Mencoba Menata Ekonomi yang
Mandiri “Ala” Chaerul Saleh
"Bayangkan, kita yang punya ini Republik, tapi kita hanya bengong
melihat hasil-hasil kopra untuk bayar hutang KMB 1949 sebagai ganti rugi perang
dengan Belanda, hasil-hasil minyak tak kita punya, kita melihat kekosongan kas
Departemen Keuangan, sementara di Korea sana sedang terjadi perang dan
harga-harga komoditi naik tinggi, setinggi-tingginya" (Maroeto Nitimihardjo)
Dalam
lobi-lobi politiknya di antara bulan Mei 1945 sampai Juni 1945 kelompok Hatta
meminta konsesi-konsesi atas modal swasta di Perkebunan diakhiri, inilah yang
bikin Tan Tek Peng dari kelompok pemodal (Tan Tek Peng adalah Boss Oei Tiong
Ham concern) menolak adanya intervensi negara dalam perkebunan, hal ini malah
jadi kecurigaan pihak swasta bahwa kelak dikemudian hari 'Indonesia berwarna
merah'. Perselisihan
soal perkebunan akhirnya diakhiri dengan ikut campurnya Mayor Jenderal
Nishimura, sebagai advisor atas Panitia Kemerdekaan, dalam urusan zumin
(ekonomi) dimana Hatta berdebat dengan kelompok pemodal swasta. Nishimura
meminta agar kelak bangsa yang berdiri tidak lagi ditunggangi oleh
prasangka-prasangka, dan ekonomi Indonesia bisa berkembang dengan pesat.
Sebenarnya apa langkah Nishimura ini melewati langkah Gunseikanbu (Setingkat
Gubernur Jenderal) Jepang untuk Indonesia : Yamamoto yang sama sekali tak
mengarahkan Nishimura, namun apa statemen Nishimura adalah sebuah pernyataan
diam-diam agar 'Jepang bersiap dengan ekonomi Indonesia kelak ketika Indonesia
bisa merdeka'.
Perkembangan
politik ternyata ke arah lain, Jepang dibredel oleh para Pemuda-Pemuda
Nasionalis Kiri garis keras yang paksa Sukarno dan Hatta untuk tanda tangan
Kemerdekaan. Persoalan
penting soal ekonomi tak dipikir matang-matang, hanya Tan Malaka yang mampu
berpikir taktis dan strategis yaitu Perang Total menguasai sumber-sumber
ekonomi. Apa yang dikobarkan Tan Malaka di koran-koran dan jadi bahan diskusi
pada perdebatan-perdebatan Revolusi menjadikan anak-anak muda bersenjata
memihak pada gerakan Tan Malaka, sementara tentara resmi memihak pada politik
diplomasi Sukarno-Hatta.
Intelijen
Belanda dibawah Van Der Plas membaca laporan-laporan bahwa anak-anak Tan Malaka
mengarahkan kekuatan politiknyan ke daerah kantong-kantong ekonomi,
laporan teresebut kemudian
diteruskan ke Van Mook dan melalui rapat terbatas militer di Istana Gambir. Berdasarkan
laporan tersebut diputuskan
bahwa Belanda akan mengoperasikan perang yang dinamakan 'Operasi Produkt' tahun
1947 untuk menguasai lahan-lahan sumber minyak dan kilang serta menjaga modal
Belanda atas lahan tambang minyak. Operasi Produkt, dibarengi dengan taktik diplomasi,
pihak militer resmi Republik termakan taktik ini kemudian berunding soal
wilayah-wilayah pendudukan, sementara pihak Laskar Rakyat kelompok Tan Malaka
menolak perundingan sama sekali, penguasaan tambang-tambang minyak dan
perkebunan adalah 'harga mati'. Keadaan inilah kemudian muncul istilah 'Merdeka'
100%. Pada rapat
politik di Purwokerto 1946, Jenderal Sudirman sudah tertarik atas ide Tan Malaka, Sudirman memposisikan dirinya sebagai pengikut garis
politik Tan Malaka, Sudirman sendiri berdiri dan bertepuk tangan saat Tan
Malaka berpidato soal 'Kedaulatan Total Republik'.
Setelah
kunjungannya ke Amerika Serikat dan Soviet Uni, Bung Karno sadar : "Saat
ini bangsa-bangsa maju sedang rebutan minyak". Ada yang diserbu dengan
kasar, seperti Korea atau Vietnam ada yang didekati secara halus seperti
Arab Saudi dan Negara Timur Tengah lainnya. Indonesia sedang dipengaruhi cara
halus, tapi tak mungkin Amerika Serikat bisa main kasar.
Saat itu
Industri minyak kita dikuasai hanya tiga pemain besar dan itu modal asing
semuanya : Shell, Caltex dan Stanvac. Bung Karno di tahun 1959, menggelorakan
pidato : "Penemuan Kembali Revolusi Kita" di dalam pidato itu ada
pesan tersembunyi : 'Untuk Perang kembali merebut
lahan-lahan konsesi yang dikuasai modal asing dan mendikte mereka bekerja
kepada kita pemilik resmi tanah Republik'. Pesan tersembunyi ini ditangkap
dengan jelas oleh Chaerul Saleh sebagai Menteri Perindustrian Dasar dan
Pertambangan.
Chaerul
Saleh menyusun UU yang membatasi Konsesi. Apa itu konsesi? Konsesi
adalah penguasaan lahan secara total, jadi ada semacam kantong-kantong wilayah
yang orang Indonesia sendiripun tidak bisa masuk, di alam realitasnya, pertambangan-pertambangan
itu menjadi kota sendiri yang tidak bisa dimasuki rakyat Indonesia bahkan
setingkat Menteri sekalipun. Inilah yang bikin Chaerul Saleh marah.
Chaerul
Saleh juga sudah melihat prestasi besar Ibnu Soetowo, pemimpin Permina
(Perusahaan Minyak Negara) yang bisa membangun armada kapal tanker dengan
strategi bisnis yang brilian, Chaerul Saleh berambisi agar Permina jadi
perusahaan minyak terbesar di Asia dan dunia serta jadi tambang atas modal-moda
dasar pembentukan BUMN yang bisa menjadi kekuatan ekonomi politik Indonesia.
Chaerul
Saleh kemudian membuat RUU Minyak yang anti konsesi asing, atas lobi-lobi dari
kawan-kawan Chaerul Saleh di Parlemen, RUU ini gol, lalu disahkan sendiri oleh
Sukarno menjadi UU Minyak No. 44. Undang-Undang inilah yang membuat Sukarno gebrak meja dengan
Perusahaan minyak asing untuk merevisi lagi kontrak-kontrak pertambangan di
Indonesia.
Isi
terpenting UU itu adalah :
"Pertambangan Minyak dan Gas Bumi hanya diusahakan oleh Negara, dan
pelaksanaannya dilaksanakan oleh Perusahaan Negara semata-mata".
Isi UU No.40
inilah yang kemudian bikin marah banyak perusahaan asing, meningkatkan tensi
intelijen serta menjadikan Sukarno sebagai musuh bersama. Tapi Sukarno melawan,
ia dengan cerdas merebut Irian Barat dari Belanda dan berpidato di depan Front
Nasional 3 Mei 1963 :
"Tidak ada lagi bayi-bayi yang kelaparan dibawah Kemakmuran Ekonomi
Indonesia"
Atas
fasilitas keberanian Sukarno inilah, Chaerul Saleh menggebrak dengan cepat
industrialisasi di Indonesia, Krakatau Steel dibangun, Pupuk Sriwijaya dibangun
seluruh industri-industri digerakkan dengan cepat dan Indonesia diarahkan
menjadi negara terkuat industrinya dengan ekonomi berdikari. Diharapkan pada
tahun 1975 Indonesia jadi negara terkaya di Asia, dengan modal minyak, gas dan
perkebunan yang dikuasai negara.
Pasca Irian Barat perang Intelijen menjadi begitu genting, PKI sering offside
dalam aksi-nya yang memancing kemarahan Angkatan Darat dan pihak Agama. Masalah
UU Agraria jadi bahan percekcokan di lapangan. Ujungnya Gerakan Untung 1965
jadi alat bagi kelompok anti Sukarno mendongkel Pemerintahan Sukarno sekaligus
mengakhiri politik Nasionalisme Tambang Minyak dan Gas.
Sampai saat
inipun kesalahan Chaerul Saleh tidak ada, karena Pemerintahan Suharto tidak
mengeluarkan pernyataan resmi. Hanya penjelasan sedikit yaitu soal 'ekonomi'
tapi tak ada definisinya. Sukarno dan Chaerul Saleh mati demi membela
kepentingan kekayaan Indonesia, menjaga tambang minyak, gas dan batubara untuk
kepentingan nasional. Sudah saatnya sejarawan membongkar redaksional politik
minyak Chaerul Saleh 1960-1965 serta kemandirian nasional politik minyak Ibnu
Soetowo yang setia pada garis Chaerul Saleh untuk membuka tabir bahwa bangsa
ini pernah berani melawan dominasi modal asing yang menjadikan bangsa ini tetap
miskin walau kaya minyak dan tambang-tambang lainnya.
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar