangan hingga memahami benar persoalannya.
Pada masa kabinet Moh. Natsir (1950), kembali Djuanda mamangku jabatan Menteri Perhubungan. Demikian juga pada kabinet Sukiman Suwiryo (1951) dan kabinet Wilopo (1952) Ir. Djuanda tetap memegang jabatan Menteri Perhubungan hingga tahun 1953. Pada masa Kabinet, Ali Sastroamijoyo I (1953) dan kabinet Burhanuddin Harahap (1955) Ir. Djuanda tidak duduk dalam kabinet, selama tiga tahun. Ia muncul kembali sebagai Menteri Negara Urusan Perencanaan pada kabinet Ali Sastroamijoyo II pada tahun 1957.
Selama tahun 1953 – 1956, Djuanda menjadi Direktur Biro Perancang Negara, yang menitikberatkan perencanaan pembangunan pertanian, irigasi, jalan, pelabuhan dan infra stuktur lainnya. Dalam pekerjaan Biro Perancang Negara ini telah diikutsertakan dua tokoh muda yaitu Wijoyo Nitisastro dan Emil Salim, kedua-duanya mahasiswa Universitas Indonesia, yang dikemudian hari menjadi tokoh-tokoh perancang pembangunan pada masa Orde Baru.
Pada tahun 1957, Djuanda ditunjuk menjadi Perdana Menteri, Beliau dibantu oleh tiga orang Wakil’Perdana Menteri, yaitu Mr. Hardi (PNI), Haji Idham Chalid (NU), dan dr. J. Leimena (Parkindo), Tugas P.M. Djuanda sungguh amat berat karena pada zaman itu, keadaan bangsa dan negara dalam keadaan berbahaya dan terancam perpecahan. P.M. Djuanda berhasil menyelenggarakan musyawarah Nasional yang berusaha menyatukan kembali Dwi-Tunggal Soekarno-Hatta. P.M. Djuanda mengucap pidato sebagai berikut, ”Betapa penting Musyawarah Nasional diadakan pada waktu ini, mengingat kepentingan Negara dan Bangsa yang sudah sangat mendesak karena terjadinya tindakan-tindakan simpang siur yang amat mempengaruhi masyarakat dan negara kita, dan menghambat jalannya pemerintahan dan pembangunan. Kejadian-kejadian yang tidak nor­mal di negara kita akhir-akhir ini perlu segera dipecahkan dan dicarikan jalan penyelesaiannya sehingga keadaan Republik Indonesia normal kembali.
Dalam hal ini pemerintah berkeyakinan bahwa dengan Musyawarah Nasional ini kita akan dapat membuka jalan guna mengatasi persoalan-persoalan dan kesukaran-kesukaran karena para peserta ikhlas datang ke tempat musyawarah untuk sama-sama menghadapi dan menyelesaikan bahaya yang mengancam kita bersama di mana akan tidak terjadi pendiktean oleh suatu pihak terhadap yang lainnya, tidak terdapat curiga-mencurigai satu sama lain dan tidak akan saling tuduh menuduh siapa yang bersalah.
Musyawarah Nasional adalah gelanggang persaudaraan serta keutuhan dan diatas semuanya ini Proklamasi 17 Agustus 1945”. Musyawarah Nasional ini telah berhasil melahirkan suatu Pernyataan Bersama antara Ir. Soekarno dengan Dr. Mohammad Hatta. Dalam pidato penutupan Musyawarah Nasional itu, P.M. Djuanda berkata
: ”Marilah kita waspada, keadaan buruk di dalam negara kita merupakan tanah yang subur bagi anasir-anasir yang ingin melihat hancurnya Republik Indonesia Proklamasi 1945. Marilah kita mengadakan Zelfcorrectie, memeriksa diri pribadi, apakah kita sungguh selaras dengan dasar-dasar Proklamasi 17 Agustus 1945. Marilah kita jauhkan diri dari prasangka, tuduh menuduh dan curiga mencurigai. Marilah kita resapkan rasa sebangsa, setanah air, utuh dan bersatu dalam suka dan duka. Marilah kita songsong Indonesia Jaya dengan rasa cinta kasih, perjuangan dan pengorbanan”.
Walaupun PM. Djuanda sudah berusaha sekuat tenaga untuk menjaga kesatuan dan ketertiban, namun terjadi juga gerakan separatisme. Sungguh berat tanggung jawab PM. Djuanda tetapi tindakan harus diambil untuk menyelamatkan bangsa dan negara. PM .Djuanda yang juga Menteri Pertahanan tidak hanya berhadapan dengan kekuatan dan gerakan separatisme di daerah, tetapi juga harus mengatasi gerombolan DI/TII Kartosuwiryo di Jawa Barat dan tempat-tempat lain. PM. Djuanda berhasil menyusun organisasi Departemen Angkatan Darat, Angkatan laut dan Angkatan Udara. Juga DPR menyelesaikan Undang-undang Wajib Militer, Undang-Undang Sukarelawan dan Undang-Undang Veteran Perjuangan RI.
Ujian berat juga dihadapi P.M.Djuanda dengan adanya pertentangan politik dan idiologi di dalam konstituante, sehingga akhirnya P.M. Djuanda merintis jalan penyelesaian dengan cara kembali ke Undang-undang Dasar 1945. Pada tanggal 6 Mi 1959 sesudah Dekrit Presiden, maka P.M. Djuanda mengembalikan mandat kepada Presiden.
Dalam Kabinet Karya I, Djuanda ditunjuk sebagai menteri Pertama merangkap Menteri Keuangan. Apabila Presiden Sukarno bepergian ke luar negeri, maka Ir. Djuanda menjadi pejabat Presiden RI. Zaman Demokrasi terpimpin (1959 -1965) yang penuh dengan ketegangan dan perbenturan, sungguh merupakan zaman berat bagi Menteri Juanda, tetapi bagaimanapun ia selalu berpendirian sebagai berikut ”Ketahuilah, bahwa semua perbedaan itu akan dapat kita selesaikan dengan baik asal kita semua tetap mengutamakan keselamatan negara dan persatuan nasional diatas segala kepentingan. Empat tahun lamanya Djuanda menyertai Kabinet Kerja sebagai orang kedua dalam pemerintahan. Dalam Kabinet Kerja II dan III, Ir. Djuanda tetap menduduki Menteri Pertama dengan Wakil Menteri Pertama dr. J. Leimena dan dr. Subandrio. Sementara itu dikalangan pemerintah terjadi pertentangan dan ketegangan.
Djuanda bukanlah orang partai, secara pribadi ia anti komunisme. Mengadu domba partai atau mengadu-adukan partai bukan sifat dan wataknya. Terhadap yang bersalah Ir. Djuanda akan bertindak. Situasi politik dan terutama tindakan-tindakan Presiden Soekarno yang diambil pada zaman Demokrasi Terpimpin menyebabkan Ir. Djuanda sering mengalami pertentangan batin. Keadaan demikian ditambah banyaknya keruwetan dalam pekerjaan, menyebabkan Ir. Djuanda menjadi sering sakit. Beliau diharuskan berobat ke Tokyo karena jantungnya terganggu.
Kalangan pers menjuluki Djuanda dengan nama Menteri Marathon karena sejak awal kemerdekaan (1946) sudah menjabat sebagai menteri muda perhubungan sampai menjadi Perdana Menteri dan Menteri Pertahanan (1957-1959) sampai menjadi Menteri Pertama pada masa Demokrasi Terpimpin (1959-1963). Sehingga dari tahun 1946 sampai meninggalnya tahun 1963, beliau menjabat sekali sebagai menteri muda, 14 kali sebagai menteri, dan sekali menjabat Perdana Menteri. Dia seorang pemimpin yang luwes. Dalam beberapa hal dia kadangkala berbeda pendapat dengan Presiden Soekarno dan tokoh-tokoh politik lainnya.
Djuanda beberapa kali memimpin perundingan dengan Belanda. Dalam KMB, Djuanda sebagai Ketua Panitia Ekonomi dan Keuangan Delegasi Indonesia. Saat Agresi Militer Belanda II, tanggal 19 Desember 1948 Djuanda sempat ditangkap oleh tentara Belanda. Djuanda dibujuk agar beliau mau bergabung dengan pemerintahan Negara Pasundan tapi beliau menolak.
Tanggal 13 Desember  1957 saat Djuanda menjabat perdana menteri, Deklarasi Djuanda terjadi. Deklarasi Djuanda menyatakan kepada dunia bahwa laut Indonesia adalah termasuk laut sekitar diantara dan didalam kepulauan Indonesia menjadi kesatuan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia(NKRI) atau dikenal dengan negara kepulauan dalam Konvensi hukum laut UNCLOS (United Nations Convention on Law of the Sea).
Isi dari Deklarasi Juanda ini menyatakan:
  1. Bahwa Indonesia menyatakan sebagai negara kepulauan yang mempunyai corak tersendiri
  2. Bahwa sejak dahulu kala kepulauan nusantara ini sudah merupakan satu kesatuan
  3. Ketentuan ordonansi 1939 tentang Ordonansi, dapat memecah belah keutuhan wilayah Indonesia dari deklarasi tersebut mengandung suatu tujuan :
    1. Untuk mewujudkan bentuk wilayah Kesatuan Republik Indonesia yang utuh dan bulat
    2. Untuk menentukan batas-batas wilayah NKRI, sesuai dengan asas negara Kepulauan
    3. Untuk mengatur lalu lintas damai pelayaran yang lebih menjamin keamanan dan keselamatan NKRI
Pernyataan yang dibacakan oleh Djuanda tersebut menjadi landasan hukum bagi penyusunan rancangan undang-undang yang digunakan untuk menggantikan Territoriale Zee en Maritime Kringen Ordonantie tahun 1939.
Dia seorang abdi negara dan masyarakat yang bekerja melampaui batas panggilan tugasnya. Mampu menghadapi tantangan dan mencari solusi terbaik demi kepentingan bangsa dan negaranya. Karya pengabdiannya yang paling strategis adalah Deklarasi Djuanda13 Desember 1957.
Wilayah Negara Republik Indonesia pada saat Merdeka 17 Agustus 1945 atau sebelum ‘Deklarasi Djuanda’:
peta_indonesia_1939
Wilayah Negara Republik Indonesia sesudah ‘Deklarasi Djuanda’ pada 13 Desember 1957:
peta_indonesia_1957

Djuanda juga berperan besar dalam membangun sistem transportasi nasional, baik itu darat, laut, maupun udara. Djuanda adalah insyinyur lulusan Institut Teknologi Bandung. Djuanda pelopor maskapai penerbangan Garuda Indonesia, Akademi Penerbangan Curug, dan Akademi Pelayaran Jakarta.
Ir.H. Djuanda wafat pada 7 November 1963 di Jakarta karena serangan Jantung dan dimakamkan di Taman Makan Pahlawan Kalibata,Jakarta. Untuk mengenang jasa Djuanda, nama Djuanda diabadikan sebagai nama lapangan terbang di Surabaya, Jawa Timur (Bandara Djuanda). Nama Djuanda diabadikan untuk nama hutan Raya di Bandung (Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda) dan dalam tanam hutan tersebut terdapat museum dan monumen Ir. H. Djuanda. Berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No.244/1963 Ir. H. Djuanda Kartawidjaja diangkat sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional.


Sumber :
https://www.infobiografi.com/biografi-dan-profil-lengkap-ir-h-djuanda-kartawidjaja/



Tidak ada komentar: