Seputar
Moneter Internasional
Kurs tukar mata uang suatu negara dipandang dari
sisi Multi national Corporation (MNC) dapat berpengaruh terhadap posisi
persaingan dan risiko atas investasinya. Sistem kurs tukar yang dianut suatu
negara dapat berpengaruh terhadap aktivitas bisnis MNC. International Monetary
system adalah kerangka kerja kelembagaan dengan mana pembayaran internasional
dibuat, pergerakan modal diakomodasikan, dan kurs di antara mata uang
ditentukan.
IMS meliputi: instrumen, lembaga, kesepakatan yang
menghubungkan mata uang, pasar uang, sekuritas, real estate, dan pasar
komoditas dunia. Tujuan IMS: untuk mendesain kurs tukar mata uang antar negara
di dunia stabil. Kurs tukar valas: harga suatu mata uang negara lain yang
dinilai dengan mata uang negara tertentu.
Kurs Rp/US$: harga dollar yang dinilai dengan
rupiah. Beberapa istilah penting dalam MKI:
1. Kurs valas tetap dan mengambang.
2. Mata uang kuat dan lemah.
3. Kurs tukar spot dan forward.
4. Devaluasi dan revaluasi.
5. Apreasiasi dan depresiasi.
6. Inflasi dan deflasi.
IMS berdasarkan tahap evolusinya dibagi menjadi lima
tahap:
•
Bimetalisme (sebelum 1875);
•
Standar emas klasik (1875-1914);
•
Periode selama perang (1915-1944);
•
Sistem Bretton Woods (1945-1972);
•
Regim kurs fleksibel (sejak
1972-sekarang).
BIMETALISM (SEBELUM 1875). Bimetalism:
penggunaan standar ganda dalam pembuatan uang logam bebas yang meliputi emas
dan perak. Inggris: menggunakan bimetalism hingga 1816 (setelah perang
Napoleon). AS: mengadopsi bimetalism dengan Coinage Act of 1792, dan
mempertahankannya sampai 1873. Prancis: menggunakan bimetalism dan
mempertahankannya dari Revolusi Prancis hingga 1878. China, India, Jerman, dan
Belanda menggunakan standar perak. Dalam bimetalism emas dan perak digunakan
sebagai alat pembayaran internasional dan kurs tukar di antara mata uang
ditentukan dengan isi emas dan peraknya. 1870: Pound Inggris versus Franc
Prancis (standar emas); Franc Prancis versus Mark Jerman (standar perak). Hukum
Gresham: uang “jelek” (berlimpah) mengusir uang “baik” (terbatas).
STANDAR EMAS KLASIK: 1875-1914. Columbus: “Emas
merupakan kekayaan, dan siapa yang menguasainya mempunyai semua yang ia
butuhkan di dunia”. Inggris: penggunaan standar emas pertama kali, namun, tidak
menetapkan sampai 1921, ketika wesel Bank Inggris dibuat secara penuh dapat
ditebus dengan emas. Prancis: menggunakan standar emas secara efektif mulai
1850-an dan secara formal pada 1875. Jerman: mengganti dengan standar emas pada
1875, dan menghentikan pembuatan uang perak. AS: mengadopsi standar emas pada
1879. Rusia dan Jepang: mengadopsinya pada 1897. Standar emas internasional
dikatakan ada jika kebanyakan negara utama memenuhi tiga syarat:
1. Hanya emas yang dijamin dalam pembuatan uang
logam yang tidak dibatasi;
2. Ada dua cara konvertabilitas antara emas dan mata
uang nasional pada rasio yang stabil;
3. Emas mungkin secara bebas diekspor dan diimpor.
Di bawah standar emas, ketidakselarasan kurs tukar
secara otomatis akan dikoreksi dengan arus emas lintas batas. Ketidakseimbangan
pembayaran internasional juga akan terkoreksi secara otomatis (price-specie-flow
mechanism).
PERIODE SELAMA PERANG: 1915-1944. Pada Agustus 1914
standar emas klasik berakhir, karena negara2 utama (Inggris, Prancis, Jerman,
dan Rusia) menghentikan penebusan wesel bank dalam emas dan mengembargo ekspor
emas. Setelah perang Dunia I, beberapa negara menderita hiperinflasi. Kurs
tukar antar mata uang berfluktuasi pada awal 1920-an. Selama periode ini,
negara2 secara luas menggunakan depresiasi yang “ganas” atas mata uangnya untuk
mendapatkan keunggulan dalam pasar ekspor dunia. AS berusaha mengembalikan
standar emas pada 1919. Inggris: kembali ke standar emas pada 1925. Swis,
Prancis, dan negara2 Skandinavia: kembali ke standar emas pada 1928. Pada akhir
1920-an terjadi kesalahan dalam menerapkan standar emas: negara2 utama
memprioritaskan pada stabilisasi ekonomi domestik (dengan kebijakan stirilisasi
emas). Akibat tidak mematuhi aturan main, mekanisme penyesuaian otomatis
standar emas tidak dapat bekerja. Pengembalian ke standar emas diperburuk oleh
terjadinya Depresi Besar pada 1929. Akibat Depresi Besar bank2 di Austria,
Jerman, dan AS mengalami penurunan nilai portofolionya, & terjadi penghindaran
atas bank. Inggris mengalami arus keluar emas besar2-an, yang dihasilkan dari
defisit neraca pembayaran yang kronis dan hilangnya kepercayaan terhadap pound
sterling. September 1931, pemerintah Inggris menghenti-kan pembayaran emas dan
membiarkan pound mengambang. Akhir 1931,
Kanada, Swedia, Austria, dan Jepang mengikuti jejak Inggris ini. AS
meninggalkan standar emas setelah bank mengalami kesulitan dan arus keluar
emas. Prancis meninggalkan standar emas pada 1936, karena pelarian dari franc,
yang merefleksikan ketidakstabilan ekonomi dan politik.
SISTEM BRETTON WOODS (SBW): 1945-1972. SBW
dihasilkan dari pertemuan 44 wakil negara di Bretton Woods, New Hampshire, pada
Juli 1944. Lembaga yang dihasilkan: IMF dan IBRD/World Bank, yang keduanya mempunyai
tanggung jawab berbeda. SBW berusaha mencegah berulangnya nasiona-lisme ekonomi
dengan kebijakan destruktif “memiskinkan negara tetangga” dan mengarah pada
kekurangan peraturan2 yang jelas atas terganggunya permainan selama perang.
Desain sistem tukar emas: setiap negara menentukan nilai pari mata uangnya pada
US$, dan US$ menambatkan pada emas ($35/ons). Negara yang memegang US$, seperti
emas, dapat digunakan sebagai alat pembayaran internasional (dollar berdasarkan
standar tukar emas. Dengan pasokan cadangan moneter internasional dipasangkan
dengan tingkat kurs yang stabil, menyediakan lingkungan kondusif yang tinggi
terhadap perdagangan dan investasi internasional pada 1950-1960. Peringatan
Prof. Robert Triffin: sistem emas diprogramkan untuk kolap dalam jangka panjang
(paradoks Triffin). Usaha mengatasi kolapnya sistem tukar dollar berdasarkan
emas dipusatkan pada:
1. Suatu seri atas ukuran2 mempertahankan dollar
diambil oleh pemerintah AS;
2. Penciptaan aset cadangan baru, special drawing
rights (SDRs), oleh IMF.
Beberapa kebijakan yang dibuat oleh pemerintah AS:
1. IET; 2. FCRP. Nilai SDR: 1. Awalnya, rata2 tertimbang atas 16 mata uang
dengan pangsa ekspor dunia > 1%; 2. Pada 1981, komposisinya hanya terdiri
dari lima mata uang utama, yaitu US$, GDM, JP¥, B£, dan FF ; 3. Januari 1999,
IMF mengganti GDM dan FF dengan euro dengan kurs konversi tetap. SDR cenderung
lebih stabil dibanding mata uang individual, sehingga menjadi mata uang
denominasi yang atraktif untuk kontrak2 komersial dan keuangan internasional di
bawah ketidakpastian kurs tukar. Standar tukar dollar berdasarkan emas menjadi
tidak efektif karena menghadapi kebijakan moneter ekspansif dan meningkatnya
inflasi di AS. Pada 1970 US$ overvalued, khususnya relatif terhadap GDM
dan JP¥. Pada Agustus 1971, Presiden Nixon menghentikan konvertibilitas US$ ke
dalam emas dan memberlakukan biaya tambahan impor sebesar 10%. Untuk mengatasi
retaknya SBW, 10 negara utama (Kelompok Sepuluh) bertemu di Smitsonian
Institute di Washington D.C. pada Desember 1971.Hasil persetujuan Smitsonian:
1. Harga emas dinaikkan menjadi $38/ons; 2. Setiap negara lain merevaluasi mata
uangnya terhadap US$ di atas 10%; 3. Batas kurs tukar diijinkan bergerak
1%-2,25% dalam arah yang lain.Pada Februari 1973 US$ mendapat tekanan berat dan
kembali bank2 sentral di seputar dunia membeli US$. Harga emas dinaikkan
menjadi US$42/ons. Pada Maret 1973 mata uang Eropa dan Jepang diijinkan
mengambang dan diikuti negara lain.
REGIM KURS TUKAR FLEKSIBEL: 1973-SEKARANG. Dengan
matinya SBW, pada Januari 1976 anggota IMF bertemu di Jamaika untuk menyetujui
peraturan SMI yang baru. Tiga elemen kunci Persetujuan Jamaika:
1. Kurs fleksibel dideklarasikan bagi anggota IMF;
2. Emas secara resmi dibebaskan sebagai aset
cadangan internasional;
3. Negara2 nonpengekspor minyak dan negara kurang
berkembang diberi akses lebih besar terhadap
dana IMF.
IMF menyediakan bantuan kepada negara2 yang
menghadapi kesulitan neraca pembayaran dan kurs tukar . Sejak Maret kurs tukar
secara substansial lebih bergejolak daripada di era SBW. Kondisi nilai tukar
US$ terhadap 21 negara industri: menurun, meningkat, dan puncak. Pada September
1985, negara2 G-5 (Prancis, Jepang, Jerman, Inggris, dan AS) bertemu di Hotel
Plaza, New York. Plaza Accord berisi
persetujuan bahwa anggota G-5 setuju untuk mendepresiasi US$ terhadap mata uang
paling utama untuk memecahkan masalah defisit perdagangan AS dan mengung-kapkan
keinginannya untuk mengintervensi di pasar valas untuk merealisasikan tujuan
ini. US$ terus mengalami penurunan, sehingga mendorong negara2 G-7 mengadakan
pertemuan di Paris pada 1987. Hasilnya berupa Louvre Accord, yang meliputi:
1. Negara2 G-7 akan bekerjasama untuk mencapai
stabilitas kurs tukar yang lebih besar;
2. Negara2 G-7 menyetujui untuk berkonsultasi dan
berkoordinasi lebih erat atas kebijakan2 makro-ekonomi.
Louvre Accord menandai lahirnya sistem mengambang
terkendali dalam mana negara2 G-7 akan bekerjasama mengintervensi dalam pasar
valas untuk mengkoreksi over atau under valuation atas mata uang.
Tiga persyaratan mata uang ideal (trinitas yang
tidak mungkin): 1. Stabilitas kurs tukar, 2. Integrasi keuangan penuh, dan 3.
Kebebasan moneter. Mayoritas mata uang di dunia ditambatkan terhadap mata uang
tunggal, terutama US$ dan €, atau sekeranjang mata uang seperti SDR. Rencana
kurs tukar sekarang diklasifikasikan oleh IMF (2005). Penetapan tukar dengan tidak
memisahkan tender hukum: mata uang negara lain beredar sebagai tender hukum
sendiri atau negara tersebut termasuk uni moneter atau mata uang dalam mana
tender hukum yang sama dibagi oleh anggota2 uni tsb. Penetapan dewan mata uang:
suatu regim moneter didasarkan pada komitmen legislatif eksplisit untuk menukar
mata uang domestik dengan mata uang asing khusus pada kurs tukar tetap,
dikombinasikan dengan batasan-batasan atas penerbitan otoritas untuk menjamin
pemenuhan kewajiban2 hukumnya. Penetapan tambatan tetap konvensional lain:
negara tsb menambatkan mata uangnya pada kurs tetap terhadap mata uang utama
atau sekeranjang mata uang di mana kurs tukar berfluktuasi dengan margin sempit
< 1% atau turun > 1%, dari kurs tengah. Penambatan kurs tukar dengan
batas horisontal: nilai mata uang dipertahankan dengan margin fluktuasi sekitar
tambatan resmi atau tetap yang tidak > 1%, + atau -, dari kurs tengah.
Tambatan2 merangkak: mata uang disesuaikan secara periodik dalam jumlah kecil
pada kurs tetap, kurs yang diumumkan sebelumnya atau respon terhadap perubahan2
dalam indikator2 kuantitatif terpilih. Kurs tukar dengan batas merangkak: mata
uang dipertahankan dengan margin fluktuasi di sekitar kurs tengah yang
disesuaikan secara periodik pada kurs tetap yang diumumkan sebelumnya atau
dalam respon terhadap perubahan2 dalam indikator2 kuantitatif terpilih.
Mengambang terkendali dengan tidak menerabas pengumuman sebelumnya untuk kurs
tukar: otoritas moneter mempengaruhi pergerakan kurs tukar melalui intervensi
aktif di pasar valas tanpa pengkhususan, atau komitmen sebelumnya terhadap,
terabasan yang diumumkan sebelumnya untuk kurs tukar.
Mengambang bebas: kurs tukar ditentukan pasar,
dengan intervensi valas ditujukan pada kurs moderat atas perubahan &
mencegah fluktuasi dalam kurs tukar daripada mempertahankan suatu levelnya.
Pada Juli 2005, jumlah terbesar negara (36), termasuk Australia, Kanada,
Jepang, Inggris, dan AS, mengijinkan mata uangnya untuk mengambang secara
independen terhadap mata uang lain. 40 negara, termasuk Cina, India, Rusia, dan
Singapura, mengadopsi bentuk sistem “mengambang terkendali”. 41 negara tidak
mempunyai mata uang nasionalnya. 7 negara, termasuk Bulgaria, Hong Kong, &
Estonia, mempertahankan mata uangnya tetapi secara permanen menetap pada mata
uang keras, seperti US$ atau €. Negara2 sisanya mengadopsi mengkombinasikan
regim kurs tukar tetap dan mengambang.
Sistem Moneter Eropa (SME), awalnya diusul-kan oleh
Kanselir Jerman Helmut Schmidt, dan secara formal diperkenalkan pada Maret
1979. Tujuan SME: 1. Memantapkan “zona stabilitas moneter: di Eropa; 2.
Mengkoordinasi kebijakan-kebijakan kurs tukar terhadap mata uang-mata uang non
EMS; 3. Membuka jalan untuk akhirnya menjadi uni moneter Eropa. Dua instrumen
utama SME: 1. ECU, 2. ERM. Mata uang: Euro, pada awalnya melibatkan 11 negara
anggota.
Moneter Dunia saat Ini
Perkembangan Amerika Serikat. Perkembangan moneter global ditandai oleh beberapa permasalahan,
Beberapa permasalahan terjadi adalah twin deficit yang terjadi di
Amerika Serikat. Perekonomian Amerika
Serikat mengalami pertumbuhan ekonomi yang tinggi mengandung
permasalahan yang bisa eksplosif. Salah satu permasalahan besar yang dihadapi
negara tersebut adalah defisit neraca pembayaran. Defisit ini sudah terjadi
selama bertahun-tahun. Permasalahan yang kedua, yaitu defisit APBN,
(sebenarnyanya pernah terkoreksi pada saat periode pemerintahan kedua Presiden
Clinton) dari tahun 1998 sampai dengan 2000, APBN Amerika Serikat mengalami
surplus yang makin besar. Namun, surplus yang membesar tersebut tiba-tiba
menjadi defisit yang semakin lama semakin membesar Akhir tahun 2005, hutang
kotor Pemerintah Amerika Serikat (gross debt) mencapai 8,170 trilyun
Dolar AS (tumbuh sekitar 2 trilyun Dolar AS dibandingkan dengan posisi pada
saat akhir pemerintahan Presiden Clinton). Tingkat gross debt sebesar
itu merupakan sekitar 70 persen dari total PDB Amerika Serikat. Perkembangan
tersebut menimbulkan permasalahan bagi Pemerintah maupun Bank Sentral AS. Dalam
keadaan perekonomian yang mengalami pertumbuhan yang tinggi, tekanan inflasi
negara tersebut akan menyebabkan bank sentral AS mengambil langkah pengetatan
moneter. Apabila tingkat bunga dinaikkan terlalu tinggi, akan menyebabkan beban
pembayaran bunga bagi Pemerintah Amerika Serikat juga menjadi semakin berat.
Jika selama beberapa tahun suku bunga Federal Funds berada posisi
terendah, yaitu 1 persen, maka suku bunga obligasi Pemerintah Amerika Serikat
berada pada level sekitar 3 – 4 persen.
Dengan adanya kenaikan suku bunga Federal Funds menjadi 5 persen, maka
suku bunga obligasi Pemerintah yang berjangka waktu 10 tahun. mengami
peningkatan menjadi lebih dari 5 persen. Dengan tingkat utang yang dimiliki
Pemerintah Amerika Serikat saat ini, setiap kenaikan suku bunga obligasi 1
persen, dampaknya adalah kenaikan pengeluaran dalam APBN sebesar 80 milyar
dolar AS sebagai tambahan pembayaran bunga (saja).
Dengan
terjadinya twin deficit, upaya pencapaian keseimbangan hanya bisa
dilakukan oleh investor luar negeri, terutama bank-bank sentralnya. Hal inilah
yang membuat cadangan devisa bank-bank sentral Asia mengalami kenaikan yang
sangat tajam dari waktu ke waktu. Yang menjadi pertanyaan adalah sampai dimana
batas atas dari cadangan devisa tersebut yang bisa ditolerir oleh bank-bank
sentral di seluruh dunia.
Perekonomian
Jepang dewasa ini sudah berada pada jalur pemulihan ekonomi (meskipun
tersenggol oleh tsunami beberapa saat lalu). Selama beberapa tahun pemerintahan
Perdana Menteri Koizumi, perekonomian Jepang berada pada arah yang benar.
Investasi yang dilakukan oleh perusahaan Jepang maupun investor Asiang sudah
mulai dilakukan di dalam negeri Jepang, setelah berathun-tahun banyak korporasi
Jepang yang melakukan investasi di luar negeri. Perkembangan investasi yang
semula lebih banyak dilakukan di luar negeri tersebut telah menimbulkan suatu argumentasi, korporasi Jepang banyak
mengalami keuntungan besar. Toyota telah menjadi perusahaan otomotif terbesar
di dunia (setelah dalam nilai sahamnya bertahun-tahun menjadi koprporasi di
bidang otomotif yang memiliki kapitalisasi pasar terbesar di dunia).
Namun
demikian, perkembangan ekonomi Jepang tersebut sayangnya terjadi setelah selama
sepuluh tahun lebih mengalami stimulasi fiskal yang salah sasaran, sehingga
pada akhirnya kapasitas ekonomi tidak mengalami peningkatan, tetapi jumlah
utang Pemerintah justru berkembang dengan pesat. Dengan defisit APBN yang
besarnya sekitar lebih dari 8 persen setiap tahunnya, maka dengan cepat utang
Pemerintah mengalami peningkatan yang pesat. Apabila pada tahun 1989, tahun
sebelum terjadi resesi yang berkepanjangan, rasio utang terhadap PDB Pemerintah
Jepang berada pada tingkat 50 persen, suatu tingkat relatif aman, pada tahun
1999 rasio utang tersebut menjadi 99 persen dari PDB. Tahun 2004 rasio tersebut
meningkat menjadi sebesar 160 persen, dan saat ini mencapai 175 persen. Dengan
rasio utang yang sedemikian besar, setiap kenaikan suku bunga sebesar 1 persen,
kenaikan beban pembayaran bunga utang Pemerintah sebesar 1,75 persen dari PDB.
Defisit APBN Jepang diharapkan dapat diturunkan secara bertahap sehingga pada
suatu saat nanti diharapkan menjadi surplus kembali.
Dengan
rasio utang yang sedemikian, mudah dimengerti bahwa akhirnya terjadi ketegangan
yang tinggi antara Bank of Japan, bank sentral negara tersebut, dengan
Pemerintah Jepang. Bank sentral negara tersebut mulai melihat perlunya untuk
melakukan pengetatan moneter dengan memposisikan tingkat suku bunga ke tingkat
yang lebih masuk akal dibandingkan dengan tingkat yang mendekati nol dewasa
ini. Rencana kenaikan suku bunga (oleh Bank sentral Jepang) tersebut berhadapan dengan kekhawatiran
Pemerintah Jepang terhadap meningkatnyanya dinamika utang di negara tersebut.
Perekonomian
Uni Eropa juga mengalami dinamika tersendiri yang
patut menjadi perhatian kita semua. Pada saat ini , beberapa negara yang
menjadi pilar penting dari Uni Eropa, yaitu Jerman, Perancis dan Italia
mengalami pertumbuhan yang rendah setelah beberapa tahun mengalami resesi.
Bahkan untuk tahun ini Italia diperkirakan akan mengalami pertumbuhan yang
sangat rendah sehingga Pemerintah Italia diperkirakan akan melanggar lagi
kesepakatan untuk menahan defisit APBN dibawah 3 persen. Secara keseluruhan
begitu banyak harapan yang ditumpahkan pada Uni Eropa. Beberapa negara anggota
Uni Eropa yang kecil, terutama Irlandia, Spanyol, Portugal dan Yunani, mengalami
percepatan pertumbuhan ekonomi selama masa pembentukan pakta ekonomi tersebut.
Demikian juga harapan yang ditumpahkan negara-negara anggota baru yang berasal
dari Eropa Timur dan Eropa Tengah, prospek dari Uni Eropa diperkirakan masih
akan cerah dalam beberapa dekade mendatang.
Krisis
keuangan yang terjadi di zona Eropa, berawal dari krisis utang yang terjadi di
Yunani dua tahun lalu, dimana saat ini krisis tersebut sedikit demi sedikit
telah menular ke Italia. Italia memiliki ekonomi terbesar ketiga di antara 17
negara yang berbagi mata uang euro. Krisis ini juga telah menggulingkan Perdana
Menteri Silvio Berlusconi. Berlusconi menyatakan akan mundur setelah reformasi
berlalu.Kemungkinan akan muncul konsekuensi luar zona euro, terutama Asia. Dia
mengusulkan kepada Jepang agar berhati-hati dalam masa krisis yang melanda
Eropa.
Perkembangan
yang sedemikian itu pada akhirnya membawa dampak pada pergeseran-pergeseran
kekuatan perekonomian global yang akan mewarnai dekade mendatang. Sebagaimana
diketahui, Airbus, misalnya, sudah menjadi kekuatan tandingan yang bahkan sudah
mulai melampaui Boeing (yang bahkan sudah merger dengan Mc Donnell Douglas).
Nokia, misalnya, sudah menjadi kekuatan yang penting dalam industri
telekomunikasi baru. Bahkan kalau kita melihat daftar urutan negara dalam
Global Competitiveness Index yang dikeluarkan oleh World Economic Forum, maka
tampak benar dominasi dari negara-negara Eropa dalam daftar tersebut.
Perkembangan
moneter global ditandai oleh beberapa permasalahan, Beberapa permasalahan
terjadi adalah twin deficit yang terjadi di Amerika Serikat. Perekonomian Amerika Serikat mengalami
pertumbuhan ekonomi yang tinggi mengandung permasalahan yang bisa eksplosif.
Salah satu permasalahan besar yang dihadapi negara tersebut adalah defisit
neraca pembayaran. Defisit ini sudah terjadi selama bertahun-tahun.
Permasalahan yang kedua, yaitu defisit APBN, (sebenarnyanya pernah terkoreksi
pada saat periode pemerintahan kedua Presiden Clinton) dari tahun 1998 sampai
dengan 2000, APBN Amerika Serikat mengalami surplus yang makin besar. Namun,
surplus yang membesar tersebut tiba-tiba menjadi defisit yang semakin lama
semakin membesar Akhir tahun 2005, hutang kotor Pemerintah Amerika Serikat (gross
debt) mencapai 8,170 trilyun Dolar AS (tumbuh sekitar 2 trilyun Dolar AS
dibandingkan dengan posisi pada saat akhir pemerintahan Presiden Clinton).
Tingkat gross debt sebesar itu merupakan sekitar 70 persen dari total
PDB Amerika Serikat. Perkembangan tersebut menimbulkan permasalahan bagi
Pemerintah maupun Bank Sentral AS. Dalam keadaan perekonomian yang mengalami
pertumbuhan yang tinggi, tekanan inflasi negara tersebut akan menyebabkan bank
sentral AS mengambil langkah pengetatan moneter. Apabila tingkat bunga
dinaikkan terlalu tinggi, akan menyebabkan beban pembayaran bunga bagi
Pemerintah Amerika Serikat juga menjadi semakin berat. Jika selama beberapa
tahun suku bunga Federal Funds berada posisi terendah, yaitu 1 persen,
maka suku bunga obligasi Pemerintah Amerika Serikat berada pada level sekitar 3 – 4 persen. Dengan
adanya kenaikan suku bunga Federal Funds menjadi 5 persen, maka suku
bunga obligasi Pemerintah yang berjangka waktu 10 tahun. mengami peningkatan
menjadi lebih dari 5 persen. Dengan tingkat utang yang dimiliki Pemerintah
Amerika Serikat saat ini, setiap kenaikan suku bunga obligasi 1 persen,
dampaknya adalah kenaikan pengeluaran dalam APBN sebesar 80 milyar dolar AS
sebagai tambahan pembayaran bunga (saja).
Dengan
terjadinya twin deficit, upaya pencapaian keseimbangan hanya bisa dilakukan
oleh investor luar negeri, terutama bank-bank sentralnya. Hal inilah yang
membuat cadangan devisa bank-bank sentral Asia mengalami kenaikan yang sangat
tajam dari waktu ke waktu. Yang menjadi pertanyaan adalah sampai dimana batas
atas dari cadangan devisa tersebut yang bisa ditolerir oleh bank-bank sentral
di seluruh dunia.
Perekonomian
Jepang dewasa ini sudah berada pada jalur pemulihan ekonomi (meskipun
tersenggol oleh tsunami beberapa saat lalu). Selama beberapa tahun pemerintahan
Perdana Menteri Koizumi, perekonomian Jepang berada pada arah yang benar.
Investasi yang dilakukan oleh perusahaan Jepang maupun investor Asiang sudah
mulai dilakukan di dalam negeri Jepang, setelah berathun-tahun banyak korporasi
Jepang yang melakukan investasi di luar negeri. Perkembangan investasi yang
semula lebih banyak dilakukan di luar negeri tersebut telah menimbulkan suatu argumentasi, korporasi Jepang banyak
mengalami keuntungan besar. Toyota telah menjadi perusahaan otomotif terbesar
di dunia (setelah dalam nilai sahamnya bertahun-tahun menjadi koprporasi di
bidang otomotif yang memiliki kapitalisasi pasar terbesar di dunia).
Namun
demikian, perkembangan ekonomi Jepang tersebut sayangnya terjadi setelah selama
sepuluh tahun lebih mengalami stimulasi fiskal yang salah sasaran, sehingga
pada akhirnya kapasitas ekonomi tidak mengalami peningkatan, tetapi jumlah
utang Pemerintah justru berkembang dengan pesat. Dengan defisit APBN yang
besarnya sekitar lebih dari 8 persen setiap tahunnya, maka dengan cepat utang
Pemerintah mengalami peningkatan yang pesat. Apabila pada tahun 1989, tahun
sebelum terjadi resesi yang berkepanjangan, rasio utang terhadap PDB Pemerintah
Jepang berada pada tingkat 50 persen, suatu tingkat relatif aman, pada tahun
1999 rasio utang tersebut menjadi 99 persen dari PDB. Tahun 2004 rasio tersebut
meningkat menjadi sebesar 160 persen, dan saat ini mencapai 175 persen. Dengan
rasio utang yang sedemikian besar, setiap kenaikan suku bunga sebesar 1 persen,
kenaikan beban pembayaran bunga utang Pemerintah sebesar 1,75 persen dari PDB.
Defisit APBN Jepang diharapkan dapat diturunkan secara bertahap sehingga pada
suatu saat nanti diharapkan menjadi surplus kembali.
Dengan
rasio utang yang sedemikian, mudah dimengerti bahwa akhirnya terjadi ketegangan
yang tinggi antara Bank of Japan, bank sentral negara tersebut, dengan
Pemerintah Jepang. Bank sentral negara tersebut mulai melihat perlunya untuk
melakukan pengetatan moneter dengan memposisikan tingkat suku bunga ke tingkat
yang lebih masuk akal dibandingkan dengan tingkat yang mendekati nol dewasa
ini. Rencana kenaikan suku bunga (oleh Bank sentral Jepang) tersebut berhadapan dengan kekhawatiran
Pemerintah Jepang terhadap meningkatnyanya dinamika utang di negara tersebut.
Perekonomian
Uni Eropa juga mengalami dinamika tersendiri yang
patut menjadi perhatian kita semua. Pada saat ini , beberapa negara yang
menjadi pilar penting dari Uni Eropa, yaitu Jerman, Perancis dan Italia
mengalami pertumbuhan yang rendah setelah beberapa tahun mengalami resesi.
Bahkan untuk tahun ini Italia diperkirakan akan mengalami pertumbuhan yang
sangat rendah sehingga Pemerintah Italia diperkirakan akan melanggar lagi
kesepakatan untuk menahan defisit APBN dibawah 3 persen. Secara keseluruhan
begitu banyak harapan yang ditumpahkan pada Uni Eropa. Beberapa negara anggota
Uni Eropa yang kecil, terutama Irlandia, Spanyol, Portugal dan Yunani,
mengalami percepatan pertumbuhan ekonomi selama masa pembentukan pakta ekonomi
tersebut. Demikian juga harapan yang ditumpahkan negara-negara anggota baru
yang berasal dari Eropa Timur dan Eropa Tengah, prospek dari Uni Eropa
diperkirakan masih akan cerah dalam beberapa dekade mendatang.
Perkembangan
yang sedemikian itu pada akhirnya membawa dampak pada pergeseran-pergeseran
kekuatan perekonomian global yang akan mewarnai dekade mendatang. Sebagaimana
diketahui, Airbus, misalnya, sudah menjadi kekuatan tandingan yang bahkan sudah
mulai melampaui Boeing (yang bahkan sudah merger dengan Mc Donnell Douglas).
Nokia, misalnya, sudah menjadi kekuatan yang penting dalam industri
telekomunikasi baru. Bahkan kalau kita melihat daftar urutan negara dalam
Global Competitiveness Index yang dikeluarkan oleh World Economic Forum, maka
tampak benar dominasi dari negara-negara Eropa dalam daftar tersebut.
Dengan melihat
perkembangan tersebut, kita dapat membaca tanda-tanda zaman mengenai apa yang
mungkin terjadi di masa mendatang. Sementara perekonomian Amerika Serikat, meskipun dewasa ini
mengalami pertumbuhan yang tinggi, mengalami permasalahan struktural yang semakin
berat, sementara Jepang juga menghadapai permasalahan dinamika utang yang
semakin besar, maka Uni Eropa, meskipun dewasa ini mengalami permasalahan
pertumbuhan yang rendah, telah menawarkan diri sebagai kawasan ekonomi yang
relatif paling sehat dan memiliki prospek yang cukup menjanjikan.
Pusat pertumbuhan baru benua Asia dengan dua powerhouse
yang baru, yaitu Cina dan India. Perkembangan
yang terjadi di dua negara tersebut juga dilengkapi dengan perkembangan di
kawasan sekitarnya, terutama Korea dan ASEAN. Cadangan devisa yang dimiliki
oleh bank-bank sentral negara-negara di kawasan Asia menunjukkan
penggelembungan yang semakin lama semakin besar. Data bulan Maret 2006 yang
lalu, cadangan devisa Jepang sudah mencapai 875 milyar dolar AS. Jumlah ini
membuat Cina sebagai negara yang menduduki tingkat pertama dalam pengumpulan
cadangan devisa, melampaui Jepang untuk pertama kalinya, dan terus meningkat
dari waktu ke waktu. Cadangan devisa Korea selatan sudah melampaui 200 milyar
dolar AS sehingga berada pada tingkat yang kurang lebih sama dengan Taiwan dan
Hong Kong. India, dulu hanya memiliki cadangan devisa sekitar 30 milyar dolar
AS, mengalami lonjakan cadangan devisa sekitar 150 milyar dolar AS. Sekitar
lebih dari 70 persen cadangan devisa dunia ada di kawasan Asia.
Kepemilikan
devisa yang hampir dikuasai negara-negara Asia tersebut membawa konsekuensi
yang sangat penting bagi stabilitas moneter internasional di masa mendatang.
Pengaturan komposisi portofolio dari cadangan devisa tersebut akan membawa
perubahan yang sangat mendasar di masa mendatang. Apabila cadangan devisa yang
dimiliki bank-bank sentral Asia berjumlah 2.500 milyar dolar AS, apabila
terjadi perubahan portofolio sebesar 10 persen saja akan mengakibatkan
terjadinya pergeseran sebesar 250 milyar dolar AS. semisal, apabila bank-bank
sentral negara-negara di Asia sepakat untuk mengubah komposisi cadangan
devisanya, dengan menggantikan cadangan devisa dalam dolar AS sebesar 10 persen
menjadi Euro, misalnya, maka perubahan ini akan menyebabkan terjadinya
pergesaran cadangan devisa, dimana devisa dalam dolar AS akan turun sebesar 250
milyar Dolar AS sedangkan devisa dalam Euro akan meingkat dengan 250 milyar
Dolar AS.
Keadaan
seperti tersebut pernah terjadi dalam sejarah, yaitu pada saat mata uang anchor
dunia berpindah dari Pound Sterling menjadi Dolar AS, yaitu melalui
persidangan di Bretton Woods pada tahun 1944. Konsekuensi perubahan tersebut
membuat Inggris akhirnya menjadi seperti paria selama 20 tahun lebih. Inggris
menjadi binaan IMF yang pertama dan berlanjut selama 20 tahun kemudian. Keadaan
tersebut dapat berulang, dan potensinya mungkin muncul setiap saat, jika
bank-bank sentral negara-negara Asia melihat bahwa masa depan perekonomian
global sudah diujung tanduk karena permasalahan ekonomi AS yang struktural
tersebut.
Permasalahan
tersebut merupakan hal utama yang memiliki potensi ledakan yang besar bagi
goncangan moneter internasional. Sementara itu, goncangan lain tetap mungkin
timbul karena aliran modal global yang semakin lama semakin besar. Dampak dari
berpindahnya aliran modal global tersebut pada akhirnya merupakan suatu hal
yang harus dicermati terus menerus dalam perjalanan hidup kenegaraan kita di
masa-masa mendatang ini. Sebagai negara yang memiliki cadangan devisa yang
relatif belum terlalu besar, kehati-hatian kita dituntut untuk terus tetap
dijaga.
Merespons Gejolak Moneter
Internasional.
Semakin
terintegrasinya perekonomian dunia memang pada akhirnya menuntut kesigapan yang
tinggi pada para pengelola moneter dan Pemerintah di seluruh dunia. Banyak juga
langkah yang dilakukan secara bersama sebagaimana ditanda tanganinya Repo
Agreement di antara berbagai negara di Asia selama beberapa waktu terakhir.
Namun demikian, pertahanan terakhir menghadapi gejolak moneter internasional
tersebut pada akhirnya terpulang kepada para pengelola moneter dan Pemerintah
masing-masing negara tersebut.
Kesigapan
untuk selalu memperhatikan perkembangan eksternal. Aliran
modal di Indonesia berlangsung bebas. Dalam keadaan yang sedemikian, berlaku
adagium ”the impossibility of the holy trinity”. Dalam keadaan mobilitas
modal yang sedemikian bebas, maka dua hal tidak bisa terjadi sekaligus, yaitu
independensi kebijakan moneter dan penetapan nilai tukar. Dua hal terakhir ini
sering sekali ingin dilakukan bersamaan oleh Otoritas Moneter maupun Pemerintah
Indonesia. Suku bunga yang rendah merupakan hal yang sangat diinginkan oleh
dunia usaha maupun juga Pemerintah. Otoritas Moneter juga ingin memiliki nilai
Rupiah yang kuat, tampaknya sebagai legacy dari berbagai gejolak moneter
dasawarsa yang lalu dan diperkuat dengan krisis Asia.
Kemampuan
Untuk Melakukan Intervensi. Dalam keadaan nilai
Rupiah tertekan, diperlukan langkah untuk mengurangi fluktuasinya. Intervensi
bisa dilakukan diam-diam, yaitu melalui bank-bank (Pemerintah) yang menjadi
kepanjangan tangan dari Bank Indonesia maupun dilakukan oleh Bank Indonesia
sendiri. Dalam perjalanan hidup Bank Indonesia, berbagai cara tersebut sudah
dilakukan.
Pada Orde
Baru, nilai tukar tetap maupun juga pada saat berlangsungnya sistem nilai tukar
managed floating, Bank Indonesia bertindak pasif. Setiap kali nilai
Rupiah melewati batas bawah atau batas atas, maka bank-bank akan melakukan
penjualan ataupun pembelian devisa ke Bank Indonesia. Pada saat sistem mulai
berubah menjadi sistem nilai tukar mengambang yaitu pada 15 Agustus 1997, Bank
Indonesia dalam melakukan intervensi secara aktif merupakan keharusan.
Kemampuan intervensi tidak boleh terlambat meskipun harus melalui prosedur
birokrasi yang panjang.
Penguatan
perbankan. Sistem perbankan yang kuat akan banyak
membantu perekonomian dalam mengurangi daya krisis. Upaya memperkuat perbankan
perlu dilakukan. Salah satu penyebab dari banyaknya bank yang bangkrut di tahun
1998 adalah bergeraknya nilai tukar Rupiah secara ekstrem. Dalam hal ini,
penerapan peraturan Net Open Position secara benar (baik secara
absolut maupun juga dengan matching jangka waktu yang benar) bisa
mengurangi secara drastis risiko semacam itu. Penerapan Risk Management di
perbankan Indonesia sedang digalakkan. Upaya untuk mengurangi risiko perbankan
(risiko kredit, risiko likuiditas, risiko pasar, dan sebagainya) perlu selalu
dilakukan.
Mengurangi Intensitas Mobilitas Modal. Lalu
lintas modal yang sedemikian tinggi menyebabkan independensi pengenaan
kebijakan moneter menjadi jauh berkurang. Chili menerapkan kebijakan untuk
memberikan disinsentif bagi lalu lintas modal semacam itu. Jika aliran modal
masuk hanya berlangsung kurang dari satu tahun, maka modal tersebut dikenai
pajak yang tinggi agar bisa tinggal lebih lama di negara tersebut. Upaya yang
dikenal dengan Tobin Tax ini sering menjadi acuan dari IMF dan Bank Dunia jika
mereka memberikan rekomendasi kepada negara-negara anggotanya yang rentan
terhadap krisis.
Daftar Pustaka
Arsjad, Nurdjaman. 1998. Memilih
Kurs Mata Uang yang tepat Apa Masalahnya?. Univesitas Pancasila. Jakarta.
Bank Indonesia. 2007. Pedoman
Penerapan Manajemen Risiko Dalam Penggunaan Teknologi Informasi Oleh Bank Umum.
Direktorat Penelitian dan
pengaturan Perbankan. Jakarta.
Cooper, Donald R. dan
Schindler, Pamela S. 2010. Business Research Methods. The McGraw-Hill Companies. Inc. New York.
Course, Dragon Forex
Trading. 2006, Istilah-Istilah Dalam
Dunia Investasi, Dragon Forex Trading Course, Jakarta.
Harinowo, Cyrillus. 2007,
Merespon Gejolak Moneter Internasional,
Winplus Capital, Jakarta.
Jones, Charles P. 2000. Investment : Analysis and Management,
John Wiley & Sons Inc, New York.
Nasution, Anwar. 2003. Masalah-Masalah Sistem Keuangan dan
perbankan indonesia, Seminar Pembangunan Hukum nasional VIII, Jakarta.
Shapiro, Alan C. 2010. Multinational
Financial Management. John Wiley
& Sons Inc. Hoboken, New York.
Wahyu,
Bambang. 2008. Globalisasi dan
Tantangan Bagi Sistem Keuangan Islam: Perspektif Filsafat Ekonomi Islam,
Republika, Jakarta.
Ximenes, Pedro. 2010, manajemen
Keuangan Internasional, Institute Of Business, Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar