Syaikh Attar dari Persia
Faridudin Abu hamid
Muhammad bin Ibrahim, bias dikenal dengan nama Attar seorang filusuf yang
dilahirkan di Nisyapur, Iran. DR. Abdul Hadi W.M., seorang sastrawan sufi dari
Sumenep menyebutkan bahwa Attar lahir pada tahun 1120 M dan meninggal 1230 M.
Attar mulai membuka gerbang sufi ketika suatu ketika bertemu
dengan seorang darwis di kedainya. Darwis
dengan pakain lusuh ini sesaat sebelum akhir hayatnya terus saja mengingatkan Attar
bahwa kehidupan dunia adalah fana dan penuh tipu daya. Toko minyak wangi dan
kekayaan hanyalah bagian dari dunia yang fana. “Sanggupkah engkau meninggalkan
itu semua, untuk mendapatkan hal yang lebih berharga dari sekedar kenikmatan
dunia?” Sang Darwispun kemudian
meninggal dunia dihadapan Attar.
Setelah kejadian
tersebut, Attar meninggalkan Nisyapur dan meninggalkan toko dan hartanya kepada
orang tuanya. Perjalanan mencari ilmu agamapun dimulai. Tercata beberapa tokoh
sufi pernah menjadi gurunya, seperti Syaikh Ruknuddin Akkah dari madzhab
Kubrawiyyah, Syaikh Bukn-ud-din, dan Abu Sa’id bin Abil Khair. Di usianya yang
kurang lebih tiga puluh lima. Attar kembali ke Nisyapur.
Attar merupakan
seorang sufi yang sering menulis disamping mengajarkan sufisme. Manthiq
at-Thair (Musyawarah Burung) dan Thadkira al-Awliya
(Anekdote para Wali) adalah dua karyanya yang sangat terkenal di tanah persia.
Dalam Manthiq
ath-Thayr, Attar mengajak para pembaca mengamati sekawanan burung yang
berkelana jauh mencari Raja Agung yang mereka rindukan. Sekawanan burung
tersebut melakukan perjalanan untuk
menemukan keindahan dan arti hidup yang sesungguhnya. Perjalanan sekawanan
burung yang dipandu hudhud melalui berbagai halangan dan rintangan. Bertahun-tahun
perjalanan suci itu ditempuh untuk dapat menemui sang Raja Agung yang memiliki
bulu-bulu berkekuatan magis, Simurgh, raja dari segala burung di dunia. Ribuan
burung yang menyertai Hudhud, Hanya tiga puluh saja yang berhasil menemui
Simurgh di Istananya. Mereka tiba di Gerbang Istana itu dan disambut salah satu
abdi sang Maha Raja. Tidak ada siapa-siapa di Istana itu, kecuali mereka
sendiri. Sadarlah burung tersebut bahwa kebertuhanan ada dalam diriyang membawa.
Simbol jiwa pada burung merupakan tanda bahwa manusia pada dasarnya
menginginkan lepas untuk terikat dari asal usulnya. Jiwa yang ingin lepas
tersebuttidak terungkapkan karena ada titik lemah pada diri manusia. Jiwa yang
lemah itu disimbolkan oleh Attar dalam karakter burung seperti Bulbul, Nuri,
Merak, Itik, Ayam hutan, Humay, Rajawali, Bangau, Burung Hantu, dan Burung
Gereja.
Bulbul. Memiliki
suara yang sangat indah. Keindahan suaranya membuatnya lupa akan tujuan semula.
Manusia dengan tipe Bulbul memiliki kecenderungan untuk mencintai dirinya
sendiri. Karakter memiliki orientasi hidup terhadap pasangannya, kuat oleh
cinta.
Nuri. Sangat
mencintai dirinya sendiri, keindahan yang melebihinya tidak akan
diperhatikannya. Dirinyalah yang indah.
Merak. Lebih parah dibandingkan Nuri dan Bulbul.keindahan
pada diri sendiri dan kekuatannya bersolek memunculkan karakter sombong. Sangat
sibuk untuk keindahan diri dan memamerkannya.
Itik. Manusia tipe
ini merupakan manusia yang merasa paling suci di antara yang lain. Klaim terhadap
kesucian pada diri seseorang bukan berarti mewujudkan jiwa suci pada orang itu.
Ayam Hutan. Manusia
tipe Ayam Hutan mudah sekali lupa diri karena harta dunia. Tipe ayam hutan senang
sekali memamerkan perhiasan-perhiasan permata dan menyombongkan diri pada
sesuatu yang sebenarnya tidak berarti.
Burung Humay. Terlena oleh
kekuasaan dan pengaruh. Di masa Dinasti Abbasiyah, Burung Humay menyimbulkan para wazir raja yang memiliki
wewenang lebih dari raja.
Rajawali. Merupakan karakter dalam
lingkar kekuasaaan. burung rajawali menyimbolkan orang-orang yang berperan
disekitar raja atau penguasa. Burung rajawali mewakili sosok jenderal atau pemimpin
perang yang saling berebut pengaruhnya. Kekuasaan benar-benar diatas
segala-galanya.
Bangau. Burung bangau menjadi
simbol para petualang pecinta keindahan alam dan tempat wisata. Burung Bangau
selalu ingin melihat melihat tempat-tempat
indah di dunia.menyimpan keindahan alam didalam memorinya sebagai suatu kenangan
terindah. Bangau lebih memilih laut, yang hanya dapat dilihatnya, tanpa bisa
dirasakan dan tanpa memberikannya manfaat selain keindahan semu yang ada.
Burung Hantu. Burung hantu dikenal
karena kemampuannya yang dapat melihat benda-benda dalam kegelapan. Burung Hantu teman para pencari harta karun, penunjuk
jalan bagi mereka untuk menemukan emas dan perak disuatu tempat. Burung ini
melambangkan para pencari harta karun itu sendiri, yang selalu dimabuk harta,
dan menghabiskan waktunya hanya untuk emas yang mereka cari.
Burung Gereja. Tipe burung ini
diasosiasikan hidup dengan keluhan dalam kehidupannya. Semua terlihat kurang di
matanya.
Dari burung-burung ini dapat dilihat bahwa
kecenderungan manusia memang ada pada dunia. Kenikmatan, keindahan, janji yang
diberikan dunia memang tampak nyata bagi orang-orang yang mengandalkan akal dan
indera mereka. Melalui Hudhud, mengingatkan pada kita bahwa segala macam godaan
yang ada ini pada dasarnya dapat dilalui manusia. Tergantung pada diri mereka
sendiri. Ketika mereka membiarkan tubuh mereka dengan segala keterbatasan dan
nafsu-nafsu akan dunia menguasai, maka yang didapatkanpun juga keindahan dan
kenikmatan dunia. Yang dapat dikategorikan
menjadi tiga bagian besar; Pasangan, harta, dan kuasa. Tiga manifestasi
keindahan dunia ini yang selalu saja menggoda manusia untuk meraih keindahan
cahaya Sang Agung, raja segala raja. Untuk dapat menjangkau keindahan cahaya
sang Agung itu, setiap manusia harus berusaha membuka mata batinnya. Hanya
dengan mata batinlah jalan menuju sang Agung dapat tersinari dan dilewati.
Thadkira al-Awliya merupakan karya Attar perihal perkataan para sufi agar
pembaca mengetahui seluk beluk dan batasan-batasan tasawuf berdasarkan apa yang
pernah dilakukan para sufi sebelumnya.
Salah satu
keindahan dan keunggulan karya-karya Attar ini, adalah keragaman akan kisah di
dalamnya, menjadikan karyanya selalu melegenda dan menjadi rujukan. Sebagai
seorang sufi yang suka akan petualangan , ia kenyang makan asam dan garam
kehidupan. Attar melihat dan menjalani berbagai macam peristiwa.
Daftar Pustaka
Abdul Hadi W.M.,, Tasawuf Yang Tertindas; Kajian Hermneutik Terhadap
Karya-karya Hamzah Fansuri, Jakarta: Paramadina 2001
——————–,“Cinta Ilahi dalam Tasawuf Menurut Faridudin Attar Melalui Manthiq
at-Thair”, diktat kuliah Sejarah Seni dan Sastra Islam, ICAS-Paramadina Jakarta
———————, “Mantiq al-Tayr, Alegori Sufi Faridudinal Attar”, diktat kuliah
Sejarah Seni dan Sastra Islam, ICAS-Paramadina Jakarta
Faridudin Attar, Perjalanan Menuju
Tuhan; Manthiq at-Thair, terj. Surgana, Yogyakarta:
Hijrah, 2003
www.nurulkhatami.com,
Majelis Kajian Tasawuf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar