Pak Tani, Padamu Bangsa Ini
Menitikkan Harapan
Perusahaan Inti Rakyat (PIR) adalah pola untuk mewujudkan suatu perpaduan
usaha dengan sasaran perbaikan keadaan sosial ekonomi peserta dan didukung oleh
suatu sistem pengelolaan usaha dengan memadukan berbagai kegiatan produksi,
pengelolaan dan pemasaran dengan menggunakan perusahaan besar sebagai inti
dalam suatu system kerjasama yang saling menguntungkan (Ditjen Perkebunan, 1986).
Proyek Perusahaan
Inti Rakyat (PIR) dengan tanaman kelapa sawit dimulai dari kisaran tahun 1980an
di Provinsi Sumatera Selatan. (Pada
tahun 2003, Provinsi Sumatera Selatan merupakan terbesar ketiga dalam luas
areal dan produksi industri kelapa sawit di Indonesia). Pembangunan perkebunan saat itu dilakukan melalui
empat pola pengembangan yakni; (1) Pola Perusahaan Inti Rakyat (PIR); (2) Pola
Unit Pelayanan Pengembangan (UPP); (3) Pola Swadaya (PS); (4) Pola Perkebunan
Besar (PB).
Pola pengembangan berdasarkan 4 pola
tersebut dimaksudkan agar dapat merengkuh seluruh segi petani seperti:
· Petani yang tidak memiliki Iahan dan modal dibantu melalui pola
PIR.
· Petani yang memiliki lahan dibantu lewat pola UPP.
· Petani yang berpotensi berkembang akan dimasukkan
dalam pola swadaya dengan kegiatan dengan bantuan pemerintah secara parsial.
· Pengusaha yang bermodal diarahkan berkonstribusi dalam
pengembangan dengan pola PIR maupun bukan PIR.
Pengembangan perkebunan pola PIR di
Indonesia dimulai melalui berbagai proses persiapan. Tahap proses awal
penguatan kepada perusahaan perkebunan negara melalui bantuan Bank Dunia untuk menjadi calon perusahaan inti. Pengembangan
pola PIR diawali dengan seri proyek PIR Berbantuan yang dikenal dengan NES
bantuan Bank Dunia Proyek tersebut kemudian diikuti oleh Bank Pembangunan Asia dan Bank Pembangunan Jerman. Pengembangan
pola PIR dilaksanakan oleh 7 PTP yang sekarang menjadi PT Perkebunan Nusantara,
proses PTP dilakukan melalui tiga tahap:
- (1969 s/d 1972),
Memberikan bantuan Kredit Bank Dunia kepada 7 PTP.
- (Mulai 1973),
Merintis proyek pola Unit Pelayanan Pengembangan (UPP) dan pola PIR yang
dimulai dengan pembentukan Proyek Pengembangan Perkebunan Rakyat Sumatera
Utara (P3RSU)
dan Proyek Pengembangan Teh Rakyat dan Perkebunan Swasta Nasional
(P2TRSN).
- (Mulai 1973),
Penandatanganan perjanjian pinjaman proyek NES I (1977an) untuk
pengembangan karet di Aloimerah, Aceh dan Tebenan, Sumatera Selatan. Sedangkan proyek NES untuk pengembangan perkebunan kelapa sawit baru
dimulai sekitar awal tahun 1980-an, yaitu proyek NES IV Betung.
Pengembangan
subsektor perkebunan dengan pola Perusahaan Inti-Rakyat Perkebunan (PIR-BUN)
diselenggarakan pada awal tahun 1980-an. Tujuan kebijaksanaan tersebut disamping untuk meningkatkan pendapatan dan
kesejahteraan petani, juga untuk meningkatkan produksi komoditas perkebunan
baik untuk memenuhi permintaan bahan baku industri dan konsumsi di dalam negeri
maupun luar negeri. Makna strategis dari kebijakan PIR-BUN, meliputi aspek
pemberdayaan petani perkebunan. Melalui kerja sama kemitraan antara perkebunan
besar dan petani plasma, dimasa depan akan terjadi proses transformasi sosial
dari masyarakat pertanian tradisional menjadi masyarakat industri.
Pola PIR menggunakan usaha
perkebunan besar milik negara dan swasta sebagai inti pengembangan perkebunan
rakyat dan dilaksanakan pada areal baru, areal daerah terpencil (remote) dan daerah dengan penduduk
sedikit. Perusahaan inti (disamping mengusahakan kebunnya sendiri) harus
membantu petani peserta untuk mengelola kebunnya, membantu pengolahan serta pemasaran
hasil kebun. Pembangunan perkebunan melalui PIR berkembang dan tersebar diberbagai
tempat serta memberikan berbagai manfaat antara lain meningkatkan pemasukan
petani, wilayah perkenunan meluas, penyerapan tenaga kerja dan menjadi pemanis program transmigrasi. Pola PIR
tersebut dapat digolongkan PIR-BUN yang meliputi PIR Swadana yaitu PIR Lokal
& PIR Khusus dan PIR Berbantuan serta PIR-TRANS (Ditjen Perkebunan, 1996).
Pembangunan perkebunan dengan pola
PIR-BUN sampai dengan telah dikembangkan kurang lebih menjadi 562.000an Ha
terdiri dari 397.000an ha kebun plasma dan 164.000an ha kebun inti dengan
berbagai komoditas seperti karet, kelapa sawit, tebu, kapas, kelapa hibrida dan
kakao. Pola PIR-TRANS dikembangkan kurang lebih 584.000an Ha terdiri dari kebun
plasma seluas 425.000an Ha meliputi 381.000an Ha komoditas kelapa sawit dan
44.000an Ha komoditas kelapa hibrida serta 159.000an Ha kebun inti yang
meliputi 148.000an Ha komoditas kelapa sawit dan 11.000an Ha komoditas kelapa
(Ditjen Perkebunan, 1997).
Untuk pengembangan
perkebunan dengan pola Perusahaan Inti Rakyat (PIR) yang dikaitkan dengan program
transmigrasi, Presiden melalui Inpres No. 11 Thn 1986 1 Maret 1986
menginstruksikan 9 Menteri, Gubernur Bank Indonesia dan Ketua Badan Koordinasi
Penanaman Modal (BKPM) untuk mengadakan kerja sama dan koordinasi yang
sebaik-baiknya untuk menyusun dan melaksanakan program-program kegiatan yang
berkaitan dengan pengembangan tanaman perkebunan pola PIR yang di kaitkan
dengan program transmigrasi (PIR-Trans). Kesembilan menteri yang diinstruksikan
ialah Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas, Menteri
Pertanian, Menteri Transmigrasi, Menteri Tenaga Kerja, Menteri Dalam Negeri,
Menteri Keuangan, Menteri Kehutanan, Menteri Koperasi dan Menteri Muda Urusan
Peningkatan Produksi Tanaman Keras.
Proyek
PIR-Trans merupakan paket pembangunan wilayah yang terdiri dari pembangunan
perkebunan inti, pembangunan perkebunan plasma, dan pembangunan pemukiman yang
terdiri dari lahan pekarangan dan perumahan. Lahan kebun inti dan kebun plasma
yang perimbangan luasnya ditetapkan oleh Menteri Pertanian (20:80). Untuk lahan
plasma ditetapkan 2 hektar ditambah 0,5 hektar untuk pekarangan termasuk tapak
perumahan. Kepada perusahaan inti diwajibkan membangun perkebunan inti lengkap
dengan fasilitas pengolahan yang dapat menampung hasil perkebunan inti dari
plasma.
Pembiayaan
pembangunan kebun plasma dilakukan perusahaan inti yang kemudian akan diambil
alih oleh bank pemerintah dan bank-bank lainnya yang disetujui oleh bank
Indonesia pada waktu penyerahan pemilikan kebun plasma kepada petani peserta. Pembiayaan
pembangunan lahan pangan, pekarangan, perumahan peserta, penyediaan air bersih,
sarana penunjang dan pemukiman dilakukan oleh pemerintah melalui anggaran
Departemen Transmigrasi, sedangkan pembangunan sarana dan pra-sarana lainnya
yang diperlukan dilakukan oleh pemerintah melalui Anggaran Departemen Teknis
(Sektoral) yang bersangkutan. Biaya pembangunan kebun plasma yang diambil alih
oleh bank pemerintah dan bank-bank lainnya yang disetujui Bank Indonesia
terdiri dari biaya pembangunan kebun plasma dari tahap persiapan sampai pada
saat penyerahan kebun plasma termasuk bunganya yang jumlahnya dihitung
berdasarkan unit cost
ditambah “overhead cost”
dan jasa manajemen.
Dalam
Inpres 1/1986 ditetapkan bahwa petani peserta proyek PIR-Trans terdiri dari
transmigran yang ditetapkan oleh Menteri Transmigrasi. Penduduk setempat
termasuk para petani yang tanahnya terkena proyek yang ditetapkan oleh
Pemerintah Daerah serta petani (peladang) berpindah yang ditetapkan oleh
Pemerintah Daerah dari kawasan hutan terdekat yang dikenakan untuk proyek. Perimbangan untuk jumlah petani
peserta yang berasal dari transmigrasi dan penduduk setempat dalam proyek PIR,
ditetapkan oleh Menteri Transmigrasi. Pola Perusahaan Inti Rakyat atau
disingkat PIR adalah pola Pelaksanaan Pengembangan Perkebunan dengan
menggunakan perkebunan besar sebagai inti
yang membangun dan membimbing perkebunan rakyat disekitarnya sebagai plasma dalam suatu sistem kerjasama yang
saling menguntungkan, utuh dan kesinambungan. Perusahaan Inti adalah perusahaan
perkebunan besar, baik milik swasta maupun milik negara yang bertindak sebagai
pelaksana proyek PIR. Kebun Plasma adalah areal wilayah plasma yang dibangun
oleh perusahaan Inti dengan tanaman kelapa sawit.
Pada tahun 1986
diterapkan Pola PIR-Trans yang didasarkan pada Kepres No. 1 tahun 1986, kini
sudah tidak diberlakukan dan kemudian diganti dengan Pola KKPA yang didasarkan
atas keputusan Bersama Menteri Pertanian dan Menteri Koperasi dan Pembinaan
Pengusaha Kecil No.73/Kpts/KB.510/2/1998 dan No. 01/SKB/M/11/98. Terakhir
diterapkan Program Revitalisasi Perkebunan yang didasarkan atas Peraturan
Menteri Pertanian Nomor :
33/Permentan/OT.140/7/2006.
Kementerian Keuangan sendiri juga berperan dalam proyek PIR ini. Jangka
waktu pemberian pembiayaan pinjaman oleh Kemenkeu adalah pada medio tahun 1979
sampai dengan tahun 2005. Proyek PIR yang menjadi acuan utama dari Kemenkeu
adalah PIR Swadana (PIR-Khusus I/II, PIR Lokal) dan PIR berbantuan luar negeri
(NES I sampai dengan NES VII, NES ADB dan NES Gula). Kredit pembiayaan yang
dikucurkan oleh Kementerian Keuangan adalah Rp. 1.049.639.542.279,13. Capaian
luas kebuan bisa dikelola dari pembiayaan ini adalah 320.513,18 Hektar mencakup
186.389 Kepala Keluarga dan berlokasi di 19 provinsi diseluruh Indonesia.
Pelaksana Proyek PIR ini adalah 10
Perusahaan Badan Usaha Milik Negara (PTPN I sampai dengan XIV) dan perusahaan
swasta nasional (PT. Sinar Inesco dan PT. Pagilaran). Komoditas perkebunan yang
dihasilkan dari proyek ini adalah karet, kelapa sawit, kelapa hibrida, tebu,
coklat, teh, dan kapas. Pembiayaan yang disalurkan kepada petani berasal dari
pinjaman luar negeri (IBRD, ADB, KFW, CDC, dan SFD), APBN, dan RDI.
NO |
NOMOR REKENING |
NAMA REKENING |
NAMA BANK |
1. |
0206-01-000023-30-5 |
RPL BUN PIR SPH |
BRI KCK |
2. |
0206-01-006221-30-9 |
RPL BUN PIR NON SPH |
BRI KCK |
3. |
116.0094009835 |
RPL BUN PIR SPH |
Mandiri Cabang S. Parman |
4. |
117.0006607899 |
RPL BUN PIR Non SPH |
Mandiri Cabang S. Parman |
Kendala dilapangan selalu saja
menjadi bumbu dalam suatu pelaksanaan kegiatan. Kendala mengakibatkan program tidak
sesuai dengan rencana yang telah direncanakan. Kendala ini mengakibatkan antara
lain pelaksanaan akad kredit tidak tepat waktu, menyebabkan calon petani peserta
terlambat menerima hasil kebun, perusahaan inti dikenai beban bunga, dan petani
peserta meninggalkan lokasi kebun yang digarapnya. Masalah seperti ini membuat
proses sertifikasi tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya.
Masalah terkait kelancaran
pelaksanaan PIR, antara lain sering terjadinya wanprestasi perjanjian, baik oleh
perusahaan inti maupun petani peserta program dan tidak berfungsinya kontrol
lembaga yang menangani. Masalah alih teknologi yang berjalan setengah-setengah
menyebabkan tingkat produktivitas kebun rendah.
Masalah lain dalam program PIR, pada
tahap persiapan dan pembukaan lahan. Ketidakpuasan petani-petani penerima
program PIR atas luas dan pembagian lahan dapat memicu konflik diantara petani
tersebut. Latar belakang petani plasma yang beragam adalah masalah tersendiri,
petani ada yang kurang menguasai teknologi produksi menjadi menentukan tingkat
produktivitas lahan.
Dalam fase pelunasan pembayaran
pembiayaan dengan program PIR, terdapat berbagai macam kendala yang
mengakibatkan banyaknya kredit macet sampai saat ini. Petani peserta program
PIR mempunyai tingkat kemauan yang rendah untuk melakukan pembayaran hutangnya.
Menurut mereka, penjualan produksi kebun petani kepada Perusahaan Inti sangat rendah dan
cenderung menjual hasil kebunnya kepada pihak ketiga, sehingga Perusahaan Inti
tidak dapat memotong pinjaman petani sebesar 30% dan rendahnya tingkat kesadaran petani untuk membayar cicilan pinjamannya kepada
pihak Perusahaan Inti. Pendapatan petani dari hasil penjualan produksi kebun berkurang
akibat harga jual produksi yang
rendah. Petani enggan membayar cicilan
pinjamannya karena sertifikat kebun belum terbit dari Badan Pertanahan
Nasional. Pemeliharaan
kebun oleh petani tidak maksimal yang berdampak kepada rendahnya produktivitas kebun
dan berdampak kepada tingkat pendapatan dan pengembalian pinjaman petani.
Penanganan
pengembalian kredit petani oleh Perusahaan Inti tersendat, hal tersebut salah
satunya terjadi semenjak pembiayaan proyek sudah tidak dianggarkan pada tahun
2003an. Faktor alam seperti bencana alam dibeberapa daerah lokasi PIR yang
mengakibatkan tanaman rusak sehingga produktivitas dan pendapatan petani menjadi
rendah. Tingkat
keamanan juga menjadi sorotan, gangguan keamanan di aceh dan kerusuhan sosial
Sambas Kalimantan Barat yang mengakibatkan petani peserta mengungsi dan
meninggalkan kebunnya, sehingga kebun terlantar dan rusak dan sebagian
diokupasi masyarakat, akibatnya pengembalian kredit terhenti.
Kementerian Keuangan
dalam hal ini KPPN Khusus Investasi tidak dapat melakukan penagihan kepada
peserta program PIR. KPPN Khusus Investasi melakukan himbauan dengan menghimbau
kepada Kementerian
Pertanian , khususnya Direktorat Perkebunan, PTPN, dan Bank penjamin agar
melakukan edukasi ke petani untuk
tetap melakukan usaha semaksimal mungkin agar dapat melunasi hutang sehingga
sertifikat dapat diambil. Petugas pengembalian
kredit PTPN diharapkan agar senantiasa bersemangat melakukan penagihan,
penatausahaan hutang, dan penyetoran pengembalian kredit. Bank
Cabang agar dapat senantiasa melaksanakan penatausahaan dan pelimpahan pengembalian kredit
secara tepat waktu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar