Ibadah
Eksklusif dan Inklusif
kata
Leo Tolstoy.Kebahagiaan tidak terletak pada kesenangan diri sendiri.Kebahagiaan
terletak pada kebersamaan.
Majalah
Newsweek edisi 9 Juli 2001 mencatat, Indonesia dengan17.000 pulau ini menyimpan
1.000 titik api yang sewaktu-waktu siap menyala.Bila tidak dikelola, dengan
mudah beralih menjadi bentuk kekerasan yang memakan korban. Al Ghazali dan
Sayid Quthb pernah berkata, kita rebut tentang bid'ah dalam shalat dan haji,
tetapi dengan tenang melakukan bid'ah dalam urusan ekonomi dan politik. Kita
puasa tetapi dengan tenang melakukan korupsi. Juga kekerasan, pencurian, dan
penindasan. Jalaluddin Rakhmat, dalam
Islam Alternatif , menulis betapa banyak umat Islam disibukkan dengan urusan
ibadah mahdhah (ritual), tetapi mengabaikan kemiskinan, kebodohan, penyakit,
kelaparan, kesengsaraan, dan kesulitanhidup yang diderita saudara-saudara
mereka.
Emha
Ainun Nadjib pernah ditanya "Cak Nun, misalnya pada
waktu bersamaan tiba-tiba sampeyan menghadapi tiga pilihan, yang
harus dipilih salah satu: pergi kemasjid untuk shalat Jumat,
mengantar pacar berenang, atau mengantar tukang becak miskin ke rumah sakit
akibat tabrak lari, mana yang sampeyan pilih?Cak Nun menjawab, "Ya nolong
orang kecelakaan.""Tapi sampeyan kan dosa karena tidak sembahyang?"."Ah,
mosok Gusti Allah ndeso gitu," jawab Cak Nun."Kalau saya memilih
shalat Jumat, itu namanya mau masuk surga tidak ngajak-ngajak," katanya
lagi. "Dan lagi belum tentu Tuhan memasukkan kesurga orang yang
memperlakukan sembahyang sebagai credit point
pribadi."Bagi kita yang menjumpai orang yang saat itu juga harus
ditolong,Tuhan tidak berada di mesjid, melainkan pada diri orang yang
kecelakaan itu. Tuhan mengidentifikasikan dirinya pada sejumlah orang.Kata
Tuhan: kalau engkau menolong orang sakit, Akulah yang sakit itu. Kalau engkau
menegur orang yang kesepian, Akulah yang kesepian itu. Kalau engkau memberi
makan orang kelaparan, Akulah yang kelaparan itu, "Kira-kira Tuhan suka
yang mana daritiga orang ini. Pertama, orang yang shalat lima waktu, membaca Al-Quran, membangun
masjid, tapi korupsi uang negara. Kedua, orang yang tiap hari berdakwah,
shalat, hafal Al-Quran, menganjurkan hidup sederhana, tapi dia sendiri
kaya-raya, pelit, dan mengobarkan semangat permusuhan. Ketiga, orang
yang tidak shalat, tidak membaca Al-Quran, tapi suka beramal, tidak korupsi,
dan penuh kasih sayang?.” "Kalau saya memilih orang yang ketiga.Kalau
korupsi uang negara, itu namanya membangun neraka,bukan membangun masjid. Kalau
korupsi uang rakyat,itu namanya bukan membaca al-quran, tapi
menginjak-injaknya.Kalau korupsi uang rakyat, itu namanya tidak sembahyang,tapi
menginjak Tuhan. Sedang orang yang suka beramal,tidak korupsi, dan penuh kasih
sayang, itulah orang yang sesungguhnya sembahyang dan membaca Al-Quran. Kriteria
kesalehan seseorang tidak hanya diukur lewat shalatnya. Standar kesalehan
seseorang tidak melulu dilihat dari banyaknya dia hadir di kebaktian atau misa.
Tolok ukur kesalehan hakikatnya adalah output sosialnya: kasih sayang sosial,
sikap demokratis, cinta kasih, kemesraan dengan orang lain, memberi, membantu
sesama. Idealnya, orang beragama itu mesti shalat, misa, atau ikut kebaktian,
tetapi juga tidak korupsi dan memiliki perilaku yang santun dan berkasih
sayang. Agama adalah akhlak. Agama adalah perilaku. Agama adalah sikap.Semua
agama tentu mengajarkan kesantunan, belas kasih, dan cinta kasih sesama. Bila
kita cuma puasa, shalat, baca Al-Quran, pergi kebaktian, misa,datang ke pura,
menurut saya, kita belum layak disebut orang yang beragama.Tetapi, bila saat
bersamaan kita tidak mencuri uang negara, meyantuni fakir miskin, memberi makan
anak-anak terlantar, hidup bersih, maka itulah orang beragama. Ukuran
keberagamaan seseorang sesungguhnya bukan dari kesalehan personalnya, melainkan
diukur dari kesalehan sosialnya. Bukan kesalehan pribadi, tapi kesalehan
sosial. Orang beragama adalah orang yang bisa menggembirakan tetangganya. Orang
beragama ialah orang yang menghormati orang lain, meski beda agama. Orang yang
punya solidaritas dan keprihatinan sosial pada kaum mustadh'afin (kaum
tertindas).Juga tidak korupsi dan tidak mengambil yang bukan haknya.Karena itu,
orang beragama mestinya memunculkan sikap dan jiwa social tinggi. Bukan
orang-orang yang meratakan dahinya ke lantai masjid, sementara beberapa meter darinya,
orang-orang miskin meronta kelaparan.
Radikal
apa yang diungkapkan Cak Nun. Beliau bermain –main dengan filosofi Islam
Kirinya Hasan Hanafi. Pola sosial dalam
kehidupan bersama menjadi basis dalam beragama. Ketika agama dipisahkan menjadi
hinayana dan Mahayana atau eksklusif dan inklusif, pengandaian itu menajdi
seakan jamak. Dilemma untuk bersama-sama atau sendiri-sendiri berada pada titik
yang berseberangan. Jidat hitam yang
belum tentu bersurga menjadi telaahan yang menarik dan hitamnya badan akibat jauhnya dengan
wudhu menjadikan sorga dalam rengkuhan. Suatu titik cermin yang mmenggemaskan,.
Analogi pemikiran dalam bersosial dengan berdasarkan pada Allah menjadikan diri
bersama dan bersanding dengan makhluqNya tanpa kasta dan cemoohan. Hal ini
membuat kebersaamaan , ujung-ujungnya kebersamaan ini bisa menggiring kepada
kebaikan bersama.
Suatu
ketika Nabi Muhammad SAW mendengar berita perihal seorang yang shalat di malam
hari dan puasa di siang hari, tetapi menyakiti tetangganya dengan lisannya.
Nabi Muhammad SAW menjawab singkat, "Ia di neraka."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar