Ambisi
Dan Nasionalisme Chaerul Saleh
Panglima
TNI-AD (kala itu) Jenderal Soeharto yang kemudian menjadi presiden kedua dalam
ucapan belasungkawanya kepada keluarga Chaerul menyebutkan, ’’Yang dapat saya
beri tahukan, Bung Chaerul tidak terlibat G 30 S/PKI.’’
Tanggal 10
Juli 1959, pasca Dekrit Presiden, Chairul Saleh menjadi menteri Perindustrian Dasar dan
Pertambangan. Periode
1960-1965, Chairul Saleh diangkat sebagai Ketua MPRS, antara 1963-1965
Chairul ditunjuk
sebagai Wakil Perdana Menteri III.
Ketika
Chairul Saleh menjadi menteri
pertambangan, undang-undang nasionalisasi minyak perusahaan-perusahaan
asing dan gagasan Wawasan Nusantara mulai dirumuskan dan menjadi kebijakan strategis pemerintahan
Sukarno. UU Migas tinggal dilaksanakan. Wawasan Nusantara direalisasikan pada
masa pemerintahan Suharto pada tahun 1982 dengan Menteri Luar Negerinya dipegang
oleh Mochtar
Kusumaatmaja.
Chaerul
Saleh, Wakil Perdana Menteri III, menyatakan secara terbuka tentang ancaman
terhadap kesatuan Republik Indonesia serta upaya pihak-pihak tertentu
yang akan melakukan kudeta terhadap Presiden Soekarno. Presiden Soekarno mengundang
pimpinan partai politik untuk bertemu di Istana Negara Bogor. Pertemuan digelar
pada 12 Desember 1964. Bung Karno mengatakan bahwa ada ancaman terhadap
persatuan dan kesatuan bangsa. “Saya mau disingkirkan, Republik mau
dihancurkan,” kata Bung Karno. Bung Karno menguraikan pidatonya, tanpa memihak siapa
pun. Soekarno mengatakan
bahwa kita semua harus memperbaiki keadaan itu. Soekarno menyalahkan PKI dan juga menyalahkan Partai Murba serta mungkin kecewa dengan Partai
Nasional Indonesia (PNI) pada waktu itu. Dalam forum itu terjadi perdebatan
keras di antara pimpinan partai-partai politik, terutama antara PKI dan Partai
Murba. Suasana pertemuan sangat panas, terjadi perbedaan tajam, dan bahkan
nyaris pecah bentrok fisik nyaris terjadi antara Ketua Umum PKI, DN Aidit,
dengan Chaerul Saleh. Pada akhir pertemuan dibentuk panitia
untuk menyusun pernyataan bersama, yang kemudian dikenal dengan sebutan
“Deklarasi Bogor”. Isi deklarasi ini antara lain ingin mempersatukan kembali
seluruh potensi bangsa untuk menyukseskan Revolusi Indonesia, sebab hal itu
menjadi lambang cita-cita seluruh bangsa Indonesia. Sejarah mencatat, yang terjadi
kemudian adalah pengkhianatan terhadap isi dan semangat “Deklarasi Bogor”.
Peristiwa Gerakan 30 September 1965 atau Gestapu pecah. Dan setelah itu,
perpecahan bangsa tak terelakkan. Tindakan kekerasan yang dilakukan aparat
militer, yang dibantu kaum sipil, menyebabkan ratusan ribu anak bangsa
kehilangan nyawa dan jutaan lainnya menderita hanya karena stigma simpatisan
PKI.
Salah satu
pengikut Tan Malaka paling fanatik adalah Chaerul Saleh. Chaerul Saleh memiliki pasukan bernama Pasukan Bambu Runcing, pasukan ini banyak bergerak di Banten
sebagai wilayah kekuasaan mereka pertama kali pada jam-jam awal Republik,
pasukan Chaerul Saleh kenal sekali dengan para jago-jago perang Banten dan
membangun hubungan baik, sikap radikal Chaerul Saleh didukung oleh banyak
kelompok. Ketika Hatta
melakukan politik kompromi pasca Madiun Affair 1948 dan Serangan Desember
Yogyakarya 1948. Dengan politik diplomasi lewat delegasinya ke PBB serta
membangun lobi-lobi di Den Haag tentang usulan pemberhentian perang yang
dibantu pihak Amerika Serikat. Tan Malaka menolak keras, bahkan Sudirman
pengikut fanatik Tan Malaka malah memilih bergerilya terus menolak gagasan
menerima ditangkap demi lancarnya politik diplomasi, sesuai sidang kabinet
terbatas di Gedong Agung Yogya, 1948.
Chaerul
Saleh membangun pos-pos militer, pasukannya selalu
menyerang Belanda. Di
Yogya dan Solo ada Serangan Umum Militer yang luar biasa hebat. Di Solo, pasukan yang dipimpin Slamet Riyadi
mampu menjadikan kota Solo sebagai neraka dua bulan bagi pasukan Belanda.
Perang Yogya dan Solo inilah yang kemudian menjadikan Amerika Serikat mendesak
agar Belanda menyerah saja pada Republik. Untuk menyelamatkan wajah, Belanda, diadakan Perundingan
KMB 1949 di Den Haag, Sukarno pulang ke Djakarta dan Indonesia membayar ganti rugi biaya perang 1945-1949. Chaerul Saleh tidak terima
hasil KMB, Tan Malaka
dibunuh di Jawa Timur. Chaerul Saleh menyatakan perang dengan Pemerintahan
resmi. Chaerul
melakukan gerilya
dari gunung ke gunung. laporan-laporan serangan militer sampai ke meja Nasution
yang saat itu menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan Darat. Nasution marah besar
dengan Chaerul Saleh dan bersumpah menangkap Pasukan Chaerul Saleh.
Pasukan eks
KNIL Westerling mencoba masuk ke Djakarta dengan membunuh perwira-perwira
yang sedang berjalan kaki di Jalan Lengkong, Bandung. Target pasukan Westerling adalah Sri
Sultan Hamengkubuwono IX. Penumpasan Westerling ini dilakukan bersamaan dengan operasi pasukan Republik
mencari sisa-sisa laskar pemberontak lainnya, laskar penolak KMB yang juga
musuh Westerling jadi sasaran pasukan TNI, termasuk pasukan Bambu Runcing
Chaerul Saleh. Chaerul Saleh selalu bisa meloloskan diri dari sergapan
pasukan TNI.
Pada tahun
1956 di Gedung Parlemen Lapangan Banteng, empat orang anggota Parlemen dari
Partai Murba yakni Maroeto
Nitimihardjo, Pandu Kartawiguna, Kobarsih dan Sudijono Djojoprajitno
memukul-mukul meja Parlemen dan berteriak menolak kelanjutan KMB pada Rapat
Parlemen. Gerakan
Maruto di Parlemen mendapatkan sambutan hangat. Parlemen memaksa Sukarno
mencabut perjanjian KMB 1949. Muhammad Hatta yang melakukan tanda tangan perjanjian ini akhirnya
mundur di tahun 1956. Mundurnya
Hatta justru membuat bingung Partai Murba, karena Partai Murba sangat percaya
pada Hatta, sementara dengan Sukarno sering bentrok. Hatta adalah orang yang
teramat jujur dan paling bisa dipegang kata-katanya, begitulah penilaian Partai
Murba. Untuk mendekati Sukarno, Partai Murba mengutus Adam Malik. Sementara
Sukarno sendiri minta Chaerul Saleh turun gunung, soal bentrokannya dengan
Nasution, Sukarno pasang badan jangan sampai Chaerul Saleh 'diapa-apakan'. Chaerul Saleh disuruh sekolah ke
Jerman Barat. Chaerul Saleh juga mendapatkan pesan dari Partai Murba untuk
mempelajari seluruh dimensi pembangunan di Jerman Barat. Disana Chaerul Saleh
terpesona dengan kemajuan industri-industri besar Jerman Barat. setelah sekolahnya selesai, Chaerul membawa setumpukan map berisi
dokumen-dokumen untuk rencana pembangunan industri berat yang ia akan tawarkan
pada Sukarno.
Chaerul
Saleh harus dicatat sebagai orang yang paling banyak menelurkan ide-ide soal
kedaulatan modal dan memasukkannya itu ke dalam konstitusi. Cherul Saleh
sadar untuk membangun industri berat harus ada modal dasar, maka dasar-dasar
permodalan itu harus didapatkan, satu-satunya yang bisa dibangun sebagai
akumulasi modal besar adalah minyak.
Akhirnya
sepulangnya dari Djakarta, Chaerul Saleh bisa mendekat ke Bung Karno. Dekatnya
Chaerul Saleh ke Bung Karno juga menandakan pilihan politik Bung Karno pada
tahun 1957 adalah mengikuti 'Garis Tan Malaka' , sebuah garis politik yang ia
puji pada tahun 1952, pada Kongres Murba tahun 1952 sebagai 'Garis Kesadaranku',
Bung Karno juga amat berterima kasih pada Partai Murba yang mengatalisator
penyadaran masyarakat untuk kembali ke UUD 1945, sebagai konstitusi paling suci
Republik, tahun 1956 Partai Murba-lah yang paling awal menuntut kembalinya UUD
1945.
Pendongkelan
Sukarno, diiringi juga pendongkelan Chaerul Saleh. Ia ditangkap di rumahnya dan
dipenjara di RTM Salemba. Chaerul Saleh tiba-tiba meninggal di
tahanan, kabarnya di dalam WC ia terjatuh. Ketika jenazah Chaerul Saleh dibawa
ke rumahnya, Sukarni sahabat Chaerul Saleh marah-marah pada Adam Malik sesama
anggota Partai Murba yang jadi anggota Triumvirat Suharto, karena Adam Malik
tak mampu melindungi Chaerul Saleh.
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar