Chairul Saleh, Tokoh Murba yang
Moncer
“Saya melihat Bung Karno menguraikan pidatonya, tanpa memihak kepada siapa
pun. Dia mengatakan bahwa kita semua harus memperbaiki keadaan itu. Dia
menyalahkan PKI, dia juga menyalahkan Partai Murba, bahkan dia mungkin kecewa
dengan Partai Nasional Indonesia (PNI) pada waktu itu,” kata Sabam Sirait, yang
hadir di pertemuan itu sebagai wakil Partai Kristen Indonesia (Parkindo).
Chairul Saleh
menjabat sebagai Ketua Persatuan Pemuda Pelajar Indonesia (1940-1942). Setelah
Jepang menduduki Indonesia, Chairul menjadi anggota panitia Seinendan, dan
masuk menjadi anggota Angkatan Muda Indonesia yang dibentuk Jepang. Entah apa
yang terjadi, tiba-tiba berbalik arah anti Jepang dan bertujuan Indonesia
Merdeka 100 persen. Chairul ikut membentuk Barisan benteng, menjadi
anggota PUTERA, dan Barisan Pelopor yang dipimpin oleh Ir. Soekarno. Masih
kurang lagi, Chairul menjabat Wakil Ketua Gerakan Angkatan Baru dan Pemuda.
Chairul Saleh bergabung dalam kelompok Persatuan Perjuangan yang dibentuk
atas prakarsa Tan Malaka di Surakarta pada tanggal 4-5 Januari 1946. Awalnya
Persatuan Perjuangan bernama Volksfront. Pada tanggal 15-16 Januari 1946
dibentuk Badan Tetap bernama Persatuan Perjuangan (PP). Program utama PP adalah
menolak perundingan tanpa dasar pengakuan kemerdekaan 100%. Kala itu, PP
didukung KNIP dan semua ormas. Dalam sidang KNIP di Solo, 28 Februari – 2 Maret
1946, KNIP menolak kebijakan Perdana Mentri Syahrir yang kooperatif dengan
Belanda dengan hasil yang merugikan Indonesia. Akibatnya, Kabinet Syahrir
jatuh. Persatuan Perjuangan mengharapkan Tan Malaka sebagai Perdana Menteri.
Adam Malik mengajukan permohonan agar mandat diserahkan ke Tan Malaka, tetapi
ditolak Soekarno. Bahkan, Soekarno menunjuk kembali Syahrir sebagai Perdana
Mentri (Kabinet Syahrir II) yang dibentuk 12 Maret 1946 dengan
mengkompromikan sebagian pendapat Persatuan Perjuangan.
Pada 17 Maret 1946, beberapa tokoh politik, terutama dari Persatuan Perjuangan,
ditangkap dan ditahan antara lain Tan Malaka, Sukarni, Abikusno Cokrosuyoso,
Chairul Saleh, M. Yamin, Suprapto dan Wondoamiseno. Persatuan Perjuangan
dibubarkan pada 4 Juni 1946. Tanggal 26 Juni 1946 pengikut Tan Malaka menculik
Syahrir. Tanggal 3 Juli 1946 memaksa Soekarno membentuk pemerintahan sesuai
konsep Persatuan Perjuangan. Namun, Soekarno tetap menunjuk Syahrir sebagai
Perdana Menteri (Kabinet Syahrir III) yang dilantik pada 2 Oktober 1946.
Kabinet Syahrir mengadakan Perjanjian Linggarjati di selatan Cirebon
tanggal 10 Nopember 1946. Didukung PKI, Pesindo, BTI, Lasykar Rakyat, Partai
Buruh, Partai Kristen Indonesia (Parkindo) dan Partai Katolik. Namun, Masyumi,
Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai wanita, Angkatan Comunis Muda (ACOMA),
Partai Rakyat Indonesia, Laskar Rakyat Jawa Barat, Partai Rakyat Jelata
menolak. Sementara, Dewan Pusat Kongres Pemuda tidak menyatakan pendapat untuk
menjaga anggota mereka yang berbentuk federasi. Pada 27 Juni 1947 Syahrir
mengundurkan diri dan digantikan Amir Syarifuddin 3 Juli 1947. Kabinet Amir
Syarifuddin jatuh karena mengadakan Perjanjian Renville. Pada 23 Januari 1948,
Amir menyerahkan mandatnya. Kabinet Hatta diumumkan 31 Januari 1948. Hatta
berusaha mengakomodasi koalisi Nasasos. Hatta menawarkan tiga kursi kepada
sayap kiri, tetapi mereka menuntut 4 kursi termasuk menteri pertahanan. Hatta
menolak dan akhirnya hanya memberikan satu kursi kepada sayap kiri yakni Supeno
atas nama perorangan sebagai Menteri Pembangunan dan Pemuda. Sisanya diduduki oleh
Masyumi, PNI, Parkindo dan Partai Katolik.
Amir Syarifuddin beroposisi dengan membentuk FDR dan mengadakan pemogokan
Delanggu. Soekarno melepaskan Tan Malaka, 3 Juli 1948. Tan Malaka dan
pengikutnya mendirikan Gerakan Rakyat Revolusioner pada tanggal 6 Juni 1948
dengan pimpinan Dr. Muwardi (Ketua), Syamsu Harya Udaya (Wakil Ketua) dan
Chairul Saleh (Sekretaris). Tanggal 13 September 1948, Dr Muwardi diculik dan
dibunuh PKI. Pecah perang antara Barisan Banteng (pro GRR) dengan Pesindo
(FDR). Tanggal 17 September Kolonel Gatot Subroto ditunjuk menjadi Gubernur
Militer Surakarta, Madiun, Semarang dan sekitarnya. Perintah Gatot untuk
menghentikan tembak menembak 18 September 1948 tidak efektif karena di Madiun
PKI memberontak dipimpin Muso.
Setelah PKI ditumpas, M. Yamin menganjurkan membentuk pemerintahan atas
dasar triple platform, agama, nasionalis dan sosialis, untuk memperoleh
dukungan rakyat. Tanggal 3 Oktober 1948, GRR dengan partai sehaluan yakni
Partai Rakyat, Partai Rakyat Djelata, Partai Buruh Merdeka, Angkatan Comunis
Muda (ACOMA) dan wanita Rakyat bergabung menjadi Murba. Chairul Saleh ikut
bergabung dalam Partai Murba, bersama Adam Malik, Sukarni, Prijono dan
lain-lain.
Agresi Militer Belanda II pecah pada Desember 1948, Murba bergerilya,
Chairul Saleh dengan Barisan Bambu Runcing di Jawa Barat, Sukarni dan
kawan-kawan di Yogya dan Jawa Tengah, Tan Malaka bergabung dengan batalion
Mayor Sabaruddin di Jawa Timur. Chairul Saleh bersama Divisi Siliwangi
melakukan Long March dari Presiden RI (1972-1978) Yogyakarta ke
Karawang dan Sanggabuana. Chairul bergabung dengan Divisi Tentara Nasional 17
Agustus di bawah pimpinan Letnan Kolonel Wahidin Nasution.
Berdirinya
Persatuan Perjuangan dipicu pergeseran orientasi politik pemerintahan dari
presidensial yang Sukarno centris sebagai kepala negara dan kepala
pemerintahan, menjadi kabinet parlementer berbasis multi-partai (Sutan Sjahrir
ditunjuk sebagai perdana menteri Indonesia pertama). Dan Komite Nasional
Indonesia yang semula berfungsi koordinasi kemudian berubah berfungsi
legislative. Namun yang lebih krusial, kebijakan politik Sjahrir dan
Syarifuddin justru membuka perundingan dengan pemerintah kolonial
Belanda. Sikap Sjahrir dan Syarifuddin berbenturan dengan sikap politik Tan
Malaka yang mendapat dukungan kalangan muda seperti Adam Malik, Chairul Saleh,
Maruto Nitimiharjo, Sukarni, dan Wikana. Juga dapat dukungan dari beberapa
politisi senior seperti Muhammad Yamin, Achmad Subarjo, Iwa Kusumasumantri dan
lain-lain. Perundingan Linggajati yang diprakarsai Sjahrir hasilnya merugikan
posisi Indonesia. Amir Syarifuddin menggantikan Sjharir sebagai perdana
menteri, dengan perundingan Renvile, hasilnya lebih buruk lagi.
Di sela-sela
antara pemerintahan Sjahrir dan Syarifuddin antara 1945-1948, cerita seputar
Tan Malaka dan para pengikutnya yang tergabung dalam Persatuan Perjuangan
menarik untuk diungkap. Ketika Sjahrir terbukti gagal membawa posisi
menguntungkan Indonesia terhadap Belanda melalui medan diplomasi, Adam Malik
mendesak Bung Karno agar Tan Malaka ditunjuk sebagai perdana menteri. Dengan
halus Bung Karno menolak desakan Adam Malik. “Jangan terburu nafsu Adam, waktu
masih panjang. Jangan terlalu banyak menembakkan peluru.” Apapun maksud
Bung Karno pada Adam, nampaknya itu isyarat Bung Karno masih memberi kesempatan
kedua kali kepada Sjahrir untuk menjabat perdana menteri. Tan Malaka dan
para pendukung Persatuan Perjuangan malah ditangkap dan ditahan. Antara lain
Achmad Subarjo, Muhammad Yamin, Wondoamiseno, Suprapto, dan Abikusno
Cokrosuyoso. Sedangkan para pendukung Bung Tan dari kalangan pemuda adalah Adam
Malik, Sukarni, Chairul Saleh, Wikana dan lain-lain.
Ketika Amir
Syarifuddin yang ditunjuk Bung Karno sebagai perdana menteri menggantikan
Sjahrir pada 3 Juli 1947, Amir seperti halnya Sjahrir, gagal memperjuangkan
posisi yang menguntungkan Indonesia di dunia internasional. Perjanjian Renville
yang ternyata semakin merugikan posisi Indonesia, maka Amir menyerahkan
mandat pemerintahan pada 23 Januari 1948. Situasi ini mendorong kekuasaan
beralih kembali ke dwitunggal Sukarno-Hatta. Bung Hatta ditunjuk sebagai
perdana menteri pada 31 Januari 1948. Titik balik mulai terjadi. Amir
Syarifuddin dan partai-partai kiri dan komunis pendukungnya yang semula gigih
mendukung Renville, berbalik menyerang pemerintahan kabinet Hatta. Hatta dan
pemerintahannya yang didukung oleh partai-partai nasionalis, agama dan
sosialis, menjadi mendukung hasil Renville meski dengan sangat terpaksa hanya karena
perlu untuk mempertahankan otoritas pemerintahan.
Sedemikian rupa
gencarnya serangan kubu Amir Syarifuddin terhadap pemerintahan Hatta, sehingga
Tan Malaka dan para pendukungnya kemudian dibebaskan dari tahanan untuk
mengimbangi Amir dan golongan sayap kiri yang kemudian membentuk Fron Demokrasi
Rakyat (FDR). Maka untuk mengimbangi FDR inilah, Bung Karno mengeluarkan
keputusan pembebasan Tan Malaka pada 3 Juli 1948. Pengikutnya sudah dilepas
beberapa waktu sebelumnya. Tan mengaktifkan Gerakan Rakyat Revolusioner (GRR)
yang sudah didirikan sejak 6 Juni 1948 oleh pendukung Tan Malaka, ketika Tan
masih dalam masa tahanan. Maka ditunjukklah beberapa pimpinan GRR dengan Dr
Muwardi sebagai ketua, Syamsu Harya Udaya sebagai wakil ketua, dan Chairul
Saleh sebagai sekretaris. Clash antara GRR dan PKI tak terelakkan lagi.
Pemberontakan Madiun yang dimotori Amir Syarifuddin dan Muso yang sejak 1926
dianggap terafiliasi dengan PKI berhasil ditumpas. GRR atas prakarsa Yamin Cs
kemudian melebur beberapa partai yang sehaluan seperti Partai Rakyat, Partai
Rakyat Jelata, Partai Buruh Merdeka, Angkatan Comunis Muda (Acoma), dan Wanita
Rakyat, menjadi satu kesatuan dan berfusi menjadi Partai Murba.
Ketika agresi militer II Belanda meletus pada Desember 1948, Chairul Saleh
ikut bergerilya di Jawa Barat, bergabung bersama Barisan Bambu Runcing
Jawa Barat. Sukarno berjuang angkat senjata di Jawa Tengah. Tan Malaka
bergabung dengan Brigade Mayor Sabaruddin di Jawa Timur. Chairul Saleh ikut Long
March bersama Divisi Siliwangi dari Yogyakarta ke Karawang dan Sanggabuana.
Tidak setuju dengan adanya KMB, Chairul Saleh melarikan diri dari Jakarta
ke Banten bersama anggota kesatuan lainnya yang menyebabkan terjadinya
Peristiwa Banten Selatan. Bulan Februari 1950-1952, Chairul ditangkap dan
dipenjarakan karena dianggap pelanggar hukum Pemerintah RI. Soekarno kemudian memberangkatkannya
melanjutkan sekolah di Fakultas Hukum Universitas Bonn di Jerman Barat 1952-1955.
Di Jerman, dia menghimpun para pelajar Indonesia dan mendirikan Perhimpunan
Pelajar Indonesia (PPI).
Kader-kader
Murba mendapat posisi strategis di kabinet pasca Dekrit Presiden 5 Juli 1959
seperti Yamin, Chairul Saleh, Adam Malik, dan Sukarni, sempat memicu rasa iri
dari kalangan kader-kader PKI yang merasa juga sangat revolusioner. Perbenturan
antara PKI dengan Murba jadi sangat tajam sejak 1963-1965. Chairul Saleh dan
Ketua PKI Aidit terjadi perang mulut yang nyaris terjadi baku fisik dalam rapat
kabinet di istana Bogor. Inti pertengkaran, Chairul mendapat informasi bahwa
PKI menyiapkan operasi politik untuk menjatuhkan pemerintahan yang sah. Ketika
perseteruan Murba versus PKI meruncing, Sukarno membuat keputusan yang aneh.
Ketika Murba membentuk Badan Pendukung Sukarnoisme sebagai bentuk pertahanan
melawan PKI, Bung Karno membekukan BPS dan menahan salah satu pengurusnya yaitu
Sukarni. Selanjutnya, oleh Soekarno Partai Murba dibubarkan pada September
1965. Pada tahun 1966, Sukarno mengeluarkan keputusan merehabilitasi partai
Murba melalui Keputusan Presiden No 223 tahun 1966. Ironisnya, salah satu pengurus
utama Murba, Chairul Saleh, justru harus masuk tahanan atas perintah dari
Pemerintahan Presiden Suharto.
Atas jasa Chairul Saleh di bidang kemiliteran, dia mendapat pangkat
Jenderal Kehormatan TNI AD. Dia pun menerima sejumlah bintang jasa, antara lain
Bintang Gerilya, Satyalencana Peristiwa Aksi Militer II, Satyalencana
Peringatan Perjuangan Kemerdekaan, Bintang Mahaputra Tingkat III, Satyalencana
Satya Dharma, Lencana Kapal Selam RI, dan Doktor Honoris Causa dalam Ilmu
Kemasyarakatan dari Universitas Hasanuddin.
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar