Kisah Hutang
Pemerintah Timor Timur Setelah Menjadi Negara Timor Leste
Bergabungnya Timor Timur sebagai propinsi ke-27 di
masa pemerintahan Presiden Soeharto merupakan suatu cerita panjang bagi
kehidupan kesejarahan dunia global umumnya dan khususnya bagi Indonesia. Kisah
ini memiliki keunikan dalam berbagai angle cerita. Tidak hanya kisah epic
perpisahan dua saudara, kisah administrasi hutang piutangpun sempat mewarnai.
Pada 31
Desember 31 Mei 1976 saat sidang DPR tentang masalah Timor Timur dikeluarkan
petisi yang mendesak pemerintah RI untuk secepatnya menerima dan mengesahkan
integrasi Timor Timur ke dalam negara kesatuan RI tanpa referendum. Integrasi
Timor Timur ke dalam wilayah RI diajukan secara resmi pada 29 Juni 1976. Dan
seterusnya, pemerintah mengajukan RUU integrasi Timor Timur ke wilayah RI
kepada DPR RI.
DPR melalui
sidang plenonya menyetujui RUU tersebut menjadi UU Nomor. 7 Tahun 1976 pada 17
Juli 1976 dan ketentuan ini semakin kuat setelah MPR menetapkan TAP MPR No. VI
/ MPR/ 1978. Walhasil, Timor Timur menjadi Propinsi Indonesia yang ke-27. Dan
propinsi yang baru lahir tersebut memiliki 13 kabupaten yang terdiri dari
beberapa kecamatan. Ketigabelas kabupaten itu adalah Dili, Baucau, Monatuto,
Lautem, Viqueque, Ainaro, Manufani, Kovalima, Ambeno, Bobonaru, Liquisa, Ermera
dan Aileu. Tokoh masayarakat setempat bernama Arnaldo dos Reis Araujo dan
Franxisco Xavier Lopez da Cruz diangkat oleh Presiden Soeharto menjadi gubernur
dan wakil gubernur yang selanjutnya dilantik oleh Amir Machmud sebagai Menteri
Dalam Negeri pada tanggal 3 Agustus 1976.
Burhanuddin
Jusuf Habibie yang menggantikan mantan presiden Soeharto sebagai presiden
selanjutnya mau tidak mau turut tertimpa masalah dan beragam krisis termasuk
krisis disintegrasi di Provinsi Timor Timur. Xanana Goesmao yang didukung oleh
negara luar negeri seperti Australia dan Portugal semakin gencar menyuarakan
kemerdekaan Timor Leste.
Dua opsi
(pilihan alternatif) yang Presiden B.J Habibie tawarkan untuk memecahkan masalah Provinsi Timor
Timur yaitu pemberian otonomi khusus di dalam negara kesatuan RI atau memisahkan
diri dari Indonesia. Portugal dan PBB menyambut baik tawaran ini. Selanjutnya,
perundingan Tripartit di New York pada tanggal 5 Mei 1999 antara Indonesia,
Portugal dan PBB menghasilkan kesepakatan tentang pelaksanaan jajak pendapat
mengenai status masa depan Timor Timur atau United Nations Mission in East
Timor (UNAMET).
Jajak
pendapat diselenggarakan pada tanggal 30 Agustus 1999 yang diikuti oleh kurang
lebih 451.792 orang pemilih penduduk Timor Timur berdasarkan kriteria yang
ditetapkan UNAMET, baik yang berada di wilayah Indonesia maupun luar negeri.
Hasil jajak pendapat diumumkan pada tanggal 4 September 1999 di Dili dan di
PBB. Sejumlah 78,5 persen penduduk menolak dan 21,5 persen menerima otonomi
khusus yang ditawarkan. Dengan mempertimbangkan hal ini maka MPR RI dalam
Sidang Umum MPR pada 1999 mencabut TAP MPR No. VI/1978 dan mengembalikan Timor
Timur seperti pada 1975.
Lepasnya
Timor Leste dari Indonesia pada 2001 masih menyisakan banyak pekerjaan rumah
bagi pemerintah. Proses pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah sejak masa
integrasi pada 1976 dengan dana utang luar negeri seperti menjadi permasalahan
baru, yakni hutang yang masih membebani APBN. Beragam infrastruktur, jalanan,
jembatan maupun gedung-gedung pemerintah dibiayai oleh Indonesia. Sekarang
sudah menjadi negara berdaulat, bunga dana utangnya yang dibuat membangun masih
menjadi tanggungan Indonesia.
Indonesia
merupakan salah satu negara yang pernah mengalami peristiwa suksesi negara
ketika Timor Leste memutuskan untuk memisahkan diri pada tahun 2002. Peristiwa
ini membawa akibat hukum termasuk terhadap perjanjian internasional yang pernah
terjalin antara Indonesia dengan negara lain. Hukum internasional memberi
petunjuk mengenai akibat hukum terhadap perjanjian internasional lewat Konvensi
Wina 1978. Beberapa hal yang dimuat dalam konvensi tersebut antara lain
mengenai perjanjian mana yang dapat beralih dan bagaimana peralihannya.
Hubungan
hutang Pemerintah Indonesia dengan Timor Leste dimulai dengan pinjaman
pemerintah Pemerintah Tingkat I Timor Timur yang saat itu dipegang oleh
Gubernur Mario Vegas Carascalo. Pada hari Sabtu tanggal 12 Maret 1983
ditandatanganilah perjanjian pinjaman antara pemerintah daerah tingkat I
Provinsi Timor Timur dengan Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Keuangan
melalui dokumen naskah perjanjian PRJ-138/MK.11/1983. Dalam perjanjian
tersebut, pemerintah provinsi Timor Timur melakukan peminjaman sejumlah Rp.
250.000.000,00 dengan jangka waktu pelunasan 20 tahun dan bunga sebesar 2,5%
pertahun.
Pada
tahun 2002 Pemerintah Provinsi Timor Timur memisahkan diri dengan Pemerintah
Republik Indonesia. Diantara berbagai macam permasalahan yang melingkupi
lepasnya Timor Timur (menjadi Timor
Leste) dari Indonesia, salah satu yang sangat mengganjal adalah perlakuan
hutang pemerintah provinsi Timor Timur ke Pemerintah Indonesia. Saat itu
tunggakan provinsi Timor Timur kepada Pemerintah Indonesia sebesar Rp
128.340.000,00.
Sebagai
pengetahuan kita, pinjaman pemerintah provinsi Timur Timor sampai medio tahun 2020
masih tercantum sebagai piutang pemerintah pada LKPP (Laporan Keuangan
Pemerintah Pusat) Penerusan Pinjaman. Saat ini status Timor Timur telah berubah
dari provinsi yang merupakan bagian pemerintah Indonesia menjadi suatu negara
yang berdiri sendiri. Pinjaman ini masih menjadi administrasi dan tanggung
jawab Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara Khusus Investasi (KPPN KI) dalam
mengelola piutang pemerintah. Kepala KPPN KI akan melakukan penagihan secara
berkala terhadap debitur yang memiliki piutang terhadap pemerintah. Dalam kasus
Timor Timur ini, hal yang tidak dimungkinkan adalah apabila Kepala KPPN KI
melakukan tagihan terhadap Kepala Pemerintahan Timor Leste. Pembicaraan ini
akan menjadi pembicaraan bilateral dan bisa dimungkinkan piutang pemerintah
Republik Indonesia tidak akan diakui sebagai hutang oleh pemerintahan Timor
Leste. Usulan write off (pemutihan)
terhadap permasalahan ini bisa menjadi opsi yang perlu dilakukan oleh
pemerintah Indonesia, mengingat piutang tersebut akan selalu mengganjal di
laporan keuangan pemerintah Indonesia. Setelah melalui berbagai jalur upaya penyelesaian
pinjaman, Menteri Keuangan akhirnya pada tanggal 21 September 2021 mengeluarkan
Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Republik Indonesia nomor 408/KMK.05/2021
tentang Penghapusan Secara Mutlak Piutang Negara Pokok dan non Pokok Atas Nama
Pemerintah Daerah Tingkat I Timor Timur (Eks Provinsi Timor Timur). Sebagai
akibat munculnya KMK tersebut, piutang Timor Timur sebesar Rp. 128.340.000
dihapuskan. Dengan penghapusan piutang tersebut, hilanglah status piutang Timor
Timur dalam LKPP. Munculnya KMK ini selesailah piutang Timor Timur kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Piutang yang muncul pada
masa Presiden Soeharto akhirnya selesai pada masa pemerintahan Presiden Joko
Widodo. Kisah penyelesaian piutang ini melewati enam masa kepresidenanan di
Indonesia.
Tepat pada 4
September 1999 di Dili dan di PBB hasil jajak pendapat masyarakat Timor Timur
tentang pilihan untuk menerima otonomi khusus atau berpisah dengan NKRI
diumumkan. Dan akhirnya, 78,5 persen penduduk menolak otonomi khusus dan
memilih untuk memisahkan diri dari NKRI. Sejak itulah, Timor Timur menjadi
negara berdaulat terpisah dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar