Sutardi : Sang
Maestro Bengawan Solo
Bengawan Solo, riwayatmu kini…
Sedari duju jadi, perhatian insani…
Musim kemarau, tak sbrapa airmu…
Di musim hujan air, meluap sampai jauh…
Mata airmu dari Solo…
Terkurung gunung seribu…
Air meluap sampai jauh…
Akhirnya ke laut…
Itu perahu, riwayatmu dulu…
Kaum pedagang selalu, naik itu perahu…
Pemilik nama kecil Sutardi ini dilahirkan di Kampung
Kemlayan, Surakarta, Jawa Tengah 1 Oktoer 1917. Gesang Martohartono atau Gesang, begitu nama panggilannya, yang
dikenal sebagai musisi senior juga pencipta lagu. Gesang dalam bahasa Jawa
“Kromo inggil” berarti hidup. Beliau telah menghidupkan dunia musik keroncong
di Indonesia. Darah seni yang mengalir di tubuh Gesang, sudah lama bersemayam
sejak masa kanak-kanaknya. Gesang senang bersenandung. Dari kebiasaan
bersenandung sambil berimajinasi itulah, pada akhirnya Gesang melahirkan
karya-karya lagu berirama keroncong yang liriknya sederhana namun mengena.
Lagu Bengawan Solo diciptakan pada tahun 1940, saat
usia Sutardi 23 tahun. Lagu Bengawan Solo ini mendapat sambutan yang besar di
masyarakat, tak hanya masyarakat pribumi, masyarakat asing pun demikian. Saat
itu, Gesang duduk di tepi sungai Bengawan Solo, beliau kagum akan pesonanya,
hingga beliau menuliskan pesona Sungai Bengawan Solo ke dalam sebuah lagu
keroncong. Gesang sebenarnya bukanlah seorang pencipta lagu. Dulu, Sutardi
seorang penyanyi lagu-lagu keroncong untuk acara dan pesta kecil-kecilan di
kota Solo. Gesang pernah menciptakan beberapa lagu, seperti; Keroncong Roda
Dunia, Keroncong si Piatu, dan Sapu Tangan, pada masa perang dunia II.
Sayangnya, ketiga lagu ini kurang mendapat sambutan dari masyarakat.
Setelah Perang Dunia II, pasukan Jepang yang kembali
ke negaranya membawa lagu ini bersama mereka. Di sana, lagu ini menjadi populer
setelah dinyanyikan berbagai penyanyi, di antaranya Toshi Matsuda. Lagu
Bengawan Solo terkenal dari Asia hingga Pasifik. Bahkan lagu ini diterjemahkan
dalam 13 bahasa, diantaranya Inggris, Rusia, China , Jepang. Tak hanya itu,
lagu Bengawan Solo juga pernah muncul dalam film In The Mood For Love besutan
Wong Kar-Wai tahun 2000.
Pesona lagu Bengawan Solo ternyata juga pernah menjadi
lagu perjuangan rakyat Polandia pada tahun 1965-an. Lagu Bengawan Solo versi
Polandia sendiri ditulis pada tahun 1964, saat Soekarno masih berkuasa dalam
pemerintahan Indonesia.
“Lirik lagunya menggambarkan impian rakyat Polania
akan tanah yang indah dan kemerdekaan yang tidak kami miliki kala itu,” kata Duta
Besar Polandia untuk Indonesia tahun 2013 dalam acara peluncuran program
kekhususan Eropa Tengah, Pusat Kajian Eropa UI di Wisma Antara.
Berkat lagu tersebut, Indonesia dan Polandia mempunyai
hubungan yang sangat dekat kala itu. Lirik lagu Bengawan Solo versi Polandia
ditulis oleh Marek Sewen dan Roman Sadowski dan dinyanyikan oleh Violetta
Villas, diva music negeri Eropa Tengah saat itu. Menurut lirik lagu versi
Polandia tersebut, tanah air diciptakan oleh Tuhan buat mereka yang bekerja
keras dan berani untuk memperjuangkan nasib kemerdekaan sendiri.
1983,
Jepang mendirikan Taman
Gesang di dekat Bengawan Solo. Taman yang pengelolaannya didanai
oleh Dana Gesang ini
adalah suatu bentuk penghargaan atas jasanya terhadap perkembangan musik
keroncong. Dana Gesang
sendiri adalah sebuah lembaga yang didirikan untuk Gesang di Jepang.
Pengabdian Gesang dalam perkembangan keroncong
Indonesia pun diabadikan dalam sebuah film documenter bertajuk “Gesang Sang
Maestro Keroncong”. Film documenter tersebut disutradarai oleh Marselli Sumarno
pada tahun 2004.
Film dokumenter tersebut mengisahkan tentang kehidupan
Gesang di masa senja. Meski jalannya mulai tertatih-tatih, tapi Gesang
mempunyai semangat muda untuk ukuran seusianya. Dalam film documenter tersebut
Gesang juga menuturkan tentang motivasinya untuk terjun ke dalam dunia
keroncong yang katanya kampungan karena merakyat dan tidak pandang bulu. Tapi
berkat Gesang, keroncong Indonesia dapat menunjukkan pesonanya di negeri
sendiri dan juga luar negeri.
Gesang tinggal di jalan Gatot Subroto, Solo. Ia telah
berpisah dengan istrinya tahun 1962. Setelah berpisah dengan isterinya, Gesang memilih
untuk hidup sendiri. Ia tak mempunyai anak. Gesang tinggal di Jalan Bedoyo
Nomor 5 Kelurahan Kemlayan, Serengan, Solo
bersama keponakan dan keluarganya, meninggalkan rumah pemberian Gubernur Jawa
Tengah 1980 setelah 20 tahun ditinggalinya di Perumnas Palur.
Memilih
hidup sendiri selama bertahun-tahun, kondisi kesehatan Gesang dikabarkan
memburuk. Beliau dilarikan ke rumah sakit PKU Muhammadiyah Surakarta pada
pertengahan Mei 2010. Rumah sakit membentuk sebuah tim yang terdiri dari lima
dokter spesialis yang berbeda untuk menangani kesehatan beliau. Namun sayang,
ajal pun menjemput. Pada hari Kamis, 20 Mei 2010, pukul 18.10, dalam usia 92
tahun, Gesang meninggal dunia.
Lagu-lagu Gesang
- Bengawan Solo
- Jembatan Merah
- Pamitan
- Caping Gunung
- Ali-ali
- Andheng-andheng
- Luntur
- Dongengan
- Saputangan
- Dunia Berdamai
- Si Piatu
- Nusul
- Nawala
- Roda Dunia
- Tembok Besar
- Seto Ohashi
- Pandanwangi
- Impenku
- Kalung Mutiara
- Pemuda Dewasa
- Borobudur
- Tirtonadi
- Sandhang Pangan
- Kacu-kacu
- Sebelum aku mati
- Bumi Emas Tanah Airku
- Urung
- Kemayoran
Rekaman CD:
Seto Ohashi (1988), Tembok Besar (1963), Borobudur (1965), Urung (1970), Pandanwangi (1949), dan Swasana Desa (1939).
Seto Ohashi (1988), Tembok Besar (1963), Borobudur (1965), Urung (1970), Pandanwangi (1949), dan Swasana Desa (1939).
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar