Ketika Poligami Dalam Polemik
Hanya 2
peradaban dalam sejarah peradaban dunia yang sama sekali tidak pernah
mempraktekkan poligini yaitu Romawi Kuno dan Yunani Kuno; akar dari sejarah
peradaban eropa modern. Tetapi sejarah mencatat, di 2 peradaban yang menentang
poligini itulah, praktek pelacuran, perzinahan dan perselingkuhan meraja lela
bahkan diijinkan. Monogami hanyalah praktek hukum diatas kertas. Kebutuhan
sosial poligini (baca: sex) ditoleransi dengan menggelar praktek pelacuran,
perzinahan dan perselingkuhan. Disanalah wanita hanya dijadikan simbol
cinta, disanjung dan dinomersatukan, tanpa diperhatikan harga dirinya.
Dari jaman dulu ,kecuali jamannya Nabi Adam,
praktek poligami memang sudah menjadi hal yang umum. Dari kisah kerajaan yang
memiliki selir, sampai dengan model arab yang berbentuk harem. Poligami tak
hanya terjadi di kalangan pejabat tetapi di semua lapisan masyarakat dalam
segala macam strata sosial. Sejarah mencatat bahwa kegigihan kaum perempuan
menolak poligami tidak bisa dibendung,
November 1952 sembilan belas organisasi perempuan
menyatakan menentang pemborosan uang negara untuk membayar poligami . Puncak
penolakan terjadi 17 Desember 1953 saat berbagai organisasi perempuan menggelar
aksi demonstrasi. Saat ini, 78 tahun
sejak Kongres Perempuan Indonesia
I 1928 kaum perempuan Indonesia
masih berhadapan dengan persoalan sama yaitu poligami, yang disahkan dalam
Undang-undang Perkawinan tahun 1974. UU tersebut menjustifikasi poligami meski
dengan izin pengadilan, dan khususnya bagi PNS dengan izin pejabat. (PP 10/1983
dan PP 45/1990)
Undang-undang Perkawinan yang saat ini diterapkan
oleh Pemerintah Indonesia
secara nyata dan tegas mendiskriminasikan perempuan, salah satu pasalnya
membolehkan suami untuk beristri lebih dari satu dengan syarat tertentu. Pasal
tersebut merupakan pasal terfokus pada suami/laki-laki. Koridor pasal ini
membatasi pola kebebasan kaum adam dalam melakukan perkawinan yang asal kawin.
Namun bukan berarti dengan munculnya peraturan tersebut, praktek poligami
menjadi berkurang dan berkurang.
Poligami dalam Islam adalah rahmat Allah yang besar. Tapi sayangnya, sebagian orang dimasa
sekarang menolaknya dengan keras. Penetrasi pemikiran (fikroh) sekuler,
liberalisme dan feminisme telah mengaburkan pemahaman tentang poligami dalam
Islam. Akhirnya, sebagian orang secara membabi-buta menolak poligami.
Sebelum memahami
persoalan poligami, sudah sewajarnya kita mempelajari definisi, sejarah dan
tujuan poligami itu sendiri. Tidak hanya pandai menolak dan gebyah-uyah
mendangkalkan kebaikan yang ada pada poligami itu sendiri. Dengan pemahaman
yang memadai, diharapkan dukungan dan penolakan terhadap poligami benar-benar
lahir dari sebuah jawaban rasional.
Selain istilah poligami, dikenal pula istilah poligini.
Poligini adalah menikahi
wanita lebih dari satu dalam waktu bersamaan. Poligami memiliki makna yang sama
dengan poligini. Perbedaannya adalah dalam poligami jumlah wanita yang boleh
dinikahi dibatasi. Sedangkan
poligini tidak membatasi jumlah wanita yang boleh dinikahi. Kebanyakan orang
hanya mengenal poligami tanpa mengetahui bahwa istilah poligami hanyalah
turunan dari istilah poligini. Sehingga poligini yang sering dilihatnya,
dikiranya/disebutnya poligami. Bagi orang yang berlatar belakang pendidikan
Matematika dan Hukum, mereka memandang penting perbedaan definisi ini.
Selain soal
batasan jumlah wanita yang boleh dinikahi, perbedaan poligini dan poligami
lebih banyak menyangkut maksud dan tujuan kedepannya. Poligini muncul bertujuan
untuk menyalurkan libido lelaki. Secara biologis, produksi sperma lelaki
berlangsung terus menerus tanpa henti sejak akil baligh hingga ajal
menjemputnya. Bahkan di umur 70 tahun, kelenjar teosteron lelaki masih
memproduksi sperma. Sedangkan produksi ovum perempuan bisa beristirahat tiap
bulannya. Bahkan perempuan memiliki masa menapause.
Poligami
memiliki maksud mengatasi persoalan sosial yang muncul dari poligini; yaitu
kehormatan, keturunan, dan keadilan. Pertama, mengangkat kehormatan
perempuan menuju perikatan suci yaitu pernikahan. Kedua, menjaga
silsilah keturunan dan masa depan keturunan deri persoalaan budaya, sosial, dan
ekonomi di kemudian hari. Ketiga, menegakkan keadilan ekonomi dan biologis
diantara para perempuan yang dipoligini.
Dan jika kami
tidak dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim bilamana kamu
mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga
atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak dapat berlaku adil, maka (kawinilah)
seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.[An Nisaa: 3] Dalam ayat tersebut,
Allah memberi toleransi kepada lelaki untuk menikahi wanita yang mereka
senangi: dua, tiga atau empat. Ini bukan perintah, tetapi toleransi poligini
yang dibatasi. Itupun masih ditambahi syarat: Adil! Jika tidak mampu
adil, maka nikahi satu wanita saja.
Perdebatanpun
terjadi seputar definisi ‘adil’. Jika kita menggunakan definisi adil dari buah
pikiran manusia, maka kesepakatan arti ‘adil’ tidak akan pernah tercapai [2].
Seperti bantahan orang-orang yang selalu menolak poligami dalam Islam dengan
alasan: lelaki tidak akan pernah bisa adil, sembari memebri pengecualian “tapi
kalau Rasul bisa!” Inilah ayat yang selalu menjadi dalil para pengingkar
poligami, baik kelompok sekuler maupun Islam Terselubung (baca: Islam Liberal).
Dan kamu
sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil diantara istri-istri (mu), walaupun
kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung
(kepada yang kamu cintai) sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan
jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri dari kecurangan, maka
sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [An Nisaa: 129] Karena konteks
pembicaraan kita adalah tentang tafsir firman Tuhan maka definisi ‘adil’ harus
menggunakan definisi dari Tuhan, bukan manusia. Al Quran bukan ayat yang bisa
dibentur-benturkan demikian. Lihatlah konteks pembicaraan Tuhan dalam kata adil
di kedua ayat tersebut.
Dalam ayat yang
mengijinkan poligami, Allah sedang berbicara soal harta anak yatim (materi).
–Bacalah-An-Nisa-ayat-2–. Karena dikhawatirkan terjadi perbuatan memakan harta
anak yatim (baca: ketidakadilan), maka Islam menghimbau untuk menikahi wanita
biasa saja (bukan anak yatim) yang disenangi paling banyak empat. Jadi, adil
yang lagi dibicarakan dalam ayat 3 surat An Nisaa adalah adil soal
material. Bagaimanapun soal material, sangat mungkin sekali terjadi keadilan
–kalau-mau-adil–, karena ukurannya cukup jelas: angka matematis. Sedangkan kata
‘adil’ dalam An Nisa ayat 129, “Dan sekali-kali kamu tidak akan dapat
berlaku adil diantara istri-istri (mu), walaupun kamu sangat ingin…“,
konteksnya ada di ayat 128: yaitu sikap nusyuz (acuh tak acuh). Lebih
jelasnya, maksud “… kamu tidak akan dapat berlaku adil…” adalah soal
sikap/kecenderungan, yang umumnya diterima perempuan dalam bentuk perasaan
mereka.
Tercatat dalam
sejarah, bagaimana cemburunya Aisyah pada Hafsah sebagai istri yang paling
dicintai Rasul. Dan bagaimana mereka selalu melakukan tindakan cemburunya
apabila Rasulullah beristri baru. Tercatat dalam sejarah pula, bagaimana
Rasulullah tersinggung saat mengetahui putrinya Fatimatuzzahra sedih mengetahui
Ali bin Abu Thalib akan menikah lagi. Sampai-sampai Rasul mengeluarkan
kata-kata, “Barang siapa yang menyakiti putriku, maka ia menyakiti Rasul
Allah.”. Sekali lagi, ini soal perasaan. Meskipun demikian, kecintaannya
kepada putrinya tidak sampai menolak poligami. Rasul tetap melakukan poligami
dan mengijinkan para sahabat melakukannya. Ketika Rasulullah melakukan protes
tersebut adalah satu keadaan dfimana Rasulullah sebagai ayah yang tidak
menyetujui konsep poligami menyentuh keadaan putrinya.
Bicara soal
poligami, ada kisah menarik, saya pernah membaca suatu tulisa, bagaimana
seorang anak yang disuruh pergi ke lokalisasi pelacuran. Kemudian anak itu
disuruh bertanya kepada pelacur tersebut tersebut; sukakah mereka dengan
profesi mereka sebagai pelacur. Dan jawabannya adalah: “Saya lebih baik
dinikahi jadi istri simpanan daripada harus bergelimang dosa.”. Ternyata,
mereka lebih memilih jalan kehormatan: dipoligami. Masalahnya, pelanggan mereka
adalah penganut monogami totok, ya sudah.....
Apabila anda
perempuan yang memegang teguh prinsip monogami. Dan prinsip tersebut coba anda
angkat dengan memburukkan hal-hal mengenai poligami. Sadarilah bu, kondisi anda
berbeda, dan ibu harus bersyukur, malah mungkin harus sujud syukur mendapatkan
suami yang tetap pada jaurnya. Lihat kondisi yang beda. Apakah hal tersebut
dapat dilaksanakan dengan baik, sekali lagi poligami bukanlah hal yang buruk,
kekuatan ibu bahwa ibu tidak suka poligami bukanlah merupakan hak ibu untuk
melakukan penghasutan menjelekkan poligami. Konsep ibu aan termentahkan apabila
ibu dihadapkan pada kondisi janda, pelacuran, dan kondisi-kondisi lain yang
memungkinkan.
Mungkin
anda seorang lelaki yang mendukung monogami. Bersyukurlah karena istri anda masih bisa memenuhi
semua kebutuhan cinta anda. Saya cuma berdoa, semoga anda benar-benar mencintai
pasangan hidup anda: tidak berselingkuh, tidak berzina, dan tidak melacur. Jika
anda melakukannya, tanyakan pada hati nurani anda: Apakah anda setuju dengan
saya soal Poligami?
Sumber:comotan
dari Internet....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar