Jika 700 calo-calon haji yang berangkat dalam rangka “tour
taaruf” yang diselenggarakan oleh Husami itu kini berontak di atas kapal, dan
bersedia mati syahid, jika mereka tidak diizinkan meneruska perjalanan ke Tanah
Sucibenar-benar melaksanakan tekad mereka, maka sungguh beratlah buat
Pemerintah. Alangkah besar dosanya bagi pemerintah melarang mereka yang hendak
menunaikan ibadah haji mereka, yang mereka ongkosi sendiri pula. Karena itu
peraturan pemerintah hendaknya dibuat lebih fleksibel dan khusus terhadap 700
calon-calon haji yang kini kandas di Port Swettenham sebaiknyalah pemerintah
memberikan izin untuk meneruskan perjalanan mereka ke Tanah Suci. (Harian
Indonesia Raya, 28 Januari 1970)
Gus TF Sakai menulis buku berjudul Ular Keempat. Buku ini
diterbitkan sekitar tahun 2005 oleh Kompas. Salah satu pemikiran yang lumayan
menyenangkan adalah bentuk penulisan yang berbentuk buku harian. Pola tersebut
bukan bersifat buku harian yang resmi, namun tulisan yang terkandung memiliki
bobot yang bagus. Haji pada medio tahun 1970 memiliki warna yang baru. Kisah
mengharukan itu tergambar manis dalam Ular Keempat ini. Penggambaran
tentang ketegangan antara jadi tidaknya
berangkat naik haji membuat cerita ini lumayan mengharu biru. Sang tokoh begitu
runtut dalam menceritakan kisahnya dengan beberapa selingan kisah PRRI yang masih
memanas kala itu.
Centilan-centilan kekuasaan orde baru dimainkan Gus TF Sakai
dengan halus. Kisah tentang pertanyaan seputar pengganti pak karno, yang militer
begitu menggelitik saya. Kisah tentang polemik dalam kapal (ironis kapal yang
menghantar jamah haji kala itu adalah kapal miliki Singapura). Titik klimaks
antara menuruti pemerintah untuk tidak jadi berangkat haji dan semangat untuk
melaksanakan haji dikemas secara simultan. Perjalanan haji ini mengingatkan
saya pada bukunya Ali Syariati yang berjudul tentang haji. Meskipun Gus TF
tidak melakoni tata cara haji dan syariatnya secara runtut dan buku Gus TF
tidak bersifat pedoman, buku ini secara tidak sadar menovelkan langkah-langkah
haji.
Hamka pun pernah mencoba membuat novel yang berlatar kabah
dengan membuat Di Bawah Lindungan Kabah. Tetapi karya yang dibuat oleh Hamka
ini bukan merupakan pedoman untuk beribadah Haji. Buku ini hanya merupakan
kisah perjalanan cinta muda-mudi dalam balutan agama religiusitas yang
mengental. Tidak lebih dari kisa roman muda masa dulu.
Kisah ini masih diragukan merupakan kisah yang non fiksi.
Karena Gus TF sendiri lahir pada medio 1965. dan kisah tersebut dibuat oleh Gus
TF pada awal Januari sampai Februari 1970. kalo kisah tersebut merupakan kisah
nyata dari penulis, berarti Gus TF masih berumur lima belas tahun untuk kisah tersebut. Hal
yang tidak mungkin. Tapi apabila kisah tersebut merupakan kisah fiksi,
imajinasi Gus TF memang liar. Tapi, mantapnya, Gus TF mendasarkan kekisruhan
Haji yang nyata pada tahun itu sebagai dasar untuk membuat kisah fiksi
Penggambaran kapal pengangkut untuk naik haji masa lampau merupakan suatu
bentuk yang nyata. Karena kisah itu, saya mencoba membuka kembali album foto
nenek saya yang juga naik haji pada masa
tersebut, penggambaran tentang kapal tersebut bisa begitu terlihat pada
foto-foto nenek saya. Kapal besar dengan fasilitas yang tersedia didalamnya.
Suatu kisah yang tidak bermain pada alur percintaan. Suatu
hal yang langka di Indonesia.
Dan bagusnya, kisah ini berdasarkan pada konsep perjalanan dan buku harian.
Suatu bentuk yang kadang malas diruntut oleh pembaca. Kisah ini bukan buku
harian biasa. Kisah ini bukan juga model buku harian seperti bukunya Ahmad
Wahib yang fenomenal. Tapi inilah buku Gus TF yang saya rekomendasikan untuk
calon jemaah haji disamping menggamit buku Haji-nya Ali Syariati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar