Mr. Kasman
Singodimedjo yang Mengaum
Jenderal TNI (Purn) Dr. A. H. Nasution dalam buku 75 Tahun Kasman Singodimedjo mengemukakan,
“Di waktu sekitar Proklamasi adalah lazim kami di kalangan pemuda menyebut Soekarno – Hatta -Kasman,
dimana Bapak Kasman Singodimedjo dirasakan sebagai tokoh militer yang
terdepan ketika itu, sebagaimana kombinasi tiga nama ini
berkali-kali terdapat dalam buku TNI
yang saya tulis di tahun 1953.”
Kasman lahir
pada tanggal 25 Februari 1908 di Purworejo, Jawa Tengah. Ayahnya adalah H.
Singodimejo. Ayah kasman pernah menjabat sebagai modin (penghulu), carik
(sekretaris desa) dan Polisi Pamongpraja di Lampung Tengah. Pendidikan Kasman
yang pertama di sekolah desa di Purworejo. Selesaisekolah desa, Kasman
melanjutkan sekolah ke Hollanda Indische School (HIS) di Kwitang Jakarta. Setelah
beberapa lama sekolah di HIS Kwitang, Kasman pindah ke HIS Kutoarjo. Menyelesaikan
HIS, Kasman melanjutkan studi ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) di
Magelang. Disaat studi di MULO, Kasman juga menggali ilmu agama kepada K.H.
Ahmad Dahlan dan K.H. Abdul Aziz. Selesai di MULO, Kasman melanjutkan kuliah ke
School Tot Opleiding Voor Indische Artsen (STOVIA) Jakarta. Di STOVIA inilah
Kasman mengenal organisasi Jong Java. Kiprah Kasman di dunia pergerakan dimulai
sejak dirinya aktif di Muhammadiyah. Kasman bersama dengan Syamsuridjal, Ki
Musa al-Mahfudz dan Suhodo mendirikan Jong Islamieten Bond (JIB) dengan ketua
pertamanya Syamsuridjal (1925-1926). Di tahun 1926-1930 Wiwoho Probohadidjoyo
dan pada tahun 1930-1935 Kasman menjabat sebagai Ketua Umum JIB. Kasman menjadi
salah satu tokoh sentral di Jong Islamieten Bond (JIB). Sebuah perkumpulan
pemuda Islam yang menjadi cikal bakal organisasi pergerakan lainnya. Kasman
Singodimedjo aktif dalam organisasi Muhammadiyah sejak masa mudanya dan
mengenal secara dekat tokoh-tokoh besar Muhammadiyah seperti KH. Ahmad Dahlan dan Ki Bagus Hadikusumo. Selain itu sejak 1935, ia telah aktif dalam perjuangan pergerakan
nasional, terutama di Bogor yang sekarang markasnya menjadi Museum Perjuangan
Bogor.
Pada 1938,
Kasman Singodimedjo ikut membentuk Partai Islam Indonesia di Surakarta bersama KH Mas Mansur, Farid Ma’ruf, Soekiman, dan Wiwoho Purbohadidjoyo. Majlis Islam Ala
Indonesia (MIAI) berdiri sebagai wadah baru bagi perjuangan umat Islam. Pada
Muktamar 7 November 1945 Kasman terpilih menjadi Ketua Muda III Majelis Syuro
Muslimin Indonesia (Masyumi). Pengurus lain pada saat itu adalah KH Hasjim Asjari (Ketua Umum), Ki Bagus Hadikusumo (Ketua Muda I), KH Wahid Hasjim (Ketua Muda II), Mr. Moh. Roem, M. Natsir, dan Dr. Abu Hanifah.
Peran dan
pemikiran Kasman Singodimedjo berkembang dalam tempaan tokoh-tokoh besar pada
saat ia bergabung dengan organisasi Jong Islamieten Bond (JIB). Dalam
organisasi tersebut, ia berhubungan dengan tokoh-tokoh seperti KH Agus Salim, HOS Tjokroaminoto, KH Ahmad Dahlan, Syeikh Ahmad Surkati, Natsir, Roem, Prawoto, dan Jusuf Wibisono. Karena
aktivitas politiknya, pada Mei 1940 Kasman ditangkap dan ditahan oleh
pemerintahan penjajah Belanda. Dari Recht Hoge School (Sekolah Tinggi Hukum)
Jakarta, Kasman memperoleh gelar Meester in Rechter. Meski begitu, ia lebih
dikenal di dunia pendidikan sebagai guru sekolah, dan tercatat pernah menjadi
asisten Prefesor van der Kolff hingga tahun 1940. Setelahnya, ia bekerja di
jawatan pertanian kolonial hingga zaman pendudukan Jepang.
Pada tahun
1941, Kasman diangkat sebagai agronom di dinas penerangan pertanian sampai
tahun 1943. Jepang memberikan keleluasaan kepada MIAI untuk mengembangkan
kegiatan umat Islam. MIAI dibubarkan dan dibentuklah Majlis Syuro Muslimin
(Masyumi). Umat Islam mendesak Jepang untuk mendirikan pasukan bersenjata yakni
Tentara Pembela Tanah Air (PETA) dan Kasman menjadi salah satu Daidanchonya
(komandan batalyon). Menjelang proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, Kasman
sebagai Daidancho Jakarta bersama Daidancho se-Jawa Madura dipanggil ke Bandung
oleh pimpinan Jepang. Saat di Bandung, Kasman mendengar bahwa Jepang menyerah dan
ia langsung mengadakan pertemuan dengan para Daidancho di Hotel kota Bandung.
Rapat tersebut tercium oleh pimpinan Militer Jepang dan Kasman diperiksa pada
malam itu juga untuk dimintai pertanggungjawabannya. Kasman dibebaskan. Pada
tanggal 17 Agustus 1945 proklamasi kemerdekaan diumumkan dan Kasman sedang di
Bandung memperoleh berita ini dan menyampaikannya kepada para Daidancho untuk
segera Jakarta. . Setelah proklamasi, Mr. Kasman Singodimedjo diangkat menjadi
anggota PPKI sebagai anggota yang ditambahkan oleh Soekarno untuk mengubah
sifat lembaga ini yang semula adalah bentukan Jepang. Anggota yang ditambahkan
selain Mr. Kasman Singodimedjo adalah Wiranatakoesoemah, Ki Hajar Dewantara, Sajuti Melik, Mr. Iwa Koesoema Soemantri, dan Mr. Achmad Soebardjo. Dengan demikian anggota PPKI bertambah menjadi 27 orang dari jumlah semula
21 orang.Peran Kasman sebagai pemersatu sangat kental dalam proses pengesahan
Undang-undang Dasar (UUD) 1945. Tepatnya pada rapat PPKI 18 Agustus 1945. Setibanya
di Jakarta, Kasman sebagai anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(PPKI) diminta untuk segera hadir pada sidang panitia di Pejambon. Sidang ini
membahas tentang kontroversi tujuh kata dalam Piagam Jakarta yang berbunyi; “
... dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya .
Kontroversi tujuh kata ini menimbulkan ketidakpuasan bagi pihak non muslim
(Kristen) yang merasa dianaktirikan. Golongan Islam sempat menolak proses
pengesahan tersebut. Ini dikarenakan adanya usulan penghapusan tujuh kata yang
mewakili aspirasi umat Islam, yakni butir pertama yang berbunyi "Ketuhanan
dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya".
Golongan Islam
yang diwakili Ki Bagus Hadikusumo menolak usulan tersebut. Tujuh kata tersebut
merupakan kesepakatan bersama yang telah dicapai pada rapat Badan Penyelidik
Usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), yakni pada 22 Juni 1945. Kesepakatan
tersebut dikenal dengan nama Piagam Jakarta. Dalam momen kebuntuan itulah
Kasman hadir sebagai pemersatu antara golongan Islam dan nasionalis. Kasman
yang juga berasal dari Muhammadiyah dipercaya oleh Soekarno dan Hatta untuk
meluluhkan hati Ki Bagus Hadikusumo supaya menerima usulan penghapusan tujuh
kata terkait syariat Islam.
Pada saat
menjelang pengesahan UUD 1945 terjadi permasalahan terkait dengan tujuh kata
dalam Piagam Jakarta yang akan menjadi Pembukaan UUD 1945. Perwakilan kawasan
Indonesia timur menyatakan keberatan terhadap tujuh kata “dengan kewajiban
menjalankan syari’at Islam bagi pemeluknya”. Mengingat bahwa Piagam Jakarta
tersebut merupakan hasil kesepakatan yang telah dicapai dalam persidangan
BPUPK, tentu tidak dapat dengan mudah dilakukan perubahan. Oleh karena itu
dibutuhkan persetujuan, terutama dari tokoh Islam. Diantara tokoh Islam yang
mempertahankan tujuh kata tersebut adalah Ki Bagus Hadikusumo. Beberapa sumber menyatakan yang berperan dimintai tolong oleh Soekarno untuk melobi Ki Bagus Hadikusumo agar menyetujui penghapusan tujuh kata tersebut adalah Mr. Kasman
Singodimedjo.
Rapat PPKI 18 Agustus 1945 menghasilkan beberapa keputusan penting, yaitu (1) menetapkan UUD 1945; (2) memilih Presiden dan Wakil Presiden; (3) menentukan pembagian wilayah Indonesia; (4) membentuk departemen pemerintahan; (5) membentuk BKR; dan (6) membentuk Komite Nasional.
Pada hari itu, Mr. Kasman bersama dengan Daan Jahya, Oetarjo, Islam Salim, Soebianto Djojohadikusumo, Soeroto Kunto, Eri Sudewo, Engelen, Soeyono Martosewoyo, menghadap Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Hatta untuk membahas organisasi ketentaraan Indonesia. Diputuskan organisasi tersebut terdiri dari jajaran PETA dan tenaga paramiliter serta eksponen perorangan Heiho dan KNIL. Jajaran PETA terdiri atas 80.000 pasukan dan 400.000 tenaga paramiliter. Akhirnya, pada 23 Agustus 1945, dengan Dekrit Presiden, dibentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR) sebagai organisasi ketentaraan Indonesia. Sebagai Ketua BKR Pusat ditetapkan mantan Komando Batalyon PETA Jakarta, Mr. Kasman Singodimedjo, Kepala Staf BKR Daan Jahya, dan Wakil Kepala Staf adalah Soebianto Djoyohadikusumo.
Rapat PPKI 18 Agustus 1945 menghasilkan beberapa keputusan penting, yaitu (1) menetapkan UUD 1945; (2) memilih Presiden dan Wakil Presiden; (3) menentukan pembagian wilayah Indonesia; (4) membentuk departemen pemerintahan; (5) membentuk BKR; dan (6) membentuk Komite Nasional.
Pada hari itu, Mr. Kasman bersama dengan Daan Jahya, Oetarjo, Islam Salim, Soebianto Djojohadikusumo, Soeroto Kunto, Eri Sudewo, Engelen, Soeyono Martosewoyo, menghadap Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Hatta untuk membahas organisasi ketentaraan Indonesia. Diputuskan organisasi tersebut terdiri dari jajaran PETA dan tenaga paramiliter serta eksponen perorangan Heiho dan KNIL. Jajaran PETA terdiri atas 80.000 pasukan dan 400.000 tenaga paramiliter. Akhirnya, pada 23 Agustus 1945, dengan Dekrit Presiden, dibentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR) sebagai organisasi ketentaraan Indonesia. Sebagai Ketua BKR Pusat ditetapkan mantan Komando Batalyon PETA Jakarta, Mr. Kasman Singodimedjo, Kepala Staf BKR Daan Jahya, dan Wakil Kepala Staf adalah Soebianto Djoyohadikusumo.
Mr. Kasman juga
diangkat sebagai anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang secara
resmi terbentuk pada 29 Agustus 1945. Bahkan Mr. Kasman Singodimedjo juga
terpilih sebagai Ketua KNIP, parlemen pertama di Indonesia. Selain itu,
terpilih sebagai Wakil Ketua I adalah Mr. Sutardjo Kartohadikusumo, Wakil Ketua
III adalah Mr. J. Latuharhary, serta Wakil ketua III adalah Adam Malik.Mereka
mengancam untuk memisahkan diri dari Republik Indonesia dan mendirikan negara
Indonesia Timur. Kasman mampu mengatasi polemik yang mengancam persatuan dan
kesatuan bangsa Indonesia. Kasman adalah orang pertama yang bersedia menghapus
tujuh kata dalam Piagam Jakarta tersebut. Sikapnya itu kemudian diikuti yang
lain, sehingga diputuskan bahwa Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 berisi
teks yang kita kenal hingga sekarang.
Sebelum menjadi
Perwira Tentara Sukarela Pembela Tanah Air (PETA) dengan posisi Daidancho,
Kasman adalah anggota Muhammadiyah. Ia menjadi guru untuk sekolah-sekolah
Muhammadiyah di Jakarta sejak zaman kolonial. Kasman merupakan salah satu tokoh
yang berperan dalam mengamankan pelaksanaan rapat umum IKADA.
PETA bubar dan banyak personelnya tergabung ke dalam BKR (lalu TKR), Kasman menjadi Ketua Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Dalam situasi darurat, ia pernah dijadikan Jaksa Agung (6 November 1945 - 10 Mei 1946). Meski ahli hukum, Kasman belum pernah bekerja sebagai jaksa rendahan sebelumnya. Kasman pernah menjadi Menteri Muda Kehakiman di masa perang kemerdekaan. Kasman juga ikut bergerilya. Di dunia partai politik, Kasman pernah menjadi ketua Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) dan menjadi anggota parlemen di masa era Sukarno.
PETA bubar dan banyak personelnya tergabung ke dalam BKR (lalu TKR), Kasman menjadi Ketua Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Dalam situasi darurat, ia pernah dijadikan Jaksa Agung (6 November 1945 - 10 Mei 1946). Meski ahli hukum, Kasman belum pernah bekerja sebagai jaksa rendahan sebelumnya. Kasman pernah menjadi Menteri Muda Kehakiman di masa perang kemerdekaan. Kasman juga ikut bergerilya. Di dunia partai politik, Kasman pernah menjadi ketua Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) dan menjadi anggota parlemen di masa era Sukarno.
Kasman diangkat
menjadi Jaksa Agung pada 1945 – 1946 menggantikan Gatot Taroenamihardja. Pada
saat menjabat sebagai menjadi Jaksa Agung, Kasman mengeluarkan Maklumat Jaksa
Agung No. 3 tanggal 15 Januari 1946. Maklumat tersebut ditujukan kepada para
Gubernur, Jaksa, dan Kepala Polisi tentang ajakan untuk membuktikan bahwa
Negara Republik Indonesia adalah negara hukum, yaitu negara yang selalu
menyelenggarakan pengadilan yang cepat dan tepat. Dianjurkan pula untuk segera
menyelesaikan perkara-perkara kriminal yang belum diselesaikan. Polisi dan
Jaksa dituntut untuk selalu menyelaraskan diri dengan pembangunan negara yang
berdasarkan hukum dengan bantuan para hakim. Jaksa Agung Mr. Kasman Singodimedjo
digantikan oleh Tirtawinata pada 1946. Selanjutnya Mr. Kasman Singodimedjo
aktif dalam dunia politik Indonesia bersama Partai Masyumi. Dalam struktur
pemerintahan, Mr. Kasman pernah menjabat sebagai Menteri Muda Kehakiman pada
Kabinet Amir Sjarifuddin II, yaitu mulai 11 November 1947 hingga 29 Januari
1948. Pada saat itu yang menjabat sebagai Menteri Kehakiman adalah Susanto
Tirtoprodjo.
Pada pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Konstituante, 29 September 1955, Mr. Kasman Singodimedjo terpilih sebagai anggota Dewan Konstituante dari Partai Masyumi. Pada persidangan-persidangan Dewan Konstituante ini Mr. Kasman Singodimedjo mewarnai perdebatan pembentukan UUD terutama mewakili fraksi yang menghendaki Islam sebagai dasar negara. Dalam persidangan Konstitante, Mr. Kasman mengemukakan bahwa untuk menyelesaikan masalah perbedaan tentang dasar negara terdapat dua cara yang dapat ditempuh, yaitu dengan cara kompromi dan dengan cara membanding. Mr. Kasman, dan fraksi pendukung Islam lainnya, tidak menyetujui apabila masalah dasar negara diselesaikan dengan cara kompromi karena dasar negara dipandang sebagai hal yang sangat penting. Oleh karena itu cara yang dipilih adalah membanding pilihan-pilihan dasar negara tersebut, mana yang paling baik dan benar yang seharusnya dipilih.
Mr. Kasman Singodimedjo mendukung Islam sebagai dasar negara berdasarkan alasan-alasan yang bersifat universal, dan alasan-alasan dialektis Indonesia. Alasan-alasan universal dimaksudkan sebagai pengakuan terhadap kedaulatan hukum Tuhan yang termanifestasikan dalam ajaran agama. Sedangkan alasan dialektis Indonesia adalah pengakuan bahwa agama di Indonesia yang kuantitatif dan kualitatif berpengaruh di Indonesia adalah Islam. Islam adalah faktor nasional Indonesia yang utama dan yang menguasai psyche Indonesia. Untuk menunjukkan sisi universal Islam, Kasman mengutip firman Allah dalam al-Qur’an surah al-Hujurat ayat 13; “Hai kamu manusia, sesungguhnya Aku telah menjadikan kamu sekalian dari seorang lelaki dan perempuan, dan telah Ku jadikan kamu menjadi kaum-kaum dan keluarga-keluarga, supaya kamu antara yang satu dengan yang lain akan kenal-mengenal dan harga menghargai. Sesungguhnya bagi Allah yang amat terpandang tinggi diantaramu itu ialah siapa saja yang memperhatikan (akan kewajibannya) dengan setertib-tertibnya. Sesungguhnya Allah itu yang mengetahui (akan segala yang menjadi kehendaknya)”. Berdasarkan firman Allah tersebut, Mr. Kasman menyatakan bahwa Islam meletakkan dasar hidup berbangsa atas dasar prinsip saling menghargai. Islam membersihkan kehidupan dunia dari prinsip chauvinisme dan rasialisme sehingga perdamaian dapat terpelihara. Dengan demikian Islam menjamin hak asasi manusia seimbang dengan penuaian kewajiban asasi. Islam menjunjung tinggi nilai perikemanusiaan dengan penuh tanggungjawab baik terhadap diri sendiri, masyarakat, bangsa, dan seluruh umat manusia di dunia.
Mr. Kasman juga menguraikan enam alasan Islam sebagai dasar negara Indonesia, yaitu (1) Islam mewajibkan demokrasi berdasarkan musyawarah yang mendudukkan kebenaran dan hak; (2) Islam mewajibkan pemimpin rakyat, pemimpin negara dan pemimpin pemerintahan penuh tanggung jawab kepada rakyatdan kepada Tuhan; (3) Islam menegakkan kemerdekaan lahir dan batin, menolak penjajahan, penindasan atau eksploitasi manusia atas manusia lain dalam bentuk apapun; (4) Islam memberantas kemelaratan dan menegakkan kemakmuran lahir dan batin atas dasar hidup keragaman antara golongan dan golongan (kelas); (5) Islam mewajibkan menunaikan fardhu kifayah disamping menunaikan fardhu ‘ain sehingga tidak boleh ada egoisme yang tamak atau bakhil. Kekayaan milik perseorangan tidak terlepas dari fungsi sosial sehingga ada pemerataan; dan (6) Islam memberikan penilaian yang sama antara kaum wanita dan kaum pria.
Pembahasan dasar negara dalam Dewan Konstituante yang belum juga dapat membuahkan hasil hingga 1959, ditambah dengan kondisi politik yang tidak stabil akibat terjadinya beberapa pemberontakan mendorong pemerintah mengusulkan kembali pada UUD 1945. Presiden bersama dengan kabinet memutuskan penerapan demokrasi terpimpin untuk menjaga stabilitas nasional. Pada 2 Maret 1959 setelah rapat kabinet yang memutuskan tentang Demokrasi Terpimpin, Perdana Menteri Djuanda memberi keterangan kepada DPR mengenai pelaksanaan Demokrasi Terpimpin dalam rangka kembali ke UUD 1945 yang digagas oleh Presiden Soekarno. Gagasan Presiden Soekarno untuk kembali ke UUD 1945 itu disampaikan juga dalam sidang Dewan Konstituante di Bandung pada 22 April 1955 melalui amanat Presiden. Hal itu menjadi bahan perdebatan di kalangan anggota Dewan Konstituante, terutama mengenai prosedur kembali ke UUD 1945. Sebagian berpendapat agar kembali ke UUD 1945 dilakukan tanpa amendemen, sebagian lainnya meminta dilakukan amendemen. Perdebatan tersebut tidak menemukan titik temu hingga tiga kali masa sidang. Kondisi dalam Dewan Konstituante tersebut dipandang oleh Presiden telah mengalami kebuntuan. Untuk mengatasi hal tersebut Presiden mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Melalui dekrit, Presiden selaku Panglima Tertinggi Angkatan Perang menetapkan pembubaran Konstituante, memberlakukan kembali UUD 1945, dan membentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS). Dekrit ini kemudian dikukuhkan oleh DPR secara aklamasi pada 22 Juli 1959.
Kondisi demokrasi terpimpin dapat dilihat dari kehidupan partai politik yang pada saat itu sudah mulai dibatasi. Pada tanggal 13 Desember 1959, dikeluarkan Penetapan Presiden (Penpres) Nomor 7 Tahun 1959 tentang Syarat-syarat dan Penyederhanaan Kepartaian yang kemudian diubah dengan Perpres Nomor 25 Tahun 1960. Sebagai tindak lanjut dari Perpres tersebut, dikeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 13 Tahun 1959 tentang Pengakuan, Pengawasan dan Pembubaran Partai-partai yang diikuti dengan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 128 Tahun 1961 tentang Pengakuan Partai-partai yang Memenuhi Perpres Nomor 13 Tahun 1960. Partai-partai yang diakui adalah PNI, NU, PKI, Partai Katolik, Partai Indonesia, Partai Murba, PSII, dan IPKI. Selain itu juga dikeluarkan Keppres Nomor 129 Tahun 1961 tentang penolakan Pengakuan Partai-partai yang Memenuhi Perpres Nomor 13 Tahun 1960. Partai-partai yang ditolak pengakuannya adalah PSII Abikusno, Partai Rakyat Nasional Bebasa Daeng Lalo, dan Partai Rakyat Nasional Djodi Gondokusumo. Di samping itu melalui Keppres 440 Tahun 1961 diakui pula partai-partai politik, antara lain Partai Kristen Indonesia (Parkindo) dan Persatuan Tarbiyah Islam (Perti). Pimpinan Masyumi dan PSI, pada 21 Juli 1960 dipanggil oleh Presiden Soekarno dan diberikan daftar pertanyaan yang harus dijawab oleh mereka dalam jangka waktu satu minggu. Namun karena jawaban yang diberikan tidak memuaskan, pada 17 Agustus 1960 diterbitkan Keppres Nomor 200/1960 dan Keppres Nomor 201 Tahun 1960 yang ditujukan kepada kedua partai tersebut agar dalam jangka waktu 30 hari membubarkan diri. Jika hal itu tidak dipenuhi, maka partai tersebut akan dinyatakan sebagai partai terlarang. Akhirnya pimpinan Masyumi dan PSI membubarkan partai mereka. Upaya pembubaran Masyumi ini terkait dengan adanya pemberontakan PRRI Permesta yang oleh banyak pihak diduga mendapatkan dukungan dari Partai Masyumi dan PSI. Pembubaran Masyumi menjadi salah satu wujud pertentangan antara pemerintahan demokrasi terpimpin dengan kelompok Islam Politik yang saat itu direpresentasikan oleh partai Masyumi. Pertentangan tersebut juga berakibat pada penangkapan tokoh-tokoh Islam yang dianggap kontra revolusi.
Pada 9 November 1963, Mr. Kasman dipanggil menghadap Komandan Korps Intelejen di Kantor Polisi Komisariat Jakarta Raya. Namun pemanggilan tersebut ternyata langsung diikuti dengan penahanan. Pada 16 November 1963, penahanan Mr. Kasman Singodimedjo dipindahkan ke Ciloto, Cianjur, tepatnya di kompleks sekolah kepolisian Sukabumi bersama-sama dengan Hamka dan Ghazali Syahlan. Dakwaan yang ditujukan kepada Mr. Kasman Singodimedjo adalah melanggar Pasal 169 ayat (1), (2), dan (3) KUHP yaitu turut serta dalam perkumpulan dan perserikatan lain yang bermaksud melakukan kejahatan, yang dilarang undang-undang dan diancam hukuman penjara setinggi-tingginya enam tahun. Penahanan kemudian dipindah ke penjara Bogor dan dituduh mengadakan rapat gelap di Desa Cilendek bersama KH Sholeh Iskandar. Tuduhan lain yang dikenakan kepadanya adalah sebagai ketua kelompok empat yang berniat membunuh Presiden. Selain itu Mr. Kasman juga dituduh menyelewengkan Pancasila, merongrong kekuasaan negara dan mengajak orang untuk memusuhi pemeritahan Soekarno. Mr. Kasman dituduh melanggar Penetapan Presiden No. 11 Tahun 1963 dan No. 5 tahun 1963. Akhirnya, dakwaan tersebut diputus pada 14 Agustus 1964 dengan hukuman penjara 8 tahun, yang pada tingkat banding berubah menjadi 2 tahun 6 bulan.
Sikap kritis Kasman juga terjadi di masa Presiden Soeharto dengan mengajukan Petisi Kasman (Petisi 26) mengenai pemilihan umum, dan Pernyataan Keprihatinan (Petisi 50) yang menyebabkan hak-hak sipilnya dibunuh. Yang mengenaskan, ketika pada 12 Agustus 1992, Presiden Soeharto memberikan Bintang Mahaputera kepada para mantan anggota BPUPK dan PPKI, Kasman Singodimedjo dilewati. Patut diduga, ini adalah dampak dari keikutsertaan Kasman menandatangani Petisi 50. Kasman tetap aktif dalam organisasi Muhammadiyah. Mr. Kasman Singodimedjo sampaitanggal 25 Oktober 1982.
Pada pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Konstituante, 29 September 1955, Mr. Kasman Singodimedjo terpilih sebagai anggota Dewan Konstituante dari Partai Masyumi. Pada persidangan-persidangan Dewan Konstituante ini Mr. Kasman Singodimedjo mewarnai perdebatan pembentukan UUD terutama mewakili fraksi yang menghendaki Islam sebagai dasar negara. Dalam persidangan Konstitante, Mr. Kasman mengemukakan bahwa untuk menyelesaikan masalah perbedaan tentang dasar negara terdapat dua cara yang dapat ditempuh, yaitu dengan cara kompromi dan dengan cara membanding. Mr. Kasman, dan fraksi pendukung Islam lainnya, tidak menyetujui apabila masalah dasar negara diselesaikan dengan cara kompromi karena dasar negara dipandang sebagai hal yang sangat penting. Oleh karena itu cara yang dipilih adalah membanding pilihan-pilihan dasar negara tersebut, mana yang paling baik dan benar yang seharusnya dipilih.
Mr. Kasman Singodimedjo mendukung Islam sebagai dasar negara berdasarkan alasan-alasan yang bersifat universal, dan alasan-alasan dialektis Indonesia. Alasan-alasan universal dimaksudkan sebagai pengakuan terhadap kedaulatan hukum Tuhan yang termanifestasikan dalam ajaran agama. Sedangkan alasan dialektis Indonesia adalah pengakuan bahwa agama di Indonesia yang kuantitatif dan kualitatif berpengaruh di Indonesia adalah Islam. Islam adalah faktor nasional Indonesia yang utama dan yang menguasai psyche Indonesia. Untuk menunjukkan sisi universal Islam, Kasman mengutip firman Allah dalam al-Qur’an surah al-Hujurat ayat 13; “Hai kamu manusia, sesungguhnya Aku telah menjadikan kamu sekalian dari seorang lelaki dan perempuan, dan telah Ku jadikan kamu menjadi kaum-kaum dan keluarga-keluarga, supaya kamu antara yang satu dengan yang lain akan kenal-mengenal dan harga menghargai. Sesungguhnya bagi Allah yang amat terpandang tinggi diantaramu itu ialah siapa saja yang memperhatikan (akan kewajibannya) dengan setertib-tertibnya. Sesungguhnya Allah itu yang mengetahui (akan segala yang menjadi kehendaknya)”. Berdasarkan firman Allah tersebut, Mr. Kasman menyatakan bahwa Islam meletakkan dasar hidup berbangsa atas dasar prinsip saling menghargai. Islam membersihkan kehidupan dunia dari prinsip chauvinisme dan rasialisme sehingga perdamaian dapat terpelihara. Dengan demikian Islam menjamin hak asasi manusia seimbang dengan penuaian kewajiban asasi. Islam menjunjung tinggi nilai perikemanusiaan dengan penuh tanggungjawab baik terhadap diri sendiri, masyarakat, bangsa, dan seluruh umat manusia di dunia.
Mr. Kasman juga menguraikan enam alasan Islam sebagai dasar negara Indonesia, yaitu (1) Islam mewajibkan demokrasi berdasarkan musyawarah yang mendudukkan kebenaran dan hak; (2) Islam mewajibkan pemimpin rakyat, pemimpin negara dan pemimpin pemerintahan penuh tanggung jawab kepada rakyatdan kepada Tuhan; (3) Islam menegakkan kemerdekaan lahir dan batin, menolak penjajahan, penindasan atau eksploitasi manusia atas manusia lain dalam bentuk apapun; (4) Islam memberantas kemelaratan dan menegakkan kemakmuran lahir dan batin atas dasar hidup keragaman antara golongan dan golongan (kelas); (5) Islam mewajibkan menunaikan fardhu kifayah disamping menunaikan fardhu ‘ain sehingga tidak boleh ada egoisme yang tamak atau bakhil. Kekayaan milik perseorangan tidak terlepas dari fungsi sosial sehingga ada pemerataan; dan (6) Islam memberikan penilaian yang sama antara kaum wanita dan kaum pria.
Pembahasan dasar negara dalam Dewan Konstituante yang belum juga dapat membuahkan hasil hingga 1959, ditambah dengan kondisi politik yang tidak stabil akibat terjadinya beberapa pemberontakan mendorong pemerintah mengusulkan kembali pada UUD 1945. Presiden bersama dengan kabinet memutuskan penerapan demokrasi terpimpin untuk menjaga stabilitas nasional. Pada 2 Maret 1959 setelah rapat kabinet yang memutuskan tentang Demokrasi Terpimpin, Perdana Menteri Djuanda memberi keterangan kepada DPR mengenai pelaksanaan Demokrasi Terpimpin dalam rangka kembali ke UUD 1945 yang digagas oleh Presiden Soekarno. Gagasan Presiden Soekarno untuk kembali ke UUD 1945 itu disampaikan juga dalam sidang Dewan Konstituante di Bandung pada 22 April 1955 melalui amanat Presiden. Hal itu menjadi bahan perdebatan di kalangan anggota Dewan Konstituante, terutama mengenai prosedur kembali ke UUD 1945. Sebagian berpendapat agar kembali ke UUD 1945 dilakukan tanpa amendemen, sebagian lainnya meminta dilakukan amendemen. Perdebatan tersebut tidak menemukan titik temu hingga tiga kali masa sidang. Kondisi dalam Dewan Konstituante tersebut dipandang oleh Presiden telah mengalami kebuntuan. Untuk mengatasi hal tersebut Presiden mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Melalui dekrit, Presiden selaku Panglima Tertinggi Angkatan Perang menetapkan pembubaran Konstituante, memberlakukan kembali UUD 1945, dan membentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS). Dekrit ini kemudian dikukuhkan oleh DPR secara aklamasi pada 22 Juli 1959.
Kondisi demokrasi terpimpin dapat dilihat dari kehidupan partai politik yang pada saat itu sudah mulai dibatasi. Pada tanggal 13 Desember 1959, dikeluarkan Penetapan Presiden (Penpres) Nomor 7 Tahun 1959 tentang Syarat-syarat dan Penyederhanaan Kepartaian yang kemudian diubah dengan Perpres Nomor 25 Tahun 1960. Sebagai tindak lanjut dari Perpres tersebut, dikeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 13 Tahun 1959 tentang Pengakuan, Pengawasan dan Pembubaran Partai-partai yang diikuti dengan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 128 Tahun 1961 tentang Pengakuan Partai-partai yang Memenuhi Perpres Nomor 13 Tahun 1960. Partai-partai yang diakui adalah PNI, NU, PKI, Partai Katolik, Partai Indonesia, Partai Murba, PSII, dan IPKI. Selain itu juga dikeluarkan Keppres Nomor 129 Tahun 1961 tentang penolakan Pengakuan Partai-partai yang Memenuhi Perpres Nomor 13 Tahun 1960. Partai-partai yang ditolak pengakuannya adalah PSII Abikusno, Partai Rakyat Nasional Bebasa Daeng Lalo, dan Partai Rakyat Nasional Djodi Gondokusumo. Di samping itu melalui Keppres 440 Tahun 1961 diakui pula partai-partai politik, antara lain Partai Kristen Indonesia (Parkindo) dan Persatuan Tarbiyah Islam (Perti). Pimpinan Masyumi dan PSI, pada 21 Juli 1960 dipanggil oleh Presiden Soekarno dan diberikan daftar pertanyaan yang harus dijawab oleh mereka dalam jangka waktu satu minggu. Namun karena jawaban yang diberikan tidak memuaskan, pada 17 Agustus 1960 diterbitkan Keppres Nomor 200/1960 dan Keppres Nomor 201 Tahun 1960 yang ditujukan kepada kedua partai tersebut agar dalam jangka waktu 30 hari membubarkan diri. Jika hal itu tidak dipenuhi, maka partai tersebut akan dinyatakan sebagai partai terlarang. Akhirnya pimpinan Masyumi dan PSI membubarkan partai mereka. Upaya pembubaran Masyumi ini terkait dengan adanya pemberontakan PRRI Permesta yang oleh banyak pihak diduga mendapatkan dukungan dari Partai Masyumi dan PSI. Pembubaran Masyumi menjadi salah satu wujud pertentangan antara pemerintahan demokrasi terpimpin dengan kelompok Islam Politik yang saat itu direpresentasikan oleh partai Masyumi. Pertentangan tersebut juga berakibat pada penangkapan tokoh-tokoh Islam yang dianggap kontra revolusi.
Pada 9 November 1963, Mr. Kasman dipanggil menghadap Komandan Korps Intelejen di Kantor Polisi Komisariat Jakarta Raya. Namun pemanggilan tersebut ternyata langsung diikuti dengan penahanan. Pada 16 November 1963, penahanan Mr. Kasman Singodimedjo dipindahkan ke Ciloto, Cianjur, tepatnya di kompleks sekolah kepolisian Sukabumi bersama-sama dengan Hamka dan Ghazali Syahlan. Dakwaan yang ditujukan kepada Mr. Kasman Singodimedjo adalah melanggar Pasal 169 ayat (1), (2), dan (3) KUHP yaitu turut serta dalam perkumpulan dan perserikatan lain yang bermaksud melakukan kejahatan, yang dilarang undang-undang dan diancam hukuman penjara setinggi-tingginya enam tahun. Penahanan kemudian dipindah ke penjara Bogor dan dituduh mengadakan rapat gelap di Desa Cilendek bersama KH Sholeh Iskandar. Tuduhan lain yang dikenakan kepadanya adalah sebagai ketua kelompok empat yang berniat membunuh Presiden. Selain itu Mr. Kasman juga dituduh menyelewengkan Pancasila, merongrong kekuasaan negara dan mengajak orang untuk memusuhi pemeritahan Soekarno. Mr. Kasman dituduh melanggar Penetapan Presiden No. 11 Tahun 1963 dan No. 5 tahun 1963. Akhirnya, dakwaan tersebut diputus pada 14 Agustus 1964 dengan hukuman penjara 8 tahun, yang pada tingkat banding berubah menjadi 2 tahun 6 bulan.
Sikap kritis Kasman juga terjadi di masa Presiden Soeharto dengan mengajukan Petisi Kasman (Petisi 26) mengenai pemilihan umum, dan Pernyataan Keprihatinan (Petisi 50) yang menyebabkan hak-hak sipilnya dibunuh. Yang mengenaskan, ketika pada 12 Agustus 1992, Presiden Soeharto memberikan Bintang Mahaputera kepada para mantan anggota BPUPK dan PPKI, Kasman Singodimedjo dilewati. Patut diduga, ini adalah dampak dari keikutsertaan Kasman menandatangani Petisi 50. Kasman tetap aktif dalam organisasi Muhammadiyah. Mr. Kasman Singodimedjo sampaitanggal 25 Oktober 1982.
Suasana duka
meliputi Masjid Jami’ Sekolah Tinggi Kedokteran YARSI (kini Universitas YARSI)
di Cempaka Putih Jakarta Pusat, Selasa 26 Oktober 1982. Siang itu jamaah shalat
zuhur yang mencapai ribuan orang melimpah hingga ke halaman masjid. Sejumlah
tokoh Islam, di antaranya Mohammad Natsir, Buya H.A. Malik Ahmad, K.H. Dr.
Idham Chalid, K.H. Saifuddin Zuhri, M.Yunan Nasution, Ketua Umum MUI K.H. Hasan
Basri, Lukman Harun, dan banyak lagi yang lain hadir untuk shalat jenazah tokoh
Islam yang meninggal dunia yaitu almarhum Prof. Mr. H. Kasman Singodimedjo.
Kasman meninggal di RS Islam Jakarta 25 Oktober 1982, pukul 19.45 WIB dalam
usia 78 tahun. Kediaman beliau di daerah Cempaka Putih juga, tidak jauh dari
komplek YARSI. Sambutan pelepasan jenazah di Masjid Jami’ YARSI disampaikan
oleh Ketua Umum PP Muhammadiyah K.H. A.R. Fachruddin, mantan Perdana Menteri
Mohammad Natsir, serta sambutan Prof. K.H. Saifuddin Zuhri mantan Menteri Agama
RI yang juga tokoh organisasi Nahdlatul Ulama (NU).
Dalam pidatonya
K.H. Saifuddin Zuhri, ayah dari Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin itu
menyatakan; semua kita tidak terkecuali kehilangan seorang pemimpin dan
sekaligus seorang guru. Saifuddin Zuhri mengajak hadirin untuk memberikan
pengakuan bahwa almarhum adalah orang baik dan memohon kepada Allah agar
almarhum wafat dalam keadaan husnul khatimah dan mengharap agar Pak
Kasman termasuk pahlawan/rijal yang berada di sisi Allah Swt.
Sumber:
http://jejakislam.net/pesan-kasman-kepada-kaum-intelektual/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar