Ir. Haji Raden Djoeanda
Kartawidjaja
Ir. Raden Haji Djuanda Kartawidjaja adalah Perdana Menteri Indonesia ke-10
sekaligus yang terakhir. Ia menjabat dari 9 April 1957 hingga 9 Juli 1959.
Setelah itu ia menjabat sebagai Menteri Keuangan dalam Kabinet Kerja I.
Ir. Haji Raden Djoeanda
Kartawidjaja atau kalau menggunakan ejaan baru menjadi Juanda Kartawijaya lahir di Tasikmalaya, Hindia
Belanda, pada tanggal 14 Januari 1911. Djuanda meninggal pada umur
52, tahun, yakni pada tanggal 7 November 1963 di Jakarta. Nama Juanda diabadikan sebagai nama lapangan terbang di Surabaya, Jawa Timur yaitu Bandara Djuanda atas jasanya dalam memperjuangkan pembangunan
lapangan terbang sampai
mampu berdiri megah saat ini. Nama Juanda diabadikan
untuk nama hutan raya di Bandung yaitu Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda. Didalam taman tersebut terdapat
Museum dan Monumen Ir. H. Djuanda. Nama jalan di Jakarta yakni Jalan. Ir. Juanda di
bilangan Jakarta Pusat terpampang jelas dari Harmoni. Salah satu Stasiun Besar di jawa juga menyematkan nama Juanda, yaitu Stasiun Juanda.
Djuanda wafat di Jakarta 7 November 1963 karena serang
jantung dan dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta. Berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No.244/1963 Ir. H.
Djuanda Kartawidjaja diangkat sebagai tokoh nasional/pahlawan kemerdekaan
nasional. Pada tanggal 19 Desember 2016, atas jasa jasanya, Pemerintah Republik
Indonesia, mengabadikan Djoeanda di pecahan uang kertas rupiah baru NKRI, pecahan
Rp50.000.
Ir. H. Djuanda
lahir di Tasikmalaya, 14 Januari 1911. Djuanda adalah anak pertama
pasangan Raden Kartawidjaja dan Nyi Monat. Ayah Djuanda seorang Mantri Guru pada Hollandsch Inlansdsch School
(HIS). Pendidikan sekolah dasar diselesaikan Djuanda di HIS dan
kemudian pindah ke sekolah untuk anak orang Eropa Europesche Lagere School (ELS), tamat tahun 1924. Selanjutnya oleh ayahnya dimasukkan ke sekolah
menengah khusus orang Eropa yaitu Hoogere
Burgerschool te Bandoeng (HBS Bandung, sekarang di tempati SMA Negeri 3 Bandung dan SMA Negeri 5 Bandung), dan lulus tahun 1929. Pada tahun 1929 Djuanda masuk ke Technische Hoogeschool
te Bandoeng (THS) sekarang Institut Teknologi Bandung (ITB) di Bandung, mengambil jurusan teknik sipil Djuanda memasuki Fakultas Ilmu
Teknologi yang mempelajari tehnik pengairan dan jalan (Wegen en Waterbouwkunde), Angkatannya sebanyak 39
orang mahasiswa tediri dari 18 mahasiswa Indonesia, 2 keturunan Cina dan 19
orang Belanda. Djuanda senantiasa belajar dengan sungguh-sungguh dan tidak
banyak membuang-buang waktu. Ia hanya kadang-kadang menonton bioskop dikelas
kambing.
Sebagai mahasiswa, ia memasuki organisasi Indonesische
Studenten Vereeninging (Perkumpulan Mahasiswa Indonesia) Perkumpulan yang
bersifat kebarat-baratan. Pada mulanya Djuanda memang belum tertarik pada
perjuangan politik, walaupun ia sudah setia membaca mingguan berkala
Sipatahunan yang bahasa Sunda dengan artikel-artikel yang bercorak kebangsaan.
Makin lama makin tertarik pada kehidupan kemasyarakatan dan politik,
lebih-lebih berkali-kali mendengar ceramah Ir. Sukarno di Bandung. Akhirnya
Menjadi Ketua dari Perhimpunan Mahasiswa Indonesia pada tahun ke-3 dengan Gunarso
sebagai sekretaris. Djuanda
lulus tahun 1933. sesudah tamat dari THS, Djuanda menikah dengan gadis
Julia Virzsia, seorang guru muda Taman Kanak-Kanak yang berada dibawah ayahnya.
Sejak muda Djuanda memang amat gemar membaca, karena
itu sejak muda pula ia sudah memakai kacamata. Ia pun menyukai olah raga,
terutama berenang dan polo air. Sebagai pencinta alam ia sering mendaki gunung
dengan menyandang sebuah alat pemotret merek Rolefex.
Djuanda aktif dalam organisasi non politik yaitu
Paguyuban Pasoendan dan anggota Muhammadiyah. Djuanda pernah menjadi
pimpinan sekolah Muhammadiyah. Djuanda kemudian menjalani kariernya sebagai
pegawai Departemen Pekerjaan Umum provinsi Jawa Barat, Hindia Belanda sejak
tahun 1939. Ir. H. Djuanda seorang abdi negara dan abdi masyarakat. Djuanda meniti karier
dalam berbagai jabatan pengabdian kepada negara dan bangsa. Lulus dari TH Bandung (1933), Djuanda mengabdi
mengajar di SMA (Algemene Middbare School) dan Sekolah Guru (Kweekschool) Muhammadiyah di
Jakarta dengan gaji seadanya. Padahal, kala itu dia ditawari menjadi asisten
dosen di TH Bandung dengan gaji lebih besar. Setahun
kemudian Djuanda bahkan menjadi Direktur SMA Muhammadiyah, padahal ia baru
berumur 23 tahun.
Atas arahan Otto Iskandardinata, Djuanda bergabung ke Paguyuban
Pasundan. Pada waktu itu gerakan Paguyuban Pasundan sudah meluas, mempunyai 52
cabang dengan 3217 angota, ditambah anak organisasinya seperti Pasundan Istri,
Patvinders Organisatie Pasundan (Kepanduan). Yayasan Obor Pasundan (JOP) dengan
sekolah-sekolah Pasundan yang bertebaran di pelosok Jawa Barat, Bale Ekonomi
Pasundan dan sebagainya. Masuknya Djuanda ke Paguyuban Pasundan, merupakan
sumbangan yang besar, karena Djuanda merupakan cendekiawan yang alim, cerdas,
berbudi luhur dan terkenal. Djuanda seringkali mengemukakan pendapatnya yang bersifat membangun. Antara
lain ia pernah berkata, “Suatu tindakan yang bijaksana, bahwa pemerintah
memberikan jabatan pimpinan kepada akademis Indonesia. Bahwa Pasundan
mempunyai perhatian besar terhadap masalah pendidikan dan pengajaran bagi
bangsa Indonesia, dapatlah diketahui dari tujuan yang dicita-cita oleh
pendirinya, yaitu : Mengangkat bahasa Indonesia kesuatu tingkat politik,
ekonomi dan sosial yang lebih tinggi agar menjadi suatu bangsa yang terhormat diantara
bangsa-bangsa yang telah dewasa dan merdeka”.Djuanda yakin, bahwa tujuan akhir
perjuangan bangsa Indonesia ialah Kemerdekaan. Dengan sengaja ia mengemukakan
pendapat Gijsbert Karel Van Hoogendorp, seorang pejuang kemerdekaan bangsa Belanda yang berkata, “Usaha
untuk mengembangkan tanah jajahan, ya, saya mengakuinya, adalah usaha untuk
mengembangkan detik kemerdekaannya “ Djuanda sendiri berkata. “Sebagian lagi
dapat diterangkan dari kenyataan bahwa dalam seperempat abad ini Pasundan telah
melaksanakan garis-garis kebijaksanannya dan hal itu selalu memperkuat
keyakinan kita, bahwa masyarakat Indonesia yang berkembang secara
perlahan-lahan lebih memberi jaminan akan tercapainya hasil yang nyata dan
tetap.”
Mengenai ekonomi Djuanda mengatakan, “Susunan masyarakat
disini membatasi daya serap terhadap para akademisi. Ini sangat terasa didalam
lingkungan masyarakat Indonesia sendiri. Scsuatu golongan menengah yang berdiri
sendiri, sebagai suatu syarat utama bagi perkembangan perusahaan yang sehat dan
yang bisa menumbuhkan dan mengasuh perindustrian dan tehnik, tidak ada sama
sekali. Kesempatan untuk menduduki suatu jabatan yang bertanggungjawab didalam
perusahaan swasta di kemudian hari, sangat terbatas bagi para akademis
Indonesia berlainan sekali dengan koleganya di lain negara.
Ir. Juanda juga menerjuni
politik dalam Budi Utomo.
Ia menyokong Taman Siswa di Pasundan dalam menentang wilde Scholen Ordonnantie atau undang-undang sekolah liar. Setelah kurang lebih empat tahun mengajar di SMA Muhammadiyah Jakarta, pada 1936, Djuanda mengabdi dalam dinas pemerintah di Jawaatan Irigasi Jawa Barat dan aktif sebagai anggota Dewan Daerah Jakarta.
Ia menyokong Taman Siswa di Pasundan dalam menentang wilde Scholen Ordonnantie atau undang-undang sekolah liar. Setelah kurang lebih empat tahun mengajar di SMA Muhammadiyah Jakarta, pada 1936, Djuanda mengabdi dalam dinas pemerintah di Jawaatan Irigasi Jawa Barat dan aktif sebagai anggota Dewan Daerah Jakarta.
Pada tahun 1936 ia diterima sebagai insinyur Pada
Jabatan Pengairan Propinsi Jawa Barat termasuk Departemen Pekerjaan Umum itu
Jakarta. Selanjutnya Jawatan tersebut pindah ke Bandung berpusat di Gedung waktu pasukan
Jepang memasuki Indonesia. Di zaman Jepang ia bekerja pada Jawatan Pekerjaan
Umum. Tidak banyak pekerjaan yang dilakukan pada zaman itu, ia hanya bertugas
merencanakan pembangunan jembatan sungai Citarum di Kec.Junggede yang
telah dibumi hanguskan oleh Bclanda. Jembatan tersebut dari konstruksi kayu dan
mempunyai daya dukung truk berukuran 5 ton. Sehingga tahun 1958 jembatan
tersebut masih berfungsi.
Pada 28 September 1945, Djuanda memimpin pemuda untuk
mengambil alih Jawaatan Kereta api dari Jepang. Gerakan yang dimpin oleh Djuanda ini dilanjutkan dengan pengambilalihan jawatan Pertambangan , Keresidenan, Kotapraja,
serta obyek militer yang ada di gudang utara Bandung. Pemerintah
Indonesia mengangkat Djuanda sebagai kepala jawaatan kereta api wilayah Jawa
dan Madura, Republik Indonesia. Tugas yang amat berat karena keadaan kereta api sejak
jaman Jepang sudah amat kacau balau. Kereta Api sudah tidak terurus, baik
lokomotif maupun gerbong-gerbong dan stasiun serta rel-relnya sudah rusak
sekali. Apalagi sesudah Belanda mulai menduduki kembali Indonesia, maka terjadilah
pengungsian yang luar biasa. Mereka menggunakan jasa kereta api untuk
mengungsi. Demikian pula angkatan bersenjata dan laskar-laskar bergerak dengan
menggunakan kereta api. Pekerjaan Ir. Djuanda menjadi makin berat. Selama memimpin
Jawatan Kereta Api ini keluarga Djuanda menetap di Cisurupan, yang terletak
antara Garut – Cikajang, sedangkan ia sendiri berada di Yogyakarta.
Pada bulan Maret 1946, Djuanda diangkat menjadi
Menteri Muda Perhubungan merangkap sebagai Kepala Jawatan Kereta Api. Dalam
Kabinet Syahril (1946). Djuanda diangkat menjadi Menteri Perhubungan. Tugasnya
menyelenggarakan perhubungan setaraf dengan kereta api, hubungan pos, dan
telegrap (PTT) dan kemudian juga memulai memikirkan hubungan pelayaran laut. Pada masa Kabinet
Amir Syaifuddin (1947) Djuanda tetap menjabat Menteri Perhubungan, bahkan pada
kabinet Hatta, Djuanda selain menjadi Menteri Perhubungan juga Menteri
Pekerjaan Umum selama beberrapa bulan. Djuanda juga ditunjuk untuk duduk dalam
perundingan dengan Belanda. la bertindak sebagai ketua Panitia Ekonomi/Keuangan
dalam delegasi Indonesia. Pada masa itu ia sering mondar-mandir Yogyakarta –
Kaliurang – Jakarta. Djuanda sebenarnya tidak berpartai. Djuanda bersikap non
partai dan dengan teguh berdiri diluar semua partai dan mengabdi dengan seria
kepada negara.
Ketika Belanda melakukan Agresi Militer II pada 19
Desember 1948, Djuanda berada di Istana Presiden di Yogyakarta. Ia tertangkap,
tetapi kemudian dilepaskan kembali lalu pulang kerumahnya. Berkali-kali ramahnya
didatangi tentara Belanda untuk menggeledahnya, tetapi Djuanda tetap tenang.
Belanda juga datang dan membujuk beliau agar mau bekerja sama dan mengambil
bagian dalam pemerintahan di Negara Pasundan, tetapi Djuanda menolak bujukan
Belanda itu. Mungkin karena sikapnya itu sebuah granat pernah diletuskan di
rumahnya, syukur tidak membawa bencana.
Sesudah pemerintah RI kembali ke Jakarta, Djuanda
diangkat sebagai Menteri Negara. Beliau juga duduk sebagai Ketua Komisi Ekonomi
dan Keuangan dalam Delegasi RI
pada perundingan KMB. Sesudah RIS berdiri (1949), Ir. Djuanda diangkat menjadi Menteri Perekonomian dalam Kabinet Hatta. Ia harus berusaha memperbaiki perekonomian rakyat, keadaan keuangan, perhubungan, perumahan dan kesehatan, mengadakan persiapan untuk jamunan sosial dan penempatan kerja kembali dalam masyarakat. Juga mengadakan peraturan tentang upah minimum, pengawasan pemerintah atas kegiatan ekonomi agar terwujud kemakmuran rakyat seluruhnya. Bagi Djuanda urusan ekonomi rakyat merupakan hal yang baru dan dengan tekun ia mempelajari seluk-beluk ekonomi dan keuangan hingga memahami benar persoalannya.
pada perundingan KMB. Sesudah RIS berdiri (1949), Ir. Djuanda diangkat menjadi Menteri Perekonomian dalam Kabinet Hatta. Ia harus berusaha memperbaiki perekonomian rakyat, keadaan keuangan, perhubungan, perumahan dan kesehatan, mengadakan persiapan untuk jamunan sosial dan penempatan kerja kembali dalam masyarakat. Juga mengadakan peraturan tentang upah minimum, pengawasan pemerintah atas kegiatan ekonomi agar terwujud kemakmuran rakyat seluruhnya. Bagi Djuanda urusan ekonomi rakyat merupakan hal yang baru dan dengan tekun ia mempelajari seluk-beluk ekonomi dan keuangan hingga memahami benar persoalannya.
Pada masa kabinet Moh. Natsir (1950), kembali Djuanda
mamangku jabatan Menteri Perhubungan. Demikian juga pada kabinet Sukiman
Suwiryo (1951) dan kabinet Wilopo (1952) Ir. Djuanda tetap memegang jabatan
Menteri Perhubungan hingga tahun 1953. Pada masa Kabinet, Ali Sastroamijoyo I
(1953) dan kabinet Burhanuddin Harahap (1955) Ir. Djuanda tidak duduk dalam
kabinet, selama tiga tahun. Ia muncul kembali sebagai Menteri Negara Urusan
Perencanaan pada kabinet Ali Sastroamijoyo II pada tahun 1957.
Selama tahun 1953 – 1956, Djuanda menjadi Direktur
Biro Perancang Negara, yang menitikberatkan perencanaan pembangunan pertanian,
irigasi, jalan, pelabuhan dan infra stuktur lainnya. Dalam pekerjaan Biro
Perancang Negara ini telah diikutsertakan dua tokoh muda yaitu Wijoyo
Nitisastro dan Emil Salim, kedua-duanya mahasiswa Universitas Indonesia, yang
dikemudian hari menjadi tokoh-tokoh perancang pembangunan pada masa Orde Baru.
Pada tahun 1957, Djuanda ditunjuk menjadi Perdana
Menteri, Beliau dibantu oleh tiga orang Wakil’Perdana Menteri, yaitu Mr. Hardi
(PNI), Haji Idham Chalid (NU), dan dr. J. Leimena (Parkindo), Tugas P.M.
Djuanda sungguh amat berat karena pada zaman itu, keadaan bangsa dan negara
dalam keadaan berbahaya dan terancam perpecahan. P.M. Djuanda berhasil
menyelenggarakan musyawarah Nasional yang berusaha menyatukan kembali
Dwi-Tunggal Soekarno-Hatta. P.M. Djuanda mengucap pidato sebagai berikut, ”Betapa penting
Musyawarah Nasional diadakan pada waktu ini, mengingat kepentingan Negara dan
Bangsa yang sudah sangat mendesak karena terjadinya tindakan-tindakan simpang
siur yang amat mempengaruhi masyarakat dan negara kita, dan menghambat jalannya
pemerintahan dan pembangunan. Kejadian-kejadian yang tidak normal di negara
kita akhir-akhir ini perlu segera dipecahkan dan dicarikan jalan
penyelesaiannya sehingga keadaan Republik Indonesia normal kembali.
Dalam hal ini pemerintah berkeyakinan bahwa dengan
Musyawarah Nasional ini kita akan dapat membuka jalan guna mengatasi
persoalan-persoalan dan kesukaran-kesukaran karena para peserta ikhlas datang
ke tempat musyawarah untuk sama-sama menghadapi dan menyelesaikan bahaya yang
mengancam kita bersama di mana akan tidak terjadi pendiktean oleh suatu pihak
terhadap yang lainnya, tidak terdapat curiga-mencurigai satu sama lain dan
tidak akan saling tuduh menuduh siapa yang bersalah.
Musyawarah Nasional adalah gelanggang persaudaraan serta keutuhan dan diatas semuanya ini Proklamasi 17 Agustus 1945”. Musyawarah Nasional ini telah berhasil melahirkan suatu Pernyataan Bersama antara Ir. Soekarno dengan Dr. Mohammad Hatta. Dalam pidato penutupan Musyawarah Nasional itu, P.M. Djuanda berkata : ”Marilah kita waspada, keadaan buruk di dalam negara kita merupakan tanah yang subur bagi anasir-anasir yang ingin melihat hancurnya Republik Indonesia Proklamasi 1945. Marilah kita mengadakan Zelfcorrectie, memeriksa diri pribadi, apakah kita sungguh selaras dengan dasar-dasar Proklamasi 17 Agustus 1945. Marilah kita jauhkan diri dari prasangka, tuduh menuduh dan curiga mencurigai. Marilah kita resapkan rasa sebangsa, setanah air, utuh dan bersatu dalam suka dan duka. Marilah kita songsong Indonesia Jaya dengan rasa cinta kasih, perjuangan dan pengorbanan”.
Musyawarah Nasional adalah gelanggang persaudaraan serta keutuhan dan diatas semuanya ini Proklamasi 17 Agustus 1945”. Musyawarah Nasional ini telah berhasil melahirkan suatu Pernyataan Bersama antara Ir. Soekarno dengan Dr. Mohammad Hatta. Dalam pidato penutupan Musyawarah Nasional itu, P.M. Djuanda berkata : ”Marilah kita waspada, keadaan buruk di dalam negara kita merupakan tanah yang subur bagi anasir-anasir yang ingin melihat hancurnya Republik Indonesia Proklamasi 1945. Marilah kita mengadakan Zelfcorrectie, memeriksa diri pribadi, apakah kita sungguh selaras dengan dasar-dasar Proklamasi 17 Agustus 1945. Marilah kita jauhkan diri dari prasangka, tuduh menuduh dan curiga mencurigai. Marilah kita resapkan rasa sebangsa, setanah air, utuh dan bersatu dalam suka dan duka. Marilah kita songsong Indonesia Jaya dengan rasa cinta kasih, perjuangan dan pengorbanan”.
Walaupun PM. Djuanda sudah berusaha sekuat tenaga
untuk menjaga kesatuan dan ketertiban, namun terjadi juga gerakan separatisme.
Sungguh berat tanggung jawab PM. Djuanda tetapi tindakan harus diambil untuk
menyelamatkan bangsa dan negara. PM .Djuanda yang juga Menteri Pertahanan tidak hanya
berhadapan dengan kekuatan dan gerakan separatisme di daerah, tetapi juga harus
mengatasi gerombolan DI/TII Kartosuwiryo di Jawa Barat dan tempat-tempat lain. PM.
Djuanda berhasil menyusun organisasi Departemen Angkatan Darat, Angkatan laut
dan Angkatan Udara. Juga DPR menyelesaikan Undang-undang
Wajib Militer, Undang-Undang Sukarelawan dan Undang-Undang Veteran Perjuangan
RI.
Ujian berat juga dihadapi P.M.Djuanda dengan adanya
pertentangan politik dan idiologi di dalam konstituante, sehingga akhirnya P.M.
Djuanda merintis jalan penyelesaian dengan cara kembali ke Undang-undang Dasar
1945. Pada tanggal 6 Mi 1959 sesudah Dekrit Presiden, maka P.M. Djuanda
mengembalikan mandat kepada Presiden.
Dalam Kabinet Karya I, Djuanda ditunjuk sebagai
menteri Pertama merangkap Menteri Keuangan. Apabila Presiden Sukarno bepergian
ke luar negeri, maka Ir. Djuanda menjadi pejabat Presiden RI. Zaman Demokrasi
terpimpin (1959 -1965) yang penuh dengan ketegangan dan perbenturan, sungguh
merupakan zaman berat bagi Menteri Juanda, tetapi bagaimanapun ia selalu
berpendirian sebagai berikut ”Ketahuilah, bahwa semua perbedaan itu akan dapat
kita selesaikan dengan baik asal kita semua tetap mengutamakan keselamatan
negara dan persatuan nasional diatas segala kepentingan. Empat tahun
lamanya Djuanda menyertai Kabinet Kerja sebagai orang kedua dalam pemerintahan.
Dalam Kabinet Kerja II dan III, Ir. Djuanda tetap menduduki Menteri Pertama
dengan Wakil Menteri Pertama dr. J. Leimena dan dr. Subandrio. Sementara itu
dikalangan pemerintah terjadi pertentangan dan ketegangan.
Djuanda bukanlah orang partai, secara pribadi ia anti
komunisme. Mengadu domba partai atau mengadu-adukan partai bukan sifat dan
wataknya. Terhadap yang bersalah Ir. Djuanda akan bertindak. Situasi politik
dan terutama tindakan-tindakan Presiden Soekarno yang diambil pada zaman
Demokrasi Terpimpin menyebabkan Ir. Djuanda sering mengalami pertentangan
batin. Keadaan demikian ditambah banyaknya keruwetan dalam pekerjaan,
menyebabkan Ir. Djuanda menjadi sering sakit. Beliau diharuskan berobat ke
Tokyo karena jantungnya terganggu.
Kalangan pers menjuluki Djuanda dengan nama Menteri
Marathon karena sejak awal kemerdekaan (1946) sudah menjabat sebagai
menteri muda perhubungan sampai menjadi Perdana Menteri dan Menteri Pertahanan
(1957-1959) sampai menjadi Menteri Pertama pada masa Demokrasi Terpimpin
(1959-1963). Sehingga dari tahun 1946 sampai meninggalnya tahun 1963, beliau
menjabat sekali sebagai menteri muda, 14 kali sebagai menteri, dan sekali
menjabat Perdana Menteri. Dia seorang pemimpin yang luwes. Dalam beberapa hal
dia kadangkala berbeda pendapat dengan Presiden Soekarno dan tokoh-tokoh
politik lainnya.
Djuanda beberapa kali memimpin perundingan dengan
Belanda. Dalam KMB, Djuanda sebagai Ketua Panitia Ekonomi dan Keuangan Delegasi Indonesia. Saat Agresi Militer Belanda II, tanggal 19 Desember 1948 Djuanda sempat
ditangkap oleh tentara Belanda. Djuanda dibujuk agar beliau mau bergabung
dengan pemerintahan Negara Pasundan tapi beliau menolak.
Tanggal 13 Desember 1957 saat Djuanda menjabat
perdana menteri, Deklarasi Djuanda
terjadi. Deklarasi Djuanda menyatakan kepada dunia bahwa laut Indonesia adalah termasuk laut sekitar
diantara dan didalam kepulauan Indonesia menjadi kesatuan wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia(NKRI) atau dikenal dengan negara kepulauan dalam
Konvensi hukum laut UNCLOS (United Nations Convention on Law of the Sea).
Isi dari Deklarasi Juanda ini menyatakan:
- Bahwa Indonesia menyatakan sebagai negara kepulauan yang mempunyai corak tersendiri
- Bahwa sejak dahulu kala kepulauan nusantara ini sudah merupakan satu kesatuan
- Ketentuan ordonansi 1939 tentang Ordonansi, dapat memecah belah keutuhan wilayah Indonesia dari deklarasi tersebut mengandung suatu tujuan :
- Untuk mewujudkan bentuk wilayah Kesatuan Republik Indonesia yang utuh dan bulat
- Untuk menentukan batas-batas wilayah NKRI, sesuai dengan asas negara Kepulauan
- Untuk mengatur lalu lintas damai pelayaran yang lebih menjamin keamanan dan keselamatan NKRI
Pernyataan yang dibacakan oleh Djuanda tersebut
menjadi landasan hukum bagi penyusunan rancangan undang-undang yang digunakan
untuk menggantikan Territoriale Zee en Maritime Kringen Ordonantie tahun
1939.
Dia seorang abdi negara dan masyarakat yang bekerja
melampaui batas panggilan tugasnya. Mampu menghadapi tantangan dan mencari
solusi terbaik demi kepentingan bangsa dan negaranya. Karya pengabdiannya yang
paling strategis adalah Deklarasi
Djuanda13 Desember 1957.
Wilayah Negara Republik Indonesia pada saat Merdeka 17
Agustus 1945 atau sebelum ‘Deklarasi Djuanda’:
Wilayah Negara Republik Indonesia sesudah ‘Deklarasi
Djuanda’ pada 13 Desember 1957:
Djuanda juga berperan besar dalam membangun sistem
transportasi nasional, baik itu darat, laut, maupun udara. Djuanda adalah
insyinyur lulusan Institut Teknologi Bandung. Djuanda pelopor
maskapai penerbangan Garuda Indonesia, Akademi Penerbangan Curug, dan Akademi
Pelayaran Jakarta.
Ir.H. Djuanda wafat pada 7 November 1963 di Jakarta karena
serangan Jantung dan dimakamkan di Taman Makan Pahlawan Kalibata,Jakarta. Untuk mengenang
jasa Djuanda, nama Djuanda diabadikan sebagai nama lapangan terbang di Surabaya, Jawa Timur (Bandara
Djuanda). Nama Djuanda diabadikan untuk nama hutan Raya di Bandung (Taman Hutan Raya Ir. H.
Djuanda) dan dalam tanam hutan tersebut terdapat museum dan monumen Ir. H.
Djuanda. Berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No.244/1963 Ir. H. Djuanda
Kartawidjaja diangkat sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional.
Sumber :
https://www.infobiografi.com/biografi-dan-profil-lengkap-ir-h-djuanda-kartawidjaja/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar