I. Latar Belakang
Setiap tahun pemerintah bersama-sama dengan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menetapkan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN). APBN merupakan wujud pengelolaan keuangan negara
sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar tahun 1945 hasil amandemen
ke-3 pasal 23 ayat 1, yang harus dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung
jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat. Oleh karena itu, APBN merupakan alat
untuk mencapai tujuan bernegara, seperti yang tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yaitu
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia,
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi,
dan keadilan sosial.
Sebagai penjabaran dari aturan pokok yang termuat
dalam Undang-Undang Dasar 1945 tersebut, telah ditetapkan beberapa peraturan
perundang-undangan dalam rangka manajemen keuangan negara:
1. Undang-undang
yang menyangkut perencanaan (planning)
yaitu Undang-Undang Nomor 25 tahun 2004
tentang Sistem Perencanaan Pembangungan Nasional (SPPN),
2. Undang-undang
yang menyangkut pengorganisasian (organizing)
yaitu Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara,
3. Undang-undang
yang menyangkut pengarahan (actuating)
yaitu Undang-Undang Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan
4. Undang-undang
yang menyangkut pengawasan (controlling)
yaitu Undang-Undang Nomor 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan
Tanggung Jawab Keuangan Negara.
Dalam
pengelolaan keuangan negara, fungsi-fungsi manajemen tersebut yaitu
perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengawasan merupakan suatu siklus
yang diarahkan untuk mencapai tujuan bernegara, sehingga apabila digambarkan dalam
sebuah diagram adalah sebagai sebagai berikut:
Sumber : Pusdiklatwas
BPKP tahun 2007
Gambar
1.2 : Siklus Manajemen Keuangan Negara
Dari
gambar di atas, yang terkait langsung dengan Sistem Administrasi Keuangan
Negara (SAKN) adalah pada fungsi pengorganisasian, pengarahan, dan pengawasan. Sebagai
fungsi pengorganisasian Undang-Undang nomor 17 tahun 2003 mengatur secara umum
tentang keuangan negara, sedangkan Undang-Undang Nomor 1 tahun 2004 merupakan
fungsi pengarahan dalam menjalankan APBN, sementara sebagai fungsi pengawasan
diatur dalam Undang-Undang Nomor 15 tahun 2004.
Dalam undang-undang tentang keuangan
negara, Menteri Keuangan merupakan pengelola keuangan negara (pasal 6 ayat 2 UU
Nomor 17 tahun 2003) selaku pengelola fiskal, sedangkan Menteri/Lembaga
merupakan pengguna anggaran. Sebagai pengelola keuangan negara, Menteri
Keuangan mempunyai beberapa tugas sebagaimana diatur dalam pasal 8 undang-undang
tersebut yaitu:
a) menyusun
kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro;
b) menyusun
rancangan APBN dan rancangan Perubahan APBN;
c) mengesahkan
dokumen pelaksanaan anggaran;
d) melakukan
perjanjian internasional di bidang keuangan;
e) melaksanakan
pemungutan pendapatan negara yang telah ditetapkan dengan undang-undang;
f) melaksanakan
fungsi bendahara umum negara;
g) menyusun
laporan keuangan yang merupakan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN;
h) melaksanakan
tugas-tugas lain di bidang pengelolaan fiskal berdasarkan ketentuan
undang-undang.
Sedangkan menteri/pimpinan lembaga selaku
pengguna anggaran memiliki tugas sebagaimana diatur dalam pasal 9 yaitu:
a. menyusun
rancangan anggaran kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya;
b. menyusun
dokumen pelaksanaan anggaran;
c. melaksanakan
anggaran kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya;
d. melaksanakan
pemungutan penerimaan negara bukan pajak dan menyetorkannya ke Kas Negara;
e. mengelola
piutang dan utang negara yang menjadi tanggung jawab kementerian negara/lembaga
yang dipimpinnya;
f. mengelola
barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawab kementerian
negara/lembaga yang dipimpinnya;
g. menyusun
dan menyampaikan laporan keuangan kementerian negara /lembaga yang dipimpinnya;
h. melaksanakan
tugas-tugas lain yang menjadi tanggung jawabnya berdasarkan ketentuan undang-undang.
Rancangan APBN yang telah disetujui oleh DPR menjadi
APBN, dalam pelaksanaannya dituangkan dalam sebuah dokumen yaitu Daftar Isian
Pelaksanaan Anggaran (DIPA) yang memuat uraian sasaran yang hendak dicapai,
fungsi, program dan kegiatan, rencana penarikan dana tiap-tiap bulan dalam satu
tahun serta pendapatan yang diperkirakan oleh kementerian negara/lembaga. Dalam
lampiran II Peraturan Menteri Keuangan nomor 80/PMK.05/2007 tentang Petunjuk
Penyusunan dan Penelaahan, Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian
Negara/Lembaga dan Penyusunan, Penelaahan, Pengesahan dan Pelaksanaan Daftar
Isian Pelaksanaan Anggaran Tahun Anggaran 2008, maupun dalam Peraturan Menteri
Keuangan nomor 134/PMK.06/2005 tentang Pedoman Pembayaran dalam Pelaksanaan
APBN di pasal 1 angka 1 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan DIPA adalah
dokumen pelaksanaan anggaran yang dibuat oleh menteri/pimpinan lembaga serta
disahkan oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan atas nama Menteri Keuangan dan
berfungsi sebagai dasar untuk melakukan tindakan yang mengakibatkan pengeluaran
negara dan pencairan dana atas beban APBN serta dokumen pendukung kegiatan
akuntansi pemerintah. Di dalam DIPA tersebut tercantum beberapa jenis belanja
yaitu belanja pegawai, belanja barang, belanja modal, bunga, subsidi, hibah, bantuan
sosial, dan belanja lain-lain (penjelasan pasal 11 ayat 5 UU Nomor 17 tahun
2003).
Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara sebagai instrumen kebijakan fiskal diharapkan dapat mendorong
pertumbuhan ekonomi, mengurangi kemiskinan, dan menciptakan lapangan kerja, hal
ini karena APBN merupakan bentuk
intervensi pemerintah terhadap pembangunan ekonomi. Melalui fungsi-fungsi yang
dimiliki oleh APBN yaitu fungsi alokasi, distribusi dan fungsi stabilisasi,
sangat diharapkan kebijakan fiskal yang dikeluarkan, terutama yang terkait
dengan belanja negara, bekerja secara tepat, efisien dan berkelanjutan, sebagai
salah satu indikatornya adalah penyerapan anggaran. Penyerapan anggaran yang dilakukan
sesuai dengan rencana penarikan dana tiap-tiap bulan yang tercantum dalam
halaman III DIPA dalam rangka menyejahterakan masyarakat melalui instrumen APBN
berjalan dengan baik.
Namun, sejak tahun 2006
sampai dengan tahun 2010, belanja yang dilakukan oleh Kementerian/Lembaga (K/L)
telah menghasilkan pola belanja yang relatif sama yaitu penyerapan yang rendah
di semester pertama, dan cenderung menumpuk pada semester kedua. Studi yang
dilakukan oleh Siswanto dan Rahayu (2010) terhadap tujuh K/L yang memperoleh
alokasi anggaran relatif besar yaitu
Kementerian Pendidikan Nasional, Kementerian Pertahanan, Kementerian
Pekerjaan Umum, Kepolisian, Kementerian Kesehatan, Kementerian Perhubungan, dan
Kementerian Keuangan menunjukan seperti yang terlihat dalam grafik berikut ini:
|
|
|
Sumber : Direktorat Jenderal Perbendaharaan, dalam
Siswanto dan Rahayu (2010)
Gambar 1.2: Realisasi Belanja K/L Semester I Tahun
2006 -2010
|
Ketujuh K/L tersebut mendapatkan porsi belanja kurang lebih 70%
dari total alokasi yang disalurkan untuk K/L sebagai instansi pusat. Dari
gambar di atas terlihat, realisasi belanja semester pertama ketujuh K/L
tersebut berfluktuasi, tertinggi dicapai pada tahun 2009 sebesar 33,3%,
sedangkan realisasi semester pertama tahun 2010 lebih rendah 4,8% daripada
tahun 2009. Dari studi terhadap ketujuh K/L tersebut dapat menjadi gambaran
terhadap penyerapan anggaran dari semua kementerian dan lembaga yang mengelola
belanja APBN dimana belanja pemerintah 60% sampai dengan 70% dilakukan pada
semester kedua. Hal ini menyebabkan, APBN sebagai instrumen kebijakan fiskal
yang mendorong pertumbuhan ekonomi, mengurangi kemiskinan, dan menciptakan
lapangan kerja, serta beberapa fungsi yang melekat pada APBN berjalan tidak
maksimal.
Kecenderungan yang sama juga terjadi
oleh satuan kerja-satuan kerja di wilayah pembayaran Kantor Pelayanan
Perbendaharaan Negara (KPPN) Yogyakarta. Sesuai dengan Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 134/PMK.01/2006 tentang organisasi dan tata kerja Instansi
Vertikal Direktorat Jenderal Perbendaharaan, salah satu tugas pokok KPPN
Yogyakarta adalah penyaluran pembayaran atas beban APBN di wilayah Kota
Yogyakarta, Kabupaten Bantul, dan Kabupaten Sleman. Oleh karena itu, KPPN
Yogyakarta merupakan kuasa Bendahara Umum Negara dari Bendahara Umum Negara (BUN)
yang dipegang oleh Menteri Keuangan.
Data dari Laporan Keuangan
Pemerintah Pusat (LKPP) tingkat kuasa BUN KPPN Yogyakarta dari tahun 2008
sampai dengan tahun 2011 sampai dengan triwulan ke-3 atau sampai dengan tanggal
30 September, rata-rata penyerapan
anggaran baru mencapai 59,06%, data selengkapnya penyerapan anggaran sampai
dengan triwulan ketiga dari tahun 2008 sampai dengan tahun 2011 adalah sebagai
berikut:
Tabel 1.1 : Laporan Realisasi Anggaran Belanja
|
|||||
Tingkat Kuasa BUN KPPN Yogyakarta
|
|||||
Sampai dengan Triwulan III (Januari s/d September)
|
|||||
Tahun
Anggaran
|
Pagu
|
Realisasi
|
%
|
||
2008
|
3.921.053.113.732
|
2.527.996.856.554
|
64,47%
|
||
2009
|
4.939.349.919.650
|
2.793.217.492.084
|
56,55%
|
||
2010
|
5.130.905.377.000
|
3.170.034.772.720
|
61,78%
|
||
2011
|
6.650.063.839.000
|
3.552.609.499.157
|
53,42%
|
||
Sumber : LKPP KPPN Yogyakarta
|
|||||
Dari tabel tersebut, terlihat
penyerapan anggaran satuan kerja-satuan kerja di wilayah pembayaran KPPN
Yogyakarta masih dibawah 70%, seharusnya sesuai dengan rencana penarikan yang tercantun
di dalam DIPA penyerapan anggaran paling tidak sudah mencapai 75% dari pagu
yang tersedia. Penyerapan anggaran tertinggi dicapai pada triwulan ketiga tahun
anggaran 2008 sebesar 64,47%, sedangkan terendah adalah pada tahun anggaran
2011 sebesar 53,42%, hal ini berarti pada tahun anggaran 2011 ini, dari total
pagu anggaran sebesar 6,6 triliun rupiah, sebesar 46,58% atau sekitar 3 triliun
rupiah akan dicairkan/diserap dalam jangka waktu 3 bulan yaitu dari bulan
Oktober sampai dengan Desember 2011.
Oleh karena
itu, penelitian ini akan mencari
faktor-faktor yang mempengaruhi satuan kerja-satuan kerja melakukan penumpukan penyerapan
anggaran pada akhir tahun anggaran tersebut.
II. Pertanyaan Riset
Berdasarkan
latar belakang tersebut, beberapa pertanyaan riset akan muncul berkaitan dengan faktor-faktor yang
mempengaruhi penumpukan penyerapan anggaran pada akhir tahun anggaran yaitu:
1.
Apakah perencanaan anggaran merupakan faktor yang
mempengaruhi penumpukan penyerapan anggaran pada akhir tahun anggaran?
2.
Apakah pelaksanaan anggaran merupakan faktor yang
mempengaruhi penumpukan penyerapan anggaran pada akhir tahun anggaran?
3.
Apakah faktor pengadaan barang dan jasa merupakan
faktor yang mempengaruhi penumpukan penyerapan anggaran pada akhir tahun
anggaran?
4.
Apakah internal satuan kerja merupakan faktor yang
mempengaruhi penumpukan penyerapan anggaran pada akhir tahun anggaran?
5.
Adakah faktor-faktor lain selain yang disebutkan di
atas merupakan faktor yang mempengaruhi penumpukan penyerapan anggaran pada
akhir tahun anggaran?
III. Tujuan dan Manfaat Penelitian
III.1. Tujuan Penelitian
Tujuan yang
ingin dicapai dari penelitian ini adalah menemukan faktor-faktor manakah dan
menganilisis faktor-faktor apakah yang mempengaruhi penumpukan penyerapan
anggaran pada akhir tahun anggaran dengan mengambil studi di KPPN Yogyakarta.
III.2. Manfaat Penelitian
Hasil
penelitian ini diharapkant dapat memberikan manfaat kepada :
1.
Praktisi
a.
Menteri Keuangan dan Ditjen Perbendaharaan
Masalah menumpuknya penyerapan anggaran pada akhir
tahun anggaran sudah menjadi masalah bagi perekonomian nasional dan pemerintah,
Menteri Keuangan selaku penyusun rancangan APBN dan Direktorat Jenderal Perbendaharaan sebagai
pelaksana kebijakan yang terkait dengan pengelolaan APBN dituntut untuk
mengatasi permasalahan tersebut. Melalui penelitian ini, peneliti berusaha
untuk dapat menemukan dan menganalisis faktor-faktor yang dapat mempengaruhi
penyerapan anggaran pada akhir tahun anggaran, sehingga akan bermanfaat bagi Kementerian
Keuangan dan Direktorat Jenderal Perbendaharaan untuk mengambil kebijakan dalam
pengelolaan APBN yang lebih baik di masa
yang akan datang.
b.
KPPN Yogyakarta
Dari hasil penelitian ini, dapat diketahui
faktor-faktor yang mempengaruhi penumpukan penyerapan anggaran pada akhir tahun
anggaran, sehingga KPPN Yogyakarta dapat mengambil tindakan untuk melakukan sosialisasi,
koordinasi, dan pembinaan penyerapan anggaran kepada para satuan kerja.
2.
Akademisi
Manfaat penelitian ini bagi akademisi adalah menambah
pengetahuan di bidang ilmu keuangan publik terutama yang terkait dengan APBN,
dan dapat bermanfaat bagi penelitian-penelitian di bidang pengelolaan APBN di
masa yang akan datang.
IV. Studi
Pustaka dan Perumusan Hipotesis
IV.1. Keuangan Negara dan APBN
Dalam pasal 1 huruf 1 Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003, Keuangan Negara didefinisikan
sebagai semua
hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu
baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara
berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Pendekatan
definisi keuangan negara tersebut menurut Suminto (2004) menggunakan beberapa
pendekatan, yaitu:
1.
Pendekatan dari sisi obyek;
2.
Pendekatan dari sisi subyek;
3.
Pendekatan dari sisi proses; dan,
4.
Pendekatan dari sisi tujuan.
Dari sisi obyek keuangan negara akan meliputi
seluruh hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, di dalamnya
termasuk berbagai kebijakan dan kegiatan yang terselenggara dalam bidang
fiskal, moneter dan atau pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan. Selain
itu segala sesuatu dapat berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan
milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.
Dari sisi subyek, keuangan negara meliputi negara,
dan/atau pemerintah pusat, pemerintah daerah, perusahaan negara/daerah, dan
badan lain yang ada kaitannya dengan keuangan negara. Keuangan Negara dari sisi
proses mencakup seluruh rangkaian kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan
obyek di atas mulai dari proses perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan
sampai dengan pertanggungjawaban. Terakhir, keuangan negara juga meliputi
seluruh kebijakan, kegiatan dan hubungan hukum yang berkaitan dengan pemilikan
dan/atau penguasaan obyek sebagaimana tersebut di atas dalam rangka
penyelenggaraan pemerintahan negara, pendekatan terakhir ini dilihat dari sisi
tujuan.
Ruang lingkup keuangan negara sesuai dengan
pengertian tersebut diuraikan dalam Pasal 2 UU No. 17/2003 meliputi:
a. Hak
negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang, dan melakukan
pinjaman;
b. Kewajiban
negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintahan negara dan
membayar tagihan pihak ketiga;
c. Penerimaan
Negara;
d. Pengeluaran
Negara;
e. Penerimaan
Daerah;
f. Pengeluaran
Daerah;
g. Kekayaan
negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang,
surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan
uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara atau daerah;
h. Kekayaan
pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas
pemerintahan dan/atau kepentingan umum;
i.
Kekayaan pihak lain yang diperoleh
dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah.
Bidang pengelolaan Keuangan Negara yang demikian
luas secara ringkas dapat dikelompokan dalam sub bidang pengelolaan fiskal, sub
bidang pengelolaan moneter, dan sub bidang pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan
(Suminto, 2004). Sub bidang pengelolaan fiskal meliputi enam fungsi, yaitu:
1. Fungsi
pengelolaan kebijakan ekonomi makro dan fiskal.
Fungsi pengelolaan kebijakan ekonomi
makro dan fiskal ini meliputi penyusunan Nota Keuangan dan RAPBN, serta
perkembangan dan perubahannya, analisis kebijakan, evaluasi dan perkiraan perkembangan
ekonomi makro, pendapatan negara, belanja negara, pembiayaan, analisis
kebijakan, evaluasi dan perkiraan perkembangan fiskal dalam rangka kerjasama internasional
dan regional, penyusunan rencana pendapatan negara, hibah, belanja negara dan
pembiayaan jangka menengah, penyusunan statistik, penelitian dan rekomendasi
kebijakan di bidang fiskal, keuangan, dan ekonomi.
2. Fungsi
penganggaran. Fungsi ini meliputi penyiapan, perumusan, dan pelaksanaan
kebijakan, serta perumusan standar, norma, pedoman, kriteria, prosedur dan
pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang APBN.
3. Fungsi
administrasi perpajakan.
4. Fungsi
administrasi kepabeanan.
5. Fungsi
perbendaharaan.
Fungsi perbendaharaan meliputi perumusan
kebijakan, standard, sistem dan prosedur di bidang pelaksanaan penerimaan dan
pengeluaran negara, pengadaan barang dan jasa instansi pemerintah serta
akuntansi pemerintah pusat dan daerah, pelaksanaan penerimaan dan pengeluaran
negara, pengelolaan kas negara dan perencanaan penerimaan dan pengeluaran, pengelolaan
utang dalam negeri dan luar negeri, pengelolaan piutang, pengelolaan barang
milik/kekayaan negara (BM/KN), penyelenggaraan akuntansi, pelaporan keuangan
dan sistem informasi manajemen keuangan pemerintah.
6. Fungsi
pengawasan keuangan.
Bidang
pengelolaan moneter meliputi sistem pembayaran, sistem lalu lintas devisa, dan
sistem nilai tukar, dan bidang pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan
meliputi pengelolaan perusahaan negara/daerah.
Sementara menurut Halim (2004), ruang
lingkup keuangan negara dapat dikelompokan menjadi dua yaitu yang dikelola
langsung oleh pemerintah dan yang dipisahkan pengurusannya. Keuangan negara
yang dikelola langsung oleh pemerintah adalah komponen keuangan negara yang mencakup seluruh
penerimaan dan pengeluaran dalam hal ini adalah Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara, sedangkan keuangan negara yang pengurusannya
dipisahkan dan cara pengelolaannya berdasarkan hukum perdata adalah Badan Usaha
Milik Negara (BUMN) yang dapat berbentuk perusahaan perseroan, bank- bank
pemerintah, dan lembaga-lembaga keuangan pemerintah. Sedangkan menurut Sugijanto, dkk dalam Halim
(2004) ruang lingkup keuangan negara merupakan salah satu unsur keuangan
negara, unsur-unsur pokok keuangan
negara meliputi hak, kewajiban, ruang lingkup, dan tujuan keuangan negara.
Dengan demikian, jelaslah bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
merupakan bagian dari Keuangan Negara yang pengelolaannya dilakukan secara
langsung oleh pemerintah.
IV.2
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)
Menurut Halim (2004), APBN merupakan anggaran
negara. Anggaran negara adalah rencana
pengeluaran/belanja dan penerimaan/pembiayaan belanja suatu negara untuk suatu
periode tertentu. Ditambahkannya
anggaran negara dibedakan dalam arti luas dan dalam arti sempit. Dalam arti
sempit anggaran negara berarti rencana pengeluaran dan penerimaan dalam satu
tahun saja. Dalam arti luas anggaran negara berarti jangka waktu perencanaan,
pelaksanaan, dan pertanggungjawaban. Anggaran negara menurut Halim (2004) mempunyai
beberapa fungsi yaitu:
a. Sebagai
pedoman bagi pemerintah dalam mengelola negara untuk suatu periode di masa
mendatang.
b. Sebagai
alat pengawas bagi masyarakat terhadap kebijaksanaan yang telah dipilih oleh
pemerintah karena sebelum anggaran negara dijalankan harus mendapat persetujuan
DPR terlebih dahulu.
c. Sebagai
alat pengawas bagi masyarakat terhadap kemampuan pemerintah dalam melaksanakan
kebijaksanaan yang telah dipilihnya karena pada akhirnya anggaran harus
dipertanggungjawabkan pelaksanaannya oleh pemerintah kepada DPR.
Mengacu pada Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003,
struktur APBN yang sekarang dilaksanakan terdiri atas
anggaran pendapatan, anggaran belanja, dan pembiayaan. Pendapatan negara
terdiri atas penerimaan pajak, penerimaan bukan pajak, dan hibah. Belanja negara
dipergunakan untuk keperluan penyelenggaraan tugas pemerintahan pusat dan
pelaksanaan perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. Penyusunan
anggaran belanja negara dirinci menurut organisasi, fungsi, dan jenis belanja. Rincian
belanja negara menurut organisasi disesuaikan
dengan susunan kementerian negara/lembaga pemerintahan pusat. Rincian belanja
negara menurut fungsi antara
lain terdiri dari: pelayanan umum, pertahanan, ketertiban dan keamanan,
ekonomi, lingkungan hidup, perumahan dan fasilitas umum, kesehatan, pariwisata,
budaya, agama, pendidikan, dan perlindungan sosial. Rincian belanja negara
menurut jenis belanja (sifat
ekonomi) antara lain terdiri dari: belanja pegawai, belanja barang, belanja
modal, bunga, subsidi, hibah, bantuan sosial, dan belanja lain-lain. Dalam
rangka penyusunan anggaran berbasis prestasi kerja (kinerja) sebagaimana telah
diuraikan di muka, penyusunan anggaran juga dikelompokkan menurut
program-program yang telah ditetapkan pemerintah. Selanjutnya, program-program
tersebut dirinci lagi ke dalam kegiatan-kegiatan yang dilengkapi dengan
anggaran dan indikator keberhasilannya. APBN disusun sesuai dengan kebutuhan
penyelenggaraan pemerintahan negara dan
kemampuan dalam menghimpun pendapatan negara.
Dalam menyusun APBN diupayakan agar belanja operasional
tidak melampaui pendapatan dalam tahun anggaran yang bersangkutan. Penyusunan Rancangan APBN tersebut berpedoman
kepada Rencana Kerja Pemerintah dalam rangka
mewujudkan tercapainya tujuan bernegara.
Baswir dalam Palupi (2002), mengemukakan:
“Penyusunan anggaran
berdasarkan suatu struktur dan klasifikasi tertentu adalah suatu langkah
penting untuk mendapatkan sistem penganggaran yang baik dan berfungsi sebagai
pedoman bagi pemerintah dalam mengelola negara, sebagai alat pengawas bagi
masyarakat terhadap kebijaksanaan dan kemampuan pemerintah”.
Dalam hal penyusunan APBN tidak dapat dilepaskan
dari suatu daur atau siklus anggaran. Daur/siklus anggaran adalah suatu proses
anggaran yang terus-menerus yang dimulai dari tahap penyusunan anggaran oleh
yang berwenang (Halim, 2004). Daur/siklus anggaran negara Republik Indonesia mempunyai
lima tahap yaitu tahap perencanaan APBN, penetapan APBN, pelaksanaan APBN, pengawasan
pelaksanaan APBN, dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN (Solikin & Widjajarso,
2005).
1. Tahap
Perencanaan APBN
Pada
tahap perencanaan APBN terdapat enam langkah yang harus dilakukan yaitu:
a. Penyusunan
Rencana Kerja Kementerian Negara/Lembaga (Renja-KL)
Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP)
Nomor 20 Tahun 2004 tentang Rencana Pemerintah dan PP Nomor 21 tahun 2004
tentang Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementrian Negara/Lembaga,
kementerian negara/lembaga menyusun Renja-KL mengacu pada Rencana Strategis
(Renstra) kementerian negara/lembaga bersangkutan dan mengacu pula pada
prioritas pembangunan nasional dan pagu indikatif yang ditetapkan oleh Menteri
Perencanaan Pembangunan (Ketua Bappenas) dan Menteri Keuangan.
Renja–KL ini memuat kebijakan, program,
dan kegiatan yang dilengkapi dengan sasaran kinerja dengan menggunakan pagu
indikatif untuk tahun anggaran yang sedang disusun dan perkiraan maju (forward estimate) untuk tahun anggaran
berikutnya. Program dan kegiatan dalam Renja-KL disusun dengan pendekatan
berbasis kinerja, kerangka pengeluaran jangka menengah, dan penganggaran
terpadu.
b. Pembahasan Renja–KL
Kementerian Perencanaan Pembangunan
setelah menerima Renja-KL melakukan penelaahan bersama Kementerian Keuangan.
Pada tahap pembahasan renja-KL masih mungkin terjadi perubahan-perubahan
terhadap program kementerian negara/lembaga yang diusulkan oleh menteri/pimpinan
lembaga setelah Kementerian Perencanaan berkoordinasi dengan Kementerian Keuangan.
c.
Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian
Negara/Lembaga (RKA-KL)
Selambat-lambatnya
pada pertengahan bulan Mei, pemerintah menyampaikan kerangka ekonomi makro dan
pokok-pokok kebijaksanaan fiskal kepada DPR. Hasil pembahasan antara DPR dan
Pemerintah akan menjadi kebijakan umum dan prioritas anggaran bagi
Presiden/Kabinet yang akan dijabarkan oleh Menteri Keuangan dalam bentuk Surat
Edaran Menteri Keuangan (SE-Menkeu) tentang pagu sementara.
Setelah
menerima SE Menkeu tentang pagu sementara, Kementerian Negara/Lembaga mengubah
Renja–KL menjadi RKA-KL, sehingga rencana kerja tersebut telah tersedia
anggarannya selain dari usulan program. Selanjutnya, Kementerian Negara/Lembaga
melakukan pembahasan RKA-KL dengan komisi-komisi di DPR yang menjadi mitra
kerjanya.
Hasil
pembahasan tersebut disampaikan kepada Kementerian Keuangan dan Kementerian
Perencanaan Pembangunan selambat-lambatnya pada pertengahan bulan Juni.
Kementerian Perencanaan akan menelaah kesesuaian RKA-KL hasil pembahasan
tersebut dengan Rencana Kerja Pemerintah, sedangkan Kementerian Keuangan akan
menelaah kesesuaian RKA-KL dengan SE Menkeu tentang pagu sementara, perkiraan
maju yang telah disetujui anggaran sebelumnya, dan standar biaya yang telah
ditetapkan.
d.
Penyusunan Anggaran Belanja
RKA-KL hasil
telaahan Kementerian Perencanaan Pembangunan dan Kementerian Keuangan menjadi
dasar penyusunan anggaran belanja negara. Belanja negara disusun berdasarkan
asas bruto yaitu bahwa tiap Kementerian/Lembaga selain harus mencantunkan
rencana jumlah pengeluaran harus juga mencantumkan perkiraan penerimaan yang
akan didapat dalam tahun anggaran yang bersangkutan.
e.
Penyusunan Perkiraan Pendapatan Nasional
Penentuan
perkiraan pendapatan secara prinsip disusun oleh Kementerian Keuangan dengan
dibantu oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan dengan memperhatikan masukan
dari Kementerian Negara /Lembaga lain yaitu dalam bentuk perkiraan Penerimaan
Negara Bukan Pajak (PNBP).
f.
Penyusunan Rancangan APBN
Setelah
menyusun perkiraan belanja negara dan pendapatan negara, Kementerian Keuangan
menghimpun RKA-KL yang telah ditelaah untuk bersama-sama dengan Nota Keuangan
dan Rancangan APBN (RAPBN) dibahas dalam sidang kabinet.
2.
Tahap Penetapan UU APBN
Nota Keuangan dan Rancangan APBN
beserta RKA-KL yang telah dibahas dalam sidang Kabinet disampaikan pemerintah
kepada DPR selambat-lambatnya pertengahan bulan Agustus untuk dibahas dan
ditetapkan menjadi Undang-Undang APBN selambat-lambatnya akhir bulan Oktober.
3.
Tahap Pelaksanaan APBN
Undang-undang yang telah disetujui oleh
DPR dan disahkan oleh Presiden melalui Keputusan Presiden (Keppres) telah
disusun terperinci dalam unit organisasi, fungsi, program kegiatan, dan jenis
belanja. Keppres tersebut menjadi dasar
bagi Kementerian/Lembaga untuk mengusulkan dokumen pelaksanaan anggaran kepada
Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara, selanjutnya Menteri Keuangan
mengesahkan dokumen pelaksanaan anggaran selambat-lambatnya tanggal 31
Desember. Dokumen yang telah disahkan Menteri Keuangan disampaikan kepada
Menteri/Pimpinan Lembaga, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Gubernur, Direktur
Jenderal Anggaran, Direktur Jenderal Perbendaharaan, Gubernur, Kepala Kantor
Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan, Kuasa Bendahara Umum Negara (KPPN),
dan Kuasa Pengguna Anggaran satuan kerja terkait. Dengan dokumen tersebut,
mulai 1 Januari tahun anggaran berikutnya, Kementerian/Lembaga melaksanakan
pengeluaran dan penerimaan yang berkaitan dengan bidang tugasnya.
Terkait dengan anggaran belanja, pengguna anggaran yaitu menteri/pimpinan lembaga
dan kuasa pengguna anggaran yaitu para satuan kerja di bawah menteri/pimpinan lembaga
yang bersangkutan melaksanakan kegiatan yang tercantum dalam dokumen pelaksanaan
anggaran yang telah disahkan dan berwenang mengadakan ikatan/perjanjian dalam
rangka pengadaan barang/jasa pemerintah kepada pihak lain dalam batas anggaran
yang telah ditetapkan. Hal tersebut ditegaskan dalam pasal 17 Undang-Undang
Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
4.
Tahap pengawasan pelaksanaan APBN
Pengawasan atas pelaksanaan APBN dilaksanakan oleh pemeriksa internal
maupun eksternal. Pengawasan secara internal dilakukan oleh Inspektorat
Jenderal (Itjen) dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP),
sedangkan pengawasan eksternal dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
5.
Tahap Pertanggungjawaban atas pelaksanaan APBN
Pada tahap ini presiden menyampaikan rancangan undang-undang tentang
pertanggungjawaban pelaksanaan APBN berupa laporan keuangan yang sudah diaudit
BPK kepada DPR selambat-lambatnya enam bulan setelah tahun anggaran berakhir.
Dari siklus anggaran tersebut, penelitian
ini akan berfokus pada tahap perencanaan dan pelaksanaan APBN. Pembahasan
penelitian ini bertumpu pada tahap pelaksanaan anggaran, yang dipengaruhi oleh tahap
perencanaan tahun anggaran sebelumnya, dengan tujuan untuk menemukan dan
menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi penumpukan penyerapan anggaran
pada akhir tahun anggaran sebagaimana telah diuraikan dalam latar belakang
permasalahan. Sebagai identifikasi awal,
menumpuknya penyerapan anggaran pada akhir tahun anggaran mengindikasikan
adalanya permasalahan dalam tahap perencanaan dan pelaksanaan APBN.
IV.3.
Faktor-faktor yang mempengaruhi penyerapan anggaran pada akhir tahun anggaran
Penelitian
yang dilakukan oleh Rahayu dan Siswanto (2010) dengan mengambil sampel
penelitian tujuh kementerian/lembaga yang mempunyai porsi anggaran kurang lebih
70% dari total alokasi belanja yang disalurkan, menemukan
permasalahan-permasalahan yang mengakibatkan rendahnya penyerapan anggaran pada
semester pertama dan menumpuk pada semester kedua tahun anggaran 2010 bersumber
dari beberapa faktor yaitu: 1. Internal Kementerian/Lembaga 2. Proses pengadaan
barang dan jasa, 3. Dokumen pelaksanaan anggaran dan proses revisi, serta 4.
Permasalahan lainnya, seperti adanya peningkatan alokasi belanja
Kementerian/Lembaga pada saat terjadi perubahan APBN sebagaimana tertuang dalam
APBN-Perubahan (APBN–P).
Beberapa
instansi vertikal Direktorat Jenderal Perbendaharaan juga telah melakukan
evaluasi mengenai permasalahan penyerapan yang rendah di semester pertama dan
tinggi di semester kedua. Hasil evaluasi realisasi anggaran belanja tahun
anggaran 2009 Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan Propinsi Maluku
yang bekerja sama dengan Kantor Bank Indonesia Maluku mengidentifikasi
faktor-faktor tersebut antara lain adalah ketidaksiapan pelaksana anggaran, rendahnya
pemahaman terhadap ketentuan pelaksanaan anggaran, keterlambatan penunjukan
Pejabat Pengelola Keuangan, kegiatan yang tercantum dalam DIPA tidak sesuai
dengan kebutuhan, adanya perubahan satuan harga di lapangan sehingga DIPA perlu
direvisi, kurang memahami mekanisme pencairan dana, waktu yang dibutuhkan untuk
pengadaan barang dan jasa relatif lama, kehati-hatian dalam melakukan pembuatan
komitmen, pembayaran maupun pencairan dana karena kekhawatiran terhadap aparat
penegak hukum dan aparat pemeriksaan. Hasil evaluasi Kantor Wilayah Direktorat
Jenderal Perbendaharaan Propinsi Sulawesi Tenggara untuk triwulan I tahun
anggaran 2011, juga menemukan beberapa permasalahan yang sama seperti ditemukan
di Kantor Wilayah (Kanwil) Direktorat Jenderal (Ditjen) Perbendaharaan Propinsi
Maluku, namun evaluasi di Kanwil Ditjen Perbendaharaan Propinsi Sulawesi
Tenggara lebih menekankan pada permasalahan masih banyak terdapat DIPA tidak
dapat langsung digunakan karena proses perencanaan atau penyusunan DIPA belum
sesuai dengan kenyataan di lapangan sehingga masih perlu direvisi.
Dari hasil penelitian dan evaluasi
tersebut di atas, dapat dirangkum menjadi lima faktor yang mempengaruhi penumpukan
penyerapan anggaran pada akhir tahun anggaran, kelima faktor tersebut adalah perencanaan anggaran,
pelaksanaan anggaran, pengadaan barang dan jasa, faktor internal satuan kerja,
dan faktor-faktor lain.
1.
Faktor perencanaan anggaran
Perencanaan
yang telah dilakukan dalam siklus anggaran merupakan pedoman dalam pelaksanaan
APBN, namun dalam pelaksanaan anggaran yang telah direncanakan tersebut, sering
mengalami hambatan akibat lemahnya koordinasi antara perencanaan dan
pelaksanaan anggaran yang dapat menciptakan potensi penyerapan anggaran yang
rendah pada awal tahun dan tinggi pada akhir tahun, misalnya adalah perencanaan
pembangunan gedung baru, pada tahap perencanaan tidak dialokasikan anggaran untuk pembebasan
lahan, akibatnya pembangunan gedung belum dapat dilaksanakan sambil menunggu
usulan pembebasan lahannya. Hal-hal
lain yang terkait dengan faktor perencanaan ini misalnya adalah perencanaan
anggaran satuan kerja terlambat diajukan, dan waktu penyusunannya terbatas. Temuan
dari Rahayu dan Siswanto (2010) mengindikasikan masih adanya perencanaan
kegiatan/proyek yang kurang baik yang ditandai dengan tidak ada kerangka acuan
kerja dan Rincian Anggaran Biaya (RAB) yang mengakibatkan terjadinya
ketidaksesuaian antara kebutuhan dan alokasi anggaran pada kegiatan tersebut.
Hipotesis 1:Perencanaan anggaran
mempengaruhi penumpukan penyerapan anggaran pada akhir tahun anggaran.
2.
Faktor pelaksanaan anggaran
Pelakasanaan
anggaran sering juga dianggap sebagai penyebab menumpuknya penyerapan anggaran
pada akhir tahun. Permasalahan yang sering dihadapi dalam pelaksanaan anggaran
ini misalnya adalah adanya beberapa program dan kegiatan satuan kerja yang
memerlukan revisi DIPA, sehingga program dan kegiatan tersebut tidak dapat
langsung dilaksanakan, kegiatan yang tercantum dalam DIPA tidak sesuai dengan
kebutuhan atau adanya perubahan satuan harga di lapangan atau mata anggaran
pengeluaran (akun) yang tercantum dalam DIPA tidak sesuai dengan bagan akun standar sehingga memerlukan revisi DIPA, dan satuan
kerja tidak disiplin mengikuti jadwal kegiatan dalam DIPA.
Hipotesis 2:Pelaksanaan anggaran
mempengaruhi penumpukan penyerapan anggaran pada akhir tahun anggaran.
3.
Faktor pengadaan barang dan jasa
Dalam
Peraturan Presiden Nomor 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah,
pengadaan barang dan jasa merupakan kegiatan untuk memperoleh Barang/Jasa oleh Kementerian/Lembaga/Satuan
Kerja Perangkat Daerah/Institusi lainnya yang prosesnya dimulai dari
perencanaan kebutuhan sampai diselesaikannya seluruh kegiatan untuk memperoleh barang/jasa.
Beberapa permasalahan yang sering muncul terkait dengan pengadaan barang/jasa
antara lain adalah kehati-hatian dalam melakukan pembuatan komitmen, pembayaran
maupun pencairan dana karena kekhawatiran terhadap aparat penegak hukum dan
aparat pemeriksaan, waktu yang dibutuhkan untuk pengadaan barang dan jasa
relatif lama, masalah pengadaan/pembebasan lahan/tanah, tidak seimbangnya
risiko pekerjaan dengan imbalan yang diterima oleh pejabat pelaksana,
spesifikasi teknis barang atau jasa tidak ada/tidak jelas, dan banyaknya
sanggahan dalam proses lelang.
Hipotesis 3:Pengadaan barang dan
jasa mempengaruhi penumpukan penyerapan anggaran pada akhir tahun anggaran.
4.
Faktor internal satuan
Faktor internal satuan kerja sering juga dianggap
sebagai penyebab penyerapan yang rendah di semester pertama, hal ini terkait
dengan kesiapan dari satuan kerja dalam melaksanakan anggarannya. Terlambatnya
penunjukan pengelola keuangan di satuan kerja, ketidaksiapan sumber daya
manusia untuk melaksanakan kegiatan, rendahnya pemahaman terhadap ketentuan
pelaksanaan anggaran, adalah beberapa
contoh faktor internal satuan kerja.
Hipotesis 4:Faktor internal satuan kerja mempengaruhi penumpukan
penyerapan anggaran pada akhir tahun anggaran.
5.
Faktor-faktor lain
Faktor-faktor lain ini merupakan
faktor-faktor yang tidak tercakup dalam faktor perencanaan, pelaksanaan,
pengadaan barang dan jasa, serta faktor internal satuan kerja. Contoh faktor
lain misalnya adalah bencana alam (gunung berapi dan gempa bumi), dan tambahan
anggaran yang berasal dari APBN-P kepada satuan kerja menjelang tutup tahun akan
menambah jumlah pagu dana yang harus direalisasikan.
Hipotesis 5:Ada faktor-faktor lain selain
faktor-faktor tersebut di atas yang mempengaruhi penumpukan penyerapan anggaran
pada akhir tahun anggaran.
V. Metode Riset
V.1.
Populasi dan Sampel
Populasi
dalam penelitian ini adalah satuan kerja-satuan kerja dalam wilayah pembayaran
KPPN Yogyakarta yang meliputi Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman, dan Kabupaten
Bantul, dengan jumlah 331 satuan kerja. Salah satu teknik pengambilan sampel
apabila populasi diketahui adalah dengan menggunakan rumus dari Taro Yamane
seperti yang dikutip oleh Rakhmat dalam Riduwan ( 2008) yaitu:
Dimana n = jumlah sampel
N = jumlah populasi
d² = presisi yang ditetapkan
Dari persamaan tersebut, dengan menggunakan tingkat presisi
10% maka akan diperoleh jumlah sampel:
Jadi jumlah sampel dalam penelitian ini minimal adalah
77 satuan kerja.
V.2. Metode sampling
Metode
penyampelan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah probability sampling, yang memungkinkan
semua satuan kerja dalam wilayah pembayaran KPPN Yogyakarta menjadi sampel
dalam penelitian.
V.3. Variabel Penelitian, Alat Analisis, dan definisi Operasional
V.3.1 Variabel Penelitian
Untuk melakukan analisis dan menguji
faktor-faktor yang mempengaruhi penumpukan penyerapan anggaran pada akhir tahun
anggaran, akan digunakan model regresi linier berganda. Dengan menggunakan model
ini, satu variabel berlaku sebagai variabel dependen yaitu penumpukan
penyerapan anggaran pada akhir tahun anggaran (Y), dan lima variabel sebagai
variabel independen yang diduga mempengaruhi penumpukan penyerapan anggaran
pada akhir tahun anggaran. Model regresi berganda yang akan digunakan dalam
penelitian ini adalah:
Y
= α + β1 X1 + β2 X2 + β3 X3 + β4 X4 + β5 X5
Dimana :
Y = Penumpukan penyerapan anggaran
pada akhir tahun anggaran
α = konstanta
X1 = Perencanaan Anggaran
X2 = Pelaksanaan Anggaran
X3 = Pengadaan Barang dan Jasa
X4 = Internal Satuan Kerja
X5 = Faktor lain-lain
β1, β2,...., β5 = koefisien
variabel-variabel independen
Variabel-variabel independen tersebut akan dijabarkan
ke dalam sub-sub variabel independen yang merupakan pernyataan yang akan
dijawab oleh responden. Skala likert 1 sampai dengan 5 akan digunakan untuk
mengukur setiap pernyataan tersebut, dukungan sikap dari para responden akan
dihubungkan dengan kata-kata sebagai berikut:
Sangat Setuju (SS) =
5
Setuju (S) =
4
Netral (N) =
3
Tidak Setuju (TS) =
2
Sangat Tidak Setuju (STS) = 1
V.3.2. Uji Variabel Penelitian
Uji variabel yang akan digunakan
dalam penelitian ini adalah uji t, uji F, dan uji R². Uji variabel ini akan digunakan
untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini. Uji t digunakan untuk menguji koefisien regresi secara individual/
parsial (Gujarati & Porter, 2009). Dengan asumsi data berdistribusi secara
normal, akan dihitung masing-masing variabel (t hitung) dibandingkan dengan t
tabel. Uji ini untuk menunjukan seberapa jauh pengaruh satu variabel bebas
menjelaskan variasi variabel terikat. Dengan menggunakan tingkat signifikansi
5%, dan derajat kebebasan, untuk menentukan t tabel, (df) = n - k, dimana n merupakan jumlah
sampel, dan k merupakan jumlah variabel independen, maka hipotesisnya
adalah
Ho: tidak
terdapat pengaruh dari variabel Xi terhadap variabel Yi.
Ha: terdapat
pengaruh dari variabel Xi terhadap variabel Yi
Rumusan keputusannya adalah:
Ho ditolak
apabila t hitung lebih besar dari t tabel, demikian sebaliknya apabila t tabel
lebih besar dari t hitung Ho tidak ditolak.
Sementara uji F akan digunakan untuk
menguji koefisien secara bersama-sama (serempak). Dari tabel uji F, terlihat
uji ini menggunakan dua derajat kebebasan yaitu derajat kebebasan pembilang
yang merupakan jumlah variabel independen, dan derajat kebebasan penyebut yang
diperoleh dari n-(k+1), dimana n merupakan jumlah sampel dan k merupakan jumlah
variabel independen. Dengan menggunakan tingkat signifikansi 5%, dan kurva
berdistribusi normal, hipotesisnya adalah:
Ho: secara serempak tidak terdapat pengaruh
variabel independen terhadap variabel dependen.
Ha: secara serempak terdapat
pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen.
Dengan membandingkan nilai F hitung dan nilai F tabel Ho ditolak bila F hitung lebih besar dari F tabel, dan sebaliknya Ho tidak ditolak jika F hitung lebih kecil dari F tabel.
Sedangkan Uji R² atau biasa disebut koefisien determinasi menurut Gujarati
et.al (2009) mengukur proporsi atau prosentase total variasi variabel dependen
yang dijelaskan oleh model regresi. Uji ini untuk menunjukan besarnya variasi
variabel-variabel bebas dalam mempengaruhi variabel tidak bebas. Nilai R²
berkisar antara 0 sampai dengan 1. Semakin besar nilai R² berarti semakin besar
variasi variabel-variabel bebas dapat menjelaskan variasi variabel tidak bebas,
sebaliknya semakin kecil nilai R² berarti semakin kecil variasi variabel tidak
bebas yang dapat dijelaskan oleh variasi variabel-variabel bebas.
V.3.3 Definisi Operasional Variabel
Dalam melakukan penjabaran terhadap model analisis tersebut di atas, perlu
dilakukan operasionalisasi konsep berdasarkan pengertian dari masing-masing
variabel.
1.
Variabel dependen penumpukan penyerapan anggaran pada
akhir tahun anggaran merupakan penyerapan anggaran yang terjadi pada triwulan
keempat tahun anggaran berkenaan dari masing-masing satuan kerja.
Variabel ini merupakan variabel yang diharapkan akan
terpengaruh oleh masing-masing variabel independen, sehingga pengukuran
variabel ini didasarkan pada pengaruh variabel independen terhadap variabel
dependen.
2.
Variabel independen perencanaan anggaran adalah
perencanaan yang dilakukan oleh satuan kerja sebelum tahun anggaran
berikutnya, yang dilaksanakan pada tahun
anggaran sesudah perencanaan tersebut.
Pengukuran terhadap variabel ini dilakukan dengan menggunakan
beberapa pernyataan sebagai berikut:
1.
Waktu yang diperlukan untuk penyusunan perencanaan
anggaran terbatas.
2.
Proses perencanaan yang dilakukan oleh satuan kerja tidak
mengikuti standar biaya yang telah ditetapkan.
3.
Adanya program dan kegiatan yang telah direncanakan di
satuan kerja tetapi tidak dapat
dilaksanakan.
4.
Perencanaan anggaran satuan kerja mengalami
keterlambatan.
5.
Satuan kerja mengalami kendala teknis misalnya
komputer rusak, aplikasi tidak dapat dijalankan dalam penyusunan anggaran.
6.
Satuan kerja tidak mempunyai kerangka acuan kerja dan
rencana anggaran biaya, sehingga terjadi ketidaksesuaian antara kebutuhan dan
alokasi anggaran.
3.
Variabel independen pelaksanaan anggaran adalah
pelaksanaan kegiatan yang dilakukan oleh satuan kerja dengan menggunakan dana
APBN, yang dilaksanakan pada tahun berkenaan.
Variabel independen pelaksanaan anggaran diukur dengan
beberapa pernyataan sebagai berikut:
1.
Satuan kerja tidak disiplin mengikuti jadwal kegiatan
yang tercantum dalam DIPA.
2.
Beberapa program dan kegiatan satuan kerja memerlukan
revisi DIPA, sehingga program dan kegiatan tidak dapat langsung dilaksanakan.
3.
Petunjuk Operasional Kegiatan (POK) terlambat
ditetapkan dan POK berbeda dengan DIPA.
4.
Petunjuk teknis kegiatan fisik/non fisik belum
diterima dari kementerian/lembaga.
5.
Peraturan tentang mekanisme pencairan dana APBN khususnya
dana yang bersumber dari bantuan luar negeri tidak jelas.
6.
Pimpinan satuan kerja tidak mendukung pelaksanaan
kegiatan.
7.
Surat Perintah Membayar (SPM) sering ditolak KPPN
karena tidak memenuhi persyaratan.
4.
Variabel independen pengadaan barang dan jasa adalah
kegiatan yang dilakukan oleh satuan kerja untuk memperoleh barang dan jasa pada
tahun berjalan dengan menggunakan dana dari APBN.
Variabel ini diukur dari beberapa pernyataan sebagai
berikut:
1.
Satuan kerja kurang memahami mekanisme pengadaan
barang/jasa pemerintah.
2.
Pejabat pengadaan barang/jasa yang bersertifikat
jumlahnya terbatas.
3.
Pejabat pengadaan barang/jasa dan pengelola keuangan
satuan kerja terlalu berhati-hati dalam melakukan pembuatan komitmen,
pembayaran, maupun pencairan dana.
4.
Adanya ketidakseimbangan antara risiko pekerjaan
dengan imbalan yang diterima oleh pejabat pengadaan barang/jasa.
5.
Terjadi banyak sanggahan dalam proses lelang.
6.
Spesifikasi teknis barang/jasa sesuai dengan yang
dipersyaratkan tidak tersedia.
7.
Pihak ketiga menunda penagihan pembayaran terhadap
barang dan jasa yang sedang/telah diselesaikan.
5.
Variabel independen internal satuan kerja merupakan
kuasa pengguna anggaran dari kementerian/lembaga yang melaksanakan program dan
kegiatan dari kementerian/lembaga dengan menggunakan dana dari APBN. Pengukuran
terhadap variabel ini dilakukan dengan menggunakan beberapa pernyataan sebagai
berikut:
1.
Satuan kerja mengalami keterlambatan penunjukan
pengelola kegiatan dan pengelola keuangan.
2.
Sumber daya manusia di satuan kerja yang memahami
pengelolaan keuangan negara jumlahnya terbatas.
3.
Satuan kerja kurang memahami mekanisme pencairan dana
APBN melalui DIPA.
4.
Pengelola kegiatan dan pengelola keuangan satuan kerja
sering mengalami mutasi/pindah tugas ke tempat lain.
5.
Satuan kerja
terlalu berhati-hati dalam melaksanakan pengelolaan anggaran.
6.
Satuan kerja tidak siap untuk melaksanakan APBN.
6.
Variabel independen lain-lain adalah faktor-faktor
lain dari kegiatan satuan kerja yang tidak dapat tertampung dalam variabel
independen perencanaan anggaran, pelaksanaan anggaran, pengadaan barang dan jasa, dan internal
satuan kerja. Variabel ini akan diukur dengan beberapa pernyataan berikut ini antara
lain:
1.
Satuan kerja menerima tambahan pagu dana yang berasal dari
APBN-Perubahan pada triwulan keempat tahun anggaran berkenaan.
2.
Bencana alam yang terjadi misalnya gempa bumi, dan
gunung meletus dapat menyebabkan pencairan dana APBN terhambat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar