Malin Kundang
yang Kondang
Legenda akan anak
yang durhaka bernama Malin Kundang sudah menjadi cerita yang dimiliki Indonesia.
Sampai sekarangpun sulit memastikan keaslian legenda tersebut Terlepas dari
semua itu di Pantai ini terdapat patung manusia sedang telungkup ke tanah. Batu
tersebut diyakini oleh masyarakat sekitar sebagai kutukan yang diterima oleh
Malin Kundang. Alamat Desa Air Manis Kecamatan Padang Selatan
Padang.
Malin Kundang adalah
kaba yang berasal dari provinsi Sumatra Barat, Indonesia. Legenda Malin
Kundang berkisah tentang seorang anak yang durhaka pada ibunya dan karena itu
dikutuk menjadi batu. Sebentuk batu di pantai Air Manis, Padang, konon
merupakan sisa-sisa kapal Malin Kundang. Cerita rakyat yang mirip juga dapat ditemukan
di negara-negara lain di Asia Tenggara. Di Malaysia cerita serupa berkisah tentang Si Tenggang,
sedangkan di Brunei Nakhoda Manis.
Dramawan dan sastrawan Wisran Hadi menjadikan kisah Malin Kundang sebagai
dasar dalam dramanya Malin Kundang (1978) dan Puti Bungsu (1979). Sinetron Malin Kundang merupakan sinetron yang
diputar di SCTV sejak 11 Januari 2005. Dalam sinetron ini latar
cerita Malin Kundang dibawa ke alam modern. Malin Kundang diperankan oleh Fachri Albar. Dalam versi sinetron ini ibu Malin Kundang
bernama Zainab dan diperankan Dessy Ratnasari.
Malin termasuk
anak yang cerdas tetapi sedikit nakal. Ia sering mengejar ayam dan memukulnya
dengan sapu. Suatu hari ketika Malin sedang mengejar ayam, ia tersandung batu dan lengan kanannya luka terkena batu. Luka tersebut
menjadi berbekas dilengannya dan tidak bisa hilang.
Pada kesempatan berkabar terakhir dengan bundanya,
sebelum perempuan tua ini berangkat menyusul ke kota, Malin Kundang
mengingatkan dengan setengah bercanda, “Emak, apabila tekad Emak sudah bulat
hendak menyusulku ke kota, siapakah yang nanti akan menyapa unggas di halaman,
menghalau domba di pekarangan?” Emak pun hanya menukas kecil, “Malin,
kerinduanku terhadap buah hati lebih dari semua itu. Aku ingin menjumpai orang
yang telah aku timang-timang.” Emak tua telah bersikeras hendak pergi.
Karena merasa
kasihan dengan ibunya yang banting tulang mencari nafkah untuk membesarkan
dirinya. malin memutuskan untuk pergi merantau agar dapat menjadi kaya raya setelah kembali ke kampung halaman
kelak.
Kendati unggas nanti akan dengan sendirinya
melupakan wajah tua itu, dan domba-domba berlarian hanya menjejak rumput hijau
untuk dimakan, angin sepoi-sepoi berbisik. Seperti apakah pemandangan di kota?
Apakah diriku akan hilang di tengah padang luas mereka, tersedot oleh
gorong-gorong air sebesar pintu lumbung padi itu? Emak menatap ke empat penjuru
mata angin dan sekilas dia melihat di satu sudut ufuk langit gemintang berkelip
lebih terang. Ia tidak mengerti penampakan seperti itu: yang dipandanginya
sebuah gugus melingkar seperti pusaran air. Dari luar seperti terseret ke arah
dalam, membentuk lingkaran lagi yang lebih kecil.
Awalnya Ibu Malin
Kundang kurang setuju, mengingat suaminya juga tidak pernah kembali setelah pergi
merantau tetapi Malin tetap bersikeras sehingga akhirnya dia rela melepas Malin
pergi merantau dengan menumpang kapal seorang saudagar.Selama berada di kapal, Malin Kundang banyak belajar
tentang ilmu pelayaran pada
anak buah kapal yang sudah berpengalaman.
Tanggal yang digurat-gurat di ujung antan sudah
genap. Emak sudah pula menukar hasil dari kebun belakang dengan segenggam uang
logam. Ia mendengar bahwa di kota mereka “makan dengan uang”, bukan “makan
nasi.” Kupu-kupu dan lebah seperti melepas Emak pergi, sekalipun keduanya tetap
sibuk menghisap madu bunga. Tidak ada yang perlu diusik dengan ritual flora dan
fauna di halaman. Mereka mengerjakan itu semua seperti
otomatis, dikendalikan oleh pikiran sehat dari Pembuatnya.
Di tengah
perjalanan, tiba-tiba kapal yang dinaiki Malin Kundang di serang oleh bajak laut. Semua barang dagangan para pedagang yang berada di kapal dirampas oleh bajak laut. Bahkan sebagian besar awak
kapal dan orang yang berada di kapal tersebut dibunuh oleh para bajak laut.
Malin Kundang beruntung, dia sempat bersembunyi di sebuah ruang kecil yang
tertutup oleh kayu sehingga tidak dibunuh oleh para bajak laut.
Seperti ditorehkan oleh para penulis legenda,
seperti telah diterima tanpa pertanyaan oleh telinga bocah-bocah: Malin Kundang
memperlakukan Emaknya dengan nista. Simpul tersebut secara singkat tanpa
penjelasan apapun oleh para ninik-mamak yang melantangkan legenda ditandai
dengan cap durhaka. Malin Kundang berlaku durhaka kepada Emaknya, dan kita
semua sampai bermasa-masa selanjutnya masih berdiri tegak di belakang Emak.
Malin Kundang terkatung-katung
ditengah laut, hingga akhirnya kapal yang ditumpanginya terdampar di sebuah pantai. Dengan tenaga yang tersisa, Malin Kundang berjalan menuju ke desa yang terdekat dari pantai. Desa tempat Malin terdampar adalah desa yang
sangat subur. Dengan keuletan dan kegigihannya dalam bekerja, Malin lama
kelamaan berhasil menjadi seorang yang kaya raya. Ia memiliki banyak kapal
dagang dengan anak buah yang jumlahnya lebih dari 100 orang. Setelah menjadi
kaya raya, Malin Kundang mempersunting seorang gadis untuk menjadi istrinya.
Berita Malin
Kundang yang telah menjadi kaya raya dan telah menikah sampai juga kepada ibu
Malin Kundang. Ibu Malin
Kundang merasa bersyukur dan sangat gembira anaknya telah berhasil. Sejak saat
itu, ibu Malin setiap hari pergi ke dermaga, menantikan anaknya yang mungkin pulang ke kampung halamannya.
Apakah tidak sepatutnya anak durhaka ini
dikasihani? Karena ia terang-terangan melakukan perbuatan keji yang nantinya
akan membawa dirinya pada kesulitan-kesulitan lain yang lebih jauh. Sebelum
terlambat. Sebelum lebih akut. Dan siapa orang di muka bumi ini yang lebih
mengerti seorang anak selain bundanya sendiri? Pikiran-pikiran seperti itu yang
pertama muncul di dalam benak Emak. Ia memang gusar melihat perubahan perilaku
anaknya. Ia kecewa. Ia marah karena seperti tidak dianggap.
Setelah beberapa
lama menikah, Malin dan istrinya melakukan pelayaran disertai anak buah kapal
serta pengawalnya yang banyak. Ibu Malin yang melihat kedatangan kapal itu ke
dermaga melihat ada dua orang yang sedang berdiri di atas geladak kapal. Ia
yakin kalau yang sedang berdiri itu adalah anaknya Malin Kundang beserta
istrinya.
Ibu Malin pun
menuju ke arah kapal. Setelah cukup dekat, ibunya melihat belas luka dilengan
kanan orang tersebut, semakin yakinlah ibunya bahwa yang ia dekati adalah Malin
Kundang. ”Malin Kundang, anakku, mengapa
kau pergi begitu lama tanpa mengirimkan kabar?", katanya sambil memeluk
Malin Kundang. Tetapi melihat wanita tua yang berpakaian lusuh dan kotor memeluknya Malin Kundang menjadi marah
meskipun ia mengetahui bahwa wanita tua itu adalah ibunya, karena dia malu bila
hal ini diketahui oleh istrinya dan juga anak buahnya.
Namun seperti bercermin terhadap dirinya, Emak
menangkap bayang-bayang kesadaran. “Aku harus setimbang, karena ini bukan
semata-mata miring ke arah kanan atau beralih ke kiri.” Ia berbicara dengan
hatinya sendiri, yang seperti bertanya jawab satu dan banyak hal. “Emak, akulah
Atijembar. Engkau lihat cahayaku berkelebat membentuk pusaran pada saat engkau
hendak meninggalkan rumahmu. Akulah makhluk yang paling dekat denganmu, karena
engkau dapat mendengarkan aku bahkan seandainyapun telingamu tuli dan engkau
dapat berbicara denganku sekalipun mulutmu bungkam. Aku hanya tidak dapat
dijangkau oleh mereka yang telah pekak dan bisu.” Tanpa
dijelaskan maksud kehadirannya pun, Emak sudah mafhum.
Mendapat
perlakukan seperti itu dari anaknya ibu Malin Kundang sangat marah. Ia tidak menduga anaknya menjadi anak
durhaka. Karena kemarahannya yang memuncak, ibu Malin menyumpah anaknya
"Oh Tuhan, kalau benar ia anakku, aku sumpahi dia menjadi sebuah
batu".
Tidak berapa lama
kemudian Malin Kundang kembali pergi berlayar dan di tengah perjalanan datang badai dahsyat menghancurkan kapal Malin Kundang. Setelah itu tubuh Malin Kundang
perlahan menjadi kaku dan lama-kelamaan akhirnya berbentuk menjadi sebuah batu karang. Sampai saat ini Batu
Malin Kundang masih dapat
dilihat di sebuah pantai bernama pantai Aia Manih, di
selatan kota Padang, Sumatera Barat.
Suatu hari Gus Dur sedang mendongeng pada
anak-anaknya. "Anak-anak...Di sebuah hutan di suatu masa ada pemuda yang
suka berburu bernama Malin Kundang..." Seorang anaknya yang kritis, tahu
kalau Gus Dur keliru, sehingga ia menyela. "Maaf, Pak... Pemburu itu kan
mestinya bernama..." "Sssttt...Jangan memotong dulu...kalau mau
bertanya nanti saja..." sergah Gus Dur. "Nah, saya teruskan ya
...suatu hari si Malin Kundang sedang berburu, dan di tengah hutan ada suatu
telaga. Nah di tengah telah itu dia melihat 7 bidadari sedang mandi. Dia pun
mengintip ke-7 bidadari itu di balik sebuah pohon besar" Sementara
anak-anaknya mulai senyam-senyum, sadarlah Gus Dur bahwa ia keliru. Tapi ia
terlalu gengsi untuk mengakui kesalahannya. Setelah berpikir sejenak, ia pun
mendapat ide. "Namun kemudian salah seorang bidadari terkejut melihatnya
dan berseru: Hai Malin Kundang, ngapain kamu di situ...Seharusnya kan Jaka
Tarub yang ngintip kami di situ. Sana pulang!! (ahm)
Sumber: Wikipedia murni dan sumber-sumber lain
Tidak ada komentar:
Posting Komentar