Kasman
Singodimedjo dalam Catatan para tokoh
“Waktu saya tiba di Pejambon, terbukti masih sedang ramai-ramainya diadakan
lobbying di antara
anggota-anggota Panitia (Sembilan). Dan tidak sulit bagi saya untuk mengetahui
materi apakah yang menjadi persoalan serius itu,” ujar Kasman dalam Hidup Itu Berjuang: Kasman Singodimedjo 75
Tahun.
“Adapun materi
yang termaksud adalah usul dari pihak nonmuslim di dalam Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia untuk menghapus tujuh kata dari Piagam Jakarta, yakni
yang berbunyi: … dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya.”
Melalui majalah
bulanan JIB “Het Lich” No.7 Agustus 1925, ia menggambarkan banyak mulut
kaum intelektual kala itu bisu dengan bahasanya. Banyak yang tidak paham dan
pandai berbicara dengan bahasa sendiri. Mereka tidak sungguh-sungguh
mempelajari bahasanya. Betapa banyak dari mereka yang berasal dari suku sunda,
tapi tidak pandai bahasa sunda yang sopan. Begitu pula yang berasal dari suku
Melayu dan Jawa. Bahasa yang digunakan perkumpulan Jong Java bukanlah bahasa
Jawa, Sunda, atau Melayu karena tidak semua anggotanya bisa. Itu pula yang
membuat JIB terpaksa menjadikan Bahasa Belanda sebagai bahasa persatuan dalam
organisasinya.
Lebih dari soal
bahasa, ia mengungkap kehidupan mereka seperti orang Eropa.“Kita tidak
mengenal kehidupan kerja keras dan berat seperti yang dialami oleh para petani
di sawah dan ladang. Kita tidak mengenal membanting tulang, mengangkat, dan
memikul. Malahan kita terbius memandang rendah pekerjaan mereka yang serba
kekurangan itu. Dan betapa jauh berbedanya kehidupan kita daripada mereka itu,
dalam hal pakaian, perumahan, dan kesenangan.”
Pesta-pesta
kelahiran, pernikahan, dan lain-lain, lanjutnya, benar-benar telah menjauhkan
mereka dari rakyat. Mereka telah membiasakan tingkah laku orang Eropa. Apa saja
di-Eropa-kan: pakaian pengantin, kamar pengantin, dan lain-lain. Dan yang
lebih parah lagi, ungkapnya, pada pesta-pesta itu mereka layani orang Eropa
secara istimewa. Mereka adakan kebiasaan malam-malam khusus untuk melayani
kenalan dan teman-teman Eropa. Dari situ, mereka merasa terhormat atas
perhatian yang orang Eropa berikan dan menganggap remeh tamu sebangsa.
“Hampir-hampir
kita tinggalkan sama sekali adat pusaka lama kita, yang mengandung pengertian
bahwa pesta-pesta rumah yang diadakan oleh orang-orang yang berada, adalah
bertujuan untuk menyenangkan dan menyuguhi jiran sekampung. Selamatan-selamatan
yang diadakan dengan Kiayi-Kiayi dan santri-santri sebagai tamu terhormat telah
tidak lagi menjadi kebiasaan bagi orang-orang kita yang berada.”
Seperti halnya
pesta-pesta tadi, lanjutnya, pergaulan kaum intelektual pun seperti orang
Eropa. Mereka hanya ingin berteman dengan orang Eropa atau orang Indonesia yang
sudah kebarat-baratan, khususnya yang bisa berbahasa Belanda.
Ia merasakan
kenyataan yang pahit dan menyedihkan ketika kaum intelektual buta sama sekali
terhadap hati nurani rakyat. Mereka tidak mengenal perasaan yang dimiliki
rakyat. Pergaulan, pendidikan, dan hubungan mereka dengan orang Barat,
khususnya dengan orang-orang Belanda, membuat mereka kurang bisa mengerti
curahan perasaan rakyat yang jarang sekali atau bahkan mungkin tidak pernah
mereka pedulikan.
Mereka
menganggap segala sesuatunya yang bukan contoh dari orang Eropa adalah rendah,
terbelakang, dan tidak sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman. Sampai-sampai
apa yang paling baik dipunyai bangsa kita. “Pokoknya semua yang tidak sesuai
dengan apa yang dibawakan oleh dunia Barat yang telah menguasai negara kita
ini, sudah kita anggap rendah pula dan kita rasakan sebagai sesuatu yang salah
karena tidak sesuai dengan contoh yang kita tiru dari manusia-manusia Barat
yang rakus tak pernah kenyang itu.”
Menurutnya,
kesalahan mereka karena terlalu meningkatkan diri pada pengetahuan sekolah dan
meninggalkan rakyat jauh di belakangnya. Kejiwaan itu menyebabkan mereka selaku
murid orang Barat tak sedikit pun dapat mengakui atau menghargai sesuatu yang
berasal dari kepribadian bangsa sendiri. Sehingga seolah-olah rakyat itu harus
belajar dari mereka, bahkan mereka sampai menyangka- nyangka seolah-olah rakyat
tidak mempunyai keinginan untuk merdeka ataupun tidak berhasrat sendiri untuk
berkembang. Akibatnya, mereka berpendapat bahwa mereka harus mengadakan
perubahan pada rakat.
“Betapa
salahnya persangkaan kita itu. Betapa justru lebih dulu dari lingkungan kaum
intelektual, di kalangan rakyat telah tercetus keinginan untuk merdeka dan
hasrat kepada kemajuan, yang disusul dengan tindakan dan perbuatan.Tampak
adanya inisiatif yang murni dan daya cipta yang enerjik yang menunjukkan
keinginan akan kemajuan, dan perasaan persaudaraan terutama sekali harus dicari
pada rakyat kita yang beragama Islam dan telah menyatukan diri dan
berorganisasi dengan memakai Islam sebagai dasar.”
Ia menyebutkan
banyak sekolah-sekolah yang sudah didirikan oleh Sarekat Islam, Muhammadiyah,
Perserikatan Ulama dan lain-lain seperti Sarikat Usaha dan Sumatera Tawalib.
Sedangkan perkumpulan-perkumpulan lain mencontoh pendidikan sekolah-sekolah
pemerintah, yang umumnya dipandang tidak tepat dari segi kebangsaan. Di saat
sebagian orang-orang Indonesia yang kompeten dan orang-orang Eropa sibuk
mengadakan teori dan percobaan-percobaan, organisasi-organisasi Islam sudah
lebih dahulu menyusun dan mempraktikkan pendidikan nasional untuk bangsa kita.
Ia menilai itu karena organisasi-organisasi Islam menggunakan dasar Islam
sehingga mengarahkan mereka pada usaha menuju kesatuan dalam pendidikan, yaitu
usaha yang membayangkan keberhasilan.
“Dalam usaha
membangun pendidikan itu, mereka itu tidak mengambang di awang-awang, oleh
karena mereka dapat melanjutkan usaha atas dasar-dasar yang telah ada dalam
sejarah kebangsaan sebelum ini, dengan memperhitungkan pula perkembangan ilmu
pengetahuan dan tuntutan zaman modern. Dalam hal ini, mereka tidak usah
meraba-raba lagi. Oleh karena negara -negara Islam yang telah mendahului kita
dalam perkembangan kemajuan, terutama misalnya Mesir, Persia, dan India, telah
memberikan contoh yang bermanfaat.”
Ia
mengungkapkan, “Kita kan tercengang melihat betapa luasnya aktivitas yang
sudah mereka lakukan di seluruh Indonesia, di Tapanuli, di Bali, di Minahasa,
dan lain-lain. Dengan tidak mengemukakan daerah-daerah yang sepenuhnya Islam
saja, dalam mencapai kemajuan melalui dakwah Islam dan usaha-usaha mendorong
umat Islam, maka nyatalah umat Islam telah merebut tempat yang berdiri di atas
kaki sendiri di lapangan ekonomi. Ini semua seharusnya menjadi petunjuk bagi
kita untuk tidak tertipu oleh propaganda yang saat-saat sekarang kian
ditingkatkan, seolah-olah Islam sedikit sekali dapat tempat dalam hati nurani
rakyat. Bahkan fakta bahwa juga ada golongan-golongan rakyat yang bukan muslim,
tidak boleh mendorong kita untuk meremehkan golongan mayoritas mutlak yang
beragama Islam, yang justru memiliki energi dan potensi yang amat besar untuk
berdiri di atas kaki sendiri. Tanpa sedikit pun rasa permusuhan terhadap
golongan-golongan non-Islam, yang bagaimana pun juga tentu harus terlepas dari
pimpinan kita, maka kita sebagai golongan Islam harus memusatkan pikiran kita
terhadap rakyat kita yang beragama Islam, yang jumlahnya tidak kurang dari 80%
dari bangsa Indonesia kita ini.”
Maka untuk
membangun jembatan di antara kaum intelektual dan rakyat, Kasman Singodimedjo
berpesan kepada kaum intelektual Islam untuk, “tidak lagi menjadi orang
asing terhadap Islam, bahkan keterasingan itu harus berganti jadi kesadaran
bahwa kita justru bisa menjadi pemimpin dan penganjur Islam bagi rakyat itu.
Sehingga kita bisa mendapat tempat di hati dan jiwa rakyat. Dengan demikian
kita dapat membawa kesatuan jiwa dan memanfaatkan kelebihan pendidikan yang
kita miliki bagi rakyat untuk membawa mereka pada persatuan nasional.”
Majalah Het Lich No.7, Agustus 1925
Majalah Het Lich No.7, Agustus 1925
Lukman Harun
pada buku 75 Tahun Kasman Singodimedjo: Hidup Itu Berjuang (Bulan
Bintang, 1982) “….. kalau diundang untuk memberi ceramah, beliau
tidak pandang jauh dan dekat. Untuk mencapai suatu daerah beliau bersedia naik
kendaraan apa pun. Naik mobil ya boleh, naik truk pun tidak ada halangan, naik
sepeda motor bergoncengan sudah biasa, bahkan kalau perlu jalan kaki. Banyak
atau sedikitnya pendengar, tingkat Ranting ataupun tingkat Nasional, beliau
akan berpidato dengan nada yang sama dan tetap bersemangat. Pak Kasman pernah
sakit dan dirawat di rumah sakit, maka beliau akan selalu ingat soal rapat,
soal-soal Muhammadiyah, ceramah, kuliah, soal-soal politik dan lain-lain. Kalau
keadaan memungkinkan Pak Kasman akan cuti sebentar dari rumah sakit untuk pergi
rapat. Pak Kasman mengatakan dirinya penjaga warung Muhammadiyah. Memang
beliaulah yang paling rajin datang ke kantor PP Muhammadiyah. Beliaulah yang
melayani serta memberi nasehat-nasehat dan petunjuk-petunjuk kepada para tamu
mengenai berbagai hal.” tulis Lukman Harun.
Dalam
buku Sekitar Perang Kemerdekaan, Nasution menyebut, “hanya
dengan pimpinan Soekarno-Hatta-Kasman Singodimedjo rakyat dapat digerakkan
secara massal, dan kegiatan tanpa disertai ketiga pemimpin ini, dewasa itu akan
merupakan suatu gerakan yang hanya setengah-setengah saja,” bahwa “dewasa itu
sangat diperlukan pimpinan dari yang telah memegang kepercayaan rakyat dan
tentara serta telah mempunyai kedudukan berkomando, yakni Soekarno-Hatta-Kasman
Singodimedjo,” dan bahwa “perwira-perwiranya (PETA) taat sepenuhnya kepada
Kasman Singodimedjo dan Soekarno-Hatta, sedangkan yang muda-muda banyak yang
telah menggabungkan diri dengan pemuda-pemuda revolusioner.”
Di mata
Mohammad Natsir, “Kasman Singodimedjo adalah orang yang rela berkorban dan rela
menderita demi untuk kepentingan perjuangan bagi agama dan bangsa.” Sebagaimana
disimpulkan oleh Lukman Hakiem dalam tulisan Menapaki Jejak Trio
Ulama-Patriot Ki Bagus Hadikusumo, Mr. Kasman Singodimedjo, dan
K.H. Abdul Kahar Mudzakkir (2015) bahwa Mr. Kasman Singodimedjo bagai
ditakdirkan untuk selalu tampil sebagai perintis di saat-saat kritis.
“Saya katakan
bahwa itu bukan suatu diskriminasi, sebab penetapan itu hanya mengenai rakyat
yang beragama Islam. Waktu merumuskan Pembukaan Undang-Undang Dasar itu, Mr.
Maramis yang ikut serta dalam Panitia Sembilan, tidak mempunyai keberatan
apa-apa dan pada tanggal 22 Juni ia ikut menanda-tanganinya.” tulis Bung
Hatta dalam buku Sekitar Proklamasi.
Dalam buku Hidup
Itu Berjuang, Kasman Singodimedjo mengemukakan pendapatnya, “Perubahan
tujuh kata rumus “Ke-Tuhanan” itu amat penting, karena “Yang Maha Esa”
menentukan arti dari Ketuhanan. Pancasila yang kini secara geruisloos menjadi
filsafat negara kita itu, tidak mengenal Ke-Tuhanan sembarang ketuhanan. Sekali
lagi bukan ketuhanan sembarang ketuhanan, tetapi yang dikenal oleh Pancasila
ialah Ke-Tuhanan Yang Maha Esa. Bung Hatta sendiri pada bulan Juni dan Agustus
1945 menjelaskan bahwa Tuhan Yang Maha Esa itu ialah Allah, tidak lain kecuali
Allah.”
Bung Hatta
dalam buku Hidup Itu Berjuang, “Sdr. Mr. Kasman Singodimedjo tidak
sedikit jasanya untuk kepentingan Negara dan Bangsa.”
. “Namanya
memang Singodimejo, kenyataannya dia singa di mana-mana,” kata Mohamad.Roem
Dalam memoirnya
yang berjudul ”Hidup Itu Berjuang“, Kasman menceritakan bahwa ia mendatangi Ki
Bagus dan berkomunikasi dengan bahasa Jawa halus (kromo inggil). Kepada Ki
Bagus, Kasman membujuk dengan mengatakan:
“Kiai, kemarin
proklamasi kemerdekaan Indonesia telah terjadi. Hari ini harus cepat-cepat
ditetapkan Undang-Undang Dasar sebagai dasar kita bernegara, dan masih harus
ditetapkan siapa presiden dan lain sebagainya untuk melancarkan perputaran roda
pemerintahan. Kalau bangsa Indonesia, terutama pemimpin-pemimpinnya cekcok,
lantas bagaimana?”
“Kiai, tidakkah
bijaksana jikalau kita sekarang sebagai umat Islam yang mayoritas ini sementara
mengalah, yakni menghapus tujuh kata termaksud demi kemenangan cita-cita kita
bersama, yakni tercapainya Indonesia Merdeka sebagai negara yang berdaulat,
adil, makmur, tenang tenteram, diridhai Allah SWT.”
Kasman juga
menjelaskan perubahan yang diusulkan oleh Mohammad Hatta, bahwa kata
”Ketuhanan” ditambah dengan ”Ketuhanan Yang Maha Esa”. KH A Wahid Hasyim dan
Teuku Muhammad Hassan yang ikut dalam lobi itu menganggap Ketuhanan Yang Maha
Esa adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala, bukan yang lainnya. Kasman menjelaskan,
Ketuhanan Yang Maha Esa menentukan arti Ketuhanan dalam Pancasila. ”Sekali lagi
bukan Ketuhanan sembarang Ketuhanan, tetapi yang dikenal Pancasila adalah
Ketuhanan Yang Maha Esa,” kata Kasman meyakinkan Ki Bagus.
Kasman juga
menjelaskan kepada Ki Bagus soal janji Soekarno yang mengatakan bahwa enam
bulan lagi akan ada sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk membuat
undang-undang yang sempurna. Di sanalah nanti kelompok Islam bisa kembali
mengajukan gagasan-gagasan Islam. Karena Soekarno ketika itu mengatakan, bahwa
perubahan ini adalah Undang-Undang Dasar sementara, Undang-undang Dasar kilat.
“Nanti kalau
kita telah bernegara di dalam suasana yang lebih tenteram, kita tentu akan
mengumpulkan kembali Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dapat membuat
Undang-Undang yang lebih lengkap dan sempurna,” kata Soekarno.
Wakil II Kepala Staf
Angkatan Perang, Letnan Jenderal T.B. Simatupang, mencatat pertemuannya dengan
Kasman di masa itu. Simatupang mengakui di masa perang-rakyat itu, dirinya
tidak mungkin mampu mengunjungi daerah-daerah yang sudah dikunjungi Kasman.
“Gambaran yang saya peroleh dari ceritanya (Kasman) itu pada dasarnya adalah
sama dengan keadaan yang telah saya lihat sendiri di daerah Kedu, Yogyakarta,
dan Surakarta itu. Belanda menduduki kota-kota besar, tetapi di luar kota-kota
itu tentara dan pamongpraja kita bergerak dan bekerja terus,” demikian Jenderal
Simatupang dalam bukunya yang terkenal, Laporan dari Banaran.
Menurut Fatwa,
Kasman Singodimedjo adalah tokoh pemimpin yang unik. Kasman adalah seorang
nasionalis yang memperjuangkan tegaknya Islam, sekaligus pemimpin Islam yang
berjuang untuk kepentingan nasional. “Beliau seorang intelek sekaligus seorang
kiai. Lebih dari itu semua, Kasman adalah seorang pejuang tanpa pamrih yang
nyaris dilupakan oleh bangsanya,”
.”Dalam buku
biografinya: “Hidup Itu Berjuang”, diceritakan ketika dalam tahanan Orde Lama,
dia diminta mengakui mengadakan rapat gelap untuk gerakan makar. Kasman menolak
karena memang tidak melakukannya. Lalu dikonfrontir dengan Nasuhi, tahanan
lain. “Tidakkah Letkol malam itu menjemput Pak Kasman lalu membawanya ke
Tengerang?” kata pemeriksa. Nasuhi diam. Pertanyaan itu diulang dan diulang
lagi. Tapi Nasuhi tetap diam. “Awas! Letkol diproses verbaal telah
mengakuinya,” penyidik mulai menggertak. Nasuhi tetap diam. Suasana
senyap.Kasman minta ijin bicara: “Bismillahir rahmanir rahim. Nasuhi kamu kan
percaya kepada Allahu Akbar. Jawablah secara jantan. Kamu kan laki-laki. Allah
sebagai saksi. Jawab yang lantang supaya kedengaran,” kata Kasman.Nasuhi
menjawab: “Saya terpaksa menandatangani proses verbaal. Sebetulnya tidak
begitu.” Lalu Kasman menyambung: “Nah, itulah tuan-tuan keadaan yang
sebenarnya. Saya sebagai bekas Jaksa Agung, bekas kepala Kehakiman Militer,
bekas Menteri Muda Kehakiman, tahu persis semua ini tidak syah.” Kasman lalu
berdiri. Dibuangnya kursinya jauh ke belakang, tangannya diangkat lalu
berteriak sangat keras dan melotot. “Percuma pemeriksaan semacam ini! Silakan
tuan-tuan cabut pistol. Tembak saya! Tembak! Tambak!” Jaksa itu gagal memaksa
Kasman. Singanya keluar pada saat yang tepat.Di luar soal “singa”, ada dua
pesan Kasman yang patut direnungkan. Pertama: “Hidup itu berjuang”. Kedua:
“Jalan pemimpin itu bukan jalan yang mudah. Memimpin itu jalan menderita”.
Berjuang dan menderita memang sering menyatu.
“Kami inginkan
persatuan dan persaudaraan di kalangan umat Islam dan kerja sama yang mesra
dengan seluruh rakyat Indonesia.” – Kasman Singodimedjo, Mantan Jaksa Agung RI,
Tokoh Partai Masyumi, Mantan ketua Jong Islamieten Bond (JIB)-
K.H. Saifuddin
Zuhri, ayah dari Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin itu menyatakan; semua
kita tidak terkecuali kehilangan seorang pemimpin dan sekaligus seorang guru.
Saifuddin Zuhri mengajak hadirin untuk memberikan pengakuan bahwa almarhum
adalah orang baik dan memohon kepada Allah agar almarhum wafat dalam keadaan husnul
khatimah dan mengharap agar Pak Kasman termasuk pahlawan/rijal yang
berada di sisi Allah Swt.
Sumber:
http://jejakislam.net/pesan-kasman-kepada-kaum-intelektual/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar